Share

ALASAN

Penulis: Jenar
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Malamnya Mas Bima sampai di rumah pukul dua belas malam. Umumnya waktu lembur kantor hanya sampai jam sembilan malam, kalau pun molor tidak lantas sampai jauh larut. Aku belum tidur saat Mas Bima pulang, sengaja menunggunya di ruang tengah rumah kami.

Terdengar derit pintu utama terbuka, lalu ditutup lagi dan denting anak kunci di putar. Dia memang punya kunci cadangan, jadi sewaktu-waktu pulang tidak perlu membangunkan aku atau pembantu kami untuk membukakan pintu. Aku menunggu hingga Mas Bima sampai di ruang tengah.

"Baru pulang, Mas?" tanyaku tanpa beranjak dari duduk berselonjor di sofa panjang.

Aku melihat Mas Bima terlonjak hingga langkahnya mundur beberapa jengkal. Aku sengaja mematikan lampu utama di ruangan ini dan hanya menyalakan lampu hias kecil yang cahayanya sangat temaram. Wajar kalau Mas Bima tidak melihatku, ruangan ini cukup gelap.

"Kamu belum tidur, Dek?" tanya Mas Bima kemudian.

"Belum. Kenapa larut sekali pulangnya, Mas?" jawab dan tanyaku seraya beranjak mendekati Mas Bima. Tanganku menekan sakelar di dinding, lampu menyala terang dan aku bisa melihat dengan jelas wajah suamiku.

"Kerjaanku hari ini banyak sekali. Pagi sampai siang metting dengan calon klien, jadi aku baru bisa fokus di kantor pas sore, aku terlalu asik kerja sampe enggak sadar sudah terlewat waktu pulang," terang Mas Bima panjang lebar.

Aku mengangguk-angguk mengerti. Asik kerja atau asik dengan teman kerja, Mas? Pertanyaan yang hanya kubatin.

Alasannya masuk akal, kalau saja mataku tidak menangkap satu keganjilan padanya. Mas Bima menghabiskan waktu sekian belas jam untuk bekerja dan meeting di sana sini, tetapi aku tidak melihat raut lelah pada wajahnya. Justru suamiku terlihat begitu segar dengan rambut yang kelihatan sedikit basah oleh keringat.

"Aku tadi meneleponmu, tapi ponselmu tidak aktif."

"Oya?" Mas Bima memandangku bingung, dia merogoh saku celana dan kemeja mencari keberadaan ponselnya.

"Ah, ternyata ponselku mati. Ya ampun, sepertinya kehabisan daya, aku lupa mengisi dayanya," katanya seraya menepuk kening sendiri.

"Lihatlah, Dek. Benar-benar mati, boleh aku pinjam chargermu, Dek? Chargerku ketinggalan di mobil." Mas Bima menunjukkan ponselnya padaku, benda itu tetap tidak menyala walau sudah beberapa kali ditekan tombol untuk mengaktifkan.

"Kok bisa sampai lupa, Mas? Bukannya kamu sangat sibuk meeting di beberapa tempat, lalu bagaimana menghubungi klien kalau ponselmu mati?"

"Aku--aku menghubungi ... Fina. Fina yang menghubungi mereka. Ya, Fina yang menghubungi klien-ku. Jadi aku janjian ketemunya lewat Fina." Mas Bima beralasan, gugup bicaranya begitu kentara kalau sedang ada yang disembunyikan. Melihat gelagatnya yang demikian aku tahu kalau dia tengah berbohong. Pandai juga caranya berkelit.

"Kamu enggak lagi bohong, kan, Mas?" todongku tidak percaya.

"Bohong gimana maksudmu, Dek? Kamu lihat sendiri ponselku mati. Lagi pula untuk jadwal bertemu dengan klien sebelumnya udah di atur semua oleh Fina, jadi aku tinggal jalan sesuai jadwal yang udah ada. Lagi pula kenapa aku harus bohong sama kamu, Dek?"

"Karena untuk menutupi gundikmu!" Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut ini. Aku tidak bisa lagi menahan diri. Aku ingin segera tahu dan mendengar pengakun Mas Bima langsung.

"Kamu barusan ngomong apa, Dek?"

"Ada hubungan apa kamu dengan Fina, Mas?" tanyaku langsung pada inti permasalahan.

