"Bagaimana tertarik?"
Ulangnya. "Kenapa harus saya, padahal, kan bisa menyewa model atau wanita yang lebih cantik." "Aku bisa melakukan itu, tapi terlihat tidak masuk akal, dengan gadis biasa golongan menengah lebih natural bagiku." "Apa? Dia Ia menyebutku golongan menengah? Meski itu kenyataan, tapi rasanya kok nyeri ya?" Aku membatin. "Berapa lama?" "Sampai aku tidak membutuhkanmu," jawabnya. "Bagaimana kalo saya menolak?" "Aku yakin kamu tidak akan rugi, hidupmu akan bergelimpangan kemewahan, dan derajatku menanjak seketika.", "Percuma itu hanya sementara, lagipula kalo sampai ketahuan, maka rumor akan beredar dan menjadi skandal yang tidak akan baik untuk Anda dan perusahaan Anda." "Aku punya tim humas yang akan mengendalikan semua berita yang beredar." "Intinya tujuan anda apa? Demi meluluskan permintaan orang tua atau ada hal lain." "Aku tak bisa menjelaskan, tapi jika kau setuju akan kulit berkas kontrak yang bisa kau pelajari." "Bagaimana jika perjanjian kerja lebih banyak merugikan saya?" "Aku akan menggantinya dengan uang." Ujarnya dengan raut datar. "Apakah hanya tentang uang saja?" "Kita bekerja membanting tulang, bersaing kecerdasan dan kemampuan, rela berkorban banyak waktu dan tenaga, demi apa lagi kalau bukan demi uang?" "Terlalu sederhana jika saya menyebut Anda sombong, namun saya akan memikirkan hal itu." "Baik terima kasih, kau bisa pergi sekarang." Aku melangkah pergi meninggalkan tower lantai lima milik PT Indo Palm raya itu. * "Lo yakin, lo ga lagi halu kan diajak nikah sama pengusaha?" Kata sahabatku Nina yang saat itu berkunjung ke kostku. "Iya." Aku menahan singkat sambil mengunyah keripik kentang. "Aldian Hariyanto? Cowo keren dan tajir itu? Di I*-nya aja punya banyak penggemar. Semua orang mimpi jadi bininya dan lu tiba-tiba diajak nikah, lu pacaran sama dia, sejak kapan?" Ingin menceritakan yang sebenarnya namun ragu jika sahabatku yang 'pecicilan' ini akan keceplosan mengatakan yang sebenarnya kepada orang lain, tentu itu akan melanggar kontrak kerjaku dengan Pak Aldi. "Hei, lu pacaran sama dia?" Sekali lagi temanku menggeplak tangan ini. "I-iya," jawabku gugup. "Tapi gua gak pernah lihat Lo jalan sama dia?" "Lo kepo amat si, Nin, kehidupan kencan dan percintaan kan privasi gue." "Heleh hari gini Lo ngomong privasi, dasar," sungutnya merajuk. "Tapi Lo doain gua ya, semoga rumah tangga gua berjalan baik nantinya," pintaku. "Iya, insyallah, gua doakan, tapi lu harus serius berbakti jadi bini, Lo jangan mentang mentang udah kaya jadi belagu dan songong sama teman." "Enggak, kok Nin tenang aja." * Kontrak kerja sudah kutanda tangani, dua hari yang lalu, seperti biasa sambil menunggu kabar dari calon suamiku yang tajir itu aku tetap beraktifitas seperti biasa, bekerja dan pulang ke rumah kontrakan sederhana di akan aku dan ibu juga adikku tinggal bersama. [Gaun pengantinnu sudah aku pesankan, semuanya sudah siap, berikut juga perhiasannya, Minggu depan kita langsungkan acara. ] Ya ampun. Ia memilihkan gaun tanpa bertanya sedikitpun padaku aku ingin mengenakan apa di hari itu, tapi karena ini nikahnya hanya settingan mungkin aku tak perlu banyak membuat keluhan. Sesaat kemudian ponselku berdenting, sebuah gambar masuk, gaun pengantin bergaya klasik dengan kerudung menjuntai panjang yang mewah. Aku terpana melihatnya, mungkin harga gaun itu sangat mahal. [Wah, indah sekali, Terima kasih. Tapi anda menyewa di mana, Pak ] [Apa, menyewa? Aku tidak menyewa, aku