Share

NAIK ODONG-ODONG

Penulis: Jenar
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sore ini aku bersiap mengajak Raya dan Bella jalan-jalan dan bermain ke taman. Sesuai janji saat Bella sakit waktu itu, sekarang aku selalu menyisihkan waktu khusus untuk anak-anak. Kebetulan, ini hari minggu. Aku juga mengajak Bik Marni serta ikut dengan kami.

Sekitar jam tiga sore kami sampai di taman. Bik Marni menggelar tikar yang sengaja dibawa dari rumah di bawah pohon rindang dekat danau buatan. Kami berempat duduk-duduk sambil bercengkerama. Anak-anak terlihat senang bermain balon air. Bella yang usil menjahili Kakaknya dengan mengarahkan tembakan balon air ke arah Raya.

Karena ini weekend, suasana di taman sangat ramai. Anak-anak berlarian mengejar kupu-kupu, ada yang bermain bola, ada yang melihat ikan di kolam air mancur. Para orang tua bersantai sambil mengawasi putra putrinya. Ada juga muda mudi yang bergerombol di beberapa tempat, seperti semut yang membentuk koloni masing-masing.

“Di sini adem ya, Bu. Pemandangannya ijo-ijo, indah. Udaranya juga segar padahal udah sor
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   HAIRUL AZMI

    Setelah kutampar, wajah itu merah padam, rahangnya mengeras. Manik hitam yang pernah kukagumi bertahun-tahun lalu, menatapku tajam. "Meswa, ka--""Apa perdulimu dengan anak-anak?" Cepat kupotong, sebelum dia berbicara lebih banyak."Bahkan kamu tidak ada saat Bella sakit dan terus memanggil ayahnya. Aku hanya ingin sampaikan, kalau nanti anak-anak menolak kehadiranmu itu sebab kesalahanmu sendiri. Sekarang kita udah enggak ada hubungan dan urusan apa-apa selain bila menyangkut anak-anak. Jadi aku minta kamu jangan ikut campur urusanku. Karena aku pun tidak sudi ikut campur urusanmu. Urus saja istri baru yang sangat kamu cintai itu. Bella dan Raya akan bahagia bersamaku. Semoga pernikahanmu bahagia dan segera diberi momongan," ucapku diakhiri senyum simpul.“Kamu semakin angkuh dan sombong, Meswa,” desis Mas Bima sambil memegangi bekas tamparanku. “Sudahlah, aku enggak ada waktu untuk membahas ini berulang kali. Sekarang kita sudah sama-sama dewasa. Perpisahan kita pun enggak ada y

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   CEMBURU (POV BIMA)

    Din! Dinnn!!!“Bima!!!” Suara klason kendaraan dari arah depan dan teriakan Erina membuatku terkejut dan langsung banting stir ke kiri. Beruntung mobil berhasil kuhentikan sebelum sempat menabrak pembatas jalan dan kami pun terhindar dari kecelakaan.“Apa-apaan ini, Bim? Kamu mau kita mati kecelakaan? Nyetir, kok enggak kira-kira!” Rentetan pertanyaan bernada marah terontar dari perempuan di sampingku. Dada ini kurasakan berdegup sangat kencang. Entah, akibat mobil kami hampir bertubrukan dengan kendaraan lain dari arah depan atau efek dari mataku yang barusaja menyaksikan pemandangan di seberang jalan sebelah kanan. Erina masih nyerocos dengan macam-macam kalimat yang menyalahkan aku. Tak kuhiraukan hingga mulut Erina berhenti dengan sendirinya, setelah memundurkan kendaraan dan memarkir dengan posisi yang lebih baik aku menoleh ke pelataran gedung yang di gerbangnya terpasang hiasan janur kuning melengkung. Ya, aku tidak salah lihat. Wanita dengan balutan brokat kutu baru yang ba

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   KECEWA (POV BIMA)

    Udara dingin yang dipancarkan oleh air condisioner serasa mencubiti kulit wajahku. Dari balik selimut yang sama Erina memelukku erat di atas tempat tidur, kurasa tidurnya juga mulai terusik. Aku mengusap punggung Erina yang terasa halus di telapak tangan.“Kamu sudah bangun?”“Hmmmm….” Erina membenamkan wajahnya di dadaku. Nafas halus berirama menerpa kulit dadaku, terasa hangat dan membuat rambut disekitar leher meremang.“Sudah jam enam pagi, apa kamu masih ingin kita seperti ini dan membatalkan rencana jalan-jalan ke mall?”Perempuan itu melepaskan pelukan, meregangkan tubuh di atas tempat tidur lalu bangkit sambil berkata, “Tidak ada kata batal untuk bersenang-senang, Sayang.” Kemudian tubuh terbalut linge rie tipis itu masuk ke kamar mandi, sebelumnya dia sempat mengerling nakal ke arahku.Aku pun beranjak dari tempat tidur, memunguti pakaian kami di lantai satu persatu kemudian memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Erina keluar dari kamar mandi tepat saat aku barusaja

