Tak sengaja aku menabrak seseorang dan merusak barangnya yang paling mahal. aku yang sedang dalam kesulitan ditambah harus membayar ganti rugi pada pria itu terpaksa pergi ke kantornya untuk minta maaf. Lalu dia menawariku sesuatu yang akan membuatku menjadi kaya dan menyelamatkan ibuku. dia memintaku untuk jadi istrinya dalam beberapa bulan saja. lalu itu terjadi dan menjadi kisah cinta yang luar biasa
View MoreAku tercenung di kursi ini, berperan sebagai ratu sehari, mengenakan gaun pengantin dengan perhiasan indah yang bertabur berlian mewah. Kaget? iya, aku terdampar dalam pelaminan dan hiruk pikuk pesta ini.
Aku seperti boneka yang dipasang di pelaminan sebagai pajangan, sendiri tanpa mengenal siapa pun dari mereka di antara hiruk-pikuk pesta, musik yang menggema dan canda tawa tamu yang berbahagia. Dalam hati aku bertanya? Apakah ini sebuah kenyataan atau hanya mimpi satu malam? Hingga kutolehkan wajah menatap pria dengan tuxedo yang membungkus tubuh atletisnya, dari samping diam diam hati ini bergetar dan mengakui bahwa ia lumayan tampan dan berkharisma, setidaknya ketika kutatap mata elang dengan bingkai bulu mata seperti barisan pedang Arab dan alisnya tebal, raganya terlihat kokoh dan maskulin ditumbuhi bulu-bulu yang cukup membuat siapa saja kuyakin akan menelan ludah. Sesekali, pria yang tadi siang kusebut suami itu melambai dan tersenyum bahagia terhadap teman-teman yang memberinya isyarat dari jauh dan menggodanya. Kulirik tangannya yang di sana melingkar cincin pernikahan kami, ada inisial namaku di sana, Nadia Citra . Dan aku juga mengenakan cincin berinisial namanya, Aldian Hariyanto. "Kamu sesekali tersenyumlah, jangan sampai pernikahan palsu ini justru semakin menunjukkan kepura-puraan kita," ucapnya pelan tanpa menolehku sedikitpun, wanita cantik yang sudah didandani bak boneka untuk menghadapi hari pertama pernikahannya. "Iya, Pak." Aku menyunggingkan senyum padanya pria yang kutaksir umurnya tak begitu jauh dariku. Sekitar 29 tahun. "Seperti itu lebih baik." Ia menatapku lalu menoleh tapi tidak membalas senyumku dengan selarik gurat manis dari bibirnya. Ah, kulkas. Kucoba menghela napas perlahan sambil menoleh ke arah Ibu yang duduk di sudut ruangan, menepi dari hingar-bingar pesta, wajahnya terlihat khawatir padaku. Kuberikan ia segaris senyum yang mengisyaratkan bahwa aku baik-baik aja tapi wanita tercintaku itu terlihat menggeleng pelan lalu mengusap sudut matanya. * "Kok tiba-tiba mau menikah, Nak?" "Iya, mungkin ini udah waktunya Nadia melepas masa lajang Bu." "Tapi, ibu baru mengenal pemuda yang kau bawa sebagai calon suami, apakah kau punya maksud tersembunyi menikahi pria asing yang bahkan belum pernah kau ceritakan sekali pun pada Ibu." Seolah tahu isi hatiku, ibu terlihat amat keberatan dan ragu. "Ibu percayalah, Nadia akan bahagia dan baik baik saja." "Ibu ragu Nak, kita hanya keluarga miskin dan keluarga Hariyanto ... Siapa yang tidak mengenal mereka pengusaha sawit yang punya perkebunan berhektar-hektar yang memasok 20 persen bahan baku minyak untuk negeri ini, siapa yang ga kenal, Nak?" "Mungkin itu keberuntunganku, Bu." "Jangan menggadaikan kebahagiaanmu demi uang," katanya, "Ibu tahu kamu melakukan ini demi mengobati ibu dan biaya sekolah adikmu." "Aku memang akan melakukan apapun demi Ibu, tapi tenang saja itu bukann alasan aku buru-buru menikah. Aku memutuskan