"Fina, kan sekretarisku di kantor, Dek. Apa kamu lupa?"

"Sekretaris yang mengirim video des*han pada atasannya?"

Bisa kulihat ekspresi wajah Mas Bima yang terkejut. Mungkin dia tidak menyangka kalau aku sudah tahu permainan busuknya.

"Bagaimana, Dek? Aku enggak ngerti maksudmu."

"Tadi pagi saat ponselmu tertinggal, Fina menelepon dan aku menerima telepon itu. Dia mengirim satu video por*o ke ponselmu, Mas?" ujarku sambil tidak melepas pandangan dari wajah Mas Bima.

"Astaga. Jadi kamu melihat video itu, Dek."

"Iya, Mas. Yang di video itu kamu dengan Fina, kan? Sudah berapa lama kalian bermain seperti itu, Mas? Kamu tega menghianati pernikahan ini, Mas!"

Aku tidak mau berlama-lama memendam perasaan sakit. Namanya perselingkuhan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Harus secepatnya di basmi.

"Dek, jangan sembarangan mengambil kesimpulan. Video tadi itu, Fina salah kirim."

Aku menyungging senyum miring mendengar ucapan Mas Bima barusan, tentu saja aku tidak percaya. Alasannya untuk membela diri terlalu klise dan sudah bisa kutebak.

"Aku juga bingung pas tadi di kantor Fina tiba-tiba minta maaf dan bilang kalau udah salah kirim video. Mungkin yang dimaksud Fina video yang tadi kamu lihat, Dek," lanjut Mas Bima.

"Lalu sejak kapan dia memanggilmu Sayang, Mas?"

"Sayang?" ulangnya dengan kening berkerut. "Aku bahkan baru tahu dari kamu kalau Fina memanggilku seperti itu."

"Sudahlah, Mas kamu jangan berkelit lagi. Jujur saja ada hubungan apa dengan sekretarismu itu?"

Aku semakin tidak sabar dengan gaya Mas Bima yang bertele-tele dan berlaga pilon. Tinggal jujur saja apa susahnya. Toh, yang namanya kebusukan mau disembunyikan seperti apa pun akhirnya akan tercium juga. Cepat atau lambat, sekarang atau nanti. Bau busuk tidak mungkin berubah wangi.

"Dek, aku harus jujur seperti apa lagi? Aku udah bilang, kan. Aku dan Fina enggak ada hubungan apa-apa. Tadi itu Fina salah kirim video. Dan, mungkin salah juga pas memanggil aku. Dikiranya pacaranya atau siapa. Atau, malah kamu yang salah denger."

"Telingaku masih normal, Mas! Masih bisa mendengar dengan baik, dan tadi itu jelas banget Fina manggil kamu Sayang!" tegasku, menolak Mas Bima yang malah meragukan kemampuan pendengaranku.

"Dek, jangan marah-marah seperti ini," katanya seraya hendak meraih tanganku, tetapi segera kutepis.

"Bagaimana aku tidak boleh marah kalau kamu sudah berbuat serong, Mas?"

"Tidak, Dek. Kami enggak ada hubungan apa-apa selain Fina sebagai sekretarisku. Kamu harus percaya sama aku, Dek. Lagipula aku mana mungkin berbuat seperti itu. Aku sudah punya kamu, istriku. Yang tadi itu hanya kesalahan kecil saja. Jangan terlalu kamu fikirkan," terang Mas Bima dengan nada lebih rendah.

Haruskah aku percaya dengan kata-katanya barusan? Video yang salah kirim mungkin masuk akal, tetapi nama yang diucapkan oleh seseorang dalam video itu. Bagaimana mungkin bisa sama dengan nama Mas Bima? Sangat sulit untuk memercayai bila itu juga sebuah kebetulan. Kemudian panggilan saat aku menerima telepon. Aku benar-benar mendengar dengan jelas. Aku yakin telinga ini tidak keliru. Fina memanggil Mas Bima dengan mesra.

Ya, Tuhan. Sekarang mana yang harus kupercaya? Ingin memercayai Mas Bima, tetapi hati kecilku menolak. Ingin memaksanya untuk jujur aku tidak punya bukti lain yang bisa memperkuat dugaan ini.

"Kamu percaya, kan dengan aku, Dek?"

