"Sayang .... "“Teruskan, Mas …. ““Ah … aku tidak bisa melakukannya.”Mas Bima beringsut mundur dari posisinya di atas tubuhku dan langsung mengenakan pakaiannya. Dadaku bergemuruh, nafasku memburu. Kecewa. Sedangkan lelaki yang sangat kucintai itu menatapku dengan wajah penuh penyesalan. Baru saja kami akan melakukannya, tetapi harus gagal sebab Mas Bima menyerah. “Ada apa, Mas?”“Aku—aku tidak bisa melakukannya malam ini, Dek.”“Tapi kenapa, Mas? Apa aku sudah tidak menarik untuk kau sentuh?” kataku menahan tangis.“Bukan begitu, Dek. Aku …. ““Kamu sakit, Mas?” sambarku tidak sabar menunggu ucapan Mas Bima yang menggantung.Ini adalah kesekian kalinya laki-lakiku gagal melakukan kewajibannya sebagai suami. Padahal kami sudah lama tidak melakukannya. Entah apa yang menyebabkan dia tidak bisa bangkit, padahal aku sudah berusaha membantunya. "Kenapa diam, Mas? Aku butuh jawaban!"Aku bersiap mendengar jawaban dari Mas Bima. Aku butuh alasan, kenapa dia seolah enggan menyentuh tubuh
Setelah Mas Bima berangkat kerja, aku memilih kembali ke kamar. Anak-anak sudah ke sekolah diantar sopir. Biasanya aku akan membantu Bik Marni membereskan meja makan, tetapi kali ini kurasa sangat malas melakukannya. Aku menjatuhkan bobot di kursi depan meja rias. Duduk memandang pantulan wajah sendiri di cermin. Make up tipis yang tadi kupoles tidak lantas menyembunyikan mendung di sana. Lagi-lagi aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah aku sudah tidak menarik? Sebagai perempuan normal yang sudah pernah merasakan berhubungan, apa yang terjadi semalam membuatku insecure. Aku khawatir tidak bisa memuaskan Mas Bima di rumah dan dia akan mencari pelampiasan di luar. Walaupun selama ini kuakui Mas Bima sosok yang setia dan tidak neko-neko. Akan tetapi, kemungkinan-kemungkinan buruk bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, tanpa pandang tipe yang bagaimana. Biarpun iman seseorang kuat, kalau tidak bisa menahan nafsu si imron siapa yang bisa menjamin sebuah kata setia? Drrrttt … d
Malamnya Mas Bima sampai di rumah pukul dua belas malam. Umumnya waktu lembur kantor hanya sampai jam sembilan malam, kalau pun molor tidak lantas sampai jauh larut. Aku belum tidur saat Mas Bima pulang, sengaja menunggunya di ruang tengah rumah kami. Terdengar derit pintu utama terbuka, lalu ditutup lagi dan denting anak kunci di putar. Dia memang punya kunci cadangan, jadi sewaktu-waktu pulang tidak perlu membangunkan aku atau pembantu kami untuk membukakan pintu. Aku menunggu hingga Mas Bima sampai di ruang tengah. "Baru pulang, Mas?" tanyaku tanpa beranjak dari duduk berselonjor di sofa panjang. Aku melihat Mas Bima terlonjak hingga langkahnya mundur beberapa jengkal. Aku sengaja mematikan lampu utama di ruangan ini dan hanya menyalakan lampu hias kecil yang cahayanya sangat temaram. Wajar kalau Mas Bima tidak melihatku, ruangan ini cukup gelap. "Kamu belum tidur, Dek?" tanya Mas Bima kemudian. "Belum. Kenapa larut sekali pulangnya, Mas?" jawab dan tanyaku seraya beranjak men
