Aku baru saja hendak menuang air panas ke dalam cangkir, untuk menyeduh teh saat kudengar suara seseorang memanggil namaku dengan berteriak dari arah depan rumah.“Masih ingat pulang ternyata,” desisiku lirih. “Meswa! Ternyata kamu di sini, kok tumben enggak menyambut Mas pulang?”Hampir saja aku melempar teko air panas yang kupegang ke wajah laki-laki tidak tahu malu itu. Bicaranya di manis-maniskan seperti sedang tidak terjadi apa-apa di antara kami. Mungkin maksudnya agar aku memaafkan dia atau dia malah sudah melupakan kejadian di kantor tadi. Kurasa otak Mas Bima mulai konslet, di fikir setelah semua yang aku terima bisa dengan mudah menghapus semua kesalahannya dalam ingatan. “Dek kamu buat teh untuk, Mas kan? Kamu memang istri yang pengertian,” lanjutnya sambil mendekat padaku yang masih berdiri di depan meja kompor. Aku meletakkan teko yang semua isinya sudah berpindah ke dalam cangkir, lalu berjalan ke meja makan. Kutarik salah satu kursinya lalu duduk di sana.Menghiraukan
Kepalaku rasanya sakit dan panas mendengar mulut Meswa terus saja menjawab dan menolak untuk bersama-sama mengurus perusahaan. Mana terima aku diturunkan jabatan menjadi OB, mau di taruh mana muka ini. Bikin malu saja. Selama ini orang-orang di kantor hormat dan segan padaku, kalau tiba-tiba turun pangkat apa kata mereka?Gara-gara Meswa semua rencanaku jadi berantakan. Kedudukan yang selama ini kuincar tidak berhasil kuraih, malah harus menerima kenyataan menyedihkan seperti ini. Kenapa aku bisa tertipu oleh mereka?Siapa yang menyangka kalau Papa adalah pemilik perusahaan sebesar prameswari mandiri, selama ini orang tua itu kelihatan biasa saja. Sebentar, kalau Papa pemilik perusahaan harusnya ayahku tahu tentang hal ini. Mereka 'kan bersahabat, tetapi kenapa ayah tidak pernah bilang padaku? Waktu menjodohkan kami, ayah hanya mengatakan ingin menikahkan aku dengan anak sahabatnya. Sebab orang tua gadis yang dijodohkan denganku banyak membantu keluarga kami. Hanya itu, tidak ada men
Aku baru saja menutup pintu setelah melepas anak-anak pergi ke sekolah, saat terdengar bunyi bel tanda ada tamu yang datang. Dari dalam rumah Bik Marni muncul tergopoh-gopoh.“Biar saya saja yang buka pintunya. Bibik lanjutkan saja kerjaan di belakang.”“Baik, Bu.” Asisten rumah tanggaku itu pun kembali ke dalam. Terdengar lagi bunyi bel rumah, sepertinya tamu yang datang kali ini tidak sabaran. Aku gegas membuka pintu. Saat kedua daun pintu kubuka kudapati sosok perempuan berdiri membelakangi aku. Postur tubuhnya tampak sangat menarik dengan posisinya berdiri demikian. Dari penampilan dan pakaian yang dikenakam bisa kukatakan dia bukan perempuan sembarangan. Terlebih di depan rumahku terparkir satu kendaraan roda empat yang bisa digologkan kendaraan mewah. “Maaf. Cari siapa, ya?” tanyaku setelah beberapa saat tamu perempuan itu tidak kunjung berbalik ke arahku.Perempuan itu menoleh sedikit, lalu diikuti gerakan badannya berlahan berbalik ke arahku, hingga sekarang kami sudah berd
“Meswa kamu, kok malah bilang begitu?” Mas Bima terperangah mendengar ucapanku barusan.“Terus menurutmu aku harus bilang apa? Kan memang tujuan perempuan sundal itu datang untuk menjemputmu.”“Hei, Meswa mulutmu enggak pernah di ajarin sopan santun, ya!” sergah Erina. Mungkin dia tidak terima kukatai perempuan sundal. “Kok marah? Apa menurutmu perempuan baik dan mengerti sopan santun pantas mengambil suami orang?”“Kamu yang mengambil kekasihku, perempuan gatal!”“Sendirinya yang gatal kok bilang orang lain. Ngaca, dong itu wajah udah mulai gelambir-gelambir masih saja ngembat laki orang.” Melihat Erina emosi aku semakin semangat untuk membuat hatinya panas. Biar kejang-kejang sekalian. “Katanya perempuan berkelas dan kaya raya, masa’ mendapatkan berondong saja tidak bisa. Kamu juga, Mas. Enggak malu sama anakmu? Selingkuh, kok sama nenek-nenek.”“Cukup Meswa jangan kamu teruskan!” bentak Mas Bima yang mungkin juga mulai kepanasan hatinya.“Harusnya kamu enggak seperti ini, Meswa.