membelinya ekslusif untukmu. ] [Benarkah?] [Jam lima sore nanti, akan ada tim yang menjemput kalian untuk pindah. ] Aku terkejut dengan sikap tidak terduga pria kaya itu. [Pindah kemana? Kami belum beli rumah, Pak. ] [ Aku sudah belikan sebuah rumah sederhana di komplek dekat klinik ibumu ] [Aduh terima kasih Pak, anda baik sekali, Saya tidak akan sanggup membayar kebaikan Anda.] [Cukup jadi istri yang baik saja] Aku hampir terbawa perasaan andai tidak segera menyadari bahwa ini hanya bagian dari kesepakatan kontrak kerja, hubungan profesional. [Siap, Pak. Tapi mengapa anda bela-belain beli rumah, bukankah itu akan merugikan.] [Akan memalukan bagiku jika mertuaku hanya tinggal di kontrakan kumuh sedangkan anaknya tinggal di mansion megah. ] Ava? Kumuh katanya? Dasar es balok tidak berperasaan. Dia tidak pernah menyadari bahwa betapa beratnya membayar kontrakan di tengah semakin mahalnya harga kebutuhan. Sekarang Kuberi ia julukan baru, Kanebo kering bermulut pedas. * Sampai pada waktunya, Akad nikah dan resepsi yang kini berlangsung semarak dan penuh canda tawa. Di tengah sana ada mereka yang kusebut mertua dan keluarga besarnya sedang bersulang merayakan pernikahan pewaris usaha raksasa mereka. Kulirik diri sendiri dan semua benda mahal yang kini melekat di tubuhku, agak janggal sebenarnya mendadak menjadi kaya dan seorang nyonya. Ada banyak kegundahan dalam dada ini tentang banyaknya skenario yang harus kujalani sebagai istri bayaran. Bagaikan jika mertua bertanya dengan detail hubungan kami dan keterangan yang kami berikan berbeda, bagaimana jika secepatnya mereka ingin diberi penerus keturunan? Tiba tiba mertuaku mendekat dan mengajakku turun untuk membaur ke para undangan. "Yuk turun, kita kenalan dengan sahabat dan keluarga," ajaknya. "I-iya," jawabku yang kemudian melangkah, diikuti oleh Pak Aldi. Ketika sampai di tengah ruangan, di mana semua orang bisa melihat kami, tiba-tiba pembawa acara meminta kami untuk melakukan wedding dance, tentu saja permintaan itu membuatku gugup karena seumur hidup aku tidak pernah berdansa apalagi kini pasanganku adalah pria berhati dingin yang ketika diajak bicara, jawabannya hanya ia dan tidak saja. "Aduh bagaimana ini saya tidak bisa berdansa," desisku di dekatnya berharap orang lain tidak mendengar pembicaraan kami. "Tenang saja, kau tinggal mengikuti langkahku saja." Ia lalu mendekatkan badan dan merangkul pinggangku membuatku salah tingkah, perlahan ia menyentuh tangan ini lalu menggerakkan tubuhnya mengikuti irama melodi yang mengalun, dan ajaib tubuhku juga tiba-tiba bisa bergerak mengikuti langkahnya tanpa canggung sedikit pun. "Menyenangkan bukan?" Bisiknya. "Iya," jawabku. "Tetaplah tersenyum dan terlihat bahagia." "Iya, Pak," jawabku yang saat itu tiba tiba lampu sorot pesta tepat menyinari kami. "Kini saatnya, pengantin pria mencium istrinya untuk pertama kali, beri teluk tangan yang meriah pada kedua pengantin," kata pemandu acara yang merupakan seorang artis dan presenter terkenal. Aku membulatkan mata padanya sedang ia masih terlihat cool dan santai saja. "Apa yang harus kulakukan," kataku dengan gugup. "Tetaplah bersikap wajar dan nikmati saja," katanya yang tiba-tiba saja mendekatkan wajah dan bibirnya hingga tak berjarak padaku. Ada sengatan serupa setrum menjalar di tubuh ini, dadaku mendadak berdebar kencang, pipiku memanas dan tak bisa kugambarkan seperti apa merahnya sekarang. Ketika sentuhan itu terlepas ia tersenyum tipis