Lily duduk di tepi ranjang, menunggu kepulangan sang suami. Meski suaminya itu mengatakan pulang terlambat, tapi entah kenapa hatinya merasa tidak nyaman, dan tidak tenang. Dia merasakan seperti ada sesuatu hal yang mengusik ketenangan dalam dirinya. Hal tersebut yang membuat Lily menjadi sulit tidur.
Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Salju di kota Manhattan semakin turun begit lebat. Lily menjadi sangat khawatir takut akan ada lagi badai salju, dan membuat suaminya menjadi sulit untuk pulang.
“Aku harus menghubungi Lionel.” Lily memutuskan meraih ponselnya, dan menghubungi nomor sang suami. Namun, sayangnya beberapa kali nada tunggu terdengar, dan suaminya itu tak menjawab panggilannya.
“Lionel tidak menjawabku. Apa dia benar-benar sangat sibuk?” gumam Lily lagi, yang terlihat jelas kemuraman di wajahnya.
Suara pintu terbuka. Lily mengalihkan pandangannya, menatap sang suami yang berdiri di ambang pintu. Senyuman di wajah Lily terlukis. Wanita cantik itu langsung bangkit berdiri, dan menghampiri sang suami yang sekarang sudah pulang.
“Sayang, akhirnya kau pulang. Aku khawatir sekali padamu.” Lily mendekat, membantu suaminya itu melepaskan jas, dan di kala jas dibuka—aroma parfume wanita tercium di indra penciuman Lily.
“Kenapa kau belum tidur? Bukankah aku sudah bilang untuk jangan menungguku,” ucap Lionel dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Kecurigaan muncul di hati Lily, tapi dia memilih untuk menutupi itu. “Aku tidak bisa tidur. Aku khawatir padamu, Sayang.”
Lionel memilih mengabaikan. “Aku ingin mengganti pakaianku.”
Pria tampan itu hendak pergi, tapi Lily menahan tangannya. “Lionel, aku ingin bertanya padamu. Apa boleh?”
Lionel menoleh, menatap Lily. “Apa yang ingin kau tanyakan?”
Lily meremas jas Lionel, seraya menggigit bibir bawahnya. “A-aku mencium aroma parfume wanita di jasmu. A-apa parfume client-mu menempel di jasmu?” tanyanya pelan, dan hati-hati.
Lily ingin mengabaikan pikirannya, tapi hatinya tidak bisa menutupi. Wanita itu ingin tahu apa yang dilakukan sang suami. Meski selama ini dia sangat percaya diri bahwa sang suami tak akan selingkuh, tapi tetap saja kecemburuan pastinya muncul.
Lionel mengembuskan napas kasar, dia malas bercerita tapi kalau sudah seperti ini, maka mau tidak mau dia harus bercerita. “Hari ini aku tidak jadi meeting.”
Mata Lily terbuka lebar akibat keterkejutannya. “Kau tidak jadi meeting? T-tapi kau pulang malam, k-kau—”
“Kau mencurigaiku, Lily?” potong Lionel tegas, dengan raut wajah kesal.
Lily kian menggigit bibir bawahnya. “T-tidak, Lionel. A-aku hanya ingin tahu kau ke mana sampai ada parfume wanita menempel di tubuhmu.”
Lionel mengatur rasa kesal dalam dirinya. “Saat aku perjalanan ke kantor, aku menabrak seorang wanita. Aku tidak bisa hadir di meeting penting, karena aku harus membawa wanita itu ke rumah sakit.”
Lily terkejut mendengar ucapan Lionel. Buru-buru, dia memeriksa keadaan sang suami. “Sayang, kau baru saja mengalami kecelakaan. Katakan padaku, apa kau terluka? Jika kau terluka, ayo kita ke rumah sakit memeriksa kondisimu. Aku takut—”
“Lily, aku baik-baik saja. Yang terluka adalah wanita yang aku tabrak,” potong Lionel menegaskan.
Lily terdiam sebentar. “Apa wanita itu terluka cukup parah?”
“Kakinya mengalami jahitan.”
“Apa sekarang dia berada di rumah sakit?”
“Tidak, dia sudah pulang ke penthouse-nya. Aku mengantarnya pulang.”
