Pernikahan Sandrina terjadi karena permintaan ayah Bastian. Sandrina berhutang Budi hingga mengharuskan ia menikah dengan Bastian. Bastian ternyata menolak perjodohan itu. Akan tetapi, dirinya tak bisa berbuat apa pun saat paksaan datang dari sang ayah. Padahal ia sudah memiliki kekasih bernama Alika. Sementara, hal tak terduga datang. Mantan kekasih Sandrina, Ferdi adalah adik kandung dari Bastian.
View More“Aku hamil, Mas.” Wajah Sandrina terlihat bahagia saat memberitahu dirinya sedang berbadan dua.
Akan tetapi, Bastian—suaminya tak bereaksi lebih. Pria berkemeja putih itu sekilas melihat, lalu hanya berdehem saja.
Wajah semringah Sandrina berubah menjadi sendu. Ia hanya berharap sang suami terlihat bahagia dengan kehamilannya. Namun, semua di luar dugaan, Bastian tak bisa menghilangkan sikap dinginnya pada sang istri.
“Mas, apa kamu tidak bahagia?” tanya Sandrina.
“Kamu pikir sendiri saja.” Bastian berjalan meninggalkan Sandrina yang masih berdiri mematung di ruang tv.
Enam bulan pernikahan mereka berlalu begitu saja tanpa kebahagiaan. Apalagi Bastian yang selalu bersikap dingin pada Sandrina, juga ucapan demi ucapan ketusnya yang selalu membuat kesabaran wanita itu teruji.
Sandrina menarik napas, ia berusaha tahan dengan sikap sang suami. Bagaimana pun, wasiat yang dibuat oleh ayah mertuanya itu harus dijalani dengan ikhlas dan tabah.
Sandrina melangkah ke kamar dan menemui Bastian yang sedang berbaring di ranjang.
“Aku tahu kamu tidak senang dengan kehamilan ini. Tapi, tolong, antarkan aku ke Dokter. Setidaknya, aku bisa di hargai sebagai seorang istri walau nyatanya suamiku tidak pernah menganggap aku.” Bibir Sandrina bergetar saat mengutarakan isi hatinya.
Wajah Bastian begitu datar, bahkan seolah-olah ia tak menggubris kehadiran Sandrina. Pikirannya hanya tertuju pada sebuah penyesalan kala ia pulang mabuk dan menggauli sang istri.
“Kamu tidak lihat aku sedang beristirahat?” ujar Bastian dengan suara meninggi.
“Setelah kamu beristirahat, bisa, kan?” tanya Sandrina lagi.
“Aku tidak punya waktu, besok pagi-pagi aku harus ke luar kota. Tolong keluar, biar aku beristirahat.”
Hati Sandrina kembali perih menerima perlakuan sang suami. Sebuah kebahagiaan harusnya dirasakan keduanya. Akan tetapi, Bastian masih saja bersikap kaku dan dingin.
Sandrina menahan tangis, air matanya sudah habis selama ia menikah dengan Bastian. Ia bergegas ke luar karena mendengar suara bel berbunyi. Sebelum itu, ia menoleh ke arah sang suami. Tetapi, Bastian tetap memunggunginya.
Tangan itu kembali mengusap wajah, sebelum ia membuka pintu.
“Ibu,” ujar Sandrina saat melihat ibu mertuanya muncul di depan pintu.
“Ibu senang kamu akhirnya hamil.” Ibu mertua Sandrina memeluk sang menantu dengan bahagia. Akhirnya, Sandrina bisa tersenyum saat ada orang yang bahagia dengan kehamilannya.
“Selamat, Kak.” Suara bas Ferdi—adik ipar Sandrina sangat familiar di telinga Sandrina.
Ferdi menjabat tangan Sandrina yang terlihat bahagia. Pria itu pun ikut senang dengan berita yang sangat di tunggu oleh keluarga mereka. Namun, saat Sandrina dan sang ibu melangkah masuk, senyum d bibir Ferdi sirna begitu saja.
Ferdi menarik napas, lalu melangkah masuk mengikuti kedua wanita itu.
***
Bu Hana menghampiri Bastian yang tertidur di kamar. Sabrina sudah mengatakan jika suaminya sedang tidak mau di ganggu, tapi ibu mertuanya tidak menggubris larangannya.