sambik mengedipkan sebelah mata. "Maaf." Ia mengatakan itu tanpa rasa beban sedikitpun. Oh tuhan, baru aja ia mengambil ciuman pertama dari bagian yang belum pernah disentuh seorang pun. Ya, aku memang belum pernah berpacaran dengan serius, karena hanya sibuk bergelut dengan kesibukan bekerja dan mencari nafkah. Kini pria yang ada dihadapanku menciumku tanpa aba-aba. Aduh Ibu ....Setelah acara pesta berakhir aku diarahkan oleh beberapa asisten keluarga Pak Aldian untuk meninggalkan ballroom, menuju kamar suite yang sudah dipesan khusus untuk pengantin.Ketika pintu kamar terbuka, aku sangat kagum sampai membulatkan mata melihat betapa mewahnya kamar yang disediakan untuk kami di hotel berbintang lima ini. Ranjang dengan ukuran king size yang bertabur bunga, selimut yang dibentuk seperti ornamen dua angsa yang saling berhadapan dan cahaya yang dibuat temaram dengan wangi yang sangat menyenangkan."Silakan masuk Nyonya, Pak Aldian akan datang beberapa saat lagi," ujar asisten tersebut dengan ramah ia yang membantuku mengangkat ekor gaunku lalu mendudukkanku di pinggir ranjang. "Apakah anda ingin mengganti pakaian sekarang nyonya?""Tidak usah, aku akan mengganti sendiri nanti," balasku.Sebenarnya aku bimbang apakah aku harus mengganti pakaian sekarang atau masih akan menggunakannya? karena saat ini aku adalah seorang pengantin.Aku bangkit menyibak tirai je
Tatkala kubuka mata, terbangun dari lelap tidurku di hari pertama menjadi seorang istri, kudapati ranjang pengantin kami telah sepi kuraba kasur dan bantal bantal sambil mengusap wajah berkali-kali mengumpulkan nyawa dan kesadaranku."Kau sudah bangun?" tanya atasanku itu yang juga suamiku ia terlihat telah mandi dan mengenakan kemeja dan sedang membenahi kancingnya."Iya," jawabku pelan."Apakah semalam tidurmu nyenyak?""Iya," balasku."Sarapan akan dibawakan petugas hotel bangunlah bergegaslah karena kita harus pulang ke rumah.""Ke rumah siapa?" Aku tahu pertanyaanku pertanyaan bodoh.Dia menatapku sekilas lalu berkata, "tujuannya sudah jelas."Mestinya pagi-pagi ini aku mendapatkan suntikan mood dan semangat yang bagus tapi menjumpai si Es balok yang dingin membuatku hanya mampu membuang napas kasar ah, sudahlah.Pukul 9 pagi kami berdua hendak check out dari hotel berbintang 5 yang menjadi saksi malam pengantin bisu kami.Kemudian kami berjalan bersisian menyusuri koridor hotel
"Ini Adalah kamar kita," ucapnya sambil membuka pintu kamar yang luasnya 5 kali luas kamarku di rumah. Tentu saja aku terpesona karena interior di dalamnya sangat indah dan mewah, perabotan terbuat dari kayu dan kamar di set dengan tema rustic yang elegan "Wah luas sekali, Pak. Kataku sambil menghempaskan diri di sofa yang empuknya belum pernah kucoba selama hidupku."Sofa ini nyaman, aku bisa tidur di sini.""Terserah kau saja, tapi seperti yang aku katakan, kau bebas tidur di ranjang.""Tapi ranjangnya adalah ranjang Pak Aldi."Ia menghampiriku menjongkokkan diri hingga wajahnya sejajar dengan wajahku perlahan ia dekatkan wajah itu sehingga mau tidak mau aku memundurkan diri sambil melirik ke kanan dan ke kiri berusaha menetralisir debaran di dalam hati, tatapan matanya seakan akan membuatku seperti es batu yang ditimpa sinar mentari."Kita suami istri 'kan?" tanyanya dengan penuh penekanan."Settingan 'kan?" Balasku hati hati.Dia mengangguk sambil tersenyum lalu menjauhkan di
Aku tidak menemukan sabun seperti yang aku cari jadi aku buka lemari yang menyimpan barang-barang kebutuhan mandi mas Aldi. Ada shaving cream, ada shampo khusus laki-laki serta alat pencukur dan semua botol yang memperhatikan yang ku asumsikan mungkin adalah sabun mandi yang dituang ke dalam bak mandi.Karena tidak ada pilihan lain maka akupun menuangkan sabun itu ke dalam rendaman ku agak banyak agar sesuai dengan jumlah air yang hampir penuh dalam bathtub."Apa Mas Aldi lupa kalau sekarang aku sudah satu rumah dengannya sehingga ia lupa meminta kepada asisten yang untuk menyiapkan kebutuhan mandiku?" Sialnya, aku pun lupa memasukkan sabunku di hotel tadi karena terburu-buru diajak pergi olehnya.busa sabun mulai timbul dan aku dengan gembira merendam di dalam air hangat yang mengeluarkan aroma wangi mewah tersebut."Wah, nyaman sekali," ujarku sambil merebahkan diri menikmati hangatnya bak pemandian sembari menikmati pemandangan di luar sana.Karena saking nyamannya aku menyedihk
Pukul 9 malam Mas Aldi pulang aku menyadari kehadirannya karena saat itu memang aku belum tertidur."Kau sudah tidur?" tanyanya yang sedang meletakkan dua kantong plastik di atas meja."Aku tidak menjawabnya sama sekali.""Kalau belum tidur bangunlah dan makan martabak yang aku bawakan untukmu, aku juga bawakan nasi goreng spesial."Aku sudah makan tadi." Tanpa sengaja Aku menjawab ucapannya di balik selimutSejenak ia tertawa lalu kemudian duduk di meja kerja dan membuka komputernya."Jangan bohong, nanti kau lapar.""Aku bilang aku sudah makan.""Tapi si Bibi mengatakan kalau kau belum makan dan tidak turun sama sekali ke bawah, apa yang terjadi?""Aku sedang tidak mood untuk turun ke mana-mana," jawabku."Kamu adalah pengantin di rumah ini dan seharusnya kau membaur dengan mertua dan kedua iparmu," ujarnya sambil menekuni layar laptopnya."Oh ya, aku belum bertemu dengan mereka.""Itu adikku memang sibuk dan hanya berada di rumah di akhir pekan.""Apa yang mereka lakukan?""Merek
Aku terbangun ketika matahari bersinar sangat cerah, saat aku membuka mata aroma kopi menguar menyentuh penciumanku, di meja tak jauh dari pembaringanku aneka roti sarapan telah dibawakan pelayan.Aku kagum dengan gaya hidup orang kaya, bangun tidur pun mereka langsung menikmati sarapannya, tanpa berpikir harus mencari uang dari mana untuk membeli bahan makanan lalu menyiapkan, luar biasa!"Kamu sudah bangun?"Suamiku datang menghampiri Ia terlihat segar seusai mandi, masih mengenakan handuk model kimono melilit tubuhnya yang atletis. Ya Tuhan, gairahku tumbuh melihat wajah seksi itu basah oleh titik titik air.Astaga, pikiranku jalan jalan lagi.Ia menggeser pintu lemari, mengeluarkan pakaiannya, lalu sesaat kemudian handuk yang ia pakai ditanggalkannya, tentu saja melihat itu aku terpekik, tidak kuduga sebelumnya, jika suamiku yang berwajah tampan, dengan rambut basah dan dada bidangnya yang berotot menambah pesona dan keseksiannya berani melepas handuk di hadapanku."Hei, ada
kutatap pantulan diriku di kaca yang terlihat sangat berbeda dari sebelumnya, yang aku gunakan dari atas ke bawah, dari ujung kaki hingga ujung kepala outfit yang mahal dengan harga selangit. Ketika aku yang hanya sales show room ponsel biasa tiba-tiba menjadi seorang nyonya yang terlihat elegan dan berubah total."Nadia cepat turun mobil jemputan sudah datang," panggil ibu mertua dari bawah sana."Ya Nyonya," jawabku langsung mengambil tas dan segera mengenakan sepatu lalu menutup pintu kamar dan turun ke bawah."Jangan panggil nyonya lagi kau adalah menantu rumah ini tidak akan enak didengar orang lain seperti itu," katanya dengan nada serius."Iya Mama, Maaf aku lupa.""Di perusahaan nanti tidak perlu banyak bicara jika mereka bertanya tentang latar belakang mu, katakan saja kalau lulusan universitas dari Kanada dan orang tuamu adalah pengusaha batubara.'"Tapi jika mereka bertanya lebih lanjut bagaimana Mama?""Ada tim humas perusahaan kami yang akan selalu mendampingi kamu sebag
