Din! Dinnn!!!“Bima!!!” Suara klason kendaraan dari arah depan dan teriakan Erina membuatku terkejut dan langsung banting stir ke kiri. Beruntung mobil berhasil kuhentikan sebelum sempat menabrak pembatas jalan dan kami pun terhindar dari kecelakaan.“Apa-apaan ini, Bim? Kamu mau kita mati kecelakaan? Nyetir, kok enggak kira-kira!” Rentetan pertanyaan bernada marah terontar dari perempuan di sampingku. Dada ini kurasakan berdegup sangat kencang. Entah, akibat mobil kami hampir bertubrukan dengan kendaraan lain dari arah depan atau efek dari mataku yang barusaja menyaksikan pemandangan di seberang jalan sebelah kanan. Erina masih nyerocos dengan macam-macam kalimat yang menyalahkan aku. Tak kuhiraukan hingga mulut Erina berhenti dengan sendirinya, setelah memundurkan kendaraan dan memarkir dengan posisi yang lebih baik aku menoleh ke pelataran gedung yang di gerbangnya terpasang hiasan janur kuning melengkung. Ya, aku tidak salah lihat. Wanita dengan balutan brokat kutu baru yang ba
Udara dingin yang dipancarkan oleh air condisioner serasa mencubiti kulit wajahku. Dari balik selimut yang sama Erina memelukku erat di atas tempat tidur, kurasa tidurnya juga mulai terusik. Aku mengusap punggung Erina yang terasa halus di telapak tangan.“Kamu sudah bangun?”“Hmmmm….” Erina membenamkan wajahnya di dadaku. Nafas halus berirama menerpa kulit dadaku, terasa hangat dan membuat rambut disekitar leher meremang.“Sudah jam enam pagi, apa kamu masih ingin kita seperti ini dan membatalkan rencana jalan-jalan ke mall?”Perempuan itu melepaskan pelukan, meregangkan tubuh di atas tempat tidur lalu bangkit sambil berkata, “Tidak ada kata batal untuk bersenang-senang, Sayang.” Kemudian tubuh terbalut linge rie tipis itu masuk ke kamar mandi, sebelumnya dia sempat mengerling nakal ke arahku.Aku pun beranjak dari tempat tidur, memunguti pakaian kami di lantai satu persatu kemudian memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Erina keluar dari kamar mandi tepat saat aku barusaja
“Jadi benar kamu enggak mengirim uang untuk anak-anakku?”Akhirnya aku menanyakan kebenaran kabar yang disampaikan oleh Meswa pada Erina setelah kami sampai di rumah. Tadi, sisa waktu berkeliling mall setelah pertemuanku dengan anak-anak yang berujung mereka mengacuhkan aku dan selama dalam perjalaan pulang kuhabiskan dengan membisu. Semangatku benar-benar hancur mendengar pengakuan Meswa.Di depanku sekarang Erina tengah sibuk membongkar banyak paper bag yang dibawanya dari mall, hasil menghamburkan uang hari ini.“Jawab aku, Erina!” bentakku tidak sabar.“Bima, kamu kenapa teriak-teriak, sih? Kamu fikir aku tuli apa?” protes Erina ikut berteriak, tetapi tidak juga menjawab pertanyaanku tadi.“Jawab aku Erina! Kenapa kamu bohong? Kamu bilang rutin mengirimkan uang untuk Bella dan Raya, kenapa Meswa tidak pernah menerima uang itu? Sebenarnya kamu mengirim uai itu atau tidak?"Erina tak kunjung menjawab membuatku bertambah geram, kurebut paper bag dipangkuannya lalu melemparnya sembara
Pertanyaan Fauzan barusan mengusik ketenangan batinku. Suasana diantara kami mendadak canggung. Aku membuang pandangan keluar dinding kaca, memperhatikan lalu lalang kendaraan di jalan raya. Diantara serakan daun kembang kamboja yang mengering, dibawah terik matahari kota Jakarta, kucoba mencari jawaban untuk pertanyaan Fauzan. “Aku enggak akan melarang siapa pun untuk mendekati aku, Zan. Itu hak setiap orang,” jawabku tetap berpaling. Pandanganku masih tertuju keadaan di luar restoran, kini beralih pada gerombolan ikan koi yang berenang di kolam yang di atasnya mengalir air terjun buatan. Rasanya begitu damai kala melihat ikan bersisik warna warni itu berenang bebas, berebut umpan yang mengambang di permukaan air.“Jawabanmu ambigu, Meswa.”Aku hanya bergeming beberapa menit, sembari terus menjadikan penghuni kolam sebagai pusat atensi. Kemudian aku menoleh, menatap wajah teduh Fauzan. Aku tersenyum padanya, hanya supaya pria itu tidak tersinggung atas sikap tak acuh yang kuberikan
“Kamu apa-apaan bawa aku ke tempat seperti ini, Bim?” “Sekarang kita akan tinggal di sini.”“Apa?!”“Kita akan tinggal di sini,” ulangku sekali lagi. Di depanku sekarang berdiri sebuah bangunan semi permanen tidak besar, rumah yang kubeli seharga dua puluh juta. Tentunya rumah yang sekarang ini jauh berbeda dengan rumah yang dibeli oleh mantan istriku. Luas tanah keseluruhannya saja hanya seukuran halaman rumah lamaku. Mau bagaimana lagi uangku hanya cukup untuk membeli hunian kecil di dalam gang sempit yang jalannya hanya cukup dilewati satu mobil saja. “Yang bener aja, kamu ngajak aku tinggal di rumah jelek seperti ini?”“Biar jelek yang penting bisa untuk berteduh, Rin. Lagian bisa direnovasi kalau udah ada uangnya. Ayo, kita masuk. Luarnya memang kusam, tapi dalamnya lumayan, kok.”Erina terdiam sejenak, aku mendahului ke luar dari mobil. Kuturunkan juga tas berisi pakaian dan membawanya masuk ke rumah baru kami. Saat pintu utama kudorong, derit nyaring dari engsel pintu kerin
“Kamu fikir aku sudi menjadi istri laki-laki kere seperti kamu? Kamu sadar tidak selama ini aku yang menanggung hidupmu. ”Aku yang sedang sangat lelah, jadi tersulut emosi. Pantang untuk seorang Bima direndahkan. “Aku kere gara-gara kamu! Kamu menghancurkan semuanya!” bentakku sambil menatap tajam wajah Erina. “Kamu bentak aku, Bim. Kamu marahin aku?” Suara Erina bergetar, matanya nampak berkaca-kaca. “Katanya kamu cinta sama aku, tapi kenapa begini? Kamu tahu ‘kan aku sangat mencintai kamu, Bima. Aku melakukannya agar kita bisa bersatu."Aku menghembuskan napas lalu menjawab, “Cintamu itu bikin aku jadi susah, Rin. Harusnya kita tidak begini.”Aku terdiam merenungi hati yang ternyata bisa berubah dalam waktu begitu cepat. Aku pernah mengagumi Erina, melupakan dia kemudian menggilai perempuan cantik, dewasa dan lembut itu lagi. Aku juga pernah merasa kehilangan ketika Erina tiba-tiba meninggalkan aku, dan memutus komunikasi. Aku juga pernah prihatin dan terharu, pada ceritanya ten
Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu aku masuk ke ruangan Meswa. Perempuan itu tengah menekuri berkas-berkas penting di atas meja kerjanya. Dia tetap menunduk tanpa menoleh sedikitpun ketika aku melangkah masuk dan kini berdiri tepat di depan meja kerjanya. “Meswa, aku membuatkan teh melati untuk kamu.” Jam istirahat siang aku sengaja membawakan minuman kesukaan Meswa ke ruangannya. “Terima kasih.” Hanya itu yang di ucapkan, aku berharap dia mengatakan yang lebih banyak. “Apa kamu ingin sesuatu untuk makan siang?” tanyaku lagi.“Tidak ada, terima kasih.”Aku kehabisan kata-kata, nampaknya telah salah memilih waktu. Perempuan itu terlihat masih sibuk mengetik sesuatu pada keyboard komputernya. Harus kuakui dia tidak hanya lues mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi juga seorang yang professional di balik meja kerja. Salah satu hal yang aku kagumi dari sosoknya.Meswa bangkit dari kursinya, melangkah pada lemari besar di sudut ruangan. Di dalam lemari berpintu kaca itu terdapat bany
“Kamu payah Bima! Bahkan untuk mempertahankan seorang Meswa pun tidak bisa. Kamu bodoh, Bima! Bodoh!” Aku memaki diri sendiri sembari mengusap kasar rambut hingga berantakan. Rintik gerimis di luar semakin deras, air yang turun dari langit seakan ikut merasakan kegundahan yang tengah melanda hati ini. Masih terngiang penolakan Meswa saat kuajak dia rujuk. Tidak menyangka secepat ini Meswa move on dariku. Secepat ini hatinya tertutup untuk aku. Apa yang kini kurasakan pada Meswa? Aku hanya tahu kalau aku begitu ingin mendapatkannya kembali. Cintakah yang membuatku kini merasa dirinya sangat berharga? Cinta? Kenapa citaku pada Meswa datangnya terlambat? Kenapa setelah aku membuang barang tersebut kini baru kusadari aku begitu membutuhkannya?Kenapa cinta seolah mempermainkan hidupku? Berawal dari cinta masa laluku yang belum usai hingga menjadikan itu penyebab kekacauan hidupku. Gara-gara begitu membela rasa yang kukira cinta pada seorang perempuan bernama Erina, aku jadi mengabaika