Mas Bima kembali fokus pada layar monitor dan berkas-berkas di meja, sementara itu aku memutuskan membaca novel online di sebuah platform. Dengan begini aku tidak bosan selama menemani Mas Bima menyelesaikan pekerjaanya. Walaupun sudah dilarang oleh Mas Bima, tetapi diam-diam aku tetap menjadi pembaca setia cerbung-cerbung seru yang diterbitkan oleh author kesayangan. Terkadang saking asiknya membaca, aku sampai ikut hanyut dalam alur cerita. Merasakan diri ini yang menjadi tokoh utama dan mengalami setiap adegan yang di buat oleh si author. Sebagai pembaca kadang perasanku juga ikut sedih bila membaca pada bagian yang menyentuh, kadang terharu, sesekali bahagia dan sering ikut emosi bila membaca bagian tokoh perempuan yang diperlakukan semena-mena oleh suami dan keluarga mertuanya. Untungnya mertuaku tidak seperti yang di cerita cerbung. Drrtt ... Drrtt ....Terdengar suara dering ponsel Mas Bima. Dia mengambil ponsel yang tergeletak di antara tumpukan berkas. Kemudian beranjak ber
Sabtu sore. Sedari pulang sekolah, jam dua siang anak-anak sudah sibuk bertanya kapan kami ke Timezone. Padahal sudah kujawab berulang kali, kami berangkat setelah Mas Bima pulang kerja. Namun, namanya anak-anak mau berapa kali pun di jawab mereka tetap saja mengulang pertanyaan yang sama. Satu jam sebelum waktu pulang kantor Mas Bima, aku mengajak anak-anak ke rumah Ibu, sekalian menjemput Kak Sinta dan anak-anaknya. Aku juga membawakan pakaian ganti Mas Bima, jadi nanti suamiku bersih-bersih di rumah Ibu saja. Di rumah Ibu ternyata Kak Sinta pun sudah siap. Mereka menunggu kami di ruang tamu rumah mertuaku. Si kecil Liona dipakaikan gaun bunga-bunga lengkap dengan bando besar, bayi mungil itu terlihat lucu dan menggemaskan. Satu jam berlalu Mas Bima belum juga muncul. Aku coba menghubungi ponselnya, tetapi sekian kali kucoba tidak ada satu pun yang mendapat jawaban. Sementara itu anak-anak semakin tidak sabar untuk segera berangkat ke Timezone. Pesan yang kukirim ke whatsapp Mas
Aku segera beranjak dari duduk ingin mengikuti kedua orang tadi. "Mas saya tinggal sebentar, ya. Ini uangnya."Lantas aku segera melangkah cepat, mengejar sosok yang kukira Mas Bima. Aku mengikuti kedua orang itu dari jarak yang cukup jauh, antisipasi kalau tiba-tiba mereka berbalik arah. Mereka masuk ke toko tas. Aku tidak ikut masuk ke sana, sebab toko tas tersebut cukup kecil. Kalau aku masuk pasti akan mudah diketahui oleh mereka.Tidak lama kulihat Mas Bima ke luar dari toko tersebut. Ya, kali ini kupastikan pria itu Mas Bima, sebab saat dia keluar posisinya tepat mengarah padaku. Aku melihat wajahnya dengan jelas. Mas Bima seperti menunggu di depan toko tersebut. Sesaat kemudian perempuan yang tadi bersamanya pun ke luar. Darahku bersedir, dadaku nyeri. Melihat orang yang bersama Mas Bima ternyata Fina, sekretaris suamiku di kantor. Jadi Mas Bima membatalkan janji ke Timezone dan malah pergi dengan Fina, keterlaluan! Keduanya terlihat bercakap-cakap, entah apa yang dibicarakan
"Dek, kamu beneran enggak apa-apa? Masih pucat, loh. Apa enggak sebaiknya kita periksa dulu." Kami sudah di mobil dalam perjalanan pulang. "Enggak pa-pa, Kak. Aku cuma pusing dikit, kok. Nanti Kakak pulangnya diantar sama sopir, aja enggak apa-apa, kan?""Kakak, sih enggak apa-apa. Tapi, Kakak takut kamu kenapa-napa. Abisnya tiba-tiba gini, kerumah sakit, ya, Dek." Aku menggeleng. "Dibawa istirahat bentar juga udah baikan aku, Kak.""Ya sudah kalau itu kemauanmu. Tapi, kalo besok belum baikan, langsung minta anterin Bima periksa ke rumah sakit, ya." Aku mengangguk saja, karena nyatanya aku memang tidak sakit. Aku hanya shok.Tidak lama kemudian mobil yang membawa kami masuk ke halaman rumahku. Aku dan anak-anak turun, sementara Kak Sinta dan dua putrinya akan diantar oleh Mang Udin ke rumah Ibu. Kebetulan bila perjalanan dari arah mall rumahku lebih dulu dilewati, baru kemudian rumah Ibu. "Yuk, masuk, Nak," ajakku setelah mobil yang hendak mengantarkan Kak Sinta keluar dari halaman
Papa tersenyum lebar. Orang tuaku memang cocok dengan Mas Bima, sebagai menantu suamiku bisa dibilang tipe yang baik, hormat pada mertua, ramah dan yang membuat Papa semakin sayang adalah Mas Bima cerdas dan pandai berbisnis. Papa sering membanggakan menantu tunggalnya itu, tentunya tidak di depan Mas Bima langsung. "Justru itu aku datang ke sini, Pa. Aku ingin Mas Bima jangan diberi naik jabatan dulu. Dan, untuk rencana pergantian direktur utama jangan dulu dilakukan."Mendengar ucapanku Papa seketika mengerutkan kening, sampai-sampai kedua pangkal alisnya hampir menyatu. "Lalu kapan? Papa sudah menunggu kamu sepuluh tahun, selama itu juga perusahaan dijalankan oleh orang kepercayaan kita. Kalau kamu tidak juga siap, biar menantu Papa saja yang naik jadi direktur. Papa sudah tua, sudah ingin bebas dari urusan pekerjaan."Sebenarnya Papa adalah pemilik perusahaan tempat Mas Bima bekerja dan aku adalah pewaris tunggal perusahan tersebut. Sedari aku tamat sekolah menengah atas Papa su
Aku duduk di ruang tengah rumah Papa, menghadap pada foto yang dicetak berukuran besar dan dipajang pada dinding. Foto pernikahanku dengan Mas Bima, dalam bingkai kayu berukir warna gold. Dalam foto itu aku dan Mas Bima berdiri di pelaminan yang megah. Mas Bima nampak gagah dengan tuxedo putih aku mendampingi di sebelah kirinya berbalut ball gown warna senada. Saat itu kami sama-sama tersenyum lebar ke arah kamera, senyum kebahagiaan itu berhasil diabadikan dalam bidikan apik oleh photografer profesional. Kenangan indah saat hari pernikahan kami. Air mata turun tanpa bisa kucegah. Membayangkan pernikahan kami hancur tentu hal yang berat dan tak pernah terlintas dalam pikiranku. Aku kira Mas Bima pelabuhan terakhir perahu cintaku. Aku kira dialah lelaki yang akan membersamaiku hingga ujung usia. Ternyata aku salah, ada perempuan lain yang singgah dan menyusup diantara keberadaanku. Penghianatan, jika benar Mas Bima melakukannya, maka dia harus siap kehilangan aku dan anak-anak. Aku t
"Pernikahan bukan sekadar tinggal di dalam satu rumah yang sama, bukan hanya status yang tertera di KTP. Ada tanggung jawab yang besar dalam sekalimat ijab kabul yang mengikat kalian menjadi suami dan istri. Semua akan diminta pertanggungjawabannya nanti. Kunci dari kebahagiaan sebuah pernikahan adalah kejujuran, Nak." Mama mengakhiri dengan kedua sudut bibir sedikit tertarik ke atas. Segaris senyum yang lagi-lagi berhasil memberiku suntikan kekuatan.---“Selamat siang, Bu Meswa.”Aku mengangguk tegas dan menjawab sapaan satpam yang membukakan pintu kaca gedung pencakar langit yang kudatangi.“Terima kasih, Pak.” Bagitu masuk ke dalam gedung beberapa karyawan yang melihatku menunduk hormat. Aku terus melangkah ke dalam gedung yang digunakan sebagai kantor, menuju ke lift untuk naik ke lantai lima tempat ruangan Mas Bima berada. Ketika pintu lift terbuka lorong panjang dan sepi segera menyambut penglihatanku. Aku menarik napas panjang dan mengehembusnya pelan. Kuulangi beberapa kal
“Tegang? Aku biasa saja, enggak tegang.” Aku bergeming tidak menjawab, merasa bahwa Mas Bima sedang berbohong.“Kamu, kok tiba-tiba ada di sini, Dek? Ngapain?” Mas Bima merangkul bahuku. Membawaku duduk di sofa yang tersedia di ruangan itu. Sebenarnya aku masih penasaran ingin melihat ke dalam toilet, tetapi Mas Bima seperti tau maksudku dan tak melepas genggamannya.“Aku tadi enggak sengaja mampir. Pas masuk ke ruangan kamu kosong, tapi… ada suara orang dari toilet. Di dalam sana ada siapa, Mas?” “Ada siapa? Hahahaha ….” Bukan menjawab pertanyaanku Mas Bima malah tertawa hingga terbahak-bahak. Dahiku mengernyit, heran. Apakah ada yang lucu dengan pertanyaanku? “Kamu kenapa ketawa, Mas? Aku serius. Siapa yang kamu sembunyikan di dalam sana!” kataku setelah tawa Mas Bima mereda. Aku menatapnya aneh. “Gimana aku enggak ketawa. Kamu lucu, Dek. Kamu kira aku ngapain di toilet? Meeting atau reunian? Jelaslah aku sendirian di toilet. Kamu kalo becanda suka kelewatan, deh."“Benarkah? T
Dalam hati aku tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah atas segala nikmat kebahagiaan mala mini. Setelah badai dan ombak besar menguji kehidupan, dengan begitu murah hatinya Dia ganti semua sakit dan kekecewaan dengan pelangi kebahagiaan yang lebih indah. Pukul sembilan malam keluarga Fauzan pamit undur diri. Aku, Mama dan Papa mengantarkan mereka hingga ke depan rumah. Om Anwar dan Papa berpelukan begitu juga dengan Tante Santi yang bergantian memeluk aku dan Mama. Fauzan menyalami kedua orang tuaku lalu mencium punggung tangannya. Setelah menegakkan tubuh lelaki itu memandangku lembut lalu menganggukkan kepala. “Aku pulang dulu,” katanya lembut.“Hati-hati, Zan.”Dia mengangguk, “Terima kasih, Meswa,” katanya lalu dia pemit masuk ke dalam mobil.Aku melambaikan tangan pada mobil Fauzan yang perlahan mulai bergerak dan meninggalkan pekarangan rumah Papa. Papa dan Mama sekarang sudah masuk ke dalam rumah. Aku sudah hendak masuk saat pintu mulai di tutu oleh satpam, tetapi
Hari ini aku pulang lebih awal, week end saatnya meluangkan waktu untuk bersama anak-anak. Belum genap pukul tiga saat aku masuk ke rumah. Tidak kudapati anak-anak, hanya pengasuh mereka yang kutemui tengah berada di dapur. “Anak-anak mana, Bik?” tanyaku sambil meletakkan paper bag dan tas di atas meja makan. “Anak-anak sedang dibawa Pak Santoso, Bu. Katanya tadi mau jalan-jalan.”“Sudah lama perginya?” tanyaku lagi. Aku mencuci tangan sebelum mengambil gelas dan mengisinya dengan jus jeruk dari kulkas.“Sekitar satu jam yang lalu. Enggak tahu kalau Ibu pulang lebih cepat, mungkin kalau tadi bilang bisa di tunggu.” “Enggak apa-apa, Bik. Nanti saya bisa nyusul mereka. Anak-anak enggak resel, kan?” “Enggak, Bu. Semakin kesini mereka semakin pinter, ngerti kalau dibilangin.” Jawaban Bik Marni cukup membuatku lega. Setiap hari aku selalu memantau perkembangan anak-anak lewat Bik Marni. Menjadi hal wajib menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Bella dan Raya seharian selama t
Aku mengalihkan sebentar pandangan dari layar computer pada arah pintu ketika terdengar suara ketukan. Sedetik kemudian pintu terkuak dan yang terlihat sosok mantan suami berdiri di sana. Dia masuk lalu meletakkan secangkir minuman dengan aroma melati yang khas di mejaku.“Terima kasih.” Setelah itu aku hendak kembali fokus pada pekerjaan. “Meswa, bisa bicara sebentar?”Aku sengaja ingin mengabaikan pertanyaan atau lebih tepatnya permintaan Bima dengan menyibukkan diri menatap computer. Mungkin ada lima menit aku diamkan laki-laki itu masih berdiri di tempatnya. Lagi-lagi aku memalingkan pandangan dari lembaran pekerjaan dan melihat pada wajah Bima. “Sebentar saja,” katanya lagi terdengar memohon.Aku mengangguk, “Duduk lah!” Seulas senyum terlihat di wajahnya ketika kupersilahkan dia duduk.Sekarang dia sudah duduk di kursi depan meja kerjaku. Rasanya kami lama tidak berjumpa, beberapa hari ini aku memang tidak melihatnya ada di kantor. Di sini aku bisa melihat tulang pipinya nampa
“Kalau ayah masih ada pasti beliau sangat kecewa mengetahui anak kesayangannya yang dibangga-banggakan melakukan hal seperti ini.” Bicaranya ibu terjeda-jeda sebab sesekali terisak. “Kamu salah kalau merasa dibedakan dalam hal kasih sayang dan perhatian, Bim. Bahkan perjodohan itu bukan bertujuan untuk membatasi kebebasanmu dalam memilih pasangan. Ayahmu sudah memikirkan semuanya, dia tidak ingin kamu kembali pada alur kehidupan yang terlunta-lunta. Ayah memilihkan Meswa sebagai istri sebab dia perempuan yang baik, lembut dan penurut. Seperti Meswa lah yang bisa mengimbangi dirimu yang penuh ambisi.Bahkan untuk kesejahteraanmu di masa yang akan datang sudah ayah rancang sedemikian rupa. Sayangnya kamu sendiri yang menghancurkannya. Kepemilikan perusahaan sengaja di rahasiakan sebab ayah yang meminta. Ayah ingin kamu juga merasakan perjuangan untuk mencapai posisi tertinggi. Namun, malah kesalah pahaman yang terjadi. Ibu malu pada Meswa, juga segan pada kedua orang tuanya. Dulu kami
“Anak adopsi ….” Tanganku bergetar hebat ketika membaca isi surat di hadapan. Perasaan bersalah yang teramat membuatku tergugu di hadapan Ibu dan Kak Sinta. Air mataku mengalir deras mengetahui kenyataan bahwa aku bukan anak yang lahir dari rahim perempuan yang selama ini kutahu merawat dan menyayangiku sepenuh hatinya. “Ibu … astagfirullah, Bu.” Tubuh ibu terhuyung, perempuan berusia setengah abad lebih itu menekan dadanya dengan kedua tangan. Kak Sinta sigap menopang tubuh perempuan di sampingnya lalu membimbing beliau untuk duduk. Ibu nampak kesulitan bernafas, membuat Kak Sinta panik dan segera mengambil obat asma milik ibu di kamar. Tidak hanya Kak Sinta, kepanikan pun menyergap aku. Kak Sinta kembali dan membantu ibu agar duduk tegak. Kemudian ibu memasukkan inhaller ke mulut dan menyemprotkan obat itu. Butuh beberapa detik untuk obat hirup tersebut sampai di paru-paru dan bekerja dengan baik. Ibu terlihat menarik napas panjang beberapa kali.“Ibu rileks, ya.” Kak Sinta meng
Aku menatap gedung kantor Prameswari Mandiri yang gagah menantang kegelapan. Jam tujuh malam, aku masih betah berada di café yang terletak tepat di seberang kantor—tempat favoritku dan Meswa—dulu. Entah kenapa aku merasa enggan untuk pulang dan menemui Erina yang tentu saja sedang menunggu di rumah. Kenapa aku menikahi Erina kalau akhirnya mencintai Meswa? Ah, Bima memang bod*oh. Sejak lama sudah menyadari bahwa perasaanku pada Erina tidak kuat dan kokoh. Aku hanya terpesona sesaat dan dibutakan oleh nafsu pada Erina. Perempuan yang benar-benar menawan hatiku hanya Meswa. Namun, rayuan dan kata-kata manis Erina berhasil membuatku candu dan meninggalkan cinta sejati. Terdengar suara notifikasi pesan dari ponsel. Aku mendengkus, pasti Erina yang mengirimiku pesan. Tidak hanya sekali, bunyi notifikasi terdengar beberapa kali. Semakin membuatku geram pada perempuan itu. Terpaksa meraih ponsel yang sejak tadi kusimpan di meja. Di layar utama nampak balon chat dari salah satu aplikasi be
“Bima, kamu tidak boleh meninggalkan aku. Kamu tidak boleh kembali dengan perempuan itu!” Setelah belasan bahkan mungkin puluhan kali mengabaikan telepon dariku, akhirnya Bima menjawabnya dan kini perasan takut akan ditinggalkan semakin kuat menerorku. Perasaan di dalam hatiku berkecamuk. Kecewa, sedih, marah dan takut bercampur menjadi satu seperti pusaran tornado yang akan meluluh lantakkan mimpi indahku. Aku hanya ingin dicintai oleh orang yang juga kucintai. Kenapa hal sekecil itu sulit untuk seorang perempuan bernama Erina? Papi, Alex, Bima dan yang lain, kenapa kalian para lelaki tidak bisa mengerti?“Apa istimewanya Meswa. Kenapa Bima begitu memuja dan ingin kembali?” Aku bertanya entah pada siapa, sebab hanya sendirian di kamar ini. Kuusap air mata yang terus mengalir tanpa diminta. Erina bukan perempuan lemah. Erina bisa mendapatkan apa yang dia ingin. Erina tidak ada yang bisa menyaingi. Aku tertawa kini. Seperti orang kehilangan akal sehat. Tertawa sambil bercucuran air
“Kamu payah Bima! Bahkan untuk mempertahankan seorang Meswa pun tidak bisa. Kamu bodoh, Bima! Bodoh!” Aku memaki diri sendiri sembari mengusap kasar rambut hingga berantakan. Rintik gerimis di luar semakin deras, air yang turun dari langit seakan ikut merasakan kegundahan yang tengah melanda hati ini. Masih terngiang penolakan Meswa saat kuajak dia rujuk. Tidak menyangka secepat ini Meswa move on dariku. Secepat ini hatinya tertutup untuk aku. Apa yang kini kurasakan pada Meswa? Aku hanya tahu kalau aku begitu ingin mendapatkannya kembali. Cintakah yang membuatku kini merasa dirinya sangat berharga? Cinta? Kenapa citaku pada Meswa datangnya terlambat? Kenapa setelah aku membuang barang tersebut kini baru kusadari aku begitu membutuhkannya?Kenapa cinta seolah mempermainkan hidupku? Berawal dari cinta masa laluku yang belum usai hingga menjadikan itu penyebab kekacauan hidupku. Gara-gara begitu membela rasa yang kukira cinta pada seorang perempuan bernama Erina, aku jadi mengabaika
Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu aku masuk ke ruangan Meswa. Perempuan itu tengah menekuri berkas-berkas penting di atas meja kerjanya. Dia tetap menunduk tanpa menoleh sedikitpun ketika aku melangkah masuk dan kini berdiri tepat di depan meja kerjanya. “Meswa, aku membuatkan teh melati untuk kamu.” Jam istirahat siang aku sengaja membawakan minuman kesukaan Meswa ke ruangannya. “Terima kasih.” Hanya itu yang di ucapkan, aku berharap dia mengatakan yang lebih banyak. “Apa kamu ingin sesuatu untuk makan siang?” tanyaku lagi.“Tidak ada, terima kasih.”Aku kehabisan kata-kata, nampaknya telah salah memilih waktu. Perempuan itu terlihat masih sibuk mengetik sesuatu pada keyboard komputernya. Harus kuakui dia tidak hanya lues mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi juga seorang yang professional di balik meja kerja. Salah satu hal yang aku kagumi dari sosoknya.Meswa bangkit dari kursinya, melangkah pada lemari besar di sudut ruangan. Di dalam lemari berpintu kaca itu terdapat bany