“Tidak!” Pekikan Histeris Erina seketika memenuhi ruang rawat inap yang semula tenang dan sunyi. Diikuti dengan suara pecahan cermin yang memekakan telinga. Sesaat tadi perban di wajahnya baru saja dibuka oleh dokter. Untuk pertama kali aku melihat wajah cantiknya terdapat banyak bekas luka dan jahitan. Hampir-hampir aku tidak mengenali Erina, sebab luka-luka yang dia derita. Erina memaksa ingin melihat wajahnya, dia mengabaikan larangan dariku dan dokter. Perempuan itu bersikeras ingin bercermin dan akibatnya seperti ini. Dia histeris dan syok melihat pantulan wajahnya sendiri di cermin. “Aku enggak mau begini! Ini bukan wajahku! Huhuhuhu….” Dia menangis histeris, menangisi kulit wajahnya yang tidak lagi mulus.“Ibu Erina tenang dulu, nanti luka-luka di wajah Ibu akan sembuh.” Seorang perawat yang entah perhatian atau mungkin kasihan melihat Erina histeris berusaha menenangkan.“Aku mau wajahku seperti dulu lagi! Aku mau kakiku bisa jalan lagi! Aku enggak mau seperti ini … aku eng
"Bagaimana? Kamu cocok dengan tawaran itu?”Aku menutup map merah berisi berkas penawaran kerja sama, kemudian meletakkannya di meja dengan baik. Setelah membaca penawaran tersebut, aku langsung tertarik. Bagaimana tidak? Perusahaan yang mengajak bekerja sama denganku adalah perusahaan pesaing. Ya, Wijaya Perkasa. “Apa aku tidak sedang bermimpi?” Laki-laki dewasa di depanku mengernyitkan kening. “Apa kamu merasa sedang tidur?”“Perusahaan sebesar Wijaya Perkasa sudi menjalin kerja sama dengan perusahaan kami yang baru menetas, ini benar-benar seperti mimpi.”“Kamu sama seperti Santoso, selalu merendah padahal sudah berada di atas.” Dia menyesap capucino yang mulai dingin, lalu melanjutkan. "Tidak diragukan lagi, Santoso berhasil mempersiapkan kamu menjadi penerus langkahnya di perusahaan. Bibit-bibit orang sukses sudah nampak.""Om jangan berlebihan, aku masih harus banyak belajar dari Papa dan teman-teman seperti Om Alex.""Di dalam dirimu mengalir darah orang sukses, Meswa. Kamu b
Hari ini aku akan datang ke pengadilan agama untuk menghadapi proses akhir dari sidang perceraian dengan Mas Bima. Aku datang bersama Papa dan Mama. Kedua orang tuaku memaksa ikut ke persidangan, padahal sudah kukatakan mereka tidak perlu ikut. “Papa dan Mama melepas kamu saat menikah dengan Bima, jadi sekarang biarkan kami ikut menyaksikan persidangan ini. Kami menerimamu kembali setelah bercerai dari Bima.” Begitu jawab papa yang kekeuh tetap ingin mendampingiku di persidangan.Mas Bima datang tak lama setelah aku sampai. Kali ini dia datang seorang diri, tidak ada Erina bersamanya seperti pada persidangan yang lalu. Langkahnya lemah seperti tentara yang kalah perang. Melihat kedua orang tuaku laki-laki yang sebentar lagi menjadi mantan suamiku itu, sama sekali tidak ada basa-basi atau menegur. Kami semua masuk ke dalam ruangan sidang dan duduk pada posisi masing-masing. Aku dan Mas Bima duduk bersebelahan, di depan kami tiga kursi yang menjulang tempat ketiga hakim duduk. Seorang
Begitu tiba di rumah sakit, Bella langsung ditangani di ruang unit gawat darurat. Dokter yang berjaga bertanya awal mula Bella sakit. Aku ceritakan sesuai yang Bik Marni sampaikan di rumah tadi. Setelah Bella diperiksa, anakku itu dipindahkan ke ruang perawatan. Papa meminta agar cucunya dirawat di ruang VVIP. Setelah dokter memasang infus di punggung tangan Bella, dokter tersebut menyampaikan hasil pemeriksaan berikut diagnosis medisnya.“Demam tinggi yang di alami Bella karena terdapat gangguan di saluran pencernaanya. Biasanya, hal ini terjadi karena adanya infeksi bakteri menempel pada makanan. Hasil pemeriksaan diperkuat dengan gejala lain yang sempat dialami Bella, muntah dan diare. Kemungkinan Bella sensitif dengan makanan tertentu atau menhkonsumsi jajan yang kurang sehat.Bella kita observasi tiga jam ke depan, semoga panasnya segera turun. Nanti kalau Bella sudah bangun banyak beri minum agar tidak dehidrasi.” Setelah menjelaskan keadaan Bella, dokter tersebut pamit keluar r
Aku pergi ke persidangan seorang diri, sebab Erina masih masa pemulihan. Hanya pengacara yang mendampingi, sementara Meswa datang ditemani kedua orang tuanya. Hari ini aku sudah resmi bercerai dari Meswa. Hak asuh anak-anak jatuh sepenuhnya pada mantan istriku itu. Tidak masalah sebab Meswa berjanji tidak akan mempersulit bila aku ingin bertemu dengan anak-anak. Lagi pula Erina juga keberatan bila harus merawat anak-anak dari pernikahanku dengan Meswa. Tentang Erina, setelah di rawat sepuluh hari lamanya di rumah sakut kini dia sudah boleh beristirahat di rumah. Luka-luka pada wajah mulai sembuh, hanya saja untuk beberapa bulan ke depan masih harus menggunakan kursi roda sebab cidera kaki akibat kecelakaan butuh waktu lumayan lama untuk pulih. Kami membayar perawat khusus untuk melayani dan membantu Erina. Setelah menghadiri sidang putusan perceraian, aku langsung pulang ke rumah Erina. Rasanya tubuhku sangat lelah dan penat, ingin segera beristirahat. Baru saja hendak masuk ke ruma
Sore ini aku bersiap mengajak Raya dan Bella jalan-jalan dan bermain ke taman. Sesuai janji saat Bella sakit waktu itu, sekarang aku selalu menyisihkan waktu khusus untuk anak-anak. Kebetulan, ini hari minggu. Aku juga mengajak Bik Marni serta ikut dengan kami. Sekitar jam tiga sore kami sampai di taman. Bik Marni menggelar tikar yang sengaja dibawa dari rumah di bawah pohon rindang dekat danau buatan. Kami berempat duduk-duduk sambil bercengkerama. Anak-anak terlihat senang bermain balon air. Bella yang usil menjahili Kakaknya dengan mengarahkan tembakan balon air ke arah Raya. Karena ini weekend, suasana di taman sangat ramai. Anak-anak berlarian mengejar kupu-kupu, ada yang bermain bola, ada yang melihat ikan di kolam air mancur. Para orang tua bersantai sambil mengawasi putra putrinya. Ada juga muda mudi yang bergerombol di beberapa tempat, seperti semut yang membentuk koloni masing-masing.“Di sini adem ya, Bu. Pemandangannya ijo-ijo, indah. Udaranya juga segar padahal udah sor
Setelah kutampar, wajah itu merah padam, rahangnya mengeras. Manik hitam yang pernah kukagumi bertahun-tahun lalu, menatapku tajam. "Meswa, ka--""Apa perdulimu dengan anak-anak?" Cepat kupotong, sebelum dia berbicara lebih banyak."Bahkan kamu tidak ada saat Bella sakit dan terus memanggil ayahnya. Aku hanya ingin sampaikan, kalau nanti anak-anak menolak kehadiranmu itu sebab kesalahanmu sendiri. Sekarang kita udah enggak ada hubungan dan urusan apa-apa selain bila menyangkut anak-anak. Jadi aku minta kamu jangan ikut campur urusanku. Karena aku pun tidak sudi ikut campur urusanmu. Urus saja istri baru yang sangat kamu cintai itu. Bella dan Raya akan bahagia bersamaku. Semoga pernikahanmu bahagia dan segera diberi momongan," ucapku diakhiri senyum simpul.“Kamu semakin angkuh dan sombong, Meswa,” desis Mas Bima sambil memegangi bekas tamparanku. “Sudahlah, aku enggak ada waktu untuk membahas ini berulang kali. Sekarang kita sudah sama-sama dewasa. Perpisahan kita pun enggak ada y
Din! Dinnn!!!“Bima!!!” Suara klason kendaraan dari arah depan dan teriakan Erina membuatku terkejut dan langsung banting stir ke kiri. Beruntung mobil berhasil kuhentikan sebelum sempat menabrak pembatas jalan dan kami pun terhindar dari kecelakaan.“Apa-apaan ini, Bim? Kamu mau kita mati kecelakaan? Nyetir, kok enggak kira-kira!” Rentetan pertanyaan bernada marah terontar dari perempuan di sampingku. Dada ini kurasakan berdegup sangat kencang. Entah, akibat mobil kami hampir bertubrukan dengan kendaraan lain dari arah depan atau efek dari mataku yang barusaja menyaksikan pemandangan di seberang jalan sebelah kanan. Erina masih nyerocos dengan macam-macam kalimat yang menyalahkan aku. Tak kuhiraukan hingga mulut Erina berhenti dengan sendirinya, setelah memundurkan kendaraan dan memarkir dengan posisi yang lebih baik aku menoleh ke pelataran gedung yang di gerbangnya terpasang hiasan janur kuning melengkung. Ya, aku tidak salah lihat. Wanita dengan balutan brokat kutu baru yang ba