menerima lamaran karena merasa sudah mantap untuk menjadi seorang istri." "Apa yang kau bangun dengan ketidak jujuran dan kepalsuan tidak akan bertahan lama." "Cuku doakan Nadia Bu, semoga rumah tangga ini berkah dan bahagia selamanya." Ibu hanya menghela napasnya pelan, sambil menatap lekat padaku. Ia tahu jika aku sedang berdusta. "Andai kau menikah dengan pria biasa pilihanmu, yang sungguh kau cintai, mungkin Ibu tak akan sekhawatir ini." "Percayalah." Aku memeluknya dan mencium tangannya dengan penuh bakti. "Restui aku Bu," pintaku. Akhirnya, bayangan kemarin ketika meminta restu itu kembali menari di pelupuk mata, dan beginilah akhirnya, aku menjadi pengantin dengan kesepakatan dengan pria yang kini duduk di sampingku. Kusentuh cincin bermata indah yang melingkar dijari, "Niat sekali ia membuat pernikahan ini terasa tidak seperti pernikahan settingan." Aku menggumam sendiri hingga beberapa rombongan tamu datang dan menyalami kami. Melihat penampilan mereka, kurasa mereka adalah sahabat atau rekan bisnis Pak Aldi. "Hai, Aldi, Ya ampun lu akhirnya nikah bro," sapa sahabatnya yang berkemeja merah. "Iya, Nih, bro, makasih ya udah datang." Aku dan dia menyalami beberapa sahabatnya hingga sahabat terakhirnya yang seorang wanita. Ia kini menatap Pak Aldi dengan intens, mata coklatnya menyiratkan sebuah perasaan sedih dan seolah berat melepaskan. "Selamat ya, Al." "Iya, makasih." Sentuhan tangan mereka, cara saling memandang, seperti menyimpan sebuah rahasia yang kini menjadi sebuah pertanyaan dalam benakku. "Apakah dia ini mantan kekasihnya?" Ah, kutepis perasaan aneh, itu . Toh, jika benar mantannya, atau kekasihnya sekalipun, tidak ada hubungannya sama sekali denganku. Tugasku hanya menjadi istri dan bersikap selayaknya istri, sisanya bukan urusanku. Kenapa begitu? Kami hanya pura-pura menikah, dan pura pura bahagia. Untuk apa? Aku tak bertanya lebih banyak tujuan pria dingin di sampingku ini. Menatap matanya yang tajam dan kaku itu saja membuatku malas untuk tahu, apalagi bersikap sok akrab. Lalu tujuanku? Uang, apalagi yang bisa kulakukan untuk membiayai perawatan ibu. Gajiku sebagai SPG di sebuah showroom ponsel tidak mencukupi pengobatan ibu yang mengalami sakit ginjal. Biaya cuci darah perminggu saja sudah cukup membuatku menahan diri untuk menikmati hidup, hanya bisa menikmati mie instan tiap hari. Meski penampilanku modis dan wajah yang bersih natural, mereka tidak tahu bahwa baju yang kupadu-padankan itu hanya baju bekas yang kudaur ulang. Lalu perhiasan dan tas? Semuanya tiruan dan kreditan. Tidak usah tertawa, hidup di kota besar dan di tengah persaingan yang ketat, aku harus memutar otak agar bisa diterima bekerja dan bertahan. Kisah hidup yang miris, iya. Aku terlihat bahagia dan baik-baik saja padahal di dalam sana, hati ini hancur dan rapuh, ditambah kepergian ayah yang tiba-tiba kecelakaan sewaktu aku masih duduk di bangku kelas 9 membuat kami harus banting tulang untuk menata hidup mandiri dan bertahan. Ah, air mataku meleleh mengenang itu, tapi segera kuhapus agar tak menjadi perhatian tamu dan keluarga Pak Aldi. * "Saya mau nawarin kamu pekerjaan," katanya ketika kutemui dia di kantornya, satu hari setelah pertemuan kami di showroom tempat aku bekerja. Tanpa sengaja aku menabraknya dan menjatuhkan iPhone 12 pro yang baru saja dia beli sehingga benda itu rusak. Berkali-kali aku minta maaf