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   PERMAINAN TAKDIR

    “Jadi benar kamu enggak mengirim uang untuk anak-anakku?”Akhirnya aku menanyakan kebenaran kabar yang disampaikan oleh Meswa pada Erina setelah kami sampai di rumah. Tadi, sisa waktu berkeliling mall setelah pertemuanku dengan anak-anak yang berujung mereka mengacuhkan aku dan selama dalam perjalaan pulang kuhabiskan dengan membisu. Semangatku benar-benar hancur mendengar pengakuan Meswa.Di depanku sekarang Erina tengah sibuk membongkar banyak paper bag yang dibawanya dari mall, hasil menghamburkan uang hari ini.“Jawab aku, Erina!” bentakku tidak sabar.“Bima, kamu kenapa teriak-teriak, sih? Kamu fikir aku tuli apa?” protes Erina ikut berteriak, tetapi tidak juga menjawab pertanyaanku tadi.“Jawab aku Erina! Kenapa kamu bohong? Kamu bilang rutin mengirimkan uang untuk Bella dan Raya, kenapa Meswa tidak pernah menerima uang itu? Sebenarnya kamu mengirim uai itu atau tidak?"Erina tak kunjung menjawab membuatku bertambah geram, kurebut paper bag dipangkuannya lalu melemparnya sembara

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MEMBELI KESOMBONGAN MANTAN (POV MESWA)

    Pertanyaan Fauzan barusan mengusik ketenangan batinku. Suasana diantara kami mendadak canggung. Aku membuang pandangan keluar dinding kaca, memperhatikan lalu lalang kendaraan di jalan raya. Diantara serakan daun kembang kamboja yang mengering, dibawah terik matahari kota Jakarta, kucoba mencari jawaban untuk pertanyaan Fauzan. “Aku enggak akan melarang siapa pun untuk mendekati aku, Zan. Itu hak setiap orang,” jawabku tetap berpaling. Pandanganku masih tertuju keadaan di luar restoran, kini beralih pada gerombolan ikan koi yang berenang di kolam yang di atasnya mengalir air terjun buatan. Rasanya begitu damai kala melihat ikan bersisik warna warni itu berenang bebas, berebut umpan yang mengambang di permukaan air.“Jawabanmu ambigu, Meswa.”Aku hanya bergeming beberapa menit, sembari terus menjadikan penghuni kolam sebagai pusat atensi. Kemudian aku menoleh, menatap wajah teduh Fauzan. Aku tersenyum padanya, hanya supaya pria itu tidak tersinggung atas sikap tak acuh yang kuberikan

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   PEKERJAAN BARU (POV BIMA)

    “Kamu apa-apaan bawa aku ke tempat seperti ini, Bim?” “Sekarang kita akan tinggal di sini.”“Apa?!”“Kita akan tinggal di sini,” ulangku sekali lagi. Di depanku sekarang berdiri sebuah bangunan semi permanen tidak besar, rumah yang kubeli seharga dua puluh juta. Tentunya rumah yang sekarang ini jauh berbeda dengan rumah yang dibeli oleh mantan istriku. Luas tanah keseluruhannya saja hanya seukuran halaman rumah lamaku. Mau bagaimana lagi uangku hanya cukup untuk membeli hunian kecil di dalam gang sempit yang jalannya hanya cukup dilewati satu mobil saja. “Yang bener aja, kamu ngajak aku tinggal di rumah jelek seperti ini?”“Biar jelek yang penting bisa untuk berteduh, Rin. Lagian bisa direnovasi kalau udah ada uangnya. Ayo, kita masuk. Luarnya memang kusam, tapi dalamnya lumayan, kok.”Erina terdiam sejenak, aku mendahului ke luar dari mobil. Kuturunkan juga tas berisi pakaian dan membawanya masuk ke rumah baru kami. Saat pintu utama kudorong, derit nyaring dari engsel pintu kerin

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   RUANG RAPAT (POV BIMA)