Aku hanya mengangguk. Baiklah, sepertinya kali ini aku harus sedikit mengalah. Memaksa pun percuma, bila tanpa bukti. Aku melihat Mas Bima menyunggikan senyum. Kali ini mungkin kamu bisa lolos dan bernafas lega, Mas. Nanti, kalau aku sudah punya cukup bukti akan kubuat kamu mengakui semuanya. Tunggu, Mas. Tunggu tanggal mainnya!

"Ya sudah ya, Dek. Aku mau bersih-bersih dulu."

"Tunggu, Mas!" cegahku, membuat Mas Bima urung melangkah masuk ke kamar kami.

"Ada apa lagi, Dek? Aku capek, mau istirahat. Kamu kalau mau ngobrol besok, aja!"

"Sebelum pulang kamu ngapain, Mas? Kenapa kancing bajumu miring begitu?" tanyaku seraya menunjuk kancing kemeja Mas Bima yang terpasang tidak sesuai.

Mas Bima melihat pada pakaiannya yang kutunjuk, kemudian wajahnya berubah pias. Kancing yang harusnya terkait pada lubang kedua, malah terpasang di lubang ke tiga. Sekilas kesalahan itu memang tidak terlihat, tetapi kalau sedikit lebih teliti kesalahan lubang kancing itu akan ketahuan, apalagi Mas Bima sudah menanggalkan jasnya. Selain itu, kemeja suamiku juga sedikit berantakan, lecek di bagian pundak dan dada kanan seperti pakaian yang habis di peras.

Tadi pagi, sewaktu berangkat dari rumah dia memakai baju dengan baik dan rapi. Aku selalu memastikan penampilan Mas Bima sebelum pergi bekerja, pakaian hingga sepatu dan kaus kakinya pun aku yang menyiapkan. Jadi, kalau Mas Bima tidak melepas kemejanya saat berada di kantor kesalahan lubang kancing ini tak akan terjadi. Masalahnya adalah untuk apa suamiku membuka pakaiannya? Ah, fikiranku jadi kembali ke video tadi pagi, suara-suara menjijikan itu kembali terputar di kepalaku. Bayang-bayang Mas Bima mencumbu wanita cantik, sekretarisnya bermain-main di pelupuk mata.

"Ini, tadi aku ... mmm ... anu, tadi aku--"

"Aku anu, aku anu. Kamu habis nganu sama siapa, Mas?"

"Bukan. Bukan gitu," jawabnya kelabakan.

"Terus?" tanyaku dengan menatap wajahnya tajam.

"Ini tadi di kantor aku gerah banget jadi sengaja buka baju. Pas mau pulang buru-buru, enggak sadar kalau salah masang kancingnya. Beneran, Dek tadi gerah banget. Lihat rambutku sampai lepek gini kena keringat."

"Kan ada AC!"

"Rusak. AC di ruanganku rusak, Dek."

Aku menatap wajahnya mencari sebuah kejujuran dan berharap menemukannya. Namun, aku tidak menemukan itu. Mas Bima memang sedang membohongiku. Oke, aku akan ikuti permainannya dan melihat sejauh mana dia mampu menutupi kebusukannya ini. Lagi pula kalau langsung menuduhnya sekarang aku belum memiliki bukti. Aku harus mencari bukti-bukti itu dulu.

"Sudah, ya, Dek. Ini, kan hanya masalah salah lubang kancing kamu jangan menatapku seperti itu."

"Sekarang cuma salah lubang kancing, besok-besok bisa salah lubang yang lain!" kataku sengaja menyindir.

"Maksudmu apa, Dek? Kamu nuduh aku lagi?"

"Aku nuduh apa? Memangnya yang mana kata-kataku menuduh kamu, Mas?" tanyaku balik.

Rupanya hati Mas Bima merasa tersenggol mendengar sindiranku barusan. Dari beberapa buku pengetahuan yang pernah kubaca, biasanya orang yang melakukan kesalahan dan tengah berusaha menyembunyikan kesalahan tersebut justru akan lebih peka perasaannya. Kalimat biasa pun bisa membuatnya merasa sedang dituduh. Seperti suamiku ini, dari awal aku tahu dia berkata tidak jujur walaupun wajahnya dibuat biasa dan setenang mungkin.

Bersambung.

