"Dia pantas diperlakukan kasar! Anak muda, kau belum tahu bagaimana ganasnya buaya betina yang sekarang kau lindungi itu,” balas Alex melirik sinis pada kami. “Tapi, menurutku kalian memang pasangan yang cocok! Sama-sama gob*ok dan gi*a!”“Tuan, jaga bicara Anda!” sergah Bima tidak terima.“Kenapa tidak terima? Aku bicara sesuai kenyataan. Kau ini masih gagah, tampan dan terpelajar bagaimana bisa meninggalkan istri yang masih muda dan cantik hanya untuk seorang perempuan hampir lanjut usia seperti Erina? Apa yang kau cari dari dia anak muda? Kau jangan tertipu dari penampilannya saja. Sesama lelaki dewasa aku beri tahu padamu, kepuasan yang sekarang kau dapat tidak akan bertahan lama."Keadaan semakin terasa menegangkan. Dua laki-laki beda generasi itu saling menatap tajam, seolah dari tatapan itu mereka tengah berperang sengit. Baik Bima maupun Alex sama-sama memiliki sifat keras dan berapi-api saat sedang emosi. “Anak muda sampai sekarang statusmu masih suami orang. Aku tahu kau be
“Tidak!” Pekikan Histeris Erina seketika memenuhi ruang rawat inap yang semula tenang dan sunyi. Diikuti dengan suara pecahan cermin yang memekakan telinga. Sesaat tadi perban di wajahnya baru saja dibuka oleh dokter. Untuk pertama kali aku melihat wajah cantiknya terdapat banyak bekas luka dan jahitan. Hampir-hampir aku tidak mengenali Erina, sebab luka-luka yang dia derita. Erina memaksa ingin melihat wajahnya, dia mengabaikan larangan dariku dan dokter. Perempuan itu bersikeras ingin bercermin dan akibatnya seperti ini. Dia histeris dan syok melihat pantulan wajahnya sendiri di cermin. “Aku enggak mau begini! Ini bukan wajahku! Huhuhuhu….” Dia menangis histeris, menangisi kulit wajahnya yang tidak lagi mulus.“Ibu Erina tenang dulu, nanti luka-luka di wajah Ibu akan sembuh.” Seorang perawat yang entah perhatian atau mungkin kasihan melihat Erina histeris berusaha menenangkan.“Aku mau wajahku seperti dulu lagi! Aku mau kakiku bisa jalan lagi! Aku enggak mau seperti ini … aku eng
"Bagaimana? Kamu cocok dengan tawaran itu?”Aku menutup map merah berisi berkas penawaran kerja sama, kemudian meletakkannya di meja dengan baik. Setelah membaca penawaran tersebut, aku langsung tertarik. Bagaimana tidak? Perusahaan yang mengajak bekerja sama denganku adalah perusahaan pesaing. Ya, Wijaya Perkasa. “Apa aku tidak sedang bermimpi?” Laki-laki dewasa di depanku mengernyitkan kening. “Apa kamu merasa sedang tidur?”“Perusahaan sebesar Wijaya Perkasa sudi menjalin kerja sama dengan perusahaan kami yang baru menetas, ini benar-benar seperti mimpi.”“Kamu sama seperti Santoso, selalu merendah padahal sudah berada di atas.” Dia menyesap capucino yang mulai dingin, lalu melanjutkan. "Tidak diragukan lagi, Santoso berhasil mempersiapkan kamu menjadi penerus langkahnya di perusahaan. Bibit-bibit orang sukses sudah nampak.""Om jangan berlebihan, aku masih harus banyak belajar dari Papa dan teman-teman seperti Om Alex.""Di dalam dirimu mengalir darah orang sukses, Meswa. Kamu b
