Aku mengulas senyum mendengar jawaban Fina. Rupanya sulit juga membuat pelakor mengakui perbuatannya, padahal sudah jelas bukti ada di depan mata. “Lalu panggilan sayang itu kamu tujukan untuk siapa? Saya mendengar dengan jelas bahwa kamu memanggil suami saya dengan panggilan mesra pagi itu lewat sambungan telepon.”“Itu pun bukan saya, Bu. Saya berani bersumpah saya tidak pernah memanggil Pak Bima demikian. Juga mengenai video ini, saya tidak pernah mengirimnya dan saya tidak pernah memiliki video seperti itu.”"Bila Ibu melihat kemarin Pak Bima bersama saya di mall. Itu karena kami sedang menemui klien, setelah pertemuan itu saya ingin membeli tas untuk hadiah seorang teman. Saya sudah meminta Pak Bima untuk pulang terlebih dahulu, tetapi beliau malah menunggu saya."Haruskah aku percaya pada Fina? Dia berani bersumpah demi menghindari sebuah kebenaran dari penghianatan. Benar-benar sandiwara yang totalitas. Pantas saja banyak istri sah yang akhirnya nekat, ternyata pelakor selain
Jam bulat yang tergantung di dinding kamar sudah menunjuk angka satu dini hari. Aku belum terlelap sebentar pun, dari tadi hanya bolak-balik posisi saja. Kepalaku sedang penuh, sekadar untuk mengistirahatkan badan pun rasanya sulit. Di sebelahku Mas Bima sudah lelap. Suara dengkur halusnya seperti bersahutan dengan suara detik jam dinding yang terus bergerak memangkas waktu kegelapan. Aku menatap wajah Mas Bima. Wajah tampannya terlihat tenang dan polos saat tidur seperti ini. Sebenarnya kamu selingkuh dengan siapa, Mas? Siapa perempuan yang kamu sembunyikan di balik nama Fina? Kuncinya ada di ponsel Mas Bima. Aku beranjak dengan hati-hati dari tempat tidur, gerakan kubuat sehalus mungkin agar tidur Mas Bima tidak terganggu. Aku mengambil ponsel kami yang diletakkan bersisian pada nakas. Dengan hati-hati aku membuka pintu dan melangkah ke luar dari kamar. Aku sampai di ruang tengah, tanpa menyalakan lampu aku duduk di salah satu sisi sofa. Semoga Mas Bima tidak terbangun dan mencar
Sepertinya aku harus mengutus seseorang untuk membuntuti Mas Bima. Perasaanku mengatakan dia tidak akan pergi jauh. Aku segera mencari nomor telepon Rudi, salah satu orang kepercayaan Papa. Bersyukur walaupun kemarin aku menolak tawaran Papa, orang tuaku itu tetap memberi kontak telepon orang-orang kepercayaanya. Sangat bermanfaat dan membantu untuk saat seperti ini. Aku menelepon Rudi. Tidak perlu menunggu lama, panggilanku langsung mendapat jawaban pada nada sambung pertama. Kemudian terdengar suara pria mengucap salam dari ujung sambungan telepon. "Halo. Selamat pagi, Bu Meswa."Ini adalah pertama kalinya aku menghubungi Rudi, tetapi dia sudah tahu kalau ini nomor teleponku. Pasti Papa yang memberi tahu padanya. "Selamat pagi, Rud.""Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Rudi dari ujung sambungan telepon. "Baru saja suami saya bilang hendak pergi ke Surabaya, tetapi lewat GPS yang saya lacak arahnya tidak menuju ke Surabaya. Saya mau minta tolong sama kamu.""Apa yang harus saya