Bab terkait

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   DIA BERPURA-PURA

    "Abisnya kamu ngomong seperti itu. Kesannya kamu kayak enggak percaya sama suamimu sendiri! Lagian malam ini tumben kamu belum tidur, terus banyak tanya-tanya kayak wartawan. Aku seharian kerja, capek. Di rumah masih kamu todong dengan pertanyaan-pertanyaan enggak bermutu seperti ini. Huh, buang-buang waktu tau, enggak!" papar Mas Bima kesal. "Kamu kenapa jadi baper gitu, sih, Mas? Biasanya juga aku tanya-tanya, kamu biasa, aja. Lagian apa salahnya kalau aku nunggu kamu sampe pulang lembur? Waktu lemburmu juga makin enggak wajar. Kamu, kan di kantor ada asisten juga, apa gunanya bayar sekretaris kalau semuanya masih kamu kerjakan sendiri?" "Dek, walaupun ada sekretaris beberapa pekerjaan harus aku yang kerjakan sendiri, enggak bisa diwakili orang lain. Jadi aku dan Fina masing-masing udah ada tugas, kami sama-sama sibuk ngurus kerjaan masing-masing. Aku bayar Fina untuk membantu meringankan tugas. Kamu sendiri, kan pernah kerja di kantor. Taulah, bagaimana kondisi kami!" Aku melipa

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   PESAN DARI IBU

    Terdengar suara hembusan nafas panjang dari lelaki di sebelahku. Kurasa itu bentuk kelegaanya, sebab aku sudah tidak marah-marah lagi. Lega kamu sekarang, Mas. Nanti kalau aku sudah pegang bukti itu akan kubuat kamu sesak nafas, kalau perlu sampai kamu berhenti bernafas!"Hmmm ... tidak apa-apa, Dek. Mas tau kamu khawatir, Mas juga sudah berusaha supaya pulang tepat waktu tapi mau bagaimana pekerjaan memang sedang banyak."Ya, pekerjaan di kantor memang sedang banyak dan sekarang Mas Bima punya kegiatan tambahan, menghangatkan sekretarisnya tentu saja waktu lembur suamiku jadi lebih panjang. Awas kamu Mas, kalau kamu benar berselingkuh dengan Fina siap-siap menerima akibatnya! "Ya sudah, Mas segeralah bersih-bersih supaya bisa cepat istirahat. Aku ke dapur dulu membuatkan teh hangat. Besok minta orang untuk memperbaiki AC di ruanganmu." Kupaksakan mengukir senyum. Kubalas sandiwaranya dengan kepura-puraan juga, imbang bukan? Mas Bima mengangguk lalu masuk ke kamar mandi. Tak lama t

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   IBU SEKAR

    Mobil yang kutumpangi melesat membelah jalan raya yang tidak terlalu padat siang ini. Setelah menjemput anak-anak di sekolah, kami di antar sopir menuju rumah Ibu. Mas Bima tidak bisa mengantar kami, katanya ada meeting dengan klien dari luar kota. Anak-anak begitu antusias saat kuberitahu akan mengunjungi neneknya. Mereka sibuk minta singgah di supermarket ingin membawakan oleh-oleh ini dan itu untuk Ibu. Sudah menjadi kebiasaan memang, setiap kali kami berkunjung ke rumah ibunya Mas Bima atau orang tuaku kami tidak datang dengan tangan kosong. Entah itu buah, kue, atau barang lain ada saja yang kami bawa sebagai buah tangan. Rumah orang tua kami masih di satu kota yang sama, kami membagi waktu untuk mengunjungi mereka. Biasanya kami gilir dua minggu sekali. Sejauh ini hubungan kedua belah kelurga terjalin dengan baik, malah bisa dikatakan sangat baik. Sebab, dulunya ayah mertua adalah sahabat papaku, jadi mereka sudah banyak tahu satu sama lain. Ibu Sekar, mertuaku adalah pensiun