"kok cemberut aja?""Gak ada."Jawabku yang entah pagi-pagi ini merasa badmood."Kalau kamu ingin sarapan kamu tinggal pesan apa yang kamu inginkan, pembantu akan belikan, ataukah pengen jalan-jalan supir akan mengantar ke mana kau pergi," tawarnya.Aku hanya membuang nafas kasar sampai membalikkan badan lalu memeluk guling."Mestinya kau siapkan aku sarapan, karena posisimu adalah istriku.""Aduh Pak direktur anda punya banyak pembantu yang bisa siapkan makanan apapun yang anda inginkan, iya kan?" "Seingatku kau bekerja untukku," sanggahnya.Oh iya, aku lupa Aku adalah bawahannya, jadi dengan beringsut malas-malas aku turun dari ranjang dan pergi menyiapkan suamiku sarapan.Ah, suami, dia bukan suami, dia hanya orang yang kebetulan mengikatku dalam ikatan pernikahan, mana ada cinta atau hubungan selayaknya suami dan istri. Konyol!Kuedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah ini lalu kembali menerawang, andai seseorang jadi menantu rumah ini dan mendapatkan cinta dari semua penghuni
Aku naik ke lantai dua di mana kamar tidur kami berada, berjalan bersisian dengan pria yang terus mengulum senyum di bibirnya. Sedang aku masih merasa ta nyaman berdekatan dengannya.Dia menyentuhkan ujung tangannya ke punggung tanganku lalu tanpa bicara ia menggenggamnya dan mengajakku menyusuri koridor hingga terbuka pintu kamar. Jika ia semua sikap manis ini ia lakukan dari awal tentu aku akan merasa sangat diistimewakan, tapi sekarang hatiku hampa dan segala yang terjadi saat ini terasa hambar."Masuklah," ujarnya sambil membukakan pintu.Aku tak menjawab, hanya menatap wajahnya sekilas lalu masuk tanpa banyak bicara."Aku harap kau senang," ujarnya yang mengambil tempat duduk bersisian denganku."Aku akan lihat, apa aku senang atau tidak setelah ini.""Aku akan berusaha membuatm betah," balasnya sambil menyentuh jemariku."Lepaskan tanganku, aku masih butuh waktu untuk membuka hati padamu.""Aku harap itu tidak lama. Satu langkah lagi, aku akan merebut hatimu dan kita akan habis
Mobil berjalan dengan kecepatan sedang, sementara aku hanya membisu menatap nyalang pada gedung di sisi kiri jalan. Pria yang duduk mengemudi di sampingku terus tersenyum dan sesekali bersiul mengikuti irama lagunyang diputar di media player mobilnya."Nadia? kamu mau makan apa? Kita mampir beli makanan ya," tawarnya."Tidak usah, aku hanya ingin kembali ke tempat ibu," jawabku dingin."Aku sudah beritahu ibu bahwa aku akan mengajakmu pulang.""Tapi, ibu sedang sakit dan sendirian," jawabku."Aku 'kan sudah bilang bahwa aku akan membawa ibumu beserta dengan kita, aku sudah beli rumah baru dan kita akan habiskan waktu di sana," ujarnya dengan senyum paling memukau."Kapan?""Sekarang juga," balasnya. "Tapi kenapa kau tidak tersenyum, Nadia? kau tidak suka?"Aku hanya diam saja, memutar bola mata dengan malas dan tak hendak menanggapi ucapannya."Kau masih marah pada suamimu?" tanya sambil mencolek punggung tanganku."Iya, tentu saja. Kau melenggang santai dengan wanita lain sedang kau
Sepanjang bekerja siang ini aku terus gelisah dan tidak bisa fokus. Aku cemas Mas Aldi dan Mas Rizal akan datang bersamaan untuk menjemputku dan seperti biasa mereka akan bertengkar untuk berebut siapa yang paling berhak mengantarku pulang.Konflik antara dua orang sahabat yang merupakan rekan kerja, bos dan asisten mereka saling bermusuhan gara-gara wanita yang mereka sukai. Namun, ah, terlalu percaya diri jika aku menyebut diriku sebagai wanita rebutan mereka.Jadi jika Mas Rizal tidak menyukaiku lantas Apa maksud dari sikap baiknya selama ini, Apakah hanya sebuah rasa kasihan atau ingin berteman? Tapi jika dia hanya ingin berteman, mengapa harus berteman denganku garis dari kelas bawah dan merupakan mantan istri dari bosnya. Bukan! aku bukan mantan istri, tapi masih istri sah dari Mas Aldi.*Sore hari,Kubereskan semua pekerjaanku,dan bergegas berpamitan kepada teman-teman dan bos lalu mengambil tas dan bersegera untuk pergi dari tempat itu.Aku berencana untuk pulang lebih cepa
Keesokan hari setelah mentari bersinar begitu cerah, aku telah menyelesaikan semua tugas rumah dan menyiapkan sarapan untuk ibu lalu bergegas mengganti pakaian dan berangkat kerja.Ketika hendak keluar dari gang menuju jalan utama, tiba-tiba aku terkesiap karena mendapati Mas Aldi sudah duduk santai di kap mobilnya mengenakan setelan lengkap serta kacamata hitam. Dia terlihat begitu tampan dan menggetarkan hatiku, namun seketika, getaran itu kutepis karena percuma saja, aku tetap tidak akan cocok untuknya.Sengaja aku langsung berjalan tanpa memperdulikan dirinya. Dengan langkah dan wajah acuh, kulewati saja dirinya."Eh, tunggu, Nadia, biar aku yang mengantarmu pergi kerja," ujarnya sambil menyunggingkan senyum termanis."Enggak usah, aku akan jalan kaki, sebaiknya Mas berangkat kerja saja, nanti telat.""Yang jadi direkturnya 'kan aku, jadi kapan pun masuk ga masalah," jawabnya santai."Oh, ya? baiklah, kalo begitu." Aku melangkah pergi namun ia kembali menarik lenganku."Maaf, Mas
"Apa?" Aku terbelalak tidak percaya mendengar ucapannya barusan."Iya, aku ... tidak mau berpisah," tegasnya."Kenapa kau menyuruhku pergi?""Aku pikir aku bisa hidup tanpamu tapi ternyata ... tidak." Nada suaranya melemah.Dia berdiri dengan tatapan nanar namun dia tak menatapku melainkan menatap kepada aspal jalan. Tetap saja, meski dia berteriak tidak ingin berpisah namun aku tidak mengerti mengapa dia menahanku dan tidak mau berpisah denganku.Tidak bisakah dia jujur apa sebenarnya maksud dan tujuannya?"Maaf ... aku mau pergi Mas, aku lelah dan mau pulang," ujarku sambil beranjak.Namun dengan gigihnya dia kembali menarik lenganku dan berusaha menahanku."Lepaskan aku, kau memaksaku menikahimu, aku menuruti dan berusaha menjadi istri yang baik, meski berkali-kali kau mengingatkan bahwa ini hanya pernikahan kontrak, ketika kau mengusirku maka aku rasa kontraknya sudah berakhir.""Secara agama dan hukum kau adalah istriku," sanggahnya."Apa maumu, sekarang di waktu yang seperti ini
"lepaskan kita tak bisa begini!" Aku melepas pelukan suamiku itu."Kenapa?" Air hujan membasahi wajahnya."Kau melukaiku, dengan wanita itu, aku benci denganmu, pergi dari sini, dan jangan temui aku lagi, aku akan menggugat segera perceraian kita.""Kamu yakin?""Aku tidak bermain-main! Aku akan menabung dan menggugat ceraimu, kuharap kamu tidak mempersulitku."***Dua hari setelah itu, "Hai, kamu sudah mau pulang?" Manager sekaligus sahabat Mas Aldi, Mas Rizal menyapaku.Iya Mas aku mau pulang, Mas,dari mana kok bisa ada di daerah sini"Aku memang datang ke sini buat menjumpai kamu," jawabnya."Oh, ada apa, Mas?" Tanyaku heran."Gak ada mau nyari aja, bolehkan?""Eh, i-iya, gak apa," jawabku.Dan beginilah kami, duduk di depan sebuah cafe bertema Paris yang menghidangkan minuman susu coklat yang lezat. Ada meja mini dengan dua kursi, ornamen dinding hingga pagar dihias bunga bertema ungu dan pink, sedang terali pagar dan pintu terbuat dari besi yang berbentuk artistis, aku mengagum