Flashback 5 bulan yang lalu ....--“Hei! Kalau jalan lihat-lihat, dong!”“Maaf-maaf ... saya tidak sengaja. Mari saya bantu berdiri.”Tadi aku hendak masuk ke hotel, tetapi ponselku berdering karena itu panggilan dari Pak Fauzan aku pun gegas menerimanya sambil melanjutkan langkah. Karena sedang tidak fokus, tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang kebetulan akan ke luar dari penginapan bintang lima tersebut. Di ambang pintu hotel yang terbuka orang yang kutabrak jatuh terduduk di lantai. Aku segera membantunya berdiri dan memohon maaf atas kesalahanku yang sudah membuatnya celaka. Namun, sesuatu yang mengejutkan kudapati ketika wanita itu sudah kubantu bangkit dan dia mengangkat wajahnya.“Kamu fikir hotel ini punya bapakmu! Seenaknya ngobrol sambil jalan, bikin orang lain celaka! Lain kali mata, tuh dipake!” Dia masih lanjut memaki, seolah-olah yang kulakukan adalah kesengajaan. Setelah itu dia pun langsung akan melangkah pergi.“Erina …. “ Setengah tidak percaya bibirku beruc
Flash back ...Pagi itu aku pulang setelah lima hari di Malang. Sepanjang perjalanan aku masih terbayang wajah Erina, juga ucapannya yang terus saja terngiang-ngiang di telinga. Hati kecilku meronta untuk segara aku menerima saja permintaan Erina, tetapi dari sisi lain ada yang menahan.Sesampainya aku di rumah, Meswa menyambutku di depan pintu dengan senyum manis, dia sudah berdandan cantik dan wangi, lalu mencium tanganku. Namun, ketika dia hendak memelukku aku menepisnya.“Aku ingin mandi dulu, Dek. Rasanya badanku kotor dan bau debu. Anak-anak mana?”“Anak-anak ada di kamar, baru saja selesai di mandikan oleh Bik Marni.”“Ya sudah, aku bersih-bersih dulu, ya.”“Iya, Mas. Nanti kita makan bareng, sudah aku masakkan makanan kesukaan Mas.”“Heem.” Aku meninggalkannya masuk ke kamar mandi. Kuguyur seluruh badan dengan air hangat, tapi pikiranku masih saja terbayang sosok Erina. Teringat pergulatan kami beberapa malam kemarin. Dia benar-benar sudah mengalihkan duniaku. Satu minggu se
“Sebenarnya apa yang terjadi, Dek? Kenapa Ibu bisa pingsan di rumahmu?” tanya Kak Sinta yang sekarang menemaniku di ruang tengah.Tadi setelah mendapati Ibu tidak sadarkan diri aku segera menghubungi dokter dan Kak Sinta untuk datang ke rumah ini. Setelah diperiksa menurut dokter ibu hanya kelelahan saja. Sekarang mertuaku masih istirahat di kamar. Sebenarnya aku pun tidak tahu pasti apa yang menjadi penyebab mertuaku pingsan. “Tadi pagi ibu bilang mau ke sini, tapi Kakak enggak bisa ngantar jadi Kakak pesankan taksi online. Tiba-tiba kamu kasih kabar ibu pingsan, Kakak panik banget tadi.”“Aku juga enggak tahu penyebabnya apa, Kak. Tadi Mang Udin yang pertama kali lihat setelah …. “ Tenggorokanku tiba-tiba saja seperti ada yang mengganjal, sulit untuk melanjutkan bicara. Tadi Mang Udin menemukan ibu setelah Mas Bima dan Erina keluar dari rumah ini. Jangan-jangan ibu melihat mereka lalu shock, mengetahui anak lelakinya menggandeng mesra perempuan lain yang pasti mertuaku kenal. “As
“Bu, kita beneran mau pergi dari rumah ini?” tanya Bik Marni saat kami sudah berada di dalam mobil. Bukan mobil Mas Bima melainkan mobil baru yang Papa kirimkan untuk aku dan anak-anak pergi dari rumah ini. Ibu dan Kak Sinta sudah pulang setelah membahas semua masalah yang sedang keluargaku hadapi. Kak Sinta sudah paham kemana arah yang akan kuambil, tetapi ibu sepertinya masih berat untuk menerima perpisahan ini. Mungkin ada penyesalan dan rasa bersalah mertuaku dari peristiwa masa lalu. Namun, tidak ada yang menjamin Mas Bima tidak selingkuh walaupun dulu ibu memperhatikan anak lanangnya itu dengan baik. Mungkin sudah takdirnya mencintai perempuan yang lebih berumur.“Bibik kenapa? Kalau masih mau kerja di rumah ini saya enggak maksa untuk ikut dengan saya.”“Bukan, bukan begitu maksud saya, Bu.” Aku melihat ke belakang tempat Bik Marni duduk dari spion tengah. “Saya hanya memikirkan anak-anak pasti mereka kaget tiba-tiba pindah rumah tanpa ayahnya.”Hal itu pun cukup membebani fi