"Abisnya kamu ngomong seperti itu. Kesannya kamu kayak enggak percaya sama suamimu sendiri! Lagian malam ini tumben kamu belum tidur, terus banyak tanya-tanya kayak wartawan. Aku seharian kerja, capek. Di rumah masih kamu todong dengan pertanyaan-pertanyaan enggak bermutu seperti ini. Huh, buang-buang waktu tau, enggak!" papar Mas Bima kesal. "Kamu kenapa jadi baper gitu, sih, Mas? Biasanya juga aku tanya-tanya, kamu biasa, aja. Lagian apa salahnya kalau aku nunggu kamu sampe pulang lembur? Waktu lemburmu juga makin enggak wajar. Kamu, kan di kantor ada asisten juga, apa gunanya bayar sekretaris kalau semuanya masih kamu kerjakan sendiri?" "Dek, walaupun ada sekretaris beberapa pekerjaan harus aku yang kerjakan sendiri, enggak bisa diwakili orang lain. Jadi aku dan Fina masing-masing udah ada tugas, kami sama-sama sibuk ngurus kerjaan masing-masing. Aku bayar Fina untuk membantu meringankan tugas. Kamu sendiri, kan pernah kerja di kantor. Taulah, bagaimana kondisi kami!" Aku melipa
Terdengar suara hembusan nafas panjang dari lelaki di sebelahku. Kurasa itu bentuk kelegaanya, sebab aku sudah tidak marah-marah lagi. Lega kamu sekarang, Mas. Nanti kalau aku sudah pegang bukti itu akan kubuat kamu sesak nafas, kalau perlu sampai kamu berhenti bernafas!"Hmmm ... tidak apa-apa, Dek. Mas tau kamu khawatir, Mas juga sudah berusaha supaya pulang tepat waktu tapi mau bagaimana pekerjaan memang sedang banyak."Ya, pekerjaan di kantor memang sedang banyak dan sekarang Mas Bima punya kegiatan tambahan, menghangatkan sekretarisnya tentu saja waktu lembur suamiku jadi lebih panjang. Awas kamu Mas, kalau kamu benar berselingkuh dengan Fina siap-siap menerima akibatnya! "Ya sudah, Mas segeralah bersih-bersih supaya bisa cepat istirahat. Aku ke dapur dulu membuatkan teh hangat. Besok minta orang untuk memperbaiki AC di ruanganmu." Kupaksakan mengukir senyum. Kubalas sandiwaranya dengan kepura-puraan juga, imbang bukan? Mas Bima mengangguk lalu masuk ke kamar mandi. Tak lama t
Mobil yang kutumpangi melesat membelah jalan raya yang tidak terlalu padat siang ini. Setelah menjemput anak-anak di sekolah, kami di antar sopir menuju rumah Ibu. Mas Bima tidak bisa mengantar kami, katanya ada meeting dengan klien dari luar kota. Anak-anak begitu antusias saat kuberitahu akan mengunjungi neneknya. Mereka sibuk minta singgah di supermarket ingin membawakan oleh-oleh ini dan itu untuk Ibu. Sudah menjadi kebiasaan memang, setiap kali kami berkunjung ke rumah ibunya Mas Bima atau orang tuaku kami tidak datang dengan tangan kosong. Entah itu buah, kue, atau barang lain ada saja yang kami bawa sebagai buah tangan. Rumah orang tua kami masih di satu kota yang sama, kami membagi waktu untuk mengunjungi mereka. Biasanya kami gilir dua minggu sekali. Sejauh ini hubungan kedua belah kelurga terjalin dengan baik, malah bisa dikatakan sangat baik. Sebab, dulunya ayah mertua adalah sahabat papaku, jadi mereka sudah banyak tahu satu sama lain. Ibu Sekar, mertuaku adalah pensiun
Sekian lama menjadi menantu aku sudah terbiasa dengan suasana rumah Ibu, hampir seluruh seluk beluknya setiap ruangan di sini aku tahu. Jadi, rumah ini sudah seperti rumahku sendiri. Ibu membebaskan kami, apapun yang kami ingin lakukan, apa yang ingin kami masak atau makan selagi ada persediaan bahan untuk di olah Ibu tidak mempermasalahkannya. “Udah makan belum, Dek? Kakak masak ikan bakar sama cumi balado. Cicipi, gih!” kata Kak Sinta saat melihat aku mengikutinya ke dapur. Di meja makan sudah terhidang ikan bakar, cumi balado dan udang goreng tepung. Ada sayur sop dan tumis kangkung tanpa cabai kesukaan anak-anakku juga.“Tuben Kakak masak banyak?” tanyaku seraya duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan.“Sebagian ibu yang masak karena kamu mau datang. Kakak sendiri boro-boro mau masak segitu banyak. Hari-hari, aja beli,” seloroh kakak iparku itu. “Dedek ini manja banget. Enggak boleh mamanya bergerak dikit. Maunya disuruh nimang-nimang dia, aja sepajang hari,” lanj