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   IBU SEKAR 2

    Sekian lama menjadi menantu aku sudah terbiasa dengan suasana rumah Ibu, hampir seluruh seluk beluknya setiap ruangan di sini aku tahu. Jadi, rumah ini sudah seperti rumahku sendiri. Ibu membebaskan kami, apapun yang kami ingin lakukan, apa yang ingin kami masak atau makan selagi ada persediaan bahan untuk di olah Ibu tidak mempermasalahkannya. “Udah makan belum, Dek? Kakak masak ikan bakar sama cumi balado. Cicipi, gih!” kata Kak Sinta saat melihat aku mengikutinya ke dapur. Di meja makan sudah terhidang ikan bakar, cumi balado dan udang goreng tepung. Ada sayur sop dan tumis kangkung tanpa cabai kesukaan anak-anakku juga.“Tuben Kakak masak banyak?” tanyaku seraya duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan.“Sebagian ibu yang masak karena kamu mau datang. Kakak sendiri boro-boro mau masak segitu banyak. Hari-hari, aja beli,” seloroh kakak iparku itu. “Dedek ini manja banget. Enggak boleh mamanya bergerak dikit. Maunya disuruh nimang-nimang dia, aja sepajang hari,” lanj

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   IBU SEKAR 3

    "Memangnya Kakak berani bertindak kalau Bang Yudi yang berulah?" kataku sengaja memancing dengan mengumpamakan bila suami iparku yang berbuat neko-neko. "Harus takut apa? Kalau suami kakak yang macem-macem, Kakak siap mencincang terongnya kalau perlu sampai ke akar-akarnya!" jawab Kak Sinta sembari memperagakan gerakan di udara mencincang dengan tangan kosong. "His, seyem. Kakak kelihatannya kelem, tapi ternyata ngeri juga. Mainnya cincang-cincang." "Biar kapok! Pokoknya jadi perempuan jangan nurut-nurut, aja. Cinta boleh, bodoh jangan!" tegas Kak Sinta.Ah, bahagianya punya kakak ipar yang sefrekuensi. Dengan begini, bila nanti Mas Bima terbongkar kedoknya aku sudah punya satu suara yang mendukung. Ya, kami sama-sama membenci perselingkuhan dan mengharamkan penghianatan. "Bilang, aja kalau suamimu berulah, Dek!" tegasnya lagi, aku hanya mengangguk. Belum saatnya aku mengatakan sekarang."Hmmm. Menurut Kakak kalau suami selingkuh itu sebabnya apa?" tanyaku hati-hati. Kak Sinta te

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   KEINGINAN IBU

    Setelah makan, anak-anak bermain dengan Ibu. Kak Sinta menidurkan si kecil Liona. Aku mengambil alih bagian beres-beres peralatan bekas makan. Di rumah ini sebenarnya juga ada pembantu yang menginap, namanya Siti tetapi sekarang sedang pulang kampung. Walaupun di rumah Mama dan Papa selalu ada pembantu, tidak lantas membuatku manja dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi, kalau hanya cuci piring seperti ini sudah biasa untukku. Beres di dapur aku bergabung ke ruang tamu, ikut menemani anak-anak bermain. Kebahagiaan jelas terpancar di wajah tua Ibu saat bergurau dengan Raya adiknya. Walaupun Ibu sudah tidak selincah dulu, tetapi beliau masih bersemangat ketika diajak Bella bermain petak umpet di dalam. rumah. Ah, Ibu semoga Allah memberimu kesehatan dan usia panjang agar bisa mengiringi pertumbuhan cucu-cucumu. "Enggak kerasa ya, Raya dan Bella udah besar. Rasanya baru kemarin ibu menggendong bayinya," kata Ibu seraya mengelus puncak kepala Bella yang berbaring dengan batalan pan

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   SEBUAH NODA

    "Mama lihat itu, Ma. Ada Ayah!" Raya menunjuk-nunjuk ke luar mobil. Pandanganku otomatis mengikuti arah yang di tunjuk. Mobil kami sedang berhenti di pertigaan karena lampu lalu lintas menyala merah. Di sebelah kanan pada deretan bangunan toko diantaranya ada sebuah cafe. Aku melihat Mas Bima di cafe itu bersama seorang wanita yang aku hapal dari postur tubuhnya itu adalah Fina. Kebetulan dinding bagian depan cafe full kaca, jadi dengan leluasa aku bisa melihat Mas Bima.Di dalam cafe tersebut Mas Bima dan Fina duduk berhadapan dibatasi sebuah meja bulat, dari tempatku berada keduanya terlihat tengah mengobrol, sesekali Mas Bima dan Fina tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan, kelihatannya asik. Mereka hanya berdua, dan terlihat sangat intim. Kali ini aku tak bisa menepis kecurigaan pada mereka. Apa ini yang Mas Bima maksud meeting mendadak? Alasan yang digunakan untuk menghabiskan waktu berdua dengan sekretarisnya. Ya, Tuhan maafkan aku bila berdosa telah berburuk sangka pada suam