Wanita dengan gamis syar’i itu masuk ke kamar sang anak. Dilihatnya Bastian tertidur pulas, langsung saja Bu Hana menarik selimut Bastian.
“Bas, bangun,” ujar Bu Hana.
Bu Hana menggoyang-goyangkan tubuh Bastian. Namun, pria itu tak kunjung terbangun.
“Bas, bangun!”
“Apa, sih. Sudah gua bilang jangan pernah ganggu gua tidur!”
Bastian terdiam saat melihat bukan Sandrina yang ada di hadapannya. Bu Hana menggeleng melihat kelakuan Bastian yang membuatnya malu di depan menantunya.
“Cepat ganti baju kamu, kita antar Sandrina ke Dokter Kandungan!” titah sang ibu.
Bastian mengusap wajah dengan kasar. Kepalanya masih terasa berat saat tidurnya harus terganggu hingga membuat pening.
“Ibu saja, aku malas. Lagi pula, aku lelah bekerja seharian di kantor,” tolak Bastian.
“Tidak ada alasan apa pun untuk menolak. Harusnya kamu bahagia dengan kehamilan Sandrina. Bukan malah acuh seperti ini,” cecar Bu Hana.
“Cukup, Bu. Aku lelah untuk keadaan seperti ini. Antar saja dia dengan ibu dan Ferdi. Jangan mengganggu aku.” Bastian kembali menutup tubuh dengan selimutnya.
Bu Hana emosi melihat tingkah anak pertamanya itu. Lagi, ia menarik selimut putih itu dan menarik lengan sang anak.
“Cepat bangun atau—“
“Atau apa? Ibu selalu saja mengancamku. Cukup, Bu. Dengan menikahinya, apa kurang baktiku? Aku tidak mencinta dia, untuk apa aku peduli dengannya.”
“Jika kau tidak mencintainya, bagaimana bisa dia hamil? Tak mencintai, tapi menghamili. Munafik!”
“Bu, saat itu aku sedang mabuk, jadi tidak tahu aku melakukan hal itu. Lagi pula, hanya sekali aku melakukannya. Bagaimana mungkin bisa hamil secepat itu?” Kini Bastian malah meragukan anak dalam kandungan Sandrina.
Sandrina yang sejak tadi berdiri di ambang pintu langsung masuk dengan emosi.
“Boleh kamu nggak mengakui aku sebagai seorang istri. Tapi, tolong jangan berpikir jelek tentangku. Demi Allah, ini anak kamu Mas, hanya kamu yang pernah menyentuhku.” Sandrina berlinang air mata. Dadanya bergetar hebat, sekujur tubuhnya terasa dingin begitu juga emosi yang kuat memuncak.
“Alah, nggak usah sok suci,” ujar Bastian.
“Aku bukan sok suci, tapi setidaknya aku berusaha menjadi istri yang baik. Kamu pikir, hanya kamu yang tidak bahagia? Aku juga, Mas! Saat bercinta pun nama wanita lain yang kau sebut!”
Dada Sandrina bergemuruh hebat, netranya menatap tajam sang suami yang terlihat pucat saat ia menyebut nama wanita lain.
“Alika. Nama wanita itu yang kau sebut selama kamu menggauli aku.”
Tamparan keras mengenai pipi Bastian. Bu Hana tidak tega melihat luka yang ditorehkan sang anak pada menantunya.
“Siapa itu Alika, Bas?”
Bastian menoleh ke arah Sandrina. Karena sang istri, ibunya harus tahu tentang wanita idaman lain yang membuat jantungnya seolah-olah berhenti saat ia sedang bersama wanita itu.
“Katakan, Bas!” Bu Hana mendesak sang anak.
Ferdi gegas menghampiri sang ibu saat melihat wanita itu mulai memegangi dadanya yang terasa sakit.
“Bu, jangan berteriak terus. Mereka sudah menikah, biarkan menyelesaikan masalahnya sendiri,” bujuk Ferdi.
“Alika itu, kekasih Bastian. Benar, bukan, Bang?” Ferdi mengulas senyum saat Bastian mengangkat kepala.
Bastian terperangah dengan ucapan sang adik. Ia melihat mimik wajah sang ibu yang merah padam. Netranya berulang kali mengerjap, tangannya sudah mengepal keras dan siap menerkam Ferdi.
“Sialan!”