Hari ini aku akan datang ke pengadilan agama untuk menghadapi proses akhir dari sidang perceraian dengan Mas Bima. Aku datang bersama Papa dan Mama. Kedua orang tuaku memaksa ikut ke persidangan, padahal sudah kukatakan mereka tidak perlu ikut. “Papa dan Mama melepas kamu saat menikah dengan Bima, jadi sekarang biarkan kami ikut menyaksikan persidangan ini. Kami menerimamu kembali setelah bercerai dari Bima.” Begitu jawab papa yang kekeuh tetap ingin mendampingiku di persidangan.Mas Bima datang tak lama setelah aku sampai. Kali ini dia datang seorang diri, tidak ada Erina bersamanya seperti pada persidangan yang lalu. Langkahnya lemah seperti tentara yang kalah perang. Melihat kedua orang tuaku laki-laki yang sebentar lagi menjadi mantan suamiku itu, sama sekali tidak ada basa-basi atau menegur. Kami semua masuk ke dalam ruangan sidang dan duduk pada posisi masing-masing. Aku dan Mas Bima duduk bersebelahan, di depan kami tiga kursi yang menjulang tempat ketiga hakim duduk. Seorang
Begitu tiba di rumah sakit, Bella langsung ditangani di ruang unit gawat darurat. Dokter yang berjaga bertanya awal mula Bella sakit. Aku ceritakan sesuai yang Bik Marni sampaikan di rumah tadi. Setelah Bella diperiksa, anakku itu dipindahkan ke ruang perawatan. Papa meminta agar cucunya dirawat di ruang VVIP. Setelah dokter memasang infus di punggung tangan Bella, dokter tersebut menyampaikan hasil pemeriksaan berikut diagnosis medisnya.“Demam tinggi yang di alami Bella karena terdapat gangguan di saluran pencernaanya. Biasanya, hal ini terjadi karena adanya infeksi bakteri menempel pada makanan. Hasil pemeriksaan diperkuat dengan gejala lain yang sempat dialami Bella, muntah dan diare. Kemungkinan Bella sensitif dengan makanan tertentu atau menhkonsumsi jajan yang kurang sehat.Bella kita observasi tiga jam ke depan, semoga panasnya segera turun. Nanti kalau Bella sudah bangun banyak beri minum agar tidak dehidrasi.” Setelah menjelaskan keadaan Bella, dokter tersebut pamit keluar r
Aku pergi ke persidangan seorang diri, sebab Erina masih masa pemulihan. Hanya pengacara yang mendampingi, sementara Meswa datang ditemani kedua orang tuanya. Hari ini aku sudah resmi bercerai dari Meswa. Hak asuh anak-anak jatuh sepenuhnya pada mantan istriku itu. Tidak masalah sebab Meswa berjanji tidak akan mempersulit bila aku ingin bertemu dengan anak-anak. Lagi pula Erina juga keberatan bila harus merawat anak-anak dari pernikahanku dengan Meswa. Tentang Erina, setelah di rawat sepuluh hari lamanya di rumah sakut kini dia sudah boleh beristirahat di rumah. Luka-luka pada wajah mulai sembuh, hanya saja untuk beberapa bulan ke depan masih harus menggunakan kursi roda sebab cidera kaki akibat kecelakaan butuh waktu lumayan lama untuk pulih. Kami membayar perawat khusus untuk melayani dan membantu Erina. Setelah menghadiri sidang putusan perceraian, aku langsung pulang ke rumah Erina. Rasanya tubuhku sangat lelah dan penat, ingin segera beristirahat. Baru saja hendak masuk ke ruma
Sore ini aku bersiap mengajak Raya dan Bella jalan-jalan dan bermain ke taman. Sesuai janji saat Bella sakit waktu itu, sekarang aku selalu menyisihkan waktu khusus untuk anak-anak. Kebetulan, ini hari minggu. Aku juga mengajak Bik Marni serta ikut dengan kami. Sekitar jam tiga sore kami sampai di taman. Bik Marni menggelar tikar yang sengaja dibawa dari rumah di bawah pohon rindang dekat danau buatan. Kami berempat duduk-duduk sambil bercengkerama. Anak-anak terlihat senang bermain balon air. Bella yang usil menjahili Kakaknya dengan mengarahkan tembakan balon air ke arah Raya. Karena ini weekend, suasana di taman sangat ramai. Anak-anak berlarian mengejar kupu-kupu, ada yang bermain bola, ada yang melihat ikan di kolam air mancur. Para orang tua bersantai sambil mengawasi putra putrinya. Ada juga muda mudi yang bergerombol di beberapa tempat, seperti semut yang membentuk koloni masing-masing.“Di sini adem ya, Bu. Pemandangannya ijo-ijo, indah. Udaranya juga segar padahal udah sor
Setelah kutampar, wajah itu merah padam, rahangnya mengeras. Manik hitam yang pernah kukagumi bertahun-tahun lalu, menatapku tajam. "Meswa, ka--""Apa perdulimu dengan anak-anak?" Cepat kupotong, sebelum dia berbicara lebih banyak."Bahkan kamu tidak ada saat Bella sakit dan terus memanggil ayahnya. Aku hanya ingin sampaikan, kalau nanti anak-anak menolak kehadiranmu itu sebab kesalahanmu sendiri. Sekarang kita udah enggak ada hubungan dan urusan apa-apa selain bila menyangkut anak-anak. Jadi aku minta kamu jangan ikut campur urusanku. Karena aku pun tidak sudi ikut campur urusanmu. Urus saja istri baru yang sangat kamu cintai itu. Bella dan Raya akan bahagia bersamaku. Semoga pernikahanmu bahagia dan segera diberi momongan," ucapku diakhiri senyum simpul.“Kamu semakin angkuh dan sombong, Meswa,” desis Mas Bima sambil memegangi bekas tamparanku. “Sudahlah, aku enggak ada waktu untuk membahas ini berulang kali. Sekarang kita sudah sama-sama dewasa. Perpisahan kita pun enggak ada y
Dalam hati aku tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah atas segala nikmat kebahagiaan mala mini. Setelah badai dan ombak besar menguji kehidupan, dengan begitu murah hatinya Dia ganti semua sakit dan kekecewaan dengan pelangi kebahagiaan yang lebih indah. Pukul sembilan malam keluarga Fauzan pamit undur diri. Aku, Mama dan Papa mengantarkan mereka hingga ke depan rumah. Om Anwar dan Papa berpelukan begitu juga dengan Tante Santi yang bergantian memeluk aku dan Mama. Fauzan menyalami kedua orang tuaku lalu mencium punggung tangannya. Setelah menegakkan tubuh lelaki itu memandangku lembut lalu menganggukkan kepala. “Aku pulang dulu,” katanya lembut.“Hati-hati, Zan.”Dia mengangguk, “Terima kasih, Meswa,” katanya lalu dia pemit masuk ke dalam mobil.Aku melambaikan tangan pada mobil Fauzan yang perlahan mulai bergerak dan meninggalkan pekarangan rumah Papa. Papa dan Mama sekarang sudah masuk ke dalam rumah. Aku sudah hendak masuk saat pintu mulai di tutu oleh satpam, tetapi
Hari ini aku pulang lebih awal, week end saatnya meluangkan waktu untuk bersama anak-anak. Belum genap pukul tiga saat aku masuk ke rumah. Tidak kudapati anak-anak, hanya pengasuh mereka yang kutemui tengah berada di dapur. “Anak-anak mana, Bik?” tanyaku sambil meletakkan paper bag dan tas di atas meja makan. “Anak-anak sedang dibawa Pak Santoso, Bu. Katanya tadi mau jalan-jalan.”“Sudah lama perginya?” tanyaku lagi. Aku mencuci tangan sebelum mengambil gelas dan mengisinya dengan jus jeruk dari kulkas.“Sekitar satu jam yang lalu. Enggak tahu kalau Ibu pulang lebih cepat, mungkin kalau tadi bilang bisa di tunggu.” “Enggak apa-apa, Bik. Nanti saya bisa nyusul mereka. Anak-anak enggak resel, kan?” “Enggak, Bu. Semakin kesini mereka semakin pinter, ngerti kalau dibilangin.” Jawaban Bik Marni cukup membuatku lega. Setiap hari aku selalu memantau perkembangan anak-anak lewat Bik Marni. Menjadi hal wajib menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Bella dan Raya seharian selama t