    “Kamu fikir aku sudi menjadi istri laki-laki kere seperti kamu? Kamu sadar tidak selama ini aku yang menanggung hidupmu. ”Aku yang sedang sangat lelah, jadi tersulut emosi. Pantang untuk seorang Bima direndahkan. “Aku kere gara-gara kamu! Kamu menghancurkan semuanya!” bentakku sambil menatap tajam wajah Erina. “Kamu bentak aku, Bim. Kamu marahin aku?” Suara Erina bergetar, matanya nampak berkaca-kaca. “Katanya kamu cinta sama aku, tapi kenapa begini? Kamu tahu ‘kan aku sangat mencintai kamu, Bima. Aku melakukannya agar kita bisa bersatu."Aku menghembuskan napas lalu menjawab, “Cintamu itu bikin aku jadi susah, Rin. Harusnya kita tidak begini.”Aku terdiam merenungi hati yang ternyata bisa berubah dalam waktu begitu cepat. Aku pernah mengagumi Erina, melupakan dia kemudian menggilai perempuan cantik, dewasa dan lembut itu lagi. Aku juga pernah merasa kehilangan ketika Erina tiba-tiba meninggalkan aku, dan memutus komunikasi. Aku juga pernah prihatin dan terharu, pada ceritanya ten

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   CAPER (POV BIMA)

    Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu aku masuk ke ruangan Meswa. Perempuan itu tengah menekuri berkas-berkas penting di atas meja kerjanya. Dia tetap menunduk tanpa menoleh sedikitpun ketika aku melangkah masuk dan kini berdiri tepat di depan meja kerjanya. “Meswa, aku membuatkan teh melati untuk kamu.” Jam istirahat siang aku sengaja membawakan minuman kesukaan Meswa ke ruangannya. “Terima kasih.” Hanya itu yang di ucapkan, aku berharap dia mengatakan yang lebih banyak. “Apa kamu ingin sesuatu untuk makan siang?” tanyaku lagi.“Tidak ada, terima kasih.”Aku kehabisan kata-kata, nampaknya telah salah memilih waktu. Perempuan itu terlihat masih sibuk mengetik sesuatu pada keyboard komputernya. Harus kuakui dia tidak hanya lues mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi juga seorang yang professional di balik meja kerja. Salah satu hal yang aku kagumi dari sosoknya.Meswa bangkit dari kursinya, melangkah pada lemari besar di sudut ruangan. Di dalam lemari berpintu kaca itu terdapat bany

Bab terbaru

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MEMAAFKAN (ENDING)

    Dalam hati aku tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah atas segala nikmat kebahagiaan mala mini. Setelah badai dan ombak besar menguji kehidupan, dengan begitu murah hatinya Dia ganti semua sakit dan kekecewaan dengan pelangi kebahagiaan yang lebih indah. Pukul sembilan malam keluarga Fauzan pamit undur diri. Aku, Mama dan Papa mengantarkan mereka hingga ke depan rumah. Om Anwar dan Papa berpelukan begitu juga dengan Tante Santi yang bergantian memeluk aku dan Mama. Fauzan menyalami kedua orang tuaku lalu mencium punggung tangannya. Setelah menegakkan tubuh lelaki itu memandangku lembut lalu menganggukkan kepala. “Aku pulang dulu,” katanya lembut.“Hati-hati, Zan.”Dia mengangguk, “Terima kasih, Meswa,” katanya lalu dia pemit masuk ke dalam mobil.Aku melambaikan tangan pada mobil Fauzan yang perlahan mulai bergerak dan meninggalkan pekarangan rumah Papa. Papa dan Mama sekarang sudah masuk ke dalam rumah. Aku sudah hendak masuk saat pintu mulai di tutu oleh satpam, tetapi

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   LAMARAN

    Hari ini aku pulang lebih awal, week end saatnya meluangkan waktu untuk bersama anak-anak. Belum genap pukul tiga saat aku masuk ke rumah. Tidak kudapati anak-anak, hanya pengasuh mereka yang kutemui tengah berada di dapur. “Anak-anak mana, Bik?” tanyaku sambil meletakkan paper bag dan tas di atas meja makan. “Anak-anak sedang dibawa Pak Santoso, Bu. Katanya tadi mau jalan-jalan.”“Sudah lama perginya?” tanyaku lagi. Aku mencuci tangan sebelum mengambil gelas dan mengisinya dengan jus jeruk dari kulkas.“Sekitar satu jam yang lalu. Enggak tahu kalau Ibu pulang lebih cepat, mungkin kalau tadi bilang bisa di tunggu.” “Enggak apa-apa, Bik. Nanti saya bisa nyusul mereka. Anak-anak enggak resel, kan?” “Enggak, Bu. Semakin kesini mereka semakin pinter, ngerti kalau dibilangin.” Jawaban Bik Marni cukup membuatku lega. Setiap hari aku selalu memantau perkembangan anak-anak lewat Bik Marni. Menjadi hal wajib menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Bella dan Raya seharian selama t

