“Kalau ayah masih ada pasti beliau sangat kecewa mengetahui anak kesayangannya yang dibangga-banggakan melakukan hal seperti ini.” Bicaranya ibu terjeda-jeda sebab sesekali terisak. “Kamu salah kalau merasa dibedakan dalam hal kasih sayang dan perhatian, Bim. Bahkan perjodohan itu bukan bertujuan untuk membatasi kebebasanmu dalam memilih pasangan. Ayahmu sudah memikirkan semuanya, dia tidak ingin kamu kembali pada alur kehidupan yang terlunta-lunta. Ayah memilihkan Meswa sebagai istri sebab dia perempuan yang baik, lembut dan penurut. Seperti Meswa lah yang bisa mengimbangi dirimu yang penuh ambisi.Bahkan untuk kesejahteraanmu di masa yang akan datang sudah ayah rancang sedemikian rupa. Sayangnya kamu sendiri yang menghancurkannya. Kepemilikan perusahaan sengaja di rahasiakan sebab ayah yang meminta. Ayah ingin kamu juga merasakan perjuangan untuk mencapai posisi tertinggi. Namun, malah kesalah pahaman yang terjadi. Ibu malu pada Meswa, juga segan pada kedua orang tuanya. Dulu kami
Aku mengalihkan sebentar pandangan dari layar computer pada arah pintu ketika terdengar suara ketukan. Sedetik kemudian pintu terkuak dan yang terlihat sosok mantan suami berdiri di sana. Dia masuk lalu meletakkan secangkir minuman dengan aroma melati yang khas di mejaku.“Terima kasih.” Setelah itu aku hendak kembali fokus pada pekerjaan. “Meswa, bisa bicara sebentar?”Aku sengaja ingin mengabaikan pertanyaan atau lebih tepatnya permintaan Bima dengan menyibukkan diri menatap computer. Mungkin ada lima menit aku diamkan laki-laki itu masih berdiri di tempatnya. Lagi-lagi aku memalingkan pandangan dari lembaran pekerjaan dan melihat pada wajah Bima. “Sebentar saja,” katanya lagi terdengar memohon.Aku mengangguk, “Duduk lah!” Seulas senyum terlihat di wajahnya ketika kupersilahkan dia duduk.Sekarang dia sudah duduk di kursi depan meja kerjaku. Rasanya kami lama tidak berjumpa, beberapa hari ini aku memang tidak melihatnya ada di kantor. Di sini aku bisa melihat tulang pipinya nampa
Hari ini aku pulang lebih awal, week end saatnya meluangkan waktu untuk bersama anak-anak. Belum genap pukul tiga saat aku masuk ke rumah. Tidak kudapati anak-anak, hanya pengasuh mereka yang kutemui tengah berada di dapur. “Anak-anak mana, Bik?” tanyaku sambil meletakkan paper bag dan tas di atas meja makan. “Anak-anak sedang dibawa Pak Santoso, Bu. Katanya tadi mau jalan-jalan.”“Sudah lama perginya?” tanyaku lagi. Aku mencuci tangan sebelum mengambil gelas dan mengisinya dengan jus jeruk dari kulkas.“Sekitar satu jam yang lalu. Enggak tahu kalau Ibu pulang lebih cepat, mungkin kalau tadi bilang bisa di tunggu.” “Enggak apa-apa, Bik. Nanti saya bisa nyusul mereka. Anak-anak enggak resel, kan?” “Enggak, Bu. Semakin kesini mereka semakin pinter, ngerti kalau dibilangin.” Jawaban Bik Marni cukup membuatku lega. Setiap hari aku selalu memantau perkembangan anak-anak lewat Bik Marni. Menjadi hal wajib menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Bella dan Raya seharian selama t
Dalam hati aku tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah atas segala nikmat kebahagiaan mala mini. Setelah badai dan ombak besar menguji kehidupan, dengan begitu murah hatinya Dia ganti semua sakit dan kekecewaan dengan pelangi kebahagiaan yang lebih indah. Pukul sembilan malam keluarga Fauzan pamit undur diri. Aku, Mama dan Papa mengantarkan mereka hingga ke depan rumah. Om Anwar dan Papa berpelukan begitu juga dengan Tante Santi yang bergantian memeluk aku dan Mama. Fauzan menyalami kedua orang tuaku lalu mencium punggung tangannya. Setelah menegakkan tubuh lelaki itu memandangku lembut lalu menganggukkan kepala. “Aku pulang dulu,” katanya lembut.“Hati-hati, Zan.”Dia mengangguk, “Terima kasih, Meswa,” katanya lalu dia pemit masuk ke dalam mobil.Aku melambaikan tangan pada mobil Fauzan yang perlahan mulai bergerak dan meninggalkan pekarangan rumah Papa. Papa dan Mama sekarang sudah masuk ke dalam rumah. Aku sudah hendak masuk saat pintu mulai di tutu oleh satpam, tetapi
"Sayang .... "“Teruskan, Mas …. ““Ah … aku tidak bisa melakukannya.”Mas Bima beringsut mundur dari posisinya di atas tubuhku dan langsung mengenakan pakaiannya. Dadaku bergemuruh, nafasku memburu. Kecewa. Sedangkan lelaki yang sangat kucintai itu menatapku dengan wajah penuh penyesalan. Baru saja kami akan melakukannya, tetapi harus gagal sebab Mas Bima menyerah. “Ada apa, Mas?”“Aku—aku tidak bisa melakukannya malam ini, Dek.”“Tapi kenapa, Mas? Apa aku sudah tidak menarik untuk kau sentuh?” kataku menahan tangis.“Bukan begitu, Dek. Aku …. ““Kamu sakit, Mas?” sambarku tidak sabar menunggu ucapan Mas Bima yang menggantung.Ini adalah kesekian kalinya laki-lakiku gagal melakukan kewajibannya sebagai suami. Padahal kami sudah lama tidak melakukannya. Entah apa yang menyebabkan dia tidak bisa bangkit, padahal aku sudah berusaha membantunya. "Kenapa diam, Mas? Aku butuh jawaban!"Aku bersiap mendengar jawaban dari Mas Bima. Aku butuh alasan, kenapa dia seolah enggan menyentuh tubuh
Setelah Mas Bima berangkat kerja, aku memilih kembali ke kamar. Anak-anak sudah ke sekolah diantar sopir. Biasanya aku akan membantu Bik Marni membereskan meja makan, tetapi kali ini kurasa sangat malas melakukannya. Aku menjatuhkan bobot di kursi depan meja rias. Duduk memandang pantulan wajah sendiri di cermin. Make up tipis yang tadi kupoles tidak lantas menyembunyikan mendung di sana. Lagi-lagi aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah aku sudah tidak menarik? Sebagai perempuan normal yang sudah pernah merasakan berhubungan, apa yang terjadi semalam membuatku insecure. Aku khawatir tidak bisa memuaskan Mas Bima di rumah dan dia akan mencari pelampiasan di luar. Walaupun selama ini kuakui Mas Bima sosok yang setia dan tidak neko-neko. Akan tetapi, kemungkinan-kemungkinan buruk bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, tanpa pandang tipe yang bagaimana. Biarpun iman seseorang kuat, kalau tidak bisa menahan nafsu si imron siapa yang bisa menjamin sebuah kata setia? Drrrttt … d
Malamnya Mas Bima sampai di rumah pukul dua belas malam. Umumnya waktu lembur kantor hanya sampai jam sembilan malam, kalau pun molor tidak lantas sampai jauh larut. Aku belum tidur saat Mas Bima pulang, sengaja menunggunya di ruang tengah rumah kami. Terdengar derit pintu utama terbuka, lalu ditutup lagi dan denting anak kunci di putar. Dia memang punya kunci cadangan, jadi sewaktu-waktu pulang tidak perlu membangunkan aku atau pembantu kami untuk membukakan pintu. Aku menunggu hingga Mas Bima sampai di ruang tengah. "Baru pulang, Mas?" tanyaku tanpa beranjak dari duduk berselonjor di sofa panjang. Aku melihat Mas Bima terlonjak hingga langkahnya mundur beberapa jengkal. Aku sengaja mematikan lampu utama di ruangan ini dan hanya menyalakan lampu hias kecil yang cahayanya sangat temaram. Wajar kalau Mas Bima tidak melihatku, ruangan ini cukup gelap. "Kamu belum tidur, Dek?" tanya Mas Bima kemudian. "Belum. Kenapa larut sekali pulangnya, Mas?" jawab dan tanyaku seraya beranjak men
"Abisnya kamu ngomong seperti itu. Kesannya kamu kayak enggak percaya sama suamimu sendiri! Lagian malam ini tumben kamu belum tidur, terus banyak tanya-tanya kayak wartawan. Aku seharian kerja, capek. Di rumah masih kamu todong dengan pertanyaan-pertanyaan enggak bermutu seperti ini. Huh, buang-buang waktu tau, enggak!" papar Mas Bima kesal. "Kamu kenapa jadi baper gitu, sih, Mas? Biasanya juga aku tanya-tanya, kamu biasa, aja. Lagian apa salahnya kalau aku nunggu kamu sampe pulang lembur? Waktu lemburmu juga makin enggak wajar. Kamu, kan di kantor ada asisten juga, apa gunanya bayar sekretaris kalau semuanya masih kamu kerjakan sendiri?" "Dek, walaupun ada sekretaris beberapa pekerjaan harus aku yang kerjakan sendiri, enggak bisa diwakili orang lain. Jadi aku dan Fina masing-masing udah ada tugas, kami sama-sama sibuk ngurus kerjaan masing-masing. Aku bayar Fina untuk membantu meringankan tugas. Kamu sendiri, kan pernah kerja di kantor. Taulah, bagaimana kondisi kami!" Aku melipa