"Hei, rupanya kamu yang datang. Masuklah!"Jangan heran dengan sambutan Pak Anton saat melihatku datang. Pria usia lima puluhan ini sudah bekerja sejak kantor Papa masih merintis dari bawah. Jadi kami sudah sangat akrab, bahkan Pak Anton memperlakukan aku seperti anaknya sendiri. Di usianya yang sudah lanjut, Pak Anton masih bekerja di kantor Papa sebab dia hanya sebatang kara. Istri Pak Anton meninggal empat tahun yang lalu, sementara dari pernikahan itu Pak Anton tidak memiliki anak. Pak Anton punya masa lalu yang kurang mengenakkan sehingga dulu dia pergi dari rumah orang tuanya. Pak Anton muda merantau ke ibu kota, menggelandang di jalanan dan mengamen untuk bertahan hidup, saat itulah secara tidak sengaja beliau bertemu dengan Papa saat mobil yang ayahku kendarai macet. Pak Anton membantu Papa memperbaiki mobilnya, melihat potensi diri pada Pak Anton akhirnya Papa menawarkan Pak Anton untuk ikut dan bekerja dengan Papa. Kabar yang kudengar orang tua Pak Anton pun sekarang suda
[Hotel Mulia Senayan. Lantai 6 kamar no 666.]Pesan dari Rudi baru saja kuterima beberapa menit yang lalu. Dia yang kutugaskan mengikuti Mas Bima ternyata bisa diandalkan. Aku melirik jam dinding, sudah pukul sepuluh malam. Walaupun sudah hampir larut tidak membuat tekatku surut untuk mendatangi tempat Mas Bima berada sekarang. Buru-buru kuraih kunci mobil. Akan kudatangi hotel itu dan melihat langsung apa yang Mas Bima lakukan di sana. Mungkin hari ini bisa kubuktikan dengan mata kepala sendiri perselingkuhan mereka.“Bik, titip anak-anak, ya! Saya mau keluar sebentar,” pamitku pada Bik Marni yang baru saja keluar dari kamar anak-anak.“Mau ke mana, Bu malam-malam begini?”“Ada urusan peting. Enggak lama.”“Biar saya panggilkan Mang Udin ….”“Eh, enggak usah. Saya nyetir sendiri saja, Bik. Enggak jauh, kok.”Tanpa menunggu jawaban Bik Marni aku segera berlari menuju mobilku. Aku menjalankan kendaraan dengan kecepatan sedang. Walaupun di buru rasa ingin tahu dan penasaran, tetapi ak
Ketika aku baru saja sampai di rumah, terlihat mobil Mas Bima sudah terparkir di tempat biasanya. Cepat juga geraknya, sekarang sudah berada di rumah. Aku turun dari mobil, terlihat Mas Bima membuka pintu rumah dan kini berdiri di teras menatap tajam padaku. Dengan langkah mantap aku berjalan melewati Mas Bima begitu saja, tidak kupedulikan ke beradaannya. Aku melenggang masuk ke dalam rumah.“Ke mana dulu, kenapa lambat sampai rumah?” Muak sekali aku mendengar pertanyaannya yang terkesan perhatian itu.Kuhiraukan begitu saja. Aku meneruskan langkah ke kamar, rumah sudah sepi pasti semua penghuninya sudah terlelap. Terdengar decakan marah dari Mas Bima, sebelum aku membuka pintu kamar dia tiba-tiba mencengkeram lenganku dengan kuat dan menahan langkahku yang hendak masuk ke kamar.“Aku bertanya! Kenapa enggak jawab, punya kuping, kan!” tanyanya dengan mata melotot dan rahang mengeras.Sorot mata Mas Bima itu terlihat mengerikan seolah ingin menelanku hidup-hidup. Aku yang sedang kaca
"Kita bercerai dan aku akan bawa anak-anak!" tegasku."Kamu sadarkan kamu itu cuma ibu rumah tangga. Kamu mau cerai dari aku lalu kembali ke rumah orang tuamu? Enggak malu jadi beban mereka? Atau kamu mau jadi gelandangan? Cih, suram masa depan anak-anakku kalau ikut bersamamu!" "Sombong sekali kamu, Mas!""Memang kenyatanya sekarang begitu. Okelah dulu jabatanmu lebih tinggi, tapi sekarang? Aku manager dan sebentar lagi akan duduk di jajaran direksi. Jadi kuharap kamu cukup sadar diri, Meswa."Pandanganku menangkap seulas senyum meremehkan tersungging di bibir Mas Bima. Kukepalkan tangan di samping tubuh sambil melihatnya dengan rasa benci yang tidak kusembunyikan. Mas Bima yang kini tengah berada di posisi atas dalam pekerjaan merasa sudah paling hebat dan berjaya. Seolah melayang di atas angin, sombong sekali. Tidak ingat asal usulnya yang dari bawah. Dia begitu yakin dengan jabatannya saat ini, padahal banyak hal dan kenyataan yang belum diketahui. Seandainya kamu tahu, Mas apak
