Papa tersenyum lebar. Orang tuaku memang cocok dengan Mas Bima, sebagai menantu suamiku bisa dibilang tipe yang baik, hormat pada mertua, ramah dan yang membuat Papa semakin sayang adalah Mas Bima cerdas dan pandai berbisnis. Papa sering membanggakan menantu tunggalnya itu, tentunya tidak di depan Mas Bima langsung. "Justru itu aku datang ke sini, Pa. Aku ingin Mas Bima jangan diberi naik jabatan dulu. Dan, untuk rencana pergantian direktur utama jangan dulu dilakukan."Mendengar ucapanku Papa seketika mengerutkan kening, sampai-sampai kedua pangkal alisnya hampir menyatu. "Lalu kapan? Papa sudah menunggu kamu sepuluh tahun, selama itu juga perusahaan dijalankan oleh orang kepercayaan kita. Kalau kamu tidak juga siap, biar menantu Papa saja yang naik jadi direktur. Papa sudah tua, sudah ingin bebas dari urusan pekerjaan."Sebenarnya Papa adalah pemilik perusahaan tempat Mas Bima bekerja dan aku adalah pewaris tunggal perusahan tersebut. Sedari aku tamat sekolah menengah atas Papa su
Aku duduk di ruang tengah rumah Papa, menghadap pada foto yang dicetak berukuran besar dan dipajang pada dinding. Foto pernikahanku dengan Mas Bima, dalam bingkai kayu berukir warna gold. Dalam foto itu aku dan Mas Bima berdiri di pelaminan yang megah. Mas Bima nampak gagah dengan tuxedo putih aku mendampingi di sebelah kirinya berbalut ball gown warna senada. Saat itu kami sama-sama tersenyum lebar ke arah kamera, senyum kebahagiaan itu berhasil diabadikan dalam bidikan apik oleh photografer profesional. Kenangan indah saat hari pernikahan kami. Air mata turun tanpa bisa kucegah. Membayangkan pernikahan kami hancur tentu hal yang berat dan tak pernah terlintas dalam pikiranku. Aku kira Mas Bima pelabuhan terakhir perahu cintaku. Aku kira dialah lelaki yang akan membersamaiku hingga ujung usia. Ternyata aku salah, ada perempuan lain yang singgah dan menyusup diantara keberadaanku. Penghianatan, jika benar Mas Bima melakukannya, maka dia harus siap kehilangan aku dan anak-anak. Aku t
"Pernikahan bukan sekadar tinggal di dalam satu rumah yang sama, bukan hanya status yang tertera di KTP. Ada tanggung jawab yang besar dalam sekalimat ijab kabul yang mengikat kalian menjadi suami dan istri. Semua akan diminta pertanggungjawabannya nanti. Kunci dari kebahagiaan sebuah pernikahan adalah kejujuran, Nak." Mama mengakhiri dengan kedua sudut bibir sedikit tertarik ke atas. Segaris senyum yang lagi-lagi berhasil memberiku suntikan kekuatan.---“Selamat siang, Bu Meswa.”Aku mengangguk tegas dan menjawab sapaan satpam yang membukakan pintu kaca gedung pencakar langit yang kudatangi.“Terima kasih, Pak.” Bagitu masuk ke dalam gedung beberapa karyawan yang melihatku menunduk hormat. Aku terus melangkah ke dalam gedung yang digunakan sebagai kantor, menuju ke lift untuk naik ke lantai lima tempat ruangan Mas Bima berada. Ketika pintu lift terbuka lorong panjang dan sepi segera menyambut penglihatanku. Aku menarik napas panjang dan mengehembusnya pelan. Kuulangi beberapa kal
“Tegang? Aku biasa saja, enggak tegang.” Aku bergeming tidak menjawab, merasa bahwa Mas Bima sedang berbohong.“Kamu, kok tiba-tiba ada di sini, Dek? Ngapain?” Mas Bima merangkul bahuku. Membawaku duduk di sofa yang tersedia di ruangan itu. Sebenarnya aku masih penasaran ingin melihat ke dalam toilet, tetapi Mas Bima seperti tau maksudku dan tak melepas genggamannya.“Aku tadi enggak sengaja mampir. Pas masuk ke ruangan kamu kosong, tapi… ada suara orang dari toilet. Di dalam sana ada siapa, Mas?” “Ada siapa? Hahahaha ….” Bukan menjawab pertanyaanku Mas Bima malah tertawa hingga terbahak-bahak. Dahiku mengernyit, heran. Apakah ada yang lucu dengan pertanyaanku? “Kamu kenapa ketawa, Mas? Aku serius. Siapa yang kamu sembunyikan di dalam sana!” kataku setelah tawa Mas Bima mereda. Aku menatapnya aneh. “Gimana aku enggak ketawa. Kamu lucu, Dek. Kamu kira aku ngapain di toilet? Meeting atau reunian? Jelaslah aku sendirian di toilet. Kamu kalo becanda suka kelewatan, deh."“Benarkah? T