Bastian mengangkat tangan dan ingin memberikan hantaman untuk Ferdi. Namun sayang, Sandrina yang berniat menghalangi niat Bastian, malah ia yang terkena pukulan tangan sang suami.
Bu Hana histeris saat Sandrina luruh ke lantai, apalagi Ferdi yang langsung gegas membangunkan Sandrina yang pingsan.
Bu Hana langsung mengambilkan air untuk mengompres wajah Sandrina yang terkena pukulan Bastian. Lalu, Ferdi mengambil minyak angin agar Sandrina cepat sadar.
Sementara, Bastian sama sekali tidak merasa cemas melihat keadaan sang istri. Pria itu malah melangkah masuk.
“Tunggu!”
Ferdi menarik lengan Bastian, sang kakak menghentikan langkah dan membalikkan badan.
“Lo nggak punya hati, apa?” Ferdi berteriak kencang.
Bastian terlihat tenang menghadapi sang adik. Walau hatinya sudah merasa dongkol dengan kehadiran Ferdi di rumah itu.
“Yang nggak punya hati, gua apa elu?” Bastian tersenyum sinis.
“Jangan memutar balikkan fakta. Apa maksudnya?”
“Dua tahun pacaran, lalu lu selingkuh dan menggantungkan Sandrina. Di sini siapa yang nggak punya hati?”
Wajah Ferdi memerah, rahasia ia dan Sandrina ternyata diketahui sang kakak. Kini, semua menjadi tegang. Termaksud Bu Hana yang kini melangkah mendekat.
“Jelaskan apa yang dikatakan kakakmu, Ferdi?”
Ferdi terdiam, ia menyadari wajah pengungkapan Sandrina yang kini terbaring tak berdaya.
***
Bastian membantu Sandrina beranjak dari lantai walau dengan tangan satu terinfus. Ia panik karena sejak tadi sang istri memegangi perutnya. Bastian mencoba mengelus perut Sandrina agar lebih tenang.“Bu, periksa ke Dokter Kandungan saja,” ujar Bastian.“Enggak apa-apa, Mas. Ini hanya keram sedikit saja nanti hilang,” tolak Sandrina.“Kamu bilang enggak ada masalah, memang kamu bisa lihat anak kamu di dalam? Aku enggak mau tahu, nanti aku temani kamu ke Dokter Kandungan,” ucap Bastian memaksa lagi.“Bas, biar ibu saja. Kamu tetap di kamar, istirahat.” Bu Hana memerintahkan Bastian untuk tak pergi ke mana-mana.Bastian malah mencemaskan Sandrina, bukan dirinya. Melihat sang istri kesakitan ia merasa sangat bersalah karena tak bisa melakukan apa pun. Seperti yang di katakan sang ibu, Sandrina pun di ajak ke Dokter Kandungan.Sepertinya Sandrina, ia menatap sekeliling. Ia merasa betapa bodohnya selama ini telah menyia-nyiakan wanita seperti Sandrina. Matanya tertutup oleh cinta buta pada
Kondisi Bastian belum stabil, ia masih tertidur akibat obat bius yang diberikan oleh Dokter. Sandrina begitu cemas dengan kondisi sang suami yang menghawatirkan. Sepetinya Bastian mencoba mengingat beberapa kenangannya. Namun, bukan pulih malah membuat ia merasa kesakitan hingga pingsan.“Fer, Nit, kian pulang saja. Istirahat,” ujar sang ibu.“Ibu bagaimana,” tanya Ferdi.“Ibu menemani Sandrina. Kalian pulang saja, bagaimana?”“Kalau itu yang ibu mau, kita istirahat dan nanti gantian saja.”Bu Hana setuju, Ferdi langsung mengajak Anita pulang karena ia merasa sang istri sudah sangat lelah. Anita pun terlihat memang sangat pucat, mungkin efek kurang tidur sampai membuat mata panda di kantung mata.“Kamu mau makan dulu apa nanti di rumah?” tanya Ferdi.“Di rumah saja, aku lelah,” ujar Anita.Ferdi pun langsung mengikuti langkah sang istri untuk pulang. Sudah beberapa hari ia mengurusi masalah sang kakak dan lupa dengan kebahagiaannya sendiri. Apalagi sampai lupa dengan kesehatan Anita y