Aku mengalihkan sebentar pandangan dari layar computer pada arah pintu ketika terdengar suara ketukan. Sedetik kemudian pintu terkuak dan yang terlihat sosok mantan suami berdiri di sana. Dia masuk lalu meletakkan secangkir minuman dengan aroma melati yang khas di mejaku.“Terima kasih.” Setelah itu aku hendak kembali fokus pada pekerjaan. “Meswa, bisa bicara sebentar?”Aku sengaja ingin mengabaikan pertanyaan atau lebih tepatnya permintaan Bima dengan menyibukkan diri menatap computer. Mungkin ada lima menit aku diamkan laki-laki itu masih berdiri di tempatnya. Lagi-lagi aku memalingkan pandangan dari lembaran pekerjaan dan melihat pada wajah Bima. “Sebentar saja,” katanya lagi terdengar memohon.Aku mengangguk, “Duduk lah!” Seulas senyum terlihat di wajahnya ketika kupersilahkan dia duduk.Sekarang dia sudah duduk di kursi depan meja kerjaku. Rasanya kami lama tidak berjumpa, beberapa hari ini aku memang tidak melihatnya ada di kantor. Di sini aku bisa melihat tulang pipinya nampa
“Kalau ayah masih ada pasti beliau sangat kecewa mengetahui anak kesayangannya yang dibangga-banggakan melakukan hal seperti ini.” Bicaranya ibu terjeda-jeda sebab sesekali terisak. “Kamu salah kalau merasa dibedakan dalam hal kasih sayang dan perhatian, Bim. Bahkan perjodohan itu bukan bertujuan untuk membatasi kebebasanmu dalam memilih pasangan. Ayahmu sudah memikirkan semuanya, dia tidak ingin kamu kembali pada alur kehidupan yang terlunta-lunta. Ayah memilihkan Meswa sebagai istri sebab dia perempuan yang baik, lembut dan penurut. Seperti Meswa lah yang bisa mengimbangi dirimu yang penuh ambisi.Bahkan untuk kesejahteraanmu di masa yang akan datang sudah ayah rancang sedemikian rupa. Sayangnya kamu sendiri yang menghancurkannya. Kepemilikan perusahaan sengaja di rahasiakan sebab ayah yang meminta. Ayah ingin kamu juga merasakan perjuangan untuk mencapai posisi tertinggi. Namun, malah kesalah pahaman yang terjadi. Ibu malu pada Meswa, juga segan pada kedua orang tuanya. Dulu kami
“Anak adopsi ….” Tanganku bergetar hebat ketika membaca isi surat di hadapan. Perasaan bersalah yang teramat membuatku tergugu di hadapan Ibu dan Kak Sinta. Air mataku mengalir deras mengetahui kenyataan bahwa aku bukan anak yang lahir dari rahim perempuan yang selama ini kutahu merawat dan menyayangiku sepenuh hatinya. “Ibu … astagfirullah, Bu.” Tubuh ibu terhuyung, perempuan berusia setengah abad lebih itu menekan dadanya dengan kedua tangan. Kak Sinta sigap menopang tubuh perempuan di sampingnya lalu membimbing beliau untuk duduk. Ibu nampak kesulitan bernafas, membuat Kak Sinta panik dan segera mengambil obat asma milik ibu di kamar. Tidak hanya Kak Sinta, kepanikan pun menyergap aku. Kak Sinta kembali dan membantu ibu agar duduk tegak. Kemudian ibu memasukkan inhaller ke mulut dan menyemprotkan obat itu. Butuh beberapa detik untuk obat hirup tersebut sampai di paru-paru dan bekerja dengan baik. Ibu terlihat menarik napas panjang beberapa kali.“Ibu rileks, ya.” Kak Sinta meng
Aku menatap gedung kantor Prameswari Mandiri yang gagah menantang kegelapan. Jam tujuh malam, aku masih betah berada di café yang terletak tepat di seberang kantor—tempat favoritku dan Meswa—dulu. Entah kenapa aku merasa enggan untuk pulang dan menemui Erina yang tentu saja sedang menunggu di rumah. Kenapa aku menikahi Erina kalau akhirnya mencintai Meswa? Ah, Bima memang bod*oh. Sejak lama sudah menyadari bahwa perasaanku pada Erina tidak kuat dan kokoh. Aku hanya terpesona sesaat dan dibutakan oleh nafsu pada Erina. Perempuan yang benar-benar menawan hatiku hanya Meswa. Namun, rayuan dan kata-kata manis Erina berhasil membuatku candu dan meninggalkan cinta sejati. Terdengar suara notifikasi pesan dari ponsel. Aku mendengkus, pasti Erina yang mengirimiku pesan. Tidak hanya sekali, bunyi notifikasi terdengar beberapa kali. Semakin membuatku geram pada perempuan itu. Terpaksa meraih ponsel yang sejak tadi kusimpan di meja. Di layar utama nampak balon chat dari salah satu aplikasi be