Ya, aku bertemu dia lagi, bahkan aku masih berhak menyebutnya suami. kami belum resmi bercerai namun dia sudah menggandeng wanita baru.Mungkinkah aku tidak berarti sama sekali di matanya? Ah, lagipula siapa diri ini sehingga dia harus mengingat dan mementingkanku. Dan wanita yang kini bersamanya terlihat sangat keren dan elegan, jauh sekali dari penampilanku yang kerap mengenakan kemeja, celana jeans dan sepatu kets.Sesaat ketika mata kami saling bertemu pandang, agak canggung Mas Aldi menatapku namun kemudian wanita itu mendekat dan bergelayut di bahunya kemudian mengajaknya pergi."Ayo, Sayang."Mas Aldi tak serta merta bergerak, tataoan matanya lekat padaku. Wajah itu menunjukkan sesuatu yang rindu sekaligus juga genggsi untuk mengakuinya."Tolong jangan tatap aku, jika seperti ini aku akan semakin jatuh cinta dan merindukanmu," batinku sambil membalikkan badan dan menjauh pergi."Nadia ...." Suara itu menghentikanku."Iya ...." Aku ragu untuk kembali menatap sorot bening matanya
Aku kembali ke kota semula, di mana semua kejadian pahit ini bermulai, kembali ke pellukan ibu tercinta yang sudah lama menunggu kehadiranku di rumah.Pertama kali kukentuk pintu rumah sederhana setelah menikah dengan Mas Aldi, daun pintu bergerak dan sesosok orang yang selalu kurindukan itu berdiri dengan tatapan penuh kasih dan langsung memelukku."Ya Allah, Nak, kamu pulang," ujarnya dengan penuh haru."Iya, Ibu, Nadia pulang dan tidak akan pergi kemana-mana lagi," jawabku lesu sambil menitikkan air mata."Nak ...." Bibir Ini bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu namun dia menahannya mungkin karena tak ingin membuatku terluka."Tidak usah di ceritakan, pokoknya sekarang kamu tenang, setidaknya kamu sudah kembali ke rumah ibu, ibu gak banyak tanya," ujarnya sambil menggenggam tanganku."Ibu ...." Aku menghambur ke pelukannya dan kami bertangisan."Orang kaya tidak akan pernah menghargai perasaan tulus orang seperti kita, ibu paham apa yang kamu rasakan," bisiknya."Mas Aldi, Bu
Kuhampiri dengan anggun, lalu menghempas diri di antara kerumunan wanita cantik itu. Mas Aldi kaget begitu juga wanitanya."Eh, siapa ini Mas?""Uhm, pegawai saya, maksudku, asisten," balasnya santai."Ehm .. hhem ... saya istrinya, saya benaran istrinya, kami kemari bulan madu, kalian mau lihat surat nikah?""Wooow ...." Mereka kaget sekaligus ada raut tak percaya."Kamar kami nomor 405, silakan ke sana buat yang penasaran," ujarku sambil memperlihatkan kartu kunci kamar."Masak sih?""Atau langsung ke resepsionis, konfirmasi kalo pesanan ini buat pasangan," jawabku santai dan membuat mereka segan dan langsung menjaga jarak pada Mas Aldi."Benarkah itu mas Aldi?" tanya mereka."Eggak, siapa yang bilang Mas Aldi," menggeleng cepat menolak pertanyaan para gadis-gadis cantik itu."Ya udah deh, kalau dia udah punya istri lebih baik kita mundur aja," ujar seorang wanita sambil bangkit dari tempat duduknya dan diiringi oleh gadis-gadis seksi lainnya hingga mereka benar-benar tidak bersisa