Dimas memegangi pipinya yang terkena hantam Bastian. Sementara, Bastian sudah sejak tadi sudah tak tenang mendengar penjelasan Dimas.Bastian benar-benar kecewa dengan Alika. Wanita itu sudah membuat hidupnya kacau. Apalagi saat dia datang dan mengaku hamil anaknya. Tangis Alika pecah saat Dimas menceritakan semua. Kekhilafan dirinya hingga bisa hamil anaknya Dimas.“Berengsek!” teriak Bastian.Ferdi menahan sang kakak yang begitu emosi. Bastian geram karena ulah Alika juga murka dengan apa yang mereka berdua lakukan. Ferdi menahan Bastian kembali karena ia hampir saja menghantam Dimas.“Aku tidak salah karena ingin bertanggungjawab saat itu. Hamil atau tidaknya Alika, tapi dari menolak. Awalnya aku tidak tahu kalau Ferdi tak bercerita tentang ulah Alika. Dari sana, aku curiga dan memutuskan menemui Alika. Dia berlari hingga jatuh dan keguguran.”“Bohong, dia bohong!” pekik Alika histeris.“Cukup, jangan mengelak Alika!” Dimas tak kalah bersuara.Bastian memegangi kepalanya yang teras
Saat sampai di rumah, Bastian di kagetkan dengan kedatangan Alika yang sudah menunggunya sejak tadi. Wanita itu sempat menghilang, tapi datang kembali dan membuat pria itu begitu terkejut.Sepintas ia menoleh ke arah Sandrina yang sudah merenggut. Ingin rasanya langsung menenangkan sang istri. Akan tetapi, ada Alika yang sejak tadi menatapnya.“Sayang, aku nungguin kamu. Kamu baru pulang?” Alika langsung mendekat dan menyingkirkan Sandrina.“Kamu jangan kasar sama Sandrina dia sedang hamil.” Sergah Bastian.Alika menganga mendengar Sandrina di bela Bastian. Kesal mendengar hal itu, Alika pun menarik Bastian untuk berdiri di sampingnya.“Heh, kamu itu jangan bikin ulah. Terjadi sesuatu sama calon cucu saya, saya buat hidup kamu menderita,” ancam Bu Hana.“Bu, sudah. Biar aku bicara dengan Alika dulu.”“Aku hamil, kamu ikutan hamil. Jangan-jangan kamu hamil bohongan untuk menarik simpati Bastian,” cecar Alika.“Heh, kamu tuh yang hamil pura-pura. Coba cek saja kalau memang kamu benar ha
Bastian memukul kaca mobil dengan kesal, ia merasa kali ini sangat mencemaskan Sandrina. Namun, ia masih bingung bagaimana bisa ia begitu mencemaskan sang istri. Apalagi dulu dirinya sangat mencintai Alika.“Apa yang di perbuat Sandrina sampai aku merasa sangat takut kehilangan dia!”Sandrina terlihat menghampirinya, Bastian pura-pura biasa kembali. Bastian kembali cemas saat sang istri seperti memegangi keningnya.“Kamu sakit?” tanya Bastian.“Harusnya aku yang tanya sama kamu, kamu sakit atau otak kamu habis kepentok apa? Tiba-tiba menjadi baik sama aku. Lalu, mengakui aku di depan umum,” ujar Sandrina.“Eh, itu, aku hanya enggak suka lihat kamu di perlakukan seperti pesuruh. Kamu ini istri aku, jadi tidak ada yang boleh memperlakukan kamu seperti itu. Lagi pula kamu lagi hamil, mengerti?”Sandrina langsung memeluk sang suami. Tidak peduli di tempat umum, sedangkan Bastian merasa risi mendapat perlakuan dari Sandrina. Ia berusaha melepaskan tangan sang istri dari tubuhnya.“Aduh, ka
“Pergi kamu!” teriak Alika.Alika begitu syok saat ia mengalami keguguran. Hal itu membuat dirinya gagal dinikahi Bastian jika pria itu tahu sudah tak ada janin di dalam kandungannya. Alika menyalahkan Dimas yang tiba-tiba saja menandatangani surat untuk melakukan operasi.“Lik, harusnya kamu sadar, kamu seorang dokter kandungan dan pasti tahu kalau bayi itu enggak akan bisa terselamatkan dan harus di keluarkan. Lagi pula, untuk apa kamu pertahankan kalau kamu tak meminta pertanggung jawaban aku?” tanya Dimas.Alika bergeming, Dimas tidak tahu kalau ia mempergunakan kandungannya untuk menipu Bastian dan keluarganya. Jika ia keguguran, maka tidak ada pernikahan yang akan terjadi di antara keduanya.“Itu bukan urusan kamu.” Alika kembali emosi dengan apa yang ditanyakan Dimas.“Itu menjadi urusan aku. Itu anak aku, kan?” tanyanya lagi.Alika memalingkan wajah, tidak mungkin ia menjawab anaknya Bastian. Pria itu tidak akan mungkin percaya dan malah akan bertanya pada Bastian. Apalagi ked