bahkan sampai menangis karena khawatir tak akan mampu membayar ponsel seharga hampir 30 juta itu. Pria itu terlihat murka tapi tidak mengatakan sepatah kata hingga ia menyuruhku untuk menemuinya di kantor yang tertera di kartu nama miliknya. PT. Indo Palm raya, nama perusahaan yang membuatku menelan ludah, apalagi ketika kubaca posisinya adalah Director of finance. Oh Ibu .... Jadi, siang itu aku telah duduk berhadapan dengannya. Masib gugup dada ini ketika pandangan kami bersitatap dan tanpa banyak bicara ia langsung menyuruhku duduk. "Pekerjaan apa Pak?" "Sedikit butuh waktu dan beresiko, Tapi saja jamin gajinya lumayan besar, cukup untuk menutupi semua kesulitammu," katany penuh misteri. "Maaf, tapi, Anda tahu dari mana saya oranh susah dan lagi butuh uang, Pak?" "Bukan hal yang sulit, katakan saya, kau mau atau tidak?" "Pekerjaannya apa?" "Jadi istri saya." Aku terkesiap mendengarnya. Terlihat seperti pelecehan padaku dan terkesan main main saja. "Aku tahu kamu ragu, tapi dengan gaji 40 juta sebulan, kamu tidak tertarik?" Ia mengangkat alisnya sebelah. Tenggorokanku mendadak kering mendengarnya.Sepanjang bekerja siang ini aku terus gelisah dan tidak bisa fokus. Aku cemas Mas Aldi dan Mas Rizal akan datang bersamaan untuk menjemputku dan seperti biasa mereka akan bertengkar untuk berebut siapa yang paling berhak mengantarku pulang.Konflik antara dua orang sahabat yang merupakan rekan kerja, bos dan asisten mereka saling bermusuhan gara-gara wanita yang mereka sukai. Namun, ah, terlalu percaya diri jika aku menyebut diriku sebagai wanita rebutan mereka.Jadi jika Mas Rizal tidak menyukaiku lantas Apa maksud dari sikap baiknya selama ini, Apakah hanya sebuah rasa kasihan atau ingin berteman? Tapi jika dia hanya ingin berteman, mengapa harus berteman denganku garis dari kelas bawah dan merupakan mantan istri dari bosnya. Bukan! aku bukan mantan istri, tapi masih istri sah dari Mas Aldi.*Sore hari,Kubereskan semua pekerjaanku,dan bergegas berpamitan kepada teman-teman dan bos lalu mengambil tas dan bersegera untuk pergi dari tempat itu.Aku berencana untuk pulang lebih cepa
Keesokan hari setelah mentari bersinar begitu cerah, aku telah menyelesaikan semua tugas rumah dan menyiapkan sarapan untuk ibu lalu bergegas mengganti pakaian dan berangkat kerja.Ketika hendak keluar dari gang menuju jalan utama, tiba-tiba aku terkesiap karena mendapati Mas Aldi sudah duduk santai di kap mobilnya mengenakan setelan lengkap serta kacamata hitam. Dia terlihat begitu tampan dan menggetarkan hatiku, namun seketika, getaran itu kutepis karena percuma saja, aku tetap tidak akan cocok untuknya.Sengaja aku langsung berjalan tanpa memperdulikan dirinya. Dengan langkah dan wajah acuh, kulewati saja dirinya."Eh, tunggu, Nadia, biar aku yang mengantarmu pergi kerja," ujarnya sambil menyunggingkan senyum termanis."Enggak usah, aku akan jalan kaki, sebaiknya Mas berangkat kerja saja, nanti telat.""Yang jadi direkturnya 'kan aku, jadi kapan pun masuk ga masalah," jawabnya santai."Oh, ya? baiklah, kalo begitu." Aku melangkah pergi namun ia kembali menarik lenganku."Maaf, Mas