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   SEGUMPAL KERTAS

    Aku mengalihkan sebentar pandangan dari layar computer pada arah pintu ketika terdengar suara ketukan. Sedetik kemudian pintu terkuak dan yang terlihat sosok mantan suami berdiri di sana. Dia masuk lalu meletakkan secangkir minuman dengan aroma melati yang khas di mejaku.“Terima kasih.” Setelah itu aku hendak kembali fokus pada pekerjaan. “Meswa, bisa bicara sebentar?”Aku sengaja ingin mengabaikan pertanyaan atau lebih tepatnya permintaan Bima dengan menyibukkan diri menatap computer. Mungkin ada lima menit aku diamkan laki-laki itu masih berdiri di tempatnya. Lagi-lagi aku memalingkan pandangan dari lembaran pekerjaan dan melihat pada wajah Bima. “Sebentar saja,” katanya lagi terdengar memohon.Aku mengangguk, “Duduk lah!” Seulas senyum terlihat di wajahnya ketika kupersilahkan dia duduk.Sekarang dia sudah duduk di kursi depan meja kerjaku. Rasanya kami lama tidak berjumpa, beberapa hari ini aku memang tidak melihatnya ada di kantor. Di sini aku bisa melihat tulang pipinya nampa

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MAAF DARI IBU

    “Kalau ayah masih ada pasti beliau sangat kecewa mengetahui anak kesayangannya yang dibangga-banggakan melakukan hal seperti ini.” Bicaranya ibu terjeda-jeda sebab sesekali terisak. “Kamu salah kalau merasa dibedakan dalam hal kasih sayang dan perhatian, Bim. Bahkan perjodohan itu bukan bertujuan untuk membatasi kebebasanmu dalam memilih pasangan. Ayahmu sudah memikirkan semuanya, dia tidak ingin kamu kembali pada alur kehidupan yang terlunta-lunta. Ayah memilihkan Meswa sebagai istri sebab dia perempuan yang baik, lembut dan penurut. Seperti Meswa lah yang bisa mengimbangi dirimu yang penuh ambisi.Bahkan untuk kesejahteraanmu di masa yang akan datang sudah ayah rancang sedemikian rupa. Sayangnya kamu sendiri yang menghancurkannya. Kepemilikan perusahaan sengaja di rahasiakan sebab ayah yang meminta. Ayah ingin kamu juga merasakan perjuangan untuk mencapai posisi tertinggi. Namun, malah kesalah pahaman yang terjadi. Ibu malu pada Meswa, juga segan pada kedua orang tuanya. Dulu kami

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   BAYI ADOKSI (POV BIMA)

    “Anak adopsi ….” Tanganku bergetar hebat ketika membaca isi surat di hadapan. Perasaan bersalah yang teramat membuatku tergugu di hadapan Ibu dan Kak Sinta. Air mataku mengalir deras mengetahui kenyataan bahwa aku bukan anak yang lahir dari rahim perempuan yang selama ini kutahu merawat dan menyayangiku sepenuh hatinya. “Ibu … astagfirullah, Bu.” Tubuh ibu terhuyung, perempuan berusia setengah abad lebih itu menekan dadanya dengan kedua tangan. Kak Sinta sigap menopang tubuh perempuan di sampingnya lalu membimbing beliau untuk duduk. Ibu nampak kesulitan bernafas, membuat Kak Sinta panik dan segera mengambil obat asma milik ibu di kamar. Tidak hanya Kak Sinta, kepanikan pun menyergap aku. Kak Sinta kembali dan membantu ibu agar duduk tegak. Kemudian ibu memasukkan inhaller ke mulut dan menyemprotkan obat itu. Butuh beberapa detik untuk obat hirup tersebut sampai di paru-paru dan bekerja dengan baik. Ibu terlihat menarik napas panjang beberapa kali.“Ibu rileks, ya.” Kak Sinta meng

