[Hotel Mulia Senayan. Lantai 6 kamar no 666.]Pesan dari Rudi baru saja kuterima beberapa menit yang lalu. Dia yang kutugaskan mengikuti Mas Bima ternyata bisa diandalkan. Aku melirik jam dinding, sudah pukul sepuluh malam. Walaupun sudah hampir larut tidak membuat tekatku surut untuk mendatangi tempat Mas Bima berada sekarang. Buru-buru kuraih kunci mobil. Akan kudatangi hotel itu dan melihat langsung apa yang Mas Bima lakukan di sana. Mungkin hari ini bisa kubuktikan dengan mata kepala sendiri perselingkuhan mereka.“Bik, titip anak-anak, ya! Saya mau keluar sebentar,” pamitku pada Bik Marni yang baru saja keluar dari kamar anak-anak.“Mau ke mana, Bu malam-malam begini?”“Ada urusan peting. Enggak lama.”“Biar saya panggilkan Mang Udin ….”“Eh, enggak usah. Saya nyetir sendiri saja, Bik. Enggak jauh, kok.”Tanpa menunggu jawaban Bik Marni aku segera berlari menuju mobilku. Aku menjalankan kendaraan dengan kecepatan sedang. Walaupun di buru rasa ingin tahu dan penasaran, tetapi ak
Ketika aku baru saja sampai di rumah, terlihat mobil Mas Bima sudah terparkir di tempat biasanya. Cepat juga geraknya, sekarang sudah berada di rumah. Aku turun dari mobil, terlihat Mas Bima membuka pintu rumah dan kini berdiri di teras menatap tajam padaku. Dengan langkah mantap aku berjalan melewati Mas Bima begitu saja, tidak kupedulikan ke beradaannya. Aku melenggang masuk ke dalam rumah.“Ke mana dulu, kenapa lambat sampai rumah?” Muak sekali aku mendengar pertanyaannya yang terkesan perhatian itu.Kuhiraukan begitu saja. Aku meneruskan langkah ke kamar, rumah sudah sepi pasti semua penghuninya sudah terlelap. Terdengar decakan marah dari Mas Bima, sebelum aku membuka pintu kamar dia tiba-tiba mencengkeram lenganku dengan kuat dan menahan langkahku yang hendak masuk ke kamar.“Aku bertanya! Kenapa enggak jawab, punya kuping, kan!” tanyanya dengan mata melotot dan rahang mengeras.Sorot mata Mas Bima itu terlihat mengerikan seolah ingin menelanku hidup-hidup. Aku yang sedang kaca
"Kita bercerai dan aku akan bawa anak-anak!" tegasku."Kamu sadarkan kamu itu cuma ibu rumah tangga. Kamu mau cerai dari aku lalu kembali ke rumah orang tuamu? Enggak malu jadi beban mereka? Atau kamu mau jadi gelandangan? Cih, suram masa depan anak-anakku kalau ikut bersamamu!" "Sombong sekali kamu, Mas!""Memang kenyatanya sekarang begitu. Okelah dulu jabatanmu lebih tinggi, tapi sekarang? Aku manager dan sebentar lagi akan duduk di jajaran direksi. Jadi kuharap kamu cukup sadar diri, Meswa."Pandanganku menangkap seulas senyum meremehkan tersungging di bibir Mas Bima. Kukepalkan tangan di samping tubuh sambil melihatnya dengan rasa benci yang tidak kusembunyikan. Mas Bima yang kini tengah berada di posisi atas dalam pekerjaan merasa sudah paling hebat dan berjaya. Seolah melayang di atas angin, sombong sekali. Tidak ingat asal usulnya yang dari bawah. Dia begitu yakin dengan jabatannya saat ini, padahal banyak hal dan kenyataan yang belum diketahui. Seandainya kamu tahu, Mas apak
Aku bangun agak terlambat pagi ini. Semalam aku baru bisa tidur selepas solat subuh. Aku ke luar dari kamar kerja, langsung ke dapur. Di meja makan sudah tertata menu sarapan dan bekal anak-anak. Semua ini yang menyiapkan tentu saja Bik Marni.“Ibu sudah bangun? Mau langsung sarapan, Bu?” tanya Bik Marni yang baru muncul dari arah depan.“Saya dari kamar anak-anak menyiapkan untuk berangkat sekolah. Tadi Ibu belum bangun,” lanjutnya yang membuatku lega.Selama ini untuk urusan anak-anak aku selalu turun tangan langsung. Mulai dari membangunkan tidur di pagi hari, memandikan, membuatkan sarapan sampai mereka di antar oleh Mang Udin ke sekolah aku yang menyiapkan segala keperluan mereka.“Terima kasih, Bik. Saya agak kurang enak badan jadi kesiangan. Sekarang anak-anak mana?”“Morning, Mama,” seru dua putriku yang baru saja muncul di dapur. Bella dan Raya sudah rapi mengenakan seragam sekolah. “Morning, Sayang. Yuk, sarapan dulu!” kataku dengan mengulas senyum.Aku menggiring keduanya
Pagi ini sebelum ke kantor aku terlebih dahulu mendatangi rumah Erina. Semalam aku langsung pergi dari hotel meninggalkan dia seorang diri. Aku mengejar Meswa yang entah bagaimana bisa tiba-tiba mengetahui keberadaanku dan menyusul ke hotel padahal aku sudah katakan pergi ke Surabaya.Mobilku baru saja berhenti di depan bangunan mewah, saat itu juga muncullah wajah cantik Erina yang tersenyum dari balik pintu. Aku turun dari mobil dan langsung disambut dengan Erina yang melingkarkan sepasang lengan dengan kulitnya yang halus dan lembut pada. Aroma jasmine menguar memanjakan indera penciumanku.“Kelihatannya kamu murung, Sayang? Apa yang terjadi tadi malam dengan istrimu? Kamu menyesal karena dia sudah mengetahui hubungan kita? Harusnya kamu senang, karena dengan begitu kalian bisa segera berpisah lalu kita menikah,” bisik Erina manja.“Dia marah dan kami bertengkar sampai pagi ini.”“Bagus! Jadi kapan kalian akan bercerai?” Erina kelihatan sangat bersemangat mendengar aku ribut dengan
“Jadi untuk itu kamu berbohong pergi ke Surabaya, Mas?” Meswa menunjuk layar proyektor yang kini di sana terpampang foto aku sedang berlutut di hadapan Erina saat acara kemarin malam. Ini semua benar-benar tidak pernah kuduga sebelumnya. Dari mana mereka mendapat foto dan video itu? Padahal untuk acara kemarin Erina sudah memesan aula khusus dan acaranya di seting privat. Tidak sembarang orang bisa masuk dan menyaksikan pertunangan kami. Sial! Siapa yang membocorkan? “Acaranya mewah ya, Mas. Kamu kelihatan sangat romantis saat memasang cincin di jari perempuan itu.” Aku melihat Meswa menyunggikan senyum samar.“Sayang kalau momen bahagia seperti itu tidak diabadikan. Aku sengaja minta orang untuk merekamnya agar nanti kalian punya kenang-kenangan,” lanjutnya dengan senyum yang lebih lebar. “Jadi semua ini ulahmu Meswa?”“Lho, kok jadi nuduh aku? Bukankah tadi kamu yang mau presentasi?”“Kamu sengaja ingin mempermalukan aku? Istri macam apa kamu ini? Harusnya kamu membantu dan mendu
“Meswa hentikan semua permainan ini!” hardikku begitu Meswa keluar dari ruangan Pak Fauzan. Pertemuan di lantai dua beberapa saat lalu berakhir dengan kekacauan. Tadi aku dipaksa keluar dari ruang pertemuan, mereka sama sekali tidak memberiku kesempatan membela diri. Sengaja kutunggu Meswa di sini agar bisa leluasa bicara. Sekarang ini nyawaku berada di ujung tanduk. Bagaimana tidak, selain terbongkarnya perselingkuhanku dengan Erina ternyata Pak Fauzan pun sudah tahu tentang uang perusahaan yang kupinjam. Ya, aku pinjam bukan aku gelapkan. Nantinya pasti akan aku kembalikan, mereka saja yang tidak sabar sampai harus mengundang tim audit segala macam. Bukankah itu terlalu berlebihan? Mata bulat Meswa melebar, terkejut mendapati aku berdiri di tengah lorong menghalangi langkahnya.“Minggir, Mas! Aku mau lewat!” kata Meswa sambil berusaha melewatiku.“Hentikan semua permainan ini!” Aku ulang perintah tadi dengan nada mengancam. “Kamu lihat, gara-gara kamu semuanya jadi berantakan. H
Aku baru saja hendak menuang air panas ke dalam cangkir, untuk menyeduh teh saat kudengar suara seseorang memanggil namaku dengan berteriak dari arah depan rumah.“Masih ingat pulang ternyata,” desisiku lirih. “Meswa! Ternyata kamu di sini, kok tumben enggak menyambut Mas pulang?”Hampir saja aku melempar teko air panas yang kupegang ke wajah laki-laki tidak tahu malu itu. Bicaranya di manis-maniskan seperti sedang tidak terjadi apa-apa di antara kami. Mungkin maksudnya agar aku memaafkan dia atau dia malah sudah melupakan kejadian di kantor tadi. Kurasa otak Mas Bima mulai konslet, di fikir setelah semua yang aku terima bisa dengan mudah menghapus semua kesalahannya dalam ingatan. “Dek kamu buat teh untuk, Mas kan? Kamu memang istri yang pengertian,” lanjutnya sambil mendekat padaku yang masih berdiri di depan meja kompor. Aku meletakkan teko yang semua isinya sudah berpindah ke dalam cangkir, lalu berjalan ke meja makan. Kutarik salah satu kursinya lalu duduk di sana.Menghiraukan