“Hei,” ujar Bastian. Ia pun bergegas menyusul Sandrina ke luar.Setelah semalam ia tak bisa tidur memikirkan dirinya, Bastian mengejar Sandrina dan menarik lengan sang istri untuk berangkat bersama dengannya. Sandrina tetap menolak, tapi Bastian malah menggendong dirinya dan langsung memasukkannya ke mobil.“Aku bilang enggak mau,” ujar Sandrina.Sandrina tak bisa ke luar karena pintu mobil sudah terkunci otomatis. Bastian tetap tenang walau suara sang istri membuatnya pening. Sandrina terdiam saat tiba-tiba Bastian melumat bibirnya dengan lembut. Ia tak bisa berkutik dan malah menikmati ciuman itu karena sudah lama tak menerima sentuhan lembut sang suami.“Diam, kalau terus bicara, terpaksa aku buat kamu enggak berkutik di mobil.”Sandrina langsung diam karena tangan Bastian sudah siap membuka kancing bajunya. Bastian kembali duduk dan fokus menyetir setelah meluapkan kepenatan yang ia rasakan semalam. Bahkan, kali ini rasanya ia ingin sekali menyentuh Sandrina dan menciumi seluruh t
Cintanya pada Bastian membuatnya semakin menjadi, Alika pun tak malu untuk meminta sang kekasih untuk segera menikahinya walau ia tahu bukan pria itu yang harus bertanggung jawab atas kehamilannya. Sementara, Sandrina mulai kesal, ia pun berdiri di depan Alika.“Keluarga macam apa ini, aku hamil loh, Mas. Apa kamu lupa janji kamu saat meniduri aku?”Apa yang terlontar dari mulut Alika benar-benar membuat Bastian muak. Apalagi ia sama sekali tak melakukan hal itu. Pikirannya tak sebejat itu jika hanya ingin mendapatkan restu orang tua. Bastian pun menarik napas dalam, ia harus menjalani rencananya agar Alika tak banyak bicara.“Baik, aku akan menikahi kamu. Asal, setelah anak ini lahir, kamu harus tes DNA.”Alika bergeming, tapi kembali ia tak memedulikan apa perkataan Bastian. Ia akan mencari cara agar tak ketahuan kalau ini bukan darah dagingnya. Alika pun tersenyum lebar karena keinginannya akan terwujud.Sandrina meremas ujung baju, ia kecewa walau tahu sang suami hanya berpura-pur
Ruangan itu terasa sangat menegangkan. Apa yang di katakan Bastian membuat Sandrina tak tahan jika pria itu akan menikahi Alika. Ia tak mau berbagi hati dengan wanita lain, apalagi Kebahagiaan yang bagus saja ia dapat harus begitu saja terenggut.Bastian duduk dan memperhatikan Sandrina, ia pun ingin sekali memeluknya tanpa tahu alasannya apa. Setelah kecelakaan itu, ia merasa bingung dengan keadaan. Apalagi saat ia merasa dirinya sudah tak merasa ada yang spesial dengan Alika.Pria itu bangkit dan menuju kamarnya. Ia menahan semua gejolak di jiwa saat melihat Sandrina. Ia pun kembali ke kamar Sandrina dan langsung memeluknya. Sandrina merasa aneh dengan sikap Bastian, begitu juga Bu Hana.“Aku enggak tahu, mendengar kamu hamil perasan aku beda dengan saat aku mendengar Alika hamil. Bahkan, sejak tadi aku menahan untuk tidak memeluk kamu, tapi aku tak kuat dan kembali ke kamar ini,” ujar Bastian.Sandrina terharu dan ia menangis saat sang suami lupa dengannya, tapi hatinya tidak perna
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments