Aku pergi ke persidangan seorang diri, sebab Erina masih masa pemulihan. Hanya pengacara yang mendampingi, sementara Meswa datang ditemani kedua orang tuanya. Hari ini aku sudah resmi bercerai dari Meswa. Hak asuh anak-anak jatuh sepenuhnya pada mantan istriku itu. Tidak masalah sebab Meswa berjanji tidak akan mempersulit bila aku ingin bertemu dengan anak-anak. Lagi pula Erina juga keberatan bila harus merawat anak-anak dari pernikahanku dengan Meswa. Tentang Erina, setelah di rawat sepuluh hari lamanya di rumah sakut kini dia sudah boleh beristirahat di rumah. Luka-luka pada wajah mulai sembuh, hanya saja untuk beberapa bulan ke depan masih harus menggunakan kursi roda sebab cidera kaki akibat kecelakaan butuh waktu lumayan lama untuk pulih. Kami membayar perawat khusus untuk melayani dan membantu Erina. Setelah menghadiri sidang putusan perceraian, aku langsung pulang ke rumah Erina. Rasanya tubuhku sangat lelah dan penat, ingin segera beristirahat. Baru saja hendak masuk ke ruma
Sore ini aku bersiap mengajak Raya dan Bella jalan-jalan dan bermain ke taman. Sesuai janji saat Bella sakit waktu itu, sekarang aku selalu menyisihkan waktu khusus untuk anak-anak. Kebetulan, ini hari minggu. Aku juga mengajak Bik Marni serta ikut dengan kami. Sekitar jam tiga sore kami sampai di taman. Bik Marni menggelar tikar yang sengaja dibawa dari rumah di bawah pohon rindang dekat danau buatan. Kami berempat duduk-duduk sambil bercengkerama. Anak-anak terlihat senang bermain balon air. Bella yang usil menjahili Kakaknya dengan mengarahkan tembakan balon air ke arah Raya. Karena ini weekend, suasana di taman sangat ramai. Anak-anak berlarian mengejar kupu-kupu, ada yang bermain bola, ada yang melihat ikan di kolam air mancur. Para orang tua bersantai sambil mengawasi putra putrinya. Ada juga muda mudi yang bergerombol di beberapa tempat, seperti semut yang membentuk koloni masing-masing.“Di sini adem ya, Bu. Pemandangannya ijo-ijo, indah. Udaranya juga segar padahal udah sor
Setelah kutampar, wajah itu merah padam, rahangnya mengeras. Manik hitam yang pernah kukagumi bertahun-tahun lalu, menatapku tajam. "Meswa, ka--""Apa perdulimu dengan anak-anak?" Cepat kupotong, sebelum dia berbicara lebih banyak."Bahkan kamu tidak ada saat Bella sakit dan terus memanggil ayahnya. Aku hanya ingin sampaikan, kalau nanti anak-anak menolak kehadiranmu itu sebab kesalahanmu sendiri. Sekarang kita udah enggak ada hubungan dan urusan apa-apa selain bila menyangkut anak-anak. Jadi aku minta kamu jangan ikut campur urusanku. Karena aku pun tidak sudi ikut campur urusanmu. Urus saja istri baru yang sangat kamu cintai itu. Bella dan Raya akan bahagia bersamaku. Semoga pernikahanmu bahagia dan segera diberi momongan," ucapku diakhiri senyum simpul.“Kamu semakin angkuh dan sombong, Meswa,” desis Mas Bima sambil memegangi bekas tamparanku. “Sudahlah, aku enggak ada waktu untuk membahas ini berulang kali. Sekarang kita sudah sama-sama dewasa. Perpisahan kita pun enggak ada y
Din! Dinnn!!!“Bima!!!” Suara klason kendaraan dari arah depan dan teriakan Erina membuatku terkejut dan langsung banting stir ke kiri. Beruntung mobil berhasil kuhentikan sebelum sempat menabrak pembatas jalan dan kami pun terhindar dari kecelakaan.“Apa-apaan ini, Bim? Kamu mau kita mati kecelakaan? Nyetir, kok enggak kira-kira!” Rentetan pertanyaan bernada marah terontar dari perempuan di sampingku. Dada ini kurasakan berdegup sangat kencang. Entah, akibat mobil kami hampir bertubrukan dengan kendaraan lain dari arah depan atau efek dari mataku yang barusaja menyaksikan pemandangan di seberang jalan sebelah kanan. Erina masih nyerocos dengan macam-macam kalimat yang menyalahkan aku. Tak kuhiraukan hingga mulut Erina berhenti dengan sendirinya, setelah memundurkan kendaraan dan memarkir dengan posisi yang lebih baik aku menoleh ke pelataran gedung yang di gerbangnya terpasang hiasan janur kuning melengkung. Ya, aku tidak salah lihat. Wanita dengan balutan brokat kutu baru yang ba
Udara dingin yang dipancarkan oleh air condisioner serasa mencubiti kulit wajahku. Dari balik selimut yang sama Erina memelukku erat di atas tempat tidur, kurasa tidurnya juga mulai terusik. Aku mengusap punggung Erina yang terasa halus di telapak tangan.“Kamu sudah bangun?”“Hmmmm….” Erina membenamkan wajahnya di dadaku. Nafas halus berirama menerpa kulit dadaku, terasa hangat dan membuat rambut disekitar leher meremang.“Sudah jam enam pagi, apa kamu masih ingin kita seperti ini dan membatalkan rencana jalan-jalan ke mall?”Perempuan itu melepaskan pelukan, meregangkan tubuh di atas tempat tidur lalu bangkit sambil berkata, “Tidak ada kata batal untuk bersenang-senang, Sayang.” Kemudian tubuh terbalut linge rie tipis itu masuk ke kamar mandi, sebelumnya dia sempat mengerling nakal ke arahku.Aku pun beranjak dari tempat tidur, memunguti pakaian kami di lantai satu persatu kemudian memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Erina keluar dari kamar mandi tepat saat aku barusaja
“Jadi benar kamu enggak mengirim uang untuk anak-anakku?”Akhirnya aku menanyakan kebenaran kabar yang disampaikan oleh Meswa pada Erina setelah kami sampai di rumah. Tadi, sisa waktu berkeliling mall setelah pertemuanku dengan anak-anak yang berujung mereka mengacuhkan aku dan selama dalam perjalaan pulang kuhabiskan dengan membisu. Semangatku benar-benar hancur mendengar pengakuan Meswa.Di depanku sekarang Erina tengah sibuk membongkar banyak paper bag yang dibawanya dari mall, hasil menghamburkan uang hari ini.“Jawab aku, Erina!” bentakku tidak sabar.“Bima, kamu kenapa teriak-teriak, sih? Kamu fikir aku tuli apa?” protes Erina ikut berteriak, tetapi tidak juga menjawab pertanyaanku tadi.“Jawab aku Erina! Kenapa kamu bohong? Kamu bilang rutin mengirimkan uang untuk Bella dan Raya, kenapa Meswa tidak pernah menerima uang itu? Sebenarnya kamu mengirim uai itu atau tidak?"Erina tak kunjung menjawab membuatku bertambah geram, kurebut paper bag dipangkuannya lalu melemparnya sembara
Pertanyaan Fauzan barusan mengusik ketenangan batinku. Suasana diantara kami mendadak canggung. Aku membuang pandangan keluar dinding kaca, memperhatikan lalu lalang kendaraan di jalan raya. Diantara serakan daun kembang kamboja yang mengering, dibawah terik matahari kota Jakarta, kucoba mencari jawaban untuk pertanyaan Fauzan. “Aku enggak akan melarang siapa pun untuk mendekati aku, Zan. Itu hak setiap orang,” jawabku tetap berpaling. Pandanganku masih tertuju keadaan di luar restoran, kini beralih pada gerombolan ikan koi yang berenang di kolam yang di atasnya mengalir air terjun buatan. Rasanya begitu damai kala melihat ikan bersisik warna warni itu berenang bebas, berebut umpan yang mengambang di permukaan air.“Jawabanmu ambigu, Meswa.”Aku hanya bergeming beberapa menit, sembari terus menjadikan penghuni kolam sebagai pusat atensi. Kemudian aku menoleh, menatap wajah teduh Fauzan. Aku tersenyum padanya, hanya supaya pria itu tidak tersinggung atas sikap tak acuh yang kuberikan
“Kamu apa-apaan bawa aku ke tempat seperti ini, Bim?” “Sekarang kita akan tinggal di sini.”“Apa?!”“Kita akan tinggal di sini,” ulangku sekali lagi. Di depanku sekarang berdiri sebuah bangunan semi permanen tidak besar, rumah yang kubeli seharga dua puluh juta. Tentunya rumah yang sekarang ini jauh berbeda dengan rumah yang dibeli oleh mantan istriku. Luas tanah keseluruhannya saja hanya seukuran halaman rumah lamaku. Mau bagaimana lagi uangku hanya cukup untuk membeli hunian kecil di dalam gang sempit yang jalannya hanya cukup dilewati satu mobil saja. “Yang bener aja, kamu ngajak aku tinggal di rumah jelek seperti ini?”“Biar jelek yang penting bisa untuk berteduh, Rin. Lagian bisa direnovasi kalau udah ada uangnya. Ayo, kita masuk. Luarnya memang kusam, tapi dalamnya lumayan, kok.”Erina terdiam sejenak, aku mendahului ke luar dari mobil. Kuturunkan juga tas berisi pakaian dan membawanya masuk ke rumah baru kami. Saat pintu utama kudorong, derit nyaring dari engsel pintu kerin