"Apa rencanamu?" tanya Marvin sekali lagi. "Aku ingin tahu track record Hardi Suwiryo, karena sepertinya kita bisa menyentuh Marabunta darinya!" Arfeen membalas tatapan omnya. "Sepertinya Om mengetahui banyak hal tentang pria ini?" Marvin menyipitkan mata, "Apa kau mencurigai ommu ini?" Ada senyum tipis menghiasi bibir Arfeen, "Apakah Om merasa seperti itu?" Marvin menghela nafas kasar. "Mungkin Om memang tak terlalu suka padamu, tapi Om bukan pengkhianat. Om juga mencintai keluarga Mahesvara dan tidak akan membiarkan siapa pun mencoba menghancurkannya!" "Ok, anggap saja aku percaya. Kalian tahu, Kakek memilihku sebagai pemimpin klan, bukan semata-mata untuk menjadi pewaris semua kekayaan klan Mahesvara atau menguasainya. Tapi untuk menjadi pelindung klan kita. Kita membutuhkan seseorang yang kuat untuk mempertahankan posisi kita sebagai klan nomor satu, sekaligus ... seseorang yang pantas untuk dikorbankan!" Ada rasa getir dalam nada suara Arfeen. "Tapi Kakek juga tahu, aku
Awalnya Arfeen berniat membuka isi memori card itu di rumah. Namun mengingat di rumah itu justru ada Vano ia memutuskan untuk membuka di kantor. Arfeen berharap prasangkanya itu salah! Dari apa yang ia amati selama ini, sang papa mertua tak mungkin terlibat kecelakaan papanya kan?Tapi dari isi video itu ... entah mengapa Arfeen merasa ini akan buruk! Tubuh Arfeen terlonjak saat ada yang mengetuk pintu, pintu itu terbuka dan Diana muncul di sana. "Maaf, Presdir. Ada perwakilan dari Jaya Abadi Corp yang memaksa untuk bertemu!"Mata Arfeen mendelik. "Kau tidak bisa menghalau? Lalu apa kerjamu?" Diana sedikit menunduk. "Maaf, Presdir. Saya sudah mengatakan jika dia harus membuat janji lebih dulu. Tapi ... dia mengatas namakan istri Anda. Saya harus bagaimana?"Arfeen nyaris lupa jika saat ini Lyra masih berada di luar negeri, jadi terpaksa harus ia sendiri yang menghandle kerja sama dengan Jaya Abadi Corp. Ia menghela nafas lalu menarik laci untuk mengambil masker wajah. Mengenakan b
Di ruangan itu, musik menggema memenuhi. Para pria duduk menatap panggung yang berisi para wanita dengan pakaian yang sangat minim. Tengah melakukan tubuh mengikuti irama lagi. Ada dari beberapa yang sudah tak mengenakan sehelai benang pun. Memamerkan tubuh mereka untuk memberikan kepuasaan pada para pelanggan. Ada lembaran uang yang terselip antara bra dan panty super mini itu, itu adalah tips dari pelanggan yang mereka dapatkan. Mereka adalah para penari striptis di klub itu. Ketika lagi selesai maka mereka pun mulai meninggalkan panggung, ada beberapa tamu yang menghampiri wanita yang mereka suka untuk melampiaskan hasrat yang sejak tadi menggelinjang. Dara, adalah salah satu penari striptis yang baru saja selesai melakukan tugasnya di atas panggung. Ia berharap hari ini tidak ada pelanggan yang memintanya untuk menuntaskan hasrat. Namun ada seorang pria yang menghampirinya, pria itu berjambang lebar dengan kaca mata. Pakaiannya cukup rapi. Akhirnya mereka memasuki sebuah kamar
"Malam-malam begini aku harus mencari asinan buah di mana, Wife?" seru Arfeen dengan nada frustasi. Ia tengah video call dengan Larena. Ketika dalam perjalanan pulang, sang istri menghubunginya. "Mana aku tahu, ya pokoknya cari!" "Aku buatkan saja ya?" tawarnya. Larena menggeleng. "Tidak mau, kalau membuat sendiri prosesnya lama. Juga harus menunggu dingin supaya seger, aku kan mau makan sekarang!" "Tapi kalau tidak dapat bagaimana, Wife? Sama saja kan, aku muter-muter juga lama!" "Kau memang tidak benar-benar mencintaiku!" seru Larena lalu menutup sambungan video call itu. "Wife ... Wife!" panggil Arfeen tapi layar handphonenya sudah kembali ke halaman awal. Ia harus mengembuskan nafas kasar kemudian mengirim pesan kepada sang istri. "IYA, AKU CARI SAMPAI KETEMU!" Ia mengantongi handphonenya dan kembali melajukan motornya untuk mencari pesanan sang istri. Di belakangnya Jordi mengikuti menggunakan mobil. Arfeen tak ingin dikawal, tapi Jorditetap merasa khawatir. Itu seb
"Ini ...."Arfeen kehilangan kata melihat guling yang didekap erat oleh sang istri. Ia pikir wanita itu sudah cukup dewasa di usianya yang memang sudah dewasa.Tapi kenapa wanita itu menempelkan foto wajahnya di guling yang saat ini dipeluknya. Bukan hanya foto wajah, tapi tulisan ARFEEN di atas foto wajahnya itu.Ada rasa bahagia yang menyergap hatinya melihat wanita itu memeluk guling dengan foto dirinya dana namanya juga. Senyum bahagia bercampur aneh muncul di wajahnya.Bagaimana pun yang wanita itu peluk adalah pengganti dirinya, bukan Damian. Foto wajahnya yang ditempel di guling, namanya yang ditulis di benda itu juga. Dan Larena memeluk guling itu begitu erat seperti saat wanita itu memeluk dirinya tiap kali mereka selesai bercinta.Menyaksikan hal itu, tentu saja ia tak tega untuk menyentuh pipi mulus yang sangat ia rindukan itu. Ia senyum-senyum sendiri sembari menyantap asinan yang tadinya hendak ia berikan pada L
Arfeen mengecup bibir Larena dengan gerakan cepat ketika wanita itu tengah memperhatikan wajah lelapnya. Ia bukannya pura-pura tidur, beberapa saat lalu ia benar-benar masih tertidur. Namun ujung jari wanita itu yang mengalir dari dahi turun ke bawah membuatnya terjaga, meski ia anggap untuk membuka mata karena ingin tahu apa yang akan dilakukan wanita itu selanjutnya. Ia pikir wanita itu akan menciumnya namun hanya memandangi saja. Jadi ia yang lebih dulu mengambil tindakan. Kedua mata Larena melebar dengan serangan tak terduga itu, ia menatap suaminya dengan kesal. “Auw!” Arfeen menjerit saat tangan sang istri mencubit perutnya. “Kau sengaja ya! Ha?” “Ampun, ampun, Wife!” Ia menyerah jika wanita itu sudah mengeluarkan jurus cubitannya. Lama-kelamaan cubitan Larena terasa juga. Larena melepaskan cubitannya sambil memanyunkan bibir. “Dasar genit! Pintar sekali mencuri kesempatan!” Arfeen mengeluarkan tawa saat bangkit duduk. “Makanya jangan suka malu-malu, kita kan suami istri
"Hasil autopsi Malik? Untuk apa kau meminta hasil autopsi papamu?" tanya Radika yang merasa heran karena tiba-tiba saja cucunya meminta hal itu. "Papa adalah orang yang cukup kuat, Kek. Meski mobilnya terbalik seharusnya Papa masih mampu keluar dari dalam mobil sebelum mobil itu meledak. Tapi ... papa sama sekali tak bergerak!" "Apakah menurutmu itu aneh? Mungkin saja papamu mengalami benturan yang cukup hebat di kepala sehingga dia pingsan saat itu!" "Di mana hasil autopsinya, Kek? Apakah Kakek masih menyimpannya atau tidak?" "Ada di ruang kerja Kakek. Pastinya Kakek letakan di mana Kakek lupa. Saat itu Kakek merasa sangat terpukul sehingga tak sempat membacanya!" aku Radika. Kedua mata Arfeen mendelik. "Kakek tak sempat membacanya? Bagaimana dengan Liam?" "Kakek tidak tahu, saat itu memang Liam yang menerima dari Dokter!" Arfeen memejamkan mata. Kakeknya tak pernah sempat membaca hasil autopsi papanya. Semoga saja dokumen itu masih ada. "Baiklah, Kek. Hari ini aku akan m
“Apa? Adikku sudah menemukan hasil autopsi Papa?” saut Lyra menegakkan tubuh. Sedikit membenahi selimut yang melorot di tubuhnya. “Bagus, ini sesuai rencana. Awasi terus gerak-gerik di rumah itu, jika ada kabar baik lagi jangan lupa hubungi aku!” “Siap, Nona.” Lyra mematikan sambungan teleponnya. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana kacaunya pikiran Arfeen saat ini. Adik sedarahnya itu pasti sekarang sedang sangat dilema. Ia tak menyangka jika ternyata hasil autopsi papanya itu akan sangat berguna sekarang. Dulu ia sempat berpikir untuk memusnahkan hasil autopsi itu. Tapi setelah berpikir dua kali ia memutuskan untuk menyimpannya saja. Siapa tahu suatu saat akan berguna dan rupanya keputusannya tepat. Ia sudah mendapatkan laporan bahwa Arfeen mencari hasil rekaman cctv jalan di mana sang papa mengalami kecelakaan. Juga termasuk pertemuan papanya dengan Vano. “Hal iblis apa yang sedang kau rencanakan?” tanya Alvian mendekat sembari membelai punggung polos Lyra. Lyra menyilakan ra
Arfeen terpaku menatap sosok di depannya itu. "Bella! Apa yang kau lakukan di sini?" "Menyelamatkanmu dari para gadis itu, apalagi?" jawab wanita itu dengan senyum hangat. "Aku masih bisa mengatasi mereka sendiri!" "Oya, lalu kenapa kau lari?" "Aem!" Arfeen kebingungan untuk menjawab. "Ayolah, Arfeen. Kau memang seorang Casanova, tapi kau benci dikerubungi para gadis. Seharusnya kau menempatkan pengawalan ketat untuk mengantisipasi. Di acara seperti ini sudah pasti jati dirimu akan terbongkar!" Arfeen menghela nafas panjang. "Terima kasih, tapi aku harus pergi!" ia hendak melangkah namun Bella kembali menyandarkan tubuhnya menggunakan telunjuk. "Kau mau aku berteriak bahwa kau sedang melecehkan aku?" Arfeen menyimpulkan senyum miring. "Kau mengancamku?" "Aku hanya ... argh!" kalimat Bella belum berlanjut karena Arfeen sudah lebih dulu membalik tubuh wanita itu yang kini justru dirinya yang bersandar tembok dengan tangan Arfeen di lehernya. "Dengar Bella, sudah aku katakan
"Rena, apa kau tega pada Kakek?" seru Ferano yang mencoba membujuk cucunya. Dua orang polisi sudah memegangi lengannya kanan dan kiri. "Larena, Papa sudah tua. Tega sekali kalian lalukan itu?" seru Arland tak terima. "Kami masih keluargamu!""Keluarga!" desis Arfeen dengan kecut, "Keluarga tidak menumbalkan anggota keluarganya sendiri."Arland menatap tajam kepada Arfeen. "Ini pasti ulahmu kan?" ia hendak menyerang nalun lekas digentikan oleh anak buah Arfeen. Kedua tangannya dicengkeram dan langsung diborgol ke belakang. "Lepaskan aku!"Buk!Satu tinju mendarat di wajah Arland. Nyaris semua anggota keluarga Jayendra sudah ditahan. "Arfeen!""Lancang kau hanya menyebutkan nama saja, panggil Tuan Zagan!" seru Gray. Mereka semua membeliak, Tuan Zagan?Jadi Arfeen ... Arfeen adalah Tuan Muda Mahesvara? Kenapa Lyra tak pernah memberitahu? "Tuan Muda, kami tidak melakukan kesalahan apa pun padamu. Tolong ampuni kami!" pinta Radika. Arfeen mengeraskan rahang. "Korban kecelakaan Papa
"Ahk, jangan terlalu kencang. Itu menyakitiku!"Seketika kedua mata Larena mendelik, ia melepas peluknya dna menatap wajah di bawahnya. Mata pemuda itu sudah membuka, tengah menatapnya. "Kau ... kau sudah siuman?" beonya. Arfeen mengulum senyum. "Jadi ... pesonaku begitu mengagumkan ya, sampai kau jatuh cinta berkali-kali?" celetuknya memainkan satu alis. "Sejak kapan kau sadar?" tanya Larena mencubit perut Arfeen. "Argh ... sakit, Wife. Sakit, aku masih sakit kenapa kau menganiaya aku?" protesnya mengelus bekas cubitan sang istri. Larena menatap wajah di depannya masih dengan tatapan tak percaya. "Sejak kapan kau sadar? Kau sengaja ingin membuatku takut? Hah?" air mata langsung mengalir deras di pipinya. Arfeen menyentuh pipi sang istri, mengusap cairan hangat itu dengan ibu jarinya. "Maaf!" ucapnya lirih. Larena pun langsung merebahkan diri ke pelukannya."Kenapa kau lakukan itu?" isaknya, "Aku pikir ... kau akan benar-benar meninggalkan aku ... jangan seperti itu lagi ...
"Keluarga Adipradana?" seru Vano. "Kau dan Arfeen?""Iya, Tuan. Saya dan Presdir sama-sama mimiliki darah kleuarga Adipradana. Presdir ... adalah cucu dari Jenderal Wira Adipradana!"Vano menghela nafas dalam. Pantas saja Arfeen berbeda dari semua keluarga Mahesvara yang lainnya. Anak itu jelas memiliki jiwa seorang pemimpin. Ternyata di dalam darahnya mengalir darah orang hebat. Larena sangat beruntung bisa menikahi dengannya. "Golongan darah Anda sama dengan pasien?" tanya si dokter. "Iya, Dok. Anda bisa mengambil sebanyak yang dibutuhkan!" jawabnya dengan iklas. "Mari ikut saya!"Jordi tetap harus melakukan mengecekan terlebih dahulu, setelah cocok baru transfusi bisa dilakukan. Beruntung Arfeen hanya membutuhkan dua kantung darah, sehingga masih bisa mengambil dari tubuh Jordi. Di luar ruangan, Larena masih menangis. Bahkan tangisnya kian pilu. Arfeen rela mengorbankan nyawa demi dirinya, pemuda itu membuktikan kata-kata yang rela mati demi dirinya. Sementara ia ... apa yang
"Arfeen!" suara Larena bergetar. Ia menggengam erat tangan pemuda itu yang terasa sangat dingin. Biasanya tangan Arfeen sangat hangat! Sekarang, ia benar-benar takut jika pemuda itu akan pergi untuk selamanya. Larena meletakan telapak tangan itu ke pipinya yang basah oleh cairan hangat yang tak bisa ia bendung. Berharap tangan dingin itu akan menghangat, nyatanya justru kian dingin. Ia bahkan menggosok telapak tangan Arfeen dengan kedua tangannya lalu kembali menempelkan pada pipinya. Tapi tetap tak berhasil. Dokter sedang mencoba menghentikan pendarahan di luka Arfeen. Peluru yang mengenainya berkaliber cukup besar, itu mengakibatkan darah terus mengalir keluar meski posisi Arfeen terngkurap. Tapi tak mungkin melakukan tindakan untuk mengeluarkan pelurunya di dalam helikopter. Sang dokter tak ingin mengambil resiko. Larena sungguh tak tega melihat kondisi punggung pemuda itu, tangisnya semakin menjadi. Berkali-kali ia mengecupi telapak tangan Arfeen yang ia genggam. Bahkan keti
"Larena!"Larena menghentikan langkah dua meter di hadapan Arfeen. Arfeen langsung berhambur memeluk wanita itu, Larena sama sekali tak memberikan respon apa pun. wanita itu hanya mematung, membiarkan sang suami memeluk tubuhnya. Karena mungkin saja itu akan menjadi pelukan terakhir mereka. Jujur saja Larena merasa merindukan pelukan itu. Ketika berada di dalam pelukan Arfeen ia merasa sangat tenang. Tapi ia hanya memikirkan bayi yang ada dalam kandungannya. Lyra bilang jika bayi itu lahir laki-laki maka itu akan menjadi ancaman, maka wanita itu akan datang untuk menghabisi putranya. Untuk itu ia harus menjauh dari Arfeen. Lagipula apa yang dilakukan lelaki itu juga banyak membuatnya kecewa. "Kau baik-baik saja kan? Lyra tidak menyakitimu?"Larena hanya menggeleng. Arfeen tampak sangat bahagia lalu memeluknya sekali lagi namun kali ini Larena menolak pelukannya. Hal itu membuat Arfeen terpaku. "Ada apa?""Aku ingin kita tetap berpisah!" pinta Larena. "Berpisah? Sayang!""Jang
Suara lembut itu membuat Tantra terpaku, rahangnya langsung mengeras menatap sepupunya. Wanita itu! Darah keluarga Wijaya rupanya lebih kuat di tubuh Lyra daripada keluarga Mahesvara. "Kau tak sepantasnya melakukan ini terhadap Kakek, Lyra.""Apakah aku meminta pendapatmu?" tanya Lyra sinis. Tentu saja hal itu membuat tangan terasa sedikit marah. Tapi Tantra tahu harusnya ia tak berdebat dengan Lyra. Sejak awal Lyra memang yang selalu menghasut dirinya untuk merasa iri kepada Arfeen. Bahkan selalu mendorongnya untuk membenci sepupunya itu. Tapi rupanya itu semua ada niat picik! Lyra hanya memanfaatkann dirinya untuk membenci Arfeen. Karena wanita itu membutuhkan dukungan. Tantra yang saat itu masih polos selalu berhasil termakan oleh bujukan dari Lyra untuk membenci Arfeen. Sejak kecil Lyra selalu berpura-pura baik di depan Arfeen dan juga selalu keluarga. Tapi di belakang ia selaku menatap Arfeen penuh benci. "Lyra, Seharusnya kau tak perlu melakukan ini!" ucap Radika. "Aku t
"Tantra!" desis Radika dengan bibir gemetar. Meski Tantra tak memiliki kelebihan seperti Arfeen, tapi pemuda itu tetap cucunya. "Tuan Muda, Tantra!" desis Liam."Kakek, jangan pikirkan aku!" seru Tantra yang sama sekali tak ada rasa takut. "Kelangsungan Klan Mahesvara jauh lebih penting dari nyawaku yang sama sekali tak berharga!" Tantra memberanikan diri berucap demikian. Ia masih ingin hidup, tapi jika hanya karena dirinya akuenya klan Mahesvara harus hancur, ia tidak akan pernah rela. Seumur hidupnya ia belum bisa memberikan kontribusi apa pun untuk keluarganya. Paling tidak nyawanya bisa berarti untuk bisa menyelamatkan kekuasaan klan Mahesvara. Ia yakin Arfeen mampu membawa keluarga Mahesvara menjadi lebih berjaya. Apalagi jika dalam pertarungan ini mereka menang. Maka ia tidak akan menyesal mati untuk itu. "Sepertinya kakekmu tidak menyayangimu, Tuan Muda Tantra. Sayang sekali ... harusnya kau memilih pihak yang benar untuk bisa mendapatkan hakmu!" Maher sengaja mengatakan
Arfeen memutuskan untuk mendekat. "Jadi kalian semua bersatu untuk menjatuhkan aku? Ini sangat menarik!" Dewa menyimpulkan senyum getir. "Andai saja sejak awal kau mau mengalah, ini tidak akan terjadi. Aku pasti akan memberikan dukungan kepada klan Mahesvara, dan kita bisa bersama menjadi lebih besar!" Arfeen menimpai dengan tawa ringan yang getir. "Maaf, Tuan Dewa Wijaya. Aku tidak membutuhkan dukunganmu untuk bisa berjaya. Aku masih memiliki kemampuan!" "Sombong sekali, kau hanya beruntung karena terlahir sebagai anak lelaki, Arfeen. Jika tidak! Kau pasti sudah buang ke tong sampah!""Yakin? Aku ragukan itu, Kakek memiliki alasan kuat kenapa mempertahankan aku. Karena pada kenyataannya ... akulah yang kelak akan membuat nama Mahesvara semakin besar. Kau tidak percaya itu?""Jangan pernah bermimpi, karena hari ini ... akan menjadi hari terakhirmu menghela nafas!"Arfeen menaruh telunjuk di bibirnya seolah sedang berfikir. "Sayangnya setelah aku pikirkan ... hari ini tidak akan me