“Benar, Bu ini ponsel saya. Terima kasih, dan maaf saya tadi lupa sehingga tidak sengaja meninggalkan ponsel ini.”Gadis di depanku bicara sangat ramah dan sopan, rasanya sulit untuk percaya kalau dia sudah bermain gila dengan Mas Bima. Ah, tetapi bukankah sekarang sudah banyak perempuan yang kelihatan baik ternyata adalah seorang pelakor? Mungkin Fina salah satu dari mereka. Aku tidak boleh goyah hanya karena melihat tampilan sekretaris cantik ini. Sebelum kubuktikan dia bukan selingkuhan Mas Bima, maka aku akan tetap menaruh curiga padanya. Zaman sekarang orang yang kelihatannya alim dan paham agama juga norma pun masih ada yang nekat menjadi pelakor, entah apa yang mereka fikirkan hingga tega merusak kebahagiaan orang lain demi kesenangan diri sendiri. Kalau untuk mendapatkan kebahagiaan, rasanya mustahil seorang pelakor akan hidup bahagia dengan orang yang sudah direbut dari keluarga lain. Tidak sedikit pelakor yang justru di hajar istri sah, ada juga istri yang memiskinkan suam
Fina diam. Terpaku menatapku beberapa saat tanpa berkedip, kemudian dia menggeleng kuat-kuat. Aku bisa melihat perubahan raut di wajahnya. “Tidak. Saya tidak pernah memiliki hubungan khusus dengan Pak Bima!”Aku tersenyum simpul, jawaban yang Fina berikan sudah bisa kuperkirakan. Pasti Fina tidak akan mengakui hubungan gelapnya dengan suamiku. Seperti yang kukatakan tidak ada maling yang mengakui perbuatannya. Namun, aku tidak akan percaya begitu saja pada Fina.“Saya sudah tahu semuanya, Fin. Kamu jujur saja karena saya lebih menghargai kejujuran walaupun itu menyakitkan daripada kebohongan untuk menutupi keburukan. Kalau dengan cara halus kamu tidak mengaku, dengan terpaksa saya akan gunakan cara kasar."Fina menggeleng lagi. Aku merogoh ponsel dari dalam tas, membuka galeri dan menunjukkan video yang kudapat dari ponsel Mas Bima pada Fina. Kemarin, sebelum Mas Bima meminta kembali ponselnya aku sudah sempat mengirim video serta tangkap layar pesan dari Fina ke ponselku, yang ada d
Aku mengulas senyum mendengar jawaban Fina. Rupanya sulit juga membuat pelakor mengakui perbuatannya, padahal sudah jelas bukti ada di depan mata. “Lalu panggilan sayang itu kamu tujukan untuk siapa? Saya mendengar dengan jelas bahwa kamu memanggil suami saya dengan panggilan mesra pagi itu lewat sambungan telepon.”“Itu pun bukan saya, Bu. Saya berani bersumpah saya tidak pernah memanggil Pak Bima demikian. Juga mengenai video ini, saya tidak pernah mengirimnya dan saya tidak pernah memiliki video seperti itu.”"Bila Ibu melihat kemarin Pak Bima bersama saya di mall. Itu karena kami sedang menemui klien, setelah pertemuan itu saya ingin membeli tas untuk hadiah seorang teman. Saya sudah meminta Pak Bima untuk pulang terlebih dahulu, tetapi beliau malah menunggu saya."Haruskah aku percaya pada Fina? Dia berani bersumpah demi menghindari sebuah kebenaran dari penghianatan. Benar-benar sandiwara yang totalitas. Pantas saja banyak istri sah yang akhirnya nekat, ternyata pelakor selain
Jam bulat yang tergantung di dinding kamar sudah menunjuk angka satu dini hari. Aku belum terlelap sebentar pun, dari tadi hanya bolak-balik posisi saja. Kepalaku sedang penuh, sekadar untuk mengistirahatkan badan pun rasanya sulit. Di sebelahku Mas Bima sudah lelap. Suara dengkur halusnya seperti bersahutan dengan suara detik jam dinding yang terus bergerak memangkas waktu kegelapan. Aku menatap wajah Mas Bima. Wajah tampannya terlihat tenang dan polos saat tidur seperti ini. Sebenarnya kamu selingkuh dengan siapa, Mas? Siapa perempuan yang kamu sembunyikan di balik nama Fina? Kuncinya ada di ponsel Mas Bima. Aku beranjak dengan hati-hati dari tempat tidur, gerakan kubuat sehalus mungkin agar tidur Mas Bima tidak terganggu. Aku mengambil ponsel kami yang diletakkan bersisian pada nakas. Dengan hati-hati aku membuka pintu dan melangkah ke luar dari kamar. Aku sampai di ruang tengah, tanpa menyalakan lampu aku duduk di salah satu sisi sofa. Semoga Mas Bima tidak terbangun dan mencar