“Bima, kamu tidak boleh meninggalkan aku. Kamu tidak boleh kembali dengan perempuan itu!” Setelah belasan bahkan mungkin puluhan kali mengabaikan telepon dariku, akhirnya Bima menjawabnya dan kini perasan takut akan ditinggalkan semakin kuat menerorku. Perasaan di dalam hatiku berkecamuk. Kecewa, sedih, marah dan takut bercampur menjadi satu seperti pusaran tornado yang akan meluluh lantakkan mimpi indahku. Aku hanya ingin dicintai oleh orang yang juga kucintai. Kenapa hal sekecil itu sulit untuk seorang perempuan bernama Erina? Papi, Alex, Bima dan yang lain, kenapa kalian para lelaki tidak bisa mengerti?“Apa istimewanya Meswa. Kenapa Bima begitu memuja dan ingin kembali?” Aku bertanya entah pada siapa, sebab hanya sendirian di kamar ini. Kuusap air mata yang terus mengalir tanpa diminta. Erina bukan perempuan lemah. Erina bisa mendapatkan apa yang dia ingin. Erina tidak ada yang bisa menyaingi. Aku tertawa kini. Seperti orang kehilangan akal sehat. Tertawa sambil bercucuran air
“Kamu payah Bima! Bahkan untuk mempertahankan seorang Meswa pun tidak bisa. Kamu bodoh, Bima! Bodoh!” Aku memaki diri sendiri sembari mengusap kasar rambut hingga berantakan. Rintik gerimis di luar semakin deras, air yang turun dari langit seakan ikut merasakan kegundahan yang tengah melanda hati ini. Masih terngiang penolakan Meswa saat kuajak dia rujuk. Tidak menyangka secepat ini Meswa move on dariku. Secepat ini hatinya tertutup untuk aku. Apa yang kini kurasakan pada Meswa? Aku hanya tahu kalau aku begitu ingin mendapatkannya kembali. Cintakah yang membuatku kini merasa dirinya sangat berharga? Cinta? Kenapa citaku pada Meswa datangnya terlambat? Kenapa setelah aku membuang barang tersebut kini baru kusadari aku begitu membutuhkannya?Kenapa cinta seolah mempermainkan hidupku? Berawal dari cinta masa laluku yang belum usai hingga menjadikan itu penyebab kekacauan hidupku. Gara-gara begitu membela rasa yang kukira cinta pada seorang perempuan bernama Erina, aku jadi mengabaika
Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu aku masuk ke ruangan Meswa. Perempuan itu tengah menekuri berkas-berkas penting di atas meja kerjanya. Dia tetap menunduk tanpa menoleh sedikitpun ketika aku melangkah masuk dan kini berdiri tepat di depan meja kerjanya. “Meswa, aku membuatkan teh melati untuk kamu.” Jam istirahat siang aku sengaja membawakan minuman kesukaan Meswa ke ruangannya. “Terima kasih.” Hanya itu yang di ucapkan, aku berharap dia mengatakan yang lebih banyak. “Apa kamu ingin sesuatu untuk makan siang?” tanyaku lagi.“Tidak ada, terima kasih.”Aku kehabisan kata-kata, nampaknya telah salah memilih waktu. Perempuan itu terlihat masih sibuk mengetik sesuatu pada keyboard komputernya. Harus kuakui dia tidak hanya lues mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi juga seorang yang professional di balik meja kerja. Salah satu hal yang aku kagumi dari sosoknya.Meswa bangkit dari kursinya, melangkah pada lemari besar di sudut ruangan. Di dalam lemari berpintu kaca itu terdapat bany