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   SEBUAH NODA 2

    “Iya, Dek. Enggak lama kalian pulang, Bima datang. Tapi udah pulang sekitar jam sembilan tadi. Apa sekarang belum sampai rumah?” jawab dan tanya Kak Sinta dari sambungan telepon.Aku melirik Mas Bima yang juga melihat padaku. Dia ikut menyimak pembicaraan di telepon yang sengaja ku-lound speker. Mas Bima menarik napas lalu membuangnya kasar setelah mendengar jawaban Kak Sinta. Raut cemasnya pun memudar. “Dek! Kamu masih di sana? Halo. Apa Bima belum sampai rumah?"“Iya, Kak. Mas Bima baru saja sampai. Maaf ya, Kak mengganggu malam-malam. Aku tutup teleponnya sekarang, assalamualaikum.”Setelah Kak Sinta menjawab salam aku memutus sambungan telepon. Sedikit lega, karena ternyata Mas Bima memang dari rumah ibu. Jadi dia berkata jujur.“Puas. Udah puas sekarang? Denger sendiri, kan apa jawaban Kak Sinta? Aku enggak bohong!" Aku diam, masih menatap wajah Mas Bima. Jawaban Kak Sinta memang tidak mungkin dusta. Mungkin setelah dari cafe tadi Mas Bima langsung ke rumah ibu. "Kamu kenapa,

Bab terbaru

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MEMAAFKAN (ENDING)

    Dalam hati aku tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah atas segala nikmat kebahagiaan mala mini. Setelah badai dan ombak besar menguji kehidupan, dengan begitu murah hatinya Dia ganti semua sakit dan kekecewaan dengan pelangi kebahagiaan yang lebih indah. Pukul sembilan malam keluarga Fauzan pamit undur diri. Aku, Mama dan Papa mengantarkan mereka hingga ke depan rumah. Om Anwar dan Papa berpelukan begitu juga dengan Tante Santi yang bergantian memeluk aku dan Mama. Fauzan menyalami kedua orang tuaku lalu mencium punggung tangannya. Setelah menegakkan tubuh lelaki itu memandangku lembut lalu menganggukkan kepala. “Aku pulang dulu,” katanya lembut.“Hati-hati, Zan.”Dia mengangguk, “Terima kasih, Meswa,” katanya lalu dia pemit masuk ke dalam mobil.Aku melambaikan tangan pada mobil Fauzan yang perlahan mulai bergerak dan meninggalkan pekarangan rumah Papa. Papa dan Mama sekarang sudah masuk ke dalam rumah. Aku sudah hendak masuk saat pintu mulai di tutu oleh satpam, tetapi

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   LAMARAN

    Hari ini aku pulang lebih awal, week end saatnya meluangkan waktu untuk bersama anak-anak. Belum genap pukul tiga saat aku masuk ke rumah. Tidak kudapati anak-anak, hanya pengasuh mereka yang kutemui tengah berada di dapur. “Anak-anak mana, Bik?” tanyaku sambil meletakkan paper bag dan tas di atas meja makan. “Anak-anak sedang dibawa Pak Santoso, Bu. Katanya tadi mau jalan-jalan.”“Sudah lama perginya?” tanyaku lagi. Aku mencuci tangan sebelum mengambil gelas dan mengisinya dengan jus jeruk dari kulkas.“Sekitar satu jam yang lalu. Enggak tahu kalau Ibu pulang lebih cepat, mungkin kalau tadi bilang bisa di tunggu.” “Enggak apa-apa, Bik. Nanti saya bisa nyusul mereka. Anak-anak enggak resel, kan?” “Enggak, Bu. Semakin kesini mereka semakin pinter, ngerti kalau dibilangin.” Jawaban Bik Marni cukup membuatku lega. Setiap hari aku selalu memantau perkembangan anak-anak lewat Bik Marni. Menjadi hal wajib menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Bella dan Raya seharian selama t

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   SEGUMPAL KERTAS

    Aku mengalihkan sebentar pandangan dari layar computer pada arah pintu ketika terdengar suara ketukan. Sedetik kemudian pintu terkuak dan yang terlihat sosok mantan suami berdiri di sana. Dia masuk lalu meletakkan secangkir minuman dengan aroma melati yang khas di mejaku.“Terima kasih.” Setelah itu aku hendak kembali fokus pada pekerjaan. “Meswa, bisa bicara sebentar?”Aku sengaja ingin mengabaikan pertanyaan atau lebih tepatnya permintaan Bima dengan menyibukkan diri menatap computer. Mungkin ada lima menit aku diamkan laki-laki itu masih berdiri di tempatnya. Lagi-lagi aku memalingkan pandangan dari lembaran pekerjaan dan melihat pada wajah Bima. “Sebentar saja,” katanya lagi terdengar memohon.Aku mengangguk, “Duduk lah!” Seulas senyum terlihat di wajahnya ketika kupersilahkan dia duduk.Sekarang dia sudah duduk di kursi depan meja kerjaku. Rasanya kami lama tidak berjumpa, beberapa hari ini aku memang tidak melihatnya ada di kantor. Di sini aku bisa melihat tulang pipinya nampa

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MAAF DARI IBU

    “Kalau ayah masih ada pasti beliau sangat kecewa mengetahui anak kesayangannya yang dibangga-banggakan melakukan hal seperti ini.” Bicaranya ibu terjeda-jeda sebab sesekali terisak. “Kamu salah kalau merasa dibedakan dalam hal kasih sayang dan perhatian, Bim. Bahkan perjodohan itu bukan bertujuan untuk membatasi kebebasanmu dalam memilih pasangan. Ayahmu sudah memikirkan semuanya, dia tidak ingin kamu kembali pada alur kehidupan yang terlunta-lunta. Ayah memilihkan Meswa sebagai istri sebab dia perempuan yang baik, lembut dan penurut. Seperti Meswa lah yang bisa mengimbangi dirimu yang penuh ambisi.Bahkan untuk kesejahteraanmu di masa yang akan datang sudah ayah rancang sedemikian rupa. Sayangnya kamu sendiri yang menghancurkannya. Kepemilikan perusahaan sengaja di rahasiakan sebab ayah yang meminta. Ayah ingin kamu juga merasakan perjuangan untuk mencapai posisi tertinggi. Namun, malah kesalah pahaman yang terjadi. Ibu malu pada Meswa, juga segan pada kedua orang tuanya. Dulu kami

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   BAYI ADOKSI (POV BIMA)

    “Anak adopsi ….” Tanganku bergetar hebat ketika membaca isi surat di hadapan. Perasaan bersalah yang teramat membuatku tergugu di hadapan Ibu dan Kak Sinta. Air mataku mengalir deras mengetahui kenyataan bahwa aku bukan anak yang lahir dari rahim perempuan yang selama ini kutahu merawat dan menyayangiku sepenuh hatinya. “Ibu … astagfirullah, Bu.” Tubuh ibu terhuyung, perempuan berusia setengah abad lebih itu menekan dadanya dengan kedua tangan. Kak Sinta sigap menopang tubuh perempuan di sampingnya lalu membimbing beliau untuk duduk. Ibu nampak kesulitan bernafas, membuat Kak Sinta panik dan segera mengambil obat asma milik ibu di kamar. Tidak hanya Kak Sinta, kepanikan pun menyergap aku. Kak Sinta kembali dan membantu ibu agar duduk tegak. Kemudian ibu memasukkan inhaller ke mulut dan menyemprotkan obat itu. Butuh beberapa detik untuk obat hirup tersebut sampai di paru-paru dan bekerja dengan baik. Ibu terlihat menarik napas panjang beberapa kali.“Ibu rileks, ya.” Kak Sinta meng

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MENGAKHIRI KISAH YANG SALAH

    Aku menatap gedung kantor Prameswari Mandiri yang gagah menantang kegelapan. Jam tujuh malam, aku masih betah berada di café yang terletak tepat di seberang kantor—tempat favoritku dan Meswa—dulu. Entah kenapa aku merasa enggan untuk pulang dan menemui Erina yang tentu saja sedang menunggu di rumah. Kenapa aku menikahi Erina kalau akhirnya mencintai Meswa? Ah, Bima memang bod*oh. Sejak lama sudah menyadari bahwa perasaanku pada Erina tidak kuat dan kokoh. Aku hanya terpesona sesaat dan dibutakan oleh nafsu pada Erina. Perempuan yang benar-benar menawan hatiku hanya Meswa. Namun, rayuan dan kata-kata manis Erina berhasil membuatku candu dan meninggalkan cinta sejati. Terdengar suara notifikasi pesan dari ponsel. Aku mendengkus, pasti Erina yang mengirimiku pesan. Tidak hanya sekali, bunyi notifikasi terdengar beberapa kali. Semakin membuatku geram pada perempuan itu. Terpaksa meraih ponsel yang sejak tadi kusimpan di meja. Di layar utama nampak balon chat dari salah satu aplikasi be

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   POV ERINA

    “Bima, kamu tidak boleh meninggalkan aku. Kamu tidak boleh kembali dengan perempuan itu!” Setelah belasan bahkan mungkin puluhan kali mengabaikan telepon dariku, akhirnya Bima menjawabnya dan kini perasan takut akan ditinggalkan semakin kuat menerorku. Perasaan di dalam hatiku berkecamuk. Kecewa, sedih, marah dan takut bercampur menjadi satu seperti pusaran tornado yang akan meluluh lantakkan mimpi indahku. Aku hanya ingin dicintai oleh orang yang juga kucintai. Kenapa hal sekecil itu sulit untuk seorang perempuan bernama Erina? Papi, Alex, Bima dan yang lain, kenapa kalian para lelaki tidak bisa mengerti?“Apa istimewanya Meswa. Kenapa Bima begitu memuja dan ingin kembali?” Aku bertanya entah pada siapa, sebab hanya sendirian di kamar ini. Kuusap air mata yang terus mengalir tanpa diminta. Erina bukan perempuan lemah. Erina bisa mendapatkan apa yang dia ingin. Erina tidak ada yang bisa menyaingi. Aku tertawa kini. Seperti orang kehilangan akal sehat. Tertawa sambil bercucuran air

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   CEMBURU BUTA (POV BIMA)

    “Kamu payah Bima! Bahkan untuk mempertahankan seorang Meswa pun tidak bisa. Kamu bodoh, Bima! Bodoh!” Aku memaki diri sendiri sembari mengusap kasar rambut hingga berantakan. Rintik gerimis di luar semakin deras, air yang turun dari langit seakan ikut merasakan kegundahan yang tengah melanda hati ini. Masih terngiang penolakan Meswa saat kuajak dia rujuk. Tidak menyangka secepat ini Meswa move on dariku. Secepat ini hatinya tertutup untuk aku. Apa yang kini kurasakan pada Meswa? Aku hanya tahu kalau aku begitu ingin mendapatkannya kembali. Cintakah yang membuatku kini merasa dirinya sangat berharga? Cinta? Kenapa citaku pada Meswa datangnya terlambat? Kenapa setelah aku membuang barang tersebut kini baru kusadari aku begitu membutuhkannya?Kenapa cinta seolah mempermainkan hidupku? Berawal dari cinta masa laluku yang belum usai hingga menjadikan itu penyebab kekacauan hidupku. Gara-gara begitu membela rasa yang kukira cinta pada seorang perempuan bernama Erina, aku jadi mengabaika

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   CAPER (POV BIMA)

    Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu aku masuk ke ruangan Meswa. Perempuan itu tengah menekuri berkas-berkas penting di atas meja kerjanya. Dia tetap menunduk tanpa menoleh sedikitpun ketika aku melangkah masuk dan kini berdiri tepat di depan meja kerjanya. “Meswa, aku membuatkan teh melati untuk kamu.” Jam istirahat siang aku sengaja membawakan minuman kesukaan Meswa ke ruangannya. “Terima kasih.” Hanya itu yang di ucapkan, aku berharap dia mengatakan yang lebih banyak. “Apa kamu ingin sesuatu untuk makan siang?” tanyaku lagi.“Tidak ada, terima kasih.”Aku kehabisan kata-kata, nampaknya telah salah memilih waktu. Perempuan itu terlihat masih sibuk mengetik sesuatu pada keyboard komputernya. Harus kuakui dia tidak hanya lues mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi juga seorang yang professional di balik meja kerja. Salah satu hal yang aku kagumi dari sosoknya.Meswa bangkit dari kursinya, melangkah pada lemari besar di sudut ruangan. Di dalam lemari berpintu kaca itu terdapat bany

DMCA.com Protection Status