Lily kembali terdiam, jutaan pikiran muncul di dalam otaknya. “Kau mengantarnya pulang?”
“Aku yang menabraknya, Lily. Jika bukan aku yang mengantarnya pulang, lalu siapa? Kau ingin aku tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang aku lakukan?” balas Lionel kesal akan pertanyaan Lily.
Lily menautkan jemarinya gelisah. “A-aku pikir kau hanya memesan taksi untuknya.”
“Aku tidak sekejam itu. Sudah, aku ingin mengganti pakaianku. Aku lelah, ingin istirahat.” Lionel berbalik, hendak masuk ke dalam walk-in closet, tetapi Lily kembali menghalangi.
“Lionel, tunggu,” cegah Lily dengan wajah gelisah.
Lionel berdecak kesal. “Ada apa lagi, Lily? Kau tidak lihat ini sudah tengah malam? Aku lelah, ingin istirahat!”
Lily menggigit bibir bawahnya. “A-aku hanya ingin tahu saja.”
“Kau ingin tahu apa?” tanya Lionel menatap dingin Lily, dia kesal karena sang istri mulai mencurigai sesuatu darinya.
“Jadi, aroma parfume wanita di jasmu adalah aroma parfume wanita yang kau tabrak?” tanya Lily lagi, karena penasaran.
“Aku sudah menjawab.”
“A-aku hanya ingin memastikan, Sayang.”
Lionel menggelengkan kepalanya, tak menyangka mendengar pertanyaan ini dari sang istri. “Hari ini aku menabrak seorang wanita. Aku menggendong tubuhnya. Aku juga membiarkan dia memelukku, karena dia takut dengan suntikan. Semua aku lakukan adalah bentuk tanggung jawabku sebagai tersangka yang bersalah.”
“Tadi aku sangat terburu-buru sampai tidak melihat ada orang lewat di depanku. Jika kau bertanya apa itu aroma parfume wanita yang aku tabrak, maka jawabannya adalah mungkin. Aku tidak fokus pada aroma parfume yang melekat di tubuhku. Aku fokus menyelamatkan nyawa seseorang yang dalam bahaya. Jadi, tolong singkirkan pikiran-pikiran anehmu!” lanjut Lionel lagi, lalu dia berbalik melangkah pergi meninggalkan Lily yang bergeming di tempatnya.
Lily tampak sangat muram di kala sang suami menjelaskan padanya dengan nada emosi. Padahal dia hanya ingin tahu saja dengan fakta yang ada. Pun Lionel bisa bersikap lebih tenang, tapi sepertinya sang suami sekarang mudah sekali emosi. Satu tahun belakangan ini, Lily merasakan banyak perubahan dari sang suami, salah satunya sang suami sulit mengendalikan emosi.
***
Menjadi seorang istri, dan fokus pada rumah tangga adalah pekerjaan yang Lily sangat sukai. Wanita cantik itu selalu bangun pagi menyiapkan sarapan lezat untik sang suami. Ya, Lily sangat mengurus suaminya dengan baik. Dia merasa bahwa sudah dicukupkan secara materi oleh sang suami, jadi dia wajib memberikan yang terbaik untuk suami tercintanya itu.
Salju di Manhattan turun di pagi hari tidak terlalu lebat. Pun penyiar berita mengatakan hari ini tidak ada badai salju. Hal tersebut yang membuat Lily menjadi tenang, dan tidak khawatir. Sekarang wanita itu duduk bersama Lionel di kursi meja makan. Mereka menikmati sarapan bersama dengan Shada, ibu Lionel, yang baru saja datang.
“Mom, di mana Dad? Kenapa kau hanya datang sendiri?” tanya Lionel pada ibunya.
“Daddy-mu sedang bertemu dengan teman lamanya. Mom ke sini karena merindukanmu,” jawab Shada sambil menikmati sarapan yang dibuat oleh Lily.
Lionel mengangguk merespon ucapan Shada.
Shada mengalihkan pandangannya, menatap Lily. “Lily, apa bulan ini kau sudah melakukan test kehamilan lagi?”
Lily langsung menghentikan makannya mendengar pertanyaan sang ibu mertua. “S-sudah, Mom.”
“Bagaimana hasilnya?” tanya Shada penuh harap.
Lily menjadi muram. “N-negative, Mom.”
Shada menghela napas kasar. “Sudah dua tahun kau menikah dengan Lionel, tapi kau belum juga hamil! Apa kau itu sebenarnya mandul?”
Kalimat kasar yang terlontar di mulut Shada, membuat Lily tak sanggup lagi menahan air matanya. Wanita cantik itu menunduk merasa malu karena tak kunjung memberikan keturunan untuk Lionel.
Lionel meletakan garpu dan pisau ke atas meja. “Mom, jika Lily hamil, dia pasti akan cerita. Berhenti terus menerus memojokannya.”
Shada berdecak tak suka. “Lionel, kau adalah anak tunggal di De Vitto. Kau harus memiliki keturunan untuk meneruskan usaha kita. Kau harus mengerti kenapa Mom selalu menanyakan kehamilan Lily. Semua Mom lakukan demi kebaikan kalian!”
Lionel malas berdebat dengan ibunya. Sebab, dia sangat mengenal ibunya yang sangat keras kepala. “Aku harus pergi ke kantor. Aku memiliki meeting penting. Tolong hentikan percakapan yang membahas kehamilan. Itu permintaan dariku.”
Lionel bangkit berdiri, lalu melangkah pergi meninggalkan ruang makan dalam keadaan menahan emosi. Tampak Lily terus menundukkan kepalanya, tak berani menatap sang ibu mertua yang menatapnya tajam.
“Kau Lihat? Lionel selalu membelamu! Padahal kau adalah istri tidak berguna! Pekerjaan tidak ada! Keluarga tidak jelas! Sekarang kau juga mandul! Apa gunanya kau sebagai wanita? Kau benar-benar sampah!” seru Shada seraya bangkit berdiri, melangkah meninggalkan Lily yang berlinang air mata.
Lily mendatangi rumah sakit yang kerap dia kunjungi. Perkataan ibu mertuanya begitu menusuk, sampai membuatnya langsung bergegas ke rumah sakit. Wanita cantik itu bertekad kuat akan memberikan keturunan untuk sang suami. Walaupun dia kerap mendengar hasil yang belum membuahkan, tapi sampai kapan pun dia tak akan menyerah.“Selamat pagi, Nyonya De Vitto,” sapa sang dokter kandungan, dengan penuh keramahan.Lily tersenyum menatap sang dokter. “Selamat pagi, Dok.”“Nyonya, saya sedikit terkejut Anda ke sini sendiri. Saya pikir Anda akan bersama dengan Tuan De Vitto,” ujar sang dokter hangat. Lily sedikit muram kala mendengar ucapan sang dokter. Sudah lama dia mendatangi dokter kandungan hanya sendiri saja, tak bersama dengan sang suami. Bukan tanpa alasan, setiap kali dia mengajak suaminya, maka suaminya selalu mengatakan sibuk. Hal tersebut yang membuatnya kerap mengunjungi sang dokter seorang diri.“Suamiku sibuk, Dok,” jawab Lily lembut, terpaksa mengatakan ini.Sang dokter mengangg
Lionel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Pria tampan itu melangkah masuk ke dalam mansion, dan seketika langkahnya terhenti di kala berpapasan dengan pelayan.“Selamat malam, Tuan,” sapa sang pelayan sopan.Lionel mengangguk singkat. “Apa ibuku masih di sini?”“Sudah tidak, Tuan. Nyonya Shada sudah pulang dari jam sepuluh malam,” jawab sang pelayan sopan.Lionel mengangguk lagi. “Di mana Lily? Apa dia sudah tidur?”“Tadi saya lihat Nyonya Lily ada di perpustakaan. Beliau bilang tidak bisa tidur, karena Anda belum pulang,” jawab sang pelayan lagi.Lionel mengembuskan napas kasar. ‘Wanita itu keras kepala sekali. Aku sudah memintanya untuk tidur duluan, kenapa malah belum tidur?’ gerutunya dalam hati.“Tuan, apa Anda ingin saya makan sesuatu? Jika iya, saya akan membuatkan makanan untuk Anda,” ucap sang pelayan menawarkan.Lionel menggelengkan kepalanya. “Aku masih kenyang. Aku ingin menyusul Lily sekarang.”“Baik, Tuan,” jawab pel
Lily duduk di tepi kolam renang, dengan sorot pandang lurus ke depan, seakan ada yang mengganggu ketenangan pikirannya. Embusan angin menerpa kulitnya, menyejukan membuat matanya sempat terpejam sebentar. Namun, di kala ketenangan itu menyergap, tiba-tiba saja terdengar dering ponsel, yang membuat Lily membuka mata—dan mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang terletak di atas meja.“Siapa yang menghubungiku?” gumam Lily, seraya mengambil ponselnya ke layar—dan menatap tertera nama ‘Amelia’ di sana. Senyuman di wajah Lily terlukis, Amelia adalah teman semasa kuliahnya dulu, dan sudah lama dia tak berhubungan dengan Amelia.Lily segera menggeser tombol hijau, untuk menerima panggilan itu.“Amelia?” sapa Lily kala panggilan terhubung.“Lily, apa kabar?” tanya Amelia dari seberang sana. Lily tersenyum. “Aku baik, bagaimana denganmu?” “Aku juga baik, ngomong-ngomong, kau sekarang di mana, Lily?” “Aku di mansion suamiku, Amelia. Kenapa?”“Apa kau sibuk?” “Hem, tidak. Aku tidak s
“Negative, hasilnya masih negative.”Suara lembut terdengar putus asa dari seorang wanita cantik berambut cokelat tebal bernama Lily. Wanita itu tampak muram di kala hasil testpack-nya menunjukkan garis satu—yang menandakan hasilnya negative. Tidak ada harapan ada benih di dalam rahimnya. Lionel mengembuskan napas kasar. “Sudahku katakan, jangan selalu melakukan test kehamilan. Itu hanya membuatmu menjadi stress. Kenapa kau keras kepala sekali?!” serunya memberikan teguran pada sang istri.Lily semakin muram di kala dimarahi oleh sang suami. “A-aku hanya ingin segera memberikanmu keturunan, Sayang. Tahun ini sudah tahun kedua kita menikah, tapi aku belum bisa memberikanmu keturunan. Aku merasa gagal menjadi seorang wanita.”Mata Lily berkaca-kaca kala mengatakan hal itu. Wanita cantik berusia 24 tahun itu sudah menikah dengan Lionel De Vitto—pria yang sangat dia cintai selama dua tahun lamanya. Namun, sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehamilan padanya. Setiap hari, Lily selalu
Lily duduk di tepi kolam renang, dengan sorot pandang lurus ke depan, seakan ada yang mengganggu ketenangan pikirannya. Embusan angin menerpa kulitnya, menyejukan membuat matanya sempat terpejam sebentar. Namun, di kala ketenangan itu menyergap, tiba-tiba saja terdengar dering ponsel, yang membuat Lily membuka mata—dan mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang terletak di atas meja.“Siapa yang menghubungiku?” gumam Lily, seraya mengambil ponselnya ke layar—dan menatap tertera nama ‘Amelia’ di sana. Senyuman di wajah Lily terlukis, Amelia adalah teman semasa kuliahnya dulu, dan sudah lama dia tak berhubungan dengan Amelia.Lily segera menggeser tombol hijau, untuk menerima panggilan itu.“Amelia?” sapa Lily kala panggilan terhubung.“Lily, apa kabar?” tanya Amelia dari seberang sana. Lily tersenyum. “Aku baik, bagaimana denganmu?” “Aku juga baik, ngomong-ngomong, kau sekarang di mana, Lily?” “Aku di mansion suamiku, Amelia. Kenapa?”“Apa kau sibuk?” “Hem, tidak. Aku tidak s
Lionel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Pria tampan itu melangkah masuk ke dalam mansion, dan seketika langkahnya terhenti di kala berpapasan dengan pelayan.“Selamat malam, Tuan,” sapa sang pelayan sopan.Lionel mengangguk singkat. “Apa ibuku masih di sini?”“Sudah tidak, Tuan. Nyonya Shada sudah pulang dari jam sepuluh malam,” jawab sang pelayan sopan.Lionel mengangguk lagi. “Di mana Lily? Apa dia sudah tidur?”“Tadi saya lihat Nyonya Lily ada di perpustakaan. Beliau bilang tidak bisa tidur, karena Anda belum pulang,” jawab sang pelayan lagi.Lionel mengembuskan napas kasar. ‘Wanita itu keras kepala sekali. Aku sudah memintanya untuk tidur duluan, kenapa malah belum tidur?’ gerutunya dalam hati.“Tuan, apa Anda ingin saya makan sesuatu? Jika iya, saya akan membuatkan makanan untuk Anda,” ucap sang pelayan menawarkan.Lionel menggelengkan kepalanya. “Aku masih kenyang. Aku ingin menyusul Lily sekarang.”“Baik, Tuan,” jawab pel
Lily mendatangi rumah sakit yang kerap dia kunjungi. Perkataan ibu mertuanya begitu menusuk, sampai membuatnya langsung bergegas ke rumah sakit. Wanita cantik itu bertekad kuat akan memberikan keturunan untuk sang suami. Walaupun dia kerap mendengar hasil yang belum membuahkan, tapi sampai kapan pun dia tak akan menyerah.“Selamat pagi, Nyonya De Vitto,” sapa sang dokter kandungan, dengan penuh keramahan.Lily tersenyum menatap sang dokter. “Selamat pagi, Dok.”“Nyonya, saya sedikit terkejut Anda ke sini sendiri. Saya pikir Anda akan bersama dengan Tuan De Vitto,” ujar sang dokter hangat. Lily sedikit muram kala mendengar ucapan sang dokter. Sudah lama dia mendatangi dokter kandungan hanya sendiri saja, tak bersama dengan sang suami. Bukan tanpa alasan, setiap kali dia mengajak suaminya, maka suaminya selalu mengatakan sibuk. Hal tersebut yang membuatnya kerap mengunjungi sang dokter seorang diri.“Suamiku sibuk, Dok,” jawab Lily lembut, terpaksa mengatakan ini.Sang dokter mengangg
Lily duduk di tepi ranjang, menunggu kepulangan sang suami. Meski suaminya itu mengatakan pulang terlambat, tapi entah kenapa hatinya merasa tidak nyaman, dan tidak tenang. Dia merasakan seperti ada sesuatu hal yang mengusik ketenangan dalam dirinya. Hal tersebut yang membuat Lily menjadi sulit tidur.Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Salju di kota Manhattan semakin turun begit lebat. Lily menjadi sangat khawatir takut akan ada lagi badai salju, dan membuat suaminya menjadi sulit untuk pulang.“Aku harus menghubungi Lionel.” Lily memutuskan meraih ponselnya, dan menghubungi nomor sang suami. Namun, sayangnya beberapa kali nada tunggu terdengar, dan suaminya itu tak menjawab panggilannya.“Lionel tidak menjawabku. Apa dia benar-benar sangat sibuk?” gumam Lily lagi, yang terlihat jelas kemuraman di wajahnya.Suara pintu terbuka. Lily mengalihkan pandangannya, menatap sang suami yang berdiri di ambang pintu. Senyuman di wajah Lily terlukis. Wanita cantik itu langsung bangkit
“Negative, hasilnya masih negative.”Suara lembut terdengar putus asa dari seorang wanita cantik berambut cokelat tebal bernama Lily. Wanita itu tampak muram di kala hasil testpack-nya menunjukkan garis satu—yang menandakan hasilnya negative. Tidak ada harapan ada benih di dalam rahimnya. Lionel mengembuskan napas kasar. “Sudahku katakan, jangan selalu melakukan test kehamilan. Itu hanya membuatmu menjadi stress. Kenapa kau keras kepala sekali?!” serunya memberikan teguran pada sang istri.Lily semakin muram di kala dimarahi oleh sang suami. “A-aku hanya ingin segera memberikanmu keturunan, Sayang. Tahun ini sudah tahun kedua kita menikah, tapi aku belum bisa memberikanmu keturunan. Aku merasa gagal menjadi seorang wanita.”Mata Lily berkaca-kaca kala mengatakan hal itu. Wanita cantik berusia 24 tahun itu sudah menikah dengan Lionel De Vitto—pria yang sangat dia cintai selama dua tahun lamanya. Namun, sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehamilan padanya. Setiap hari, Lily selalu