"Memangnya Kakak berani bertindak kalau Bang Yudi yang berulah?" kataku sengaja memancing dengan mengumpamakan bila suami iparku yang berbuat neko-neko. "Harus takut apa? Kalau suami kakak yang macem-macem, Kakak siap mencincang terongnya kalau perlu sampai ke akar-akarnya!" jawab Kak Sinta sembari memperagakan gerakan di udara mencincang dengan tangan kosong. "His, seyem. Kakak kelihatannya kelem, tapi ternyata ngeri juga. Mainnya cincang-cincang." "Biar kapok! Pokoknya jadi perempuan jangan nurut-nurut, aja. Cinta boleh, bodoh jangan!" tegas Kak Sinta.Ah, bahagianya punya kakak ipar yang sefrekuensi. Dengan begini, bila nanti Mas Bima terbongkar kedoknya aku sudah punya satu suara yang mendukung. Ya, kami sama-sama membenci perselingkuhan dan mengharamkan penghianatan. "Bilang, aja kalau suamimu berulah, Dek!" tegasnya lagi, aku hanya mengangguk. Belum saatnya aku mengatakan sekarang."Hmmm. Menurut Kakak kalau suami selingkuh itu sebabnya apa?" tanyaku hati-hati. Kak Sinta te
Dalam hati aku tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah atas segala nikmat kebahagiaan mala mini. Setelah badai dan ombak besar menguji kehidupan, dengan begitu murah hatinya Dia ganti semua sakit dan kekecewaan dengan pelangi kebahagiaan yang lebih indah. Pukul sembilan malam keluarga Fauzan pamit undur diri. Aku, Mama dan Papa mengantarkan mereka hingga ke depan rumah. Om Anwar dan Papa berpelukan begitu juga dengan Tante Santi yang bergantian memeluk aku dan Mama. Fauzan menyalami kedua orang tuaku lalu mencium punggung tangannya. Setelah menegakkan tubuh lelaki itu memandangku lembut lalu menganggukkan kepala. “Aku pulang dulu,” katanya lembut.“Hati-hati, Zan.”Dia mengangguk, “Terima kasih, Meswa,” katanya lalu dia pemit masuk ke dalam mobil.Aku melambaikan tangan pada mobil Fauzan yang perlahan mulai bergerak dan meninggalkan pekarangan rumah Papa. Papa dan Mama sekarang sudah masuk ke dalam rumah. Aku sudah hendak masuk saat pintu mulai di tutu oleh satpam, tetapi
Hari ini aku pulang lebih awal, week end saatnya meluangkan waktu untuk bersama anak-anak. Belum genap pukul tiga saat aku masuk ke rumah. Tidak kudapati anak-anak, hanya pengasuh mereka yang kutemui tengah berada di dapur. “Anak-anak mana, Bik?” tanyaku sambil meletakkan paper bag dan tas di atas meja makan. “Anak-anak sedang dibawa Pak Santoso, Bu. Katanya tadi mau jalan-jalan.”“Sudah lama perginya?” tanyaku lagi. Aku mencuci tangan sebelum mengambil gelas dan mengisinya dengan jus jeruk dari kulkas.“Sekitar satu jam yang lalu. Enggak tahu kalau Ibu pulang lebih cepat, mungkin kalau tadi bilang bisa di tunggu.” “Enggak apa-apa, Bik. Nanti saya bisa nyusul mereka. Anak-anak enggak resel, kan?” “Enggak, Bu. Semakin kesini mereka semakin pinter, ngerti kalau dibilangin.” Jawaban Bik Marni cukup membuatku lega. Setiap hari aku selalu memantau perkembangan anak-anak lewat Bik Marni. Menjadi hal wajib menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Bella dan Raya seharian selama t
Aku mengalihkan sebentar pandangan dari layar computer pada arah pintu ketika terdengar suara ketukan. Sedetik kemudian pintu terkuak dan yang terlihat sosok mantan suami berdiri di sana. Dia masuk lalu meletakkan secangkir minuman dengan aroma melati yang khas di mejaku.“Terima kasih.” Setelah itu aku hendak kembali fokus pada pekerjaan. “Meswa, bisa bicara sebentar?”Aku sengaja ingin mengabaikan pertanyaan atau lebih tepatnya permintaan Bima dengan menyibukkan diri menatap computer. Mungkin ada lima menit aku diamkan laki-laki itu masih berdiri di tempatnya. Lagi-lagi aku memalingkan pandangan dari lembaran pekerjaan dan melihat pada wajah Bima. “Sebentar saja,” katanya lagi terdengar memohon.Aku mengangguk, “Duduk lah!” Seulas senyum terlihat di wajahnya ketika kupersilahkan dia duduk.Sekarang dia sudah duduk di kursi depan meja kerjaku. Rasanya kami lama tidak berjumpa, beberapa hari ini aku memang tidak melihatnya ada di kantor. Di sini aku bisa melihat tulang pipinya nampa
“Kalau ayah masih ada pasti beliau sangat kecewa mengetahui anak kesayangannya yang dibangga-banggakan melakukan hal seperti ini.” Bicaranya ibu terjeda-jeda sebab sesekali terisak. “Kamu salah kalau merasa dibedakan dalam hal kasih sayang dan perhatian, Bim. Bahkan perjodohan itu bukan bertujuan untuk membatasi kebebasanmu dalam memilih pasangan. Ayahmu sudah memikirkan semuanya, dia tidak ingin kamu kembali pada alur kehidupan yang terlunta-lunta. Ayah memilihkan Meswa sebagai istri sebab dia perempuan yang baik, lembut dan penurut. Seperti Meswa lah yang bisa mengimbangi dirimu yang penuh ambisi.Bahkan untuk kesejahteraanmu di masa yang akan datang sudah ayah rancang sedemikian rupa. Sayangnya kamu sendiri yang menghancurkannya. Kepemilikan perusahaan sengaja di rahasiakan sebab ayah yang meminta. Ayah ingin kamu juga merasakan perjuangan untuk mencapai posisi tertinggi. Namun, malah kesalah pahaman yang terjadi. Ibu malu pada Meswa, juga segan pada kedua orang tuanya. Dulu kami
“Anak adopsi ….” Tanganku bergetar hebat ketika membaca isi surat di hadapan. Perasaan bersalah yang teramat membuatku tergugu di hadapan Ibu dan Kak Sinta. Air mataku mengalir deras mengetahui kenyataan bahwa aku bukan anak yang lahir dari rahim perempuan yang selama ini kutahu merawat dan menyayangiku sepenuh hatinya. “Ibu … astagfirullah, Bu.” Tubuh ibu terhuyung, perempuan berusia setengah abad lebih itu menekan dadanya dengan kedua tangan. Kak Sinta sigap menopang tubuh perempuan di sampingnya lalu membimbing beliau untuk duduk. Ibu nampak kesulitan bernafas, membuat Kak Sinta panik dan segera mengambil obat asma milik ibu di kamar. Tidak hanya Kak Sinta, kepanikan pun menyergap aku. Kak Sinta kembali dan membantu ibu agar duduk tegak. Kemudian ibu memasukkan inhaller ke mulut dan menyemprotkan obat itu. Butuh beberapa detik untuk obat hirup tersebut sampai di paru-paru dan bekerja dengan baik. Ibu terlihat menarik napas panjang beberapa kali.“Ibu rileks, ya.” Kak Sinta meng
Aku menatap gedung kantor Prameswari Mandiri yang gagah menantang kegelapan. Jam tujuh malam, aku masih betah berada di café yang terletak tepat di seberang kantor—tempat favoritku dan Meswa—dulu. Entah kenapa aku merasa enggan untuk pulang dan menemui Erina yang tentu saja sedang menunggu di rumah. Kenapa aku menikahi Erina kalau akhirnya mencintai Meswa? Ah, Bima memang bod*oh. Sejak lama sudah menyadari bahwa perasaanku pada Erina tidak kuat dan kokoh. Aku hanya terpesona sesaat dan dibutakan oleh nafsu pada Erina. Perempuan yang benar-benar menawan hatiku hanya Meswa. Namun, rayuan dan kata-kata manis Erina berhasil membuatku candu dan meninggalkan cinta sejati. Terdengar suara notifikasi pesan dari ponsel. Aku mendengkus, pasti Erina yang mengirimiku pesan. Tidak hanya sekali, bunyi notifikasi terdengar beberapa kali. Semakin membuatku geram pada perempuan itu. Terpaksa meraih ponsel yang sejak tadi kusimpan di meja. Di layar utama nampak balon chat dari salah satu aplikasi be
“Bima, kamu tidak boleh meninggalkan aku. Kamu tidak boleh kembali dengan perempuan itu!” Setelah belasan bahkan mungkin puluhan kali mengabaikan telepon dariku, akhirnya Bima menjawabnya dan kini perasan takut akan ditinggalkan semakin kuat menerorku. Perasaan di dalam hatiku berkecamuk. Kecewa, sedih, marah dan takut bercampur menjadi satu seperti pusaran tornado yang akan meluluh lantakkan mimpi indahku. Aku hanya ingin dicintai oleh orang yang juga kucintai. Kenapa hal sekecil itu sulit untuk seorang perempuan bernama Erina? Papi, Alex, Bima dan yang lain, kenapa kalian para lelaki tidak bisa mengerti?“Apa istimewanya Meswa. Kenapa Bima begitu memuja dan ingin kembali?” Aku bertanya entah pada siapa, sebab hanya sendirian di kamar ini. Kuusap air mata yang terus mengalir tanpa diminta. Erina bukan perempuan lemah. Erina bisa mendapatkan apa yang dia ingin. Erina tidak ada yang bisa menyaingi. Aku tertawa kini. Seperti orang kehilangan akal sehat. Tertawa sambil bercucuran air
“Kamu payah Bima! Bahkan untuk mempertahankan seorang Meswa pun tidak bisa. Kamu bodoh, Bima! Bodoh!” Aku memaki diri sendiri sembari mengusap kasar rambut hingga berantakan. Rintik gerimis di luar semakin deras, air yang turun dari langit seakan ikut merasakan kegundahan yang tengah melanda hati ini. Masih terngiang penolakan Meswa saat kuajak dia rujuk. Tidak menyangka secepat ini Meswa move on dariku. Secepat ini hatinya tertutup untuk aku. Apa yang kini kurasakan pada Meswa? Aku hanya tahu kalau aku begitu ingin mendapatkannya kembali. Cintakah yang membuatku kini merasa dirinya sangat berharga? Cinta? Kenapa citaku pada Meswa datangnya terlambat? Kenapa setelah aku membuang barang tersebut kini baru kusadari aku begitu membutuhkannya?Kenapa cinta seolah mempermainkan hidupku? Berawal dari cinta masa laluku yang belum usai hingga menjadikan itu penyebab kekacauan hidupku. Gara-gara begitu membela rasa yang kukira cinta pada seorang perempuan bernama Erina, aku jadi mengabaika
Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu aku masuk ke ruangan Meswa. Perempuan itu tengah menekuri berkas-berkas penting di atas meja kerjanya. Dia tetap menunduk tanpa menoleh sedikitpun ketika aku melangkah masuk dan kini berdiri tepat di depan meja kerjanya. “Meswa, aku membuatkan teh melati untuk kamu.” Jam istirahat siang aku sengaja membawakan minuman kesukaan Meswa ke ruangannya. “Terima kasih.” Hanya itu yang di ucapkan, aku berharap dia mengatakan yang lebih banyak. “Apa kamu ingin sesuatu untuk makan siang?” tanyaku lagi.“Tidak ada, terima kasih.”Aku kehabisan kata-kata, nampaknya telah salah memilih waktu. Perempuan itu terlihat masih sibuk mengetik sesuatu pada keyboard komputernya. Harus kuakui dia tidak hanya lues mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi juga seorang yang professional di balik meja kerja. Salah satu hal yang aku kagumi dari sosoknya.Meswa bangkit dari kursinya, melangkah pada lemari besar di sudut ruangan. Di dalam lemari berpintu kaca itu terdapat bany