Aku bangun agak terlambat pagi ini. Semalam aku baru bisa tidur selepas solat subuh. Aku ke luar dari kamar kerja, langsung ke dapur. Di meja makan sudah tertata menu sarapan dan bekal anak-anak. Semua ini yang menyiapkan tentu saja Bik Marni.“Ibu sudah bangun? Mau langsung sarapan, Bu?” tanya Bik Marni yang baru muncul dari arah depan.“Saya dari kamar anak-anak menyiapkan untuk berangkat sekolah. Tadi Ibu belum bangun,” lanjutnya yang membuatku lega.Selama ini untuk urusan anak-anak aku selalu turun tangan langsung. Mulai dari membangunkan tidur di pagi hari, memandikan, membuatkan sarapan sampai mereka di antar oleh Mang Udin ke sekolah aku yang menyiapkan segala keperluan mereka.“Terima kasih, Bik. Saya agak kurang enak badan jadi kesiangan. Sekarang anak-anak mana?”“Morning, Mama,” seru dua putriku yang baru saja muncul di dapur. Bella dan Raya sudah rapi mengenakan seragam sekolah. “Morning, Sayang. Yuk, sarapan dulu!” kataku dengan mengulas senyum.Aku menggiring keduanya
Dalam hati aku tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah atas segala nikmat kebahagiaan mala mini. Setelah badai dan ombak besar menguji kehidupan, dengan begitu murah hatinya Dia ganti semua sakit dan kekecewaan dengan pelangi kebahagiaan yang lebih indah. Pukul sembilan malam keluarga Fauzan pamit undur diri. Aku, Mama dan Papa mengantarkan mereka hingga ke depan rumah. Om Anwar dan Papa berpelukan begitu juga dengan Tante Santi yang bergantian memeluk aku dan Mama. Fauzan menyalami kedua orang tuaku lalu mencium punggung tangannya. Setelah menegakkan tubuh lelaki itu memandangku lembut lalu menganggukkan kepala. “Aku pulang dulu,” katanya lembut.“Hati-hati, Zan.”Dia mengangguk, “Terima kasih, Meswa,” katanya lalu dia pemit masuk ke dalam mobil.Aku melambaikan tangan pada mobil Fauzan yang perlahan mulai bergerak dan meninggalkan pekarangan rumah Papa. Papa dan Mama sekarang sudah masuk ke dalam rumah. Aku sudah hendak masuk saat pintu mulai di tutu oleh satpam, tetapi
Hari ini aku pulang lebih awal, week end saatnya meluangkan waktu untuk bersama anak-anak. Belum genap pukul tiga saat aku masuk ke rumah. Tidak kudapati anak-anak, hanya pengasuh mereka yang kutemui tengah berada di dapur. “Anak-anak mana, Bik?” tanyaku sambil meletakkan paper bag dan tas di atas meja makan. “Anak-anak sedang dibawa Pak Santoso, Bu. Katanya tadi mau jalan-jalan.”“Sudah lama perginya?” tanyaku lagi. Aku mencuci tangan sebelum mengambil gelas dan mengisinya dengan jus jeruk dari kulkas.“Sekitar satu jam yang lalu. Enggak tahu kalau Ibu pulang lebih cepat, mungkin kalau tadi bilang bisa di tunggu.” “Enggak apa-apa, Bik. Nanti saya bisa nyusul mereka. Anak-anak enggak resel, kan?” “Enggak, Bu. Semakin kesini mereka semakin pinter, ngerti kalau dibilangin.” Jawaban Bik Marni cukup membuatku lega. Setiap hari aku selalu memantau perkembangan anak-anak lewat Bik Marni. Menjadi hal wajib menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Bella dan Raya seharian selama t
Aku mengalihkan sebentar pandangan dari layar computer pada arah pintu ketika terdengar suara ketukan. Sedetik kemudian pintu terkuak dan yang terlihat sosok mantan suami berdiri di sana. Dia masuk lalu meletakkan secangkir minuman dengan aroma melati yang khas di mejaku.“Terima kasih.” Setelah itu aku hendak kembali fokus pada pekerjaan. “Meswa, bisa bicara sebentar?”Aku sengaja ingin mengabaikan pertanyaan atau lebih tepatnya permintaan Bima dengan menyibukkan diri menatap computer. Mungkin ada lima menit aku diamkan laki-laki itu masih berdiri di tempatnya. Lagi-lagi aku memalingkan pandangan dari lembaran pekerjaan dan melihat pada wajah Bima. “Sebentar saja,” katanya lagi terdengar memohon.Aku mengangguk, “Duduk lah!” Seulas senyum terlihat di wajahnya ketika kupersilahkan dia duduk.Sekarang dia sudah duduk di kursi depan meja kerjaku. Rasanya kami lama tidak berjumpa, beberapa hari ini aku memang tidak melihatnya ada di kantor. Di sini aku bisa melihat tulang pipinya nampa
“Kalau ayah masih ada pasti beliau sangat kecewa mengetahui anak kesayangannya yang dibangga-banggakan melakukan hal seperti ini.” Bicaranya ibu terjeda-jeda sebab sesekali terisak. “Kamu salah kalau merasa dibedakan dalam hal kasih sayang dan perhatian, Bim. Bahkan perjodohan itu bukan bertujuan untuk membatasi kebebasanmu dalam memilih pasangan. Ayahmu sudah memikirkan semuanya, dia tidak ingin kamu kembali pada alur kehidupan yang terlunta-lunta. Ayah memilihkan Meswa sebagai istri sebab dia perempuan yang baik, lembut dan penurut. Seperti Meswa lah yang bisa mengimbangi dirimu yang penuh ambisi.Bahkan untuk kesejahteraanmu di masa yang akan datang sudah ayah rancang sedemikian rupa. Sayangnya kamu sendiri yang menghancurkannya. Kepemilikan perusahaan sengaja di rahasiakan sebab ayah yang meminta. Ayah ingin kamu juga merasakan perjuangan untuk mencapai posisi tertinggi. Namun, malah kesalah pahaman yang terjadi. Ibu malu pada Meswa, juga segan pada kedua orang tuanya. Dulu kami
“Anak adopsi ….” Tanganku bergetar hebat ketika membaca isi surat di hadapan. Perasaan bersalah yang teramat membuatku tergugu di hadapan Ibu dan Kak Sinta. Air mataku mengalir deras mengetahui kenyataan bahwa aku bukan anak yang lahir dari rahim perempuan yang selama ini kutahu merawat dan menyayangiku sepenuh hatinya. “Ibu … astagfirullah, Bu.” Tubuh ibu terhuyung, perempuan berusia setengah abad lebih itu menekan dadanya dengan kedua tangan. Kak Sinta sigap menopang tubuh perempuan di sampingnya lalu membimbing beliau untuk duduk. Ibu nampak kesulitan bernafas, membuat Kak Sinta panik dan segera mengambil obat asma milik ibu di kamar. Tidak hanya Kak Sinta, kepanikan pun menyergap aku. Kak Sinta kembali dan membantu ibu agar duduk tegak. Kemudian ibu memasukkan inhaller ke mulut dan menyemprotkan obat itu. Butuh beberapa detik untuk obat hirup tersebut sampai di paru-paru dan bekerja dengan baik. Ibu terlihat menarik napas panjang beberapa kali.“Ibu rileks, ya.” Kak Sinta meng
Aku menatap gedung kantor Prameswari Mandiri yang gagah menantang kegelapan. Jam tujuh malam, aku masih betah berada di café yang terletak tepat di seberang kantor—tempat favoritku dan Meswa—dulu. Entah kenapa aku merasa enggan untuk pulang dan menemui Erina yang tentu saja sedang menunggu di rumah. Kenapa aku menikahi Erina kalau akhirnya mencintai Meswa? Ah, Bima memang bod*oh. Sejak lama sudah menyadari bahwa perasaanku pada Erina tidak kuat dan kokoh. Aku hanya terpesona sesaat dan dibutakan oleh nafsu pada Erina. Perempuan yang benar-benar menawan hatiku hanya Meswa. Namun, rayuan dan kata-kata manis Erina berhasil membuatku candu dan meninggalkan cinta sejati. Terdengar suara notifikasi pesan dari ponsel. Aku mendengkus, pasti Erina yang mengirimiku pesan. Tidak hanya sekali, bunyi notifikasi terdengar beberapa kali. Semakin membuatku geram pada perempuan itu. Terpaksa meraih ponsel yang sejak tadi kusimpan di meja. Di layar utama nampak balon chat dari salah satu aplikasi be
“Bima, kamu tidak boleh meninggalkan aku. Kamu tidak boleh kembali dengan perempuan itu!” Setelah belasan bahkan mungkin puluhan kali mengabaikan telepon dariku, akhirnya Bima menjawabnya dan kini perasan takut akan ditinggalkan semakin kuat menerorku. Perasaan di dalam hatiku berkecamuk. Kecewa, sedih, marah dan takut bercampur menjadi satu seperti pusaran tornado yang akan meluluh lantakkan mimpi indahku. Aku hanya ingin dicintai oleh orang yang juga kucintai. Kenapa hal sekecil itu sulit untuk seorang perempuan bernama Erina? Papi, Alex, Bima dan yang lain, kenapa kalian para lelaki tidak bisa mengerti?“Apa istimewanya Meswa. Kenapa Bima begitu memuja dan ingin kembali?” Aku bertanya entah pada siapa, sebab hanya sendirian di kamar ini. Kuusap air mata yang terus mengalir tanpa diminta. Erina bukan perempuan lemah. Erina bisa mendapatkan apa yang dia ingin. Erina tidak ada yang bisa menyaingi. Aku tertawa kini. Seperti orang kehilangan akal sehat. Tertawa sambil bercucuran air
“Kamu payah Bima! Bahkan untuk mempertahankan seorang Meswa pun tidak bisa. Kamu bodoh, Bima! Bodoh!” Aku memaki diri sendiri sembari mengusap kasar rambut hingga berantakan. Rintik gerimis di luar semakin deras, air yang turun dari langit seakan ikut merasakan kegundahan yang tengah melanda hati ini. Masih terngiang penolakan Meswa saat kuajak dia rujuk. Tidak menyangka secepat ini Meswa move on dariku. Secepat ini hatinya tertutup untuk aku. Apa yang kini kurasakan pada Meswa? Aku hanya tahu kalau aku begitu ingin mendapatkannya kembali. Cintakah yang membuatku kini merasa dirinya sangat berharga? Cinta? Kenapa citaku pada Meswa datangnya terlambat? Kenapa setelah aku membuang barang tersebut kini baru kusadari aku begitu membutuhkannya?Kenapa cinta seolah mempermainkan hidupku? Berawal dari cinta masa laluku yang belum usai hingga menjadikan itu penyebab kekacauan hidupku. Gara-gara begitu membela rasa yang kukira cinta pada seorang perempuan bernama Erina, aku jadi mengabaika
Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu aku masuk ke ruangan Meswa. Perempuan itu tengah menekuri berkas-berkas penting di atas meja kerjanya. Dia tetap menunduk tanpa menoleh sedikitpun ketika aku melangkah masuk dan kini berdiri tepat di depan meja kerjanya. “Meswa, aku membuatkan teh melati untuk kamu.” Jam istirahat siang aku sengaja membawakan minuman kesukaan Meswa ke ruangannya. “Terima kasih.” Hanya itu yang di ucapkan, aku berharap dia mengatakan yang lebih banyak. “Apa kamu ingin sesuatu untuk makan siang?” tanyaku lagi.“Tidak ada, terima kasih.”Aku kehabisan kata-kata, nampaknya telah salah memilih waktu. Perempuan itu terlihat masih sibuk mengetik sesuatu pada keyboard komputernya. Harus kuakui dia tidak hanya lues mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi juga seorang yang professional di balik meja kerja. Salah satu hal yang aku kagumi dari sosoknya.Meswa bangkit dari kursinya, melangkah pada lemari besar di sudut ruangan. Di dalam lemari berpintu kaca itu terdapat bany