"Apa?" Aku terbelalak tidak percaya mendengar ucapannya barusan."Iya, aku ... tidak mau berpisah," tegasnya."Kenapa kau menyuruhku pergi?""Aku pikir aku bisa hidup tanpamu tapi ternyata ... tidak." Nada suaranya melemah.Dia berdiri dengan tatapan nanar namun dia tak menatapku melainkan menatap kepada aspal jalan. Tetap saja, meski dia berteriak tidak ingin berpisah namun aku tidak mengerti mengapa dia menahanku dan tidak mau berpisah denganku.Tidak bisakah dia jujur apa sebenarnya maksud dan tujuannya?"Maaf ... aku mau pergi Mas, aku lelah dan mau pulang," ujarku sambil beranjak.Namun dengan gigihnya dia kembali menarik lenganku dan berusaha menahanku."Lepaskan aku, kau memaksaku menikahimu, aku menuruti dan berusaha menjadi istri yang baik, meski berkali-kali kau mengingatkan bahwa ini hanya pernikahan kontrak, ketika kau mengusirku maka aku rasa kontraknya sudah berakhir.""Secara agama dan hukum kau adalah istriku," sanggahnya."Apa maumu, sekarang di waktu yang seperti ini
"lepaskan kita tak bisa begini!" Aku melepas pelukan suamiku itu."Kenapa?" Air hujan membasahi wajahnya."Kau melukaiku, dengan wanita itu, aku benci denganmu, pergi dari sini, dan jangan temui aku lagi, aku akan menggugat segera perceraian kita.""Kamu yakin?""Aku tidak bermain-main! Aku akan menabung dan menggugat ceraimu, kuharap kamu tidak mempersulitku."***Dua hari setelah itu, "Hai, kamu sudah mau pulang?" Manager sekaligus sahabat Mas Aldi, Mas Rizal menyapaku.Iya Mas aku mau pulang, Mas,dari mana kok bisa ada di daerah sini"Aku memang datang ke sini buat menjumpai kamu," jawabnya."Oh, ada apa, Mas?" Tanyaku heran."Gak ada mau nyari aja, bolehkan?""Eh, i-iya, gak apa," jawabku.Dan beginilah kami, duduk di depan sebuah cafe bertema Paris yang menghidangkan minuman susu coklat yang lezat. Ada meja mini dengan dua kursi, ornamen dinding hingga pagar dihias bunga bertema ungu dan pink, sedang terali pagar dan pintu terbuat dari besi yang berbentuk artistis, aku mengagum
Ya, aku bertemu dia lagi, bahkan aku masih berhak menyebutnya suami. kami belum resmi bercerai namun dia sudah menggandeng wanita baru.Mungkinkah aku tidak berarti sama sekali di matanya? Ah, lagipula siapa diri ini sehingga dia harus mengingat dan mementingkanku. Dan wanita yang kini bersamanya terlihat sangat keren dan elegan, jauh sekali dari penampilanku yang kerap mengenakan kemeja, celana jeans dan sepatu kets.Sesaat ketika mata kami saling bertemu pandang, agak canggung Mas Aldi menatapku namun kemudian wanita itu mendekat dan bergelayut di bahunya kemudian mengajaknya pergi."Ayo, Sayang."Mas Aldi tak serta merta bergerak, tataoan matanya lekat padaku. Wajah itu menunjukkan sesuatu yang rindu sekaligus juga genggsi untuk mengakuinya."Tolong jangan tatap aku, jika seperti ini aku akan semakin jatuh cinta dan merindukanmu," batinku sambil membalikkan badan dan menjauh pergi."Nadia ...." Suara itu menghentikanku."Iya ...." Aku ragu untuk kembali menatap sorot bening matanya
Aku kembali ke kota semula, di mana semua kejadian pahit ini bermulai, kembali ke pellukan ibu tercinta yang sudah lama menunggu kehadiranku di rumah.Pertama kali kukentuk pintu rumah sederhana setelah menikah dengan Mas Aldi, daun pintu bergerak dan sesosok orang yang selalu kurindukan itu berdiri dengan tatapan penuh kasih dan langsung memelukku."Ya Allah, Nak, kamu pulang," ujarnya dengan penuh haru."Iya, Ibu, Nadia pulang dan tidak akan pergi kemana-mana lagi," jawabku lesu sambil menitikkan air mata."Nak ...." Bibir Ini bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu namun dia menahannya mungkin karena tak ingin membuatku terluka."Tidak usah di ceritakan, pokoknya sekarang kamu tenang, setidaknya kamu sudah kembali ke rumah ibu, ibu gak banyak tanya," ujarnya sambil menggenggam tanganku."Ibu ...." Aku menghambur ke pelukannya dan kami bertangisan."Orang kaya tidak akan pernah menghargai perasaan tulus orang seperti kita, ibu paham apa yang kamu rasakan," bisiknya."Mas Aldi, Bu
Kuhampiri dengan anggun, lalu menghempas diri di antara kerumunan wanita cantik itu. Mas Aldi kaget begitu juga wanitanya."Eh, siapa ini Mas?""Uhm, pegawai saya, maksudku, asisten," balasnya santai."Ehm .. hhem ... saya istrinya, saya benaran istrinya, kami kemari bulan madu, kalian mau lihat surat nikah?""Wooow ...." Mereka kaget sekaligus ada raut tak percaya."Kamar kami nomor 405, silakan ke sana buat yang penasaran," ujarku sambil memperlihatkan kartu kunci kamar."Masak sih?""Atau langsung ke resepsionis, konfirmasi kalo pesanan ini buat pasangan," jawabku santai dan membuat mereka segan dan langsung menjaga jarak pada Mas Aldi."Benarkah itu mas Aldi?" tanya mereka."Eggak, siapa yang bilang Mas Aldi," menggeleng cepat menolak pertanyaan para gadis-gadis cantik itu."Ya udah deh, kalau dia udah punya istri lebih baik kita mundur aja," ujar seorang wanita sambil bangkit dari tempat duduknya dan diiringi oleh gadis-gadis seksi lainnya hingga mereka benar-benar tidak bersisa
"ayo cepat," ujarnya memberi isyarat dengan lambaian."Iya, Mas,. Bentar ... Nyangkut," jawabku pelan."Buruan."Ia kembali membalikkan badan, sambil tetap menarik roda koper, aku merutuk kenapa juga roda itu harus tersangkut, dan kenapa juga Mas Aldi begitu acuh dengan keadaan ini. Tidakkah dia memperhatikan bagaimana orang-orang menertawakanku?Selagi terus berusaha aku tak menyadari bahwa pria tampan dengan wangi parfum khas kayu kayuan elegan telah hadir di belakangku, melingkari tubuh kecil ini dengan posturnya dan ia menyentuh tanganku sambil membantuku mengangkat koper itu.Seketika orang yang tadinya tertawa jadi terdiam seketika."Maafkan kalo istri saya membuat kalian tertawa," ujar Mas Aldi sukses membuat orang sekitar yang duduk dan berlalu lalang jadi diam dan malu."Oh, istrinya Pak ... Saya kira asis ....""Dia istriku sayang," potong Mas Aldi sambil melingkarkan lengan di bahuku dengan hangat."Ayo, Sayang, kita masuk ke ruang tunggu.""Iya, Mas," jawabku lirih dan se
"Kamu harus lebih sering keluar kota sekarang, karena harus bertemu klien dan mengurus semua bisnis kita," ucap ayah Mas Aldi ketika kami sedang berkumpul di meja makan untuk makan malam."Iya Pa, aku ngerti," jawab Mas Aldi santai menyendokkan makanannya.Ada yang mengherankan di keluarga ini ketika keluarga lain bercengkerama dan penuh canda tawa di meja makan, mereka sebaliknya, hanya diam dan seolah tenggelam di dunianya sendiri.Mereka terdiam seribu bahasa dan tidak ada seorang anak pun yang berinisiatif memulai percakapan dan menceritakan kegiatan harinya dengan orang tua ataupun orangtua dengan lembut memberi wejangan terbaik kepada anak-anak mereka.Keluarga yang aneh."Ajaklah istrimu sekalian menghabiskan bulan madu kalian," suruh Papa mertua."Enggak penting Pa, aku akan pergi menemui klien lalu di segera kembali ke sini," jawabnya."Berlibur di villa keluarga kita akan menyenangkan untuk istrimu, Aku tidak ingin hubungan kalian kaku."unsur ayah mertua sangat bagus dan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments