“Benar, Bu ini ponsel saya. Terima kasih, dan maaf saya tadi lupa sehingga tidak sengaja meninggalkan ponsel ini.”Gadis di depanku bicara sangat ramah dan sopan, rasanya sulit untuk percaya kalau dia sudah bermain gila dengan Mas Bima. Ah, tetapi bukankah sekarang sudah banyak perempuan yang kelihatan baik ternyata adalah seorang pelakor? Mungkin Fina salah satu dari mereka. Aku tidak boleh goyah hanya karena melihat tampilan sekretaris cantik ini. Sebelum kubuktikan dia bukan selingkuhan Mas Bima, maka aku akan tetap menaruh curiga padanya. Zaman sekarang orang yang kelihatannya alim dan paham agama juga norma pun masih ada yang nekat menjadi pelakor, entah apa yang mereka fikirkan hingga tega merusak kebahagiaan orang lain demi kesenangan diri sendiri. Kalau untuk mendapatkan kebahagiaan, rasanya mustahil seorang pelakor akan hidup bahagia dengan orang yang sudah direbut dari keluarga lain. Tidak sedikit pelakor yang justru di hajar istri sah, ada juga istri yang memiskinkan suam
Fina diam. Terpaku menatapku beberapa saat tanpa berkedip, kemudian dia menggeleng kuat-kuat. Aku bisa melihat perubahan raut di wajahnya. “Tidak. Saya tidak pernah memiliki hubungan khusus dengan Pak Bima!”Aku tersenyum simpul, jawaban yang Fina berikan sudah bisa kuperkirakan. Pasti Fina tidak akan mengakui hubungan gelapnya dengan suamiku. Seperti yang kukatakan tidak ada maling yang mengakui perbuatannya. Namun, aku tidak akan percaya begitu saja pada Fina.“Saya sudah tahu semuanya, Fin. Kamu jujur saja karena saya lebih menghargai kejujuran walaupun itu menyakitkan daripada kebohongan untuk menutupi keburukan. Kalau dengan cara halus kamu tidak mengaku, dengan terpaksa saya akan gunakan cara kasar."Fina menggeleng lagi. Aku merogoh ponsel dari dalam tas, membuka galeri dan menunjukkan video yang kudapat dari ponsel Mas Bima pada Fina. Kemarin, sebelum Mas Bima meminta kembali ponselnya aku sudah sempat mengirim video serta tangkap layar pesan dari Fina ke ponselku, yang ada d
Aku mengulas senyum mendengar jawaban Fina. Rupanya sulit juga membuat pelakor mengakui perbuatannya, padahal sudah jelas bukti ada di depan mata. “Lalu panggilan sayang itu kamu tujukan untuk siapa? Saya mendengar dengan jelas bahwa kamu memanggil suami saya dengan panggilan mesra pagi itu lewat sambungan telepon.”“Itu pun bukan saya, Bu. Saya berani bersumpah saya tidak pernah memanggil Pak Bima demikian. Juga mengenai video ini, saya tidak pernah mengirimnya dan saya tidak pernah memiliki video seperti itu.”"Bila Ibu melihat kemarin Pak Bima bersama saya di mall. Itu karena kami sedang menemui klien, setelah pertemuan itu saya ingin membeli tas untuk hadiah seorang teman. Saya sudah meminta Pak Bima untuk pulang terlebih dahulu, tetapi beliau malah menunggu saya."Haruskah aku percaya pada Fina? Dia berani bersumpah demi menghindari sebuah kebenaran dari penghianatan. Benar-benar sandiwara yang totalitas. Pantas saja banyak istri sah yang akhirnya nekat, ternyata pelakor selain
Jam bulat yang tergantung di dinding kamar sudah menunjuk angka satu dini hari. Aku belum terlelap sebentar pun, dari tadi hanya bolak-balik posisi saja. Kepalaku sedang penuh, sekadar untuk mengistirahatkan badan pun rasanya sulit. Di sebelahku Mas Bima sudah lelap. Suara dengkur halusnya seperti bersahutan dengan suara detik jam dinding yang terus bergerak memangkas waktu kegelapan. Aku menatap wajah Mas Bima. Wajah tampannya terlihat tenang dan polos saat tidur seperti ini. Sebenarnya kamu selingkuh dengan siapa, Mas? Siapa perempuan yang kamu sembunyikan di balik nama Fina? Kuncinya ada di ponsel Mas Bima. Aku beranjak dengan hati-hati dari tempat tidur, gerakan kubuat sehalus mungkin agar tidur Mas Bima tidak terganggu. Aku mengambil ponsel kami yang diletakkan bersisian pada nakas. Dengan hati-hati aku membuka pintu dan melangkah ke luar dari kamar. Aku sampai di ruang tengah, tanpa menyalakan lampu aku duduk di salah satu sisi sofa. Semoga Mas Bima tidak terbangun dan mencar
Sepertinya aku harus mengutus seseorang untuk membuntuti Mas Bima. Perasaanku mengatakan dia tidak akan pergi jauh. Aku segera mencari nomor telepon Rudi, salah satu orang kepercayaan Papa. Bersyukur walaupun kemarin aku menolak tawaran Papa, orang tuaku itu tetap memberi kontak telepon orang-orang kepercayaanya. Sangat bermanfaat dan membantu untuk saat seperti ini. Aku menelepon Rudi. Tidak perlu menunggu lama, panggilanku langsung mendapat jawaban pada nada sambung pertama. Kemudian terdengar suara pria mengucap salam dari ujung sambungan telepon. "Halo. Selamat pagi, Bu Meswa."Ini adalah pertama kalinya aku menghubungi Rudi, tetapi dia sudah tahu kalau ini nomor teleponku. Pasti Papa yang memberi tahu padanya. "Selamat pagi, Rud.""Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Rudi dari ujung sambungan telepon. "Baru saja suami saya bilang hendak pergi ke Surabaya, tetapi lewat GPS yang saya lacak arahnya tidak menuju ke Surabaya. Saya mau minta tolong sama kamu.""Apa yang harus saya
"Hei, rupanya kamu yang datang. Masuklah!"Jangan heran dengan sambutan Pak Anton saat melihatku datang. Pria usia lima puluhan ini sudah bekerja sejak kantor Papa masih merintis dari bawah. Jadi kami sudah sangat akrab, bahkan Pak Anton memperlakukan aku seperti anaknya sendiri. Di usianya yang sudah lanjut, Pak Anton masih bekerja di kantor Papa sebab dia hanya sebatang kara. Istri Pak Anton meninggal empat tahun yang lalu, sementara dari pernikahan itu Pak Anton tidak memiliki anak. Pak Anton punya masa lalu yang kurang mengenakkan sehingga dulu dia pergi dari rumah orang tuanya. Pak Anton muda merantau ke ibu kota, menggelandang di jalanan dan mengamen untuk bertahan hidup, saat itulah secara tidak sengaja beliau bertemu dengan Papa saat mobil yang ayahku kendarai macet. Pak Anton membantu Papa memperbaiki mobilnya, melihat potensi diri pada Pak Anton akhirnya Papa menawarkan Pak Anton untuk ikut dan bekerja dengan Papa. Kabar yang kudengar orang tua Pak Anton pun sekarang suda
[Hotel Mulia Senayan. Lantai 6 kamar no 666.]Pesan dari Rudi baru saja kuterima beberapa menit yang lalu. Dia yang kutugaskan mengikuti Mas Bima ternyata bisa diandalkan. Aku melirik jam dinding, sudah pukul sepuluh malam. Walaupun sudah hampir larut tidak membuat tekatku surut untuk mendatangi tempat Mas Bima berada sekarang. Buru-buru kuraih kunci mobil. Akan kudatangi hotel itu dan melihat langsung apa yang Mas Bima lakukan di sana. Mungkin hari ini bisa kubuktikan dengan mata kepala sendiri perselingkuhan mereka.“Bik, titip anak-anak, ya! Saya mau keluar sebentar,” pamitku pada Bik Marni yang baru saja keluar dari kamar anak-anak.“Mau ke mana, Bu malam-malam begini?”“Ada urusan peting. Enggak lama.”“Biar saya panggilkan Mang Udin ….”“Eh, enggak usah. Saya nyetir sendiri saja, Bik. Enggak jauh, kok.”Tanpa menunggu jawaban Bik Marni aku segera berlari menuju mobilku. Aku menjalankan kendaraan dengan kecepatan sedang. Walaupun di buru rasa ingin tahu dan penasaran, tetapi ak
Ketika aku baru saja sampai di rumah, terlihat mobil Mas Bima sudah terparkir di tempat biasanya. Cepat juga geraknya, sekarang sudah berada di rumah. Aku turun dari mobil, terlihat Mas Bima membuka pintu rumah dan kini berdiri di teras menatap tajam padaku. Dengan langkah mantap aku berjalan melewati Mas Bima begitu saja, tidak kupedulikan ke beradaannya. Aku melenggang masuk ke dalam rumah.“Ke mana dulu, kenapa lambat sampai rumah?” Muak sekali aku mendengar pertanyaannya yang terkesan perhatian itu.Kuhiraukan begitu saja. Aku meneruskan langkah ke kamar, rumah sudah sepi pasti semua penghuninya sudah terlelap. Terdengar decakan marah dari Mas Bima, sebelum aku membuka pintu kamar dia tiba-tiba mencengkeram lenganku dengan kuat dan menahan langkahku yang hendak masuk ke kamar.“Aku bertanya! Kenapa enggak jawab, punya kuping, kan!” tanyanya dengan mata melotot dan rahang mengeras.Sorot mata Mas Bima itu terlihat mengerikan seolah ingin menelanku hidup-hidup. Aku yang sedang kaca