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MENGAKHIRI KISAH YANG SALAH

    Aku menatap gedung kantor Prameswari Mandiri yang gagah menantang kegelapan. Jam tujuh malam, aku masih betah berada di café yang terletak tepat di seberang kantor—tempat favoritku dan Meswa—dulu. Entah kenapa aku merasa enggan untuk pulang dan menemui Erina yang tentu saja sedang menunggu di rumah. Kenapa aku menikahi Erina kalau akhirnya mencintai Meswa? Ah, Bima memang bod*oh. Sejak lama sudah menyadari bahwa perasaanku pada Erina tidak kuat dan kokoh. Aku hanya terpesona sesaat dan dibutakan oleh nafsu pada Erina. Perempuan yang benar-benar menawan hatiku hanya Meswa. Namun, rayuan dan kata-kata manis Erina berhasil membuatku candu dan meninggalkan cinta sejati. Terdengar suara notifikasi pesan dari ponsel. Aku mendengkus, pasti Erina yang mengirimiku pesan. Tidak hanya sekali, bunyi notifikasi terdengar beberapa kali. Semakin membuatku geram pada perempuan itu. Terpaksa meraih ponsel yang sejak tadi kusimpan di meja. Di layar utama nampak balon chat dari salah satu aplikasi be

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   POV ERINA

    “Bima, kamu tidak boleh meninggalkan aku. Kamu tidak boleh kembali dengan perempuan itu!” Setelah belasan bahkan mungkin puluhan kali mengabaikan telepon dariku, akhirnya Bima menjawabnya dan kini perasan takut akan ditinggalkan semakin kuat menerorku. Perasaan di dalam hatiku berkecamuk. Kecewa, sedih, marah dan takut bercampur menjadi satu seperti pusaran tornado yang akan meluluh lantakkan mimpi indahku. Aku hanya ingin dicintai oleh orang yang juga kucintai. Kenapa hal sekecil itu sulit untuk seorang perempuan bernama Erina? Papi, Alex, Bima dan yang lain, kenapa kalian para lelaki tidak bisa mengerti?“Apa istimewanya Meswa. Kenapa Bima begitu memuja dan ingin kembali?” Aku bertanya entah pada siapa, sebab hanya sendirian di kamar ini. Kuusap air mata yang terus mengalir tanpa diminta. Erina bukan perempuan lemah. Erina bisa mendapatkan apa yang dia ingin. Erina tidak ada yang bisa menyaingi. Aku tertawa kini. Seperti orang kehilangan akal sehat. Tertawa sambil bercucuran air

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   CEMBURU BUTA (POV BIMA)

    “Kamu payah Bima! Bahkan untuk mempertahankan seorang Meswa pun tidak bisa. Kamu bodoh, Bima! Bodoh!” Aku memaki diri sendiri sembari mengusap kasar rambut hingga berantakan. Rintik gerimis di luar semakin deras, air yang turun dari langit seakan ikut merasakan kegundahan yang tengah melanda hati ini. Masih terngiang penolakan Meswa saat kuajak dia rujuk. Tidak menyangka secepat ini Meswa move on dariku. Secepat ini hatinya tertutup untuk aku. Apa yang kini kurasakan pada Meswa? Aku hanya tahu kalau aku begitu ingin mendapatkannya kembali. Cintakah yang membuatku kini merasa dirinya sangat berharga? Cinta? Kenapa citaku pada Meswa datangnya terlambat? Kenapa setelah aku membuang barang tersebut kini baru kusadari aku begitu membutuhkannya?Kenapa cinta seolah mempermainkan hidupku? Berawal dari cinta masa laluku yang belum usai hingga menjadikan itu penyebab kekacauan hidupku. Gara-gara begitu membela rasa yang kukira cinta pada seorang perempuan bernama Erina, aku jadi mengabaika

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   CAPER (POV BIMA)

    Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu aku masuk ke ruangan Meswa. Perempuan itu tengah menekuri berkas-berkas penting di atas meja kerjanya. Dia tetap menunduk tanpa menoleh sedikitpun ketika aku melangkah masuk dan kini berdiri tepat di depan meja kerjanya. “Meswa, aku membuatkan teh melati untuk kamu.” Jam istirahat siang aku sengaja membawakan minuman kesukaan Meswa ke ruangannya. “Terima kasih.” Hanya itu yang di ucapkan, aku berharap dia mengatakan yang lebih banyak. “Apa kamu ingin sesuatu untuk makan siang?” tanyaku lagi.“Tidak ada, terima kasih.”Aku kehabisan kata-kata, nampaknya telah salah memilih waktu. Perempuan itu terlihat masih sibuk mengetik sesuatu pada keyboard komputernya. Harus kuakui dia tidak hanya lues mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi juga seorang yang professional di balik meja kerja. Salah satu hal yang aku kagumi dari sosoknya.Meswa bangkit dari kursinya, melangkah pada lemari besar di sudut ruangan. Di dalam lemari berpintu kaca itu terdapat bany

DMCA.com Protection Status