Lily duduk di tepi kolam renang, dengan sorot pandang lurus ke depan, seakan ada yang mengganggu ketenangan pikirannya. Embusan angin menerpa kulitnya, menyejukan membuat matanya sempat terpejam sebentar. Namun, di kala ketenangan itu menyergap, tiba-tiba saja terdengar dering ponsel, yang membuat Lily membuka mata—dan mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang terletak di atas meja.
“Siapa yang menghubungiku?” gumam Lily, seraya mengambil ponselnya ke layar—dan menatap tertera nama ‘Amelia’ di sana. Senyuman di wajah Lily terlukis, Amelia adalah teman semasa kuliahnya dulu, dan sudah lama dia tak berhubungan dengan Amelia.
Lily segera menggeser tombol hijau, untuk menerima panggilan itu.
“Amelia?” sapa Lily kala panggilan terhubung.
“Lily, apa kabar?” tanya Amelia dari seberang sana.
Lily tersenyum. “Aku baik, bagaimana denganmu?”
“Aku juga baik, ngomong-ngomong, kau sekarang di mana, Lily?”
“Aku di mansion suamiku, Amelia. Kenapa?”
“Apa kau sibuk?”
“Hem, tidak. Aku tidak sibuk. Sekarang aku duduk santai di tepi kolam renang.”
“Good, rencananya hari ini aku ingin mengajakmu makan siang di luar. Apa kau bersedia?”
Lily terdiam mendengar permintaan Amelia. Jujur, dia sedang malas keluar rumah, tapi dia tak enak jika menolak Amelia. Pun sudah lama dia tak bertemu dengan temannya itu.
“Bagaimana, Lily? Apa kau mau?” tanya Amelia lagi, memastikan.
“Oke, aku mau. Kirimkan saja, alamat restorannya.”
“Great. Aku akan segera mengirimkan alamat restorannya. See you, Lily.”
“See you, Amelia.”
Panggilan tertutup. Lily bangkit dari tempat duduknya, dan melihat ke layar ponsel ada pesan masuk dari Amelia—yang berisikan alamat restoran di mana dirinya dan Amelia akan bertemu. Senyuman di wajah Lily terlukis, dia memutuskan untuk segera mengganti pakaiannya.
***
Lionel baru saja menyelesaikan meeting penting dengan jajaran pemegang saham. Pria tampan itu tak berbasa-basi dalam memimpin meeting, dia segera kembali ke ruang kerjanya.
“Tuan Lionel,” sapa Aro, asisten pribadi Lionel, yang sekarang sudah berada di ruang kerja Lionel.
Lionel menatap Aro. “Ada apa?”
“Tuan, maaf mengganggu Anda, saya hanya ingin memberi tahu bahwa di depan ada wanita bernama Nona Paloma Gish datang ingin bertemu dengan Anda,” jawab Aro sopan.
Kening Lionel mengerut dalam. “Paloma Gish datang?”
Aro mengangguk. “Benar, Tuan. Nona Paloma Gish datang ingin bertemu dengan Anda.”
Lionel terdiam sebentar. “Persilakan Paloma untuk masuk.”
“Baik, Tuan,” jawab Aro patuh, lalu dia mempersilakan wanita bernama Paloma Gish untuk masuk ke dalam ruang kerja Lionel.
“Hai, Lionel.” Paloma masuk ke dalam ruang kerja Lionel, dengan langkah yang begitu pelan, dan hati-hati.
Melihat langkah Paloma belum normal, membuat Lionel langsung membantu wanita itu. “Paloma, kenapa kau ke sini? Kau belum sembuh.”
“Aku sudah membaik, Lionel,” jawab Paloma tulus, dengan tatapan hangat menatap Lionel. “Aku membaik, berkat dirimu.”
Lionel membantu Paloma untuk duduk di sofa. “Aku hanya bertanggung jawab atas apa yang telah aku lakukan. Itu saja.”
Paloma tersenyum. “Benar, tapi jika kau mau, kau bisa saja malarian diri. Tapi lihatlah, kau adalah pria yang penuh tanggung jawab.”
Lionel tak mengindahkan pujian Paloma. “Ada apa kau ke sini, Paloma?”
Paloma sedikit menggigit bibir bawahnya. “Tadi malam aku mengirimkan pesan untukmu, mengajakmu makan siang bersama. Tapi kau tidak membalas pesanku.”
“Oh, itu, maaf, aku sudah tidur. Belakangan ini banyak pekerjaan yang aku urus,” jawab Lionel tak sepenuhnya benar, dia tak mungkin menceritakan tentang Lily yang curiga padanya.
Paloma mengangguk paham. “Aku mengerti kesibukanmu, Lionel. Hm, bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar? Kebetulan aku belum makan. Aku ingin mentraktirmu karena sudah menolongku.”
“Paloma, kau masih belum pulih. Lagi pula, kau tidak perlu mentraktirku. Apa yang aku lakukan sudah semestinya,” ucap Lionel dingin.
Paloma menatap Lionel dengan tatapan penuh permohonan. “Aku mohon, Lionel. Please, makan siang bersamaku. Aku ingin sekali membalas budi atas kebaikanmu.”
Lionel mengembuskan napas kasar, banyak pekerjaan yang harus dia urus, tapi di sisi lain dia tak tega pada Paloma yang sudah jauh-jauh menyusulnya. Bisa dikatakan wanita itu cukup keras kepala.
“Baiklah, aku mau kita makan siang bersama. Tapi, biar aku yang membayar makan siang ini. Aku tidak biasa seorang wanita membayarkan makan siangku,” ucap Lionel tegas.
Paloma tersenyum, dan mengangguk. “Ya, Lionel. Aku mau!”
Lionel bangkit berdiri, dan hendak jalan lebih dulu, tetapi di kala dia melihat jalan Paloma yang lambat, dia langsung membantu wanita itu. Posisinya sekarang Paloma memeluk lengan Lionel dengan erat.
***
“Lily, kau semakin cantik.” Amelia memeluk Lily, menyambut hangat teman dekat semasa kuliahnya dulu. Tampak jelas raut wajah bahagia kedua wanita cantik itu.
Lily mengurai pelukannya, dan tersenyum. “Kau juga semakin cantik, Amelia. Sudah lama tidak bertemu, rambutmu sekarang sudah pirang sekali. Di mana rambut cokelatmu?”
Amelia terkekeh di kala Lily menyadari warna rambutnya berubah. “Sejak bulan lalu aku sudah mengganti warna rambutku.”
Lily tersenyum. “Kau semakin cantik!”
Amelia menangkup kedua pipi Lily. “Kau bahkan jauh lebih cantik, Nyonya De Vitto.”
Lily kembali tersenyum. “Aku sudah lapar, ayo kita makan siang.”
Amelia mengangguk, lalu dia memeluk lengan Lily, mengajak temannya itu berkeliling mall sebentar. Kebetulan restoran yang dipilihnya adalah restoran yang terletak di dalam mall.
“Lily, bulan depan ada acara reuni kampus kita. Reuni campuran bersama dengan senior. Kau mau ikut tidak?” tanya Amelia seraya berjalan bersama Lily menuju restoran.
“Hm, aku belum tahu. Aku harus minta izin dulu pada Lionel,” jawab Lily lembut.
Amelia mengangguk paham. “Semoga Lionel memberikanmu izin.”
Lily tersenyum, lalu dia berjalan sambil melihat-lihat toko-toko pakaian bayi yang kebetulan tak jauh darinya. Senyumannya terlukis, di kala membayangkan suatu saat dirinya dan Lionel akan membeli pakaian bayi.
“Lily, bukankah itu Lionel?” Amelia menghentikan langkahnya saat melihat sosok pria mirip Lionel.
Lily mengalihkan pandangannya, menatap sosok pria yang benar mirip sekali suaminya. Namun, tunggu … kenapa Lionel bersama dengan seorang wanita? Bahkan mereka sangat dekat dan intim.
“Lily, Lionel bersama siapa? Kenapa wanita itu memeluk Lionel?” tanya Amelia yang membuat hati Lily menjadi sesak.
“Aku tidak tahu. Mungkin itu rekan bisnisnya,” jawab Lily berusaha tenang, dan menyingkirkan pikiran buruknya.
Amelia mengerutkan keningnya. “Rekan bisnis? Kau yakin? Kenapa mereka intim sekali?”
Lily mengatur napasnya. “Amelia, kita cari restoran di tempat lain, jangan di sini. Mood-ku sedang tidak baik.”
Amelia hendak bertanya, tapi di kala melihat raut wajah Lily membuatnya memilih mengurungkan niatnya. “Baiklah, kita cari restoran di luar mall saja.”
Lily menatap lekat Lionel yang tak menyadari kehadirannya, lalu dia berbalik bersama Amelia, meninggalkan tempat itu. Tampak jelas matanya sudah berkaca-kaca, tapi sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak menangis.
“Negative, hasilnya masih negative.”Suara lembut terdengar putus asa dari seorang wanita cantik berambut cokelat tebal bernama Lily. Wanita itu tampak muram di kala hasil testpack-nya menunjukkan garis satu—yang menandakan hasilnya negative. Tidak ada harapan ada benih di dalam rahimnya. Lionel mengembuskan napas kasar. “Sudahku katakan, jangan selalu melakukan test kehamilan. Itu hanya membuatmu menjadi stress. Kenapa kau keras kepala sekali?!” serunya memberikan teguran pada sang istri.Lily semakin muram di kala dimarahi oleh sang suami. “A-aku hanya ingin segera memberikanmu keturunan, Sayang. Tahun ini sudah tahun kedua kita menikah, tapi aku belum bisa memberikanmu keturunan. Aku merasa gagal menjadi seorang wanita.”Mata Lily berkaca-kaca kala mengatakan hal itu. Wanita cantik berusia 24 tahun itu sudah menikah dengan Lionel De Vitto—pria yang sangat dia cintai selama dua tahun lamanya. Namun, sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehamilan padanya. Setiap hari, Lily selalu
Lily duduk di tepi ranjang, menunggu kepulangan sang suami. Meski suaminya itu mengatakan pulang terlambat, tapi entah kenapa hatinya merasa tidak nyaman, dan tidak tenang. Dia merasakan seperti ada sesuatu hal yang mengusik ketenangan dalam dirinya. Hal tersebut yang membuat Lily menjadi sulit tidur.Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Salju di kota Manhattan semakin turun begit lebat. Lily menjadi sangat khawatir takut akan ada lagi badai salju, dan membuat suaminya menjadi sulit untuk pulang.“Aku harus menghubungi Lionel.” Lily memutuskan meraih ponselnya, dan menghubungi nomor sang suami. Namun, sayangnya beberapa kali nada tunggu terdengar, dan suaminya itu tak menjawab panggilannya.“Lionel tidak menjawabku. Apa dia benar-benar sangat sibuk?” gumam Lily lagi, yang terlihat jelas kemuraman di wajahnya.Suara pintu terbuka. Lily mengalihkan pandangannya, menatap sang suami yang berdiri di ambang pintu. Senyuman di wajah Lily terlukis. Wanita cantik itu langsung bangkit
Lily mendatangi rumah sakit yang kerap dia kunjungi. Perkataan ibu mertuanya begitu menusuk, sampai membuatnya langsung bergegas ke rumah sakit. Wanita cantik itu bertekad kuat akan memberikan keturunan untuk sang suami. Walaupun dia kerap mendengar hasil yang belum membuahkan, tapi sampai kapan pun dia tak akan menyerah.“Selamat pagi, Nyonya De Vitto,” sapa sang dokter kandungan, dengan penuh keramahan.Lily tersenyum menatap sang dokter. “Selamat pagi, Dok.”“Nyonya, saya sedikit terkejut Anda ke sini sendiri. Saya pikir Anda akan bersama dengan Tuan De Vitto,” ujar sang dokter hangat. Lily sedikit muram kala mendengar ucapan sang dokter. Sudah lama dia mendatangi dokter kandungan hanya sendiri saja, tak bersama dengan sang suami. Bukan tanpa alasan, setiap kali dia mengajak suaminya, maka suaminya selalu mengatakan sibuk. Hal tersebut yang membuatnya kerap mengunjungi sang dokter seorang diri.“Suamiku sibuk, Dok,” jawab Lily lembut, terpaksa mengatakan ini.Sang dokter mengangg
Lionel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Pria tampan itu melangkah masuk ke dalam mansion, dan seketika langkahnya terhenti di kala berpapasan dengan pelayan.“Selamat malam, Tuan,” sapa sang pelayan sopan.Lionel mengangguk singkat. “Apa ibuku masih di sini?”“Sudah tidak, Tuan. Nyonya Shada sudah pulang dari jam sepuluh malam,” jawab sang pelayan sopan.Lionel mengangguk lagi. “Di mana Lily? Apa dia sudah tidur?”“Tadi saya lihat Nyonya Lily ada di perpustakaan. Beliau bilang tidak bisa tidur, karena Anda belum pulang,” jawab sang pelayan lagi.Lionel mengembuskan napas kasar. ‘Wanita itu keras kepala sekali. Aku sudah memintanya untuk tidur duluan, kenapa malah belum tidur?’ gerutunya dalam hati.“Tuan, apa Anda ingin saya makan sesuatu? Jika iya, saya akan membuatkan makanan untuk Anda,” ucap sang pelayan menawarkan.Lionel menggelengkan kepalanya. “Aku masih kenyang. Aku ingin menyusul Lily sekarang.”“Baik, Tuan,” jawab pel
Lily duduk di tepi kolam renang, dengan sorot pandang lurus ke depan, seakan ada yang mengganggu ketenangan pikirannya. Embusan angin menerpa kulitnya, menyejukan membuat matanya sempat terpejam sebentar. Namun, di kala ketenangan itu menyergap, tiba-tiba saja terdengar dering ponsel, yang membuat Lily membuka mata—dan mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang terletak di atas meja.“Siapa yang menghubungiku?” gumam Lily, seraya mengambil ponselnya ke layar—dan menatap tertera nama ‘Amelia’ di sana. Senyuman di wajah Lily terlukis, Amelia adalah teman semasa kuliahnya dulu, dan sudah lama dia tak berhubungan dengan Amelia.Lily segera menggeser tombol hijau, untuk menerima panggilan itu.“Amelia?” sapa Lily kala panggilan terhubung.“Lily, apa kabar?” tanya Amelia dari seberang sana. Lily tersenyum. “Aku baik, bagaimana denganmu?” “Aku juga baik, ngomong-ngomong, kau sekarang di mana, Lily?” “Aku di mansion suamiku, Amelia. Kenapa?”“Apa kau sibuk?” “Hem, tidak. Aku tidak s
Lionel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Pria tampan itu melangkah masuk ke dalam mansion, dan seketika langkahnya terhenti di kala berpapasan dengan pelayan.“Selamat malam, Tuan,” sapa sang pelayan sopan.Lionel mengangguk singkat. “Apa ibuku masih di sini?”“Sudah tidak, Tuan. Nyonya Shada sudah pulang dari jam sepuluh malam,” jawab sang pelayan sopan.Lionel mengangguk lagi. “Di mana Lily? Apa dia sudah tidur?”“Tadi saya lihat Nyonya Lily ada di perpustakaan. Beliau bilang tidak bisa tidur, karena Anda belum pulang,” jawab sang pelayan lagi.Lionel mengembuskan napas kasar. ‘Wanita itu keras kepala sekali. Aku sudah memintanya untuk tidur duluan, kenapa malah belum tidur?’ gerutunya dalam hati.“Tuan, apa Anda ingin saya makan sesuatu? Jika iya, saya akan membuatkan makanan untuk Anda,” ucap sang pelayan menawarkan.Lionel menggelengkan kepalanya. “Aku masih kenyang. Aku ingin menyusul Lily sekarang.”“Baik, Tuan,” jawab pel
Lily mendatangi rumah sakit yang kerap dia kunjungi. Perkataan ibu mertuanya begitu menusuk, sampai membuatnya langsung bergegas ke rumah sakit. Wanita cantik itu bertekad kuat akan memberikan keturunan untuk sang suami. Walaupun dia kerap mendengar hasil yang belum membuahkan, tapi sampai kapan pun dia tak akan menyerah.“Selamat pagi, Nyonya De Vitto,” sapa sang dokter kandungan, dengan penuh keramahan.Lily tersenyum menatap sang dokter. “Selamat pagi, Dok.”“Nyonya, saya sedikit terkejut Anda ke sini sendiri. Saya pikir Anda akan bersama dengan Tuan De Vitto,” ujar sang dokter hangat. Lily sedikit muram kala mendengar ucapan sang dokter. Sudah lama dia mendatangi dokter kandungan hanya sendiri saja, tak bersama dengan sang suami. Bukan tanpa alasan, setiap kali dia mengajak suaminya, maka suaminya selalu mengatakan sibuk. Hal tersebut yang membuatnya kerap mengunjungi sang dokter seorang diri.“Suamiku sibuk, Dok,” jawab Lily lembut, terpaksa mengatakan ini.Sang dokter mengangg
Lily duduk di tepi ranjang, menunggu kepulangan sang suami. Meski suaminya itu mengatakan pulang terlambat, tapi entah kenapa hatinya merasa tidak nyaman, dan tidak tenang. Dia merasakan seperti ada sesuatu hal yang mengusik ketenangan dalam dirinya. Hal tersebut yang membuat Lily menjadi sulit tidur.Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Salju di kota Manhattan semakin turun begit lebat. Lily menjadi sangat khawatir takut akan ada lagi badai salju, dan membuat suaminya menjadi sulit untuk pulang.“Aku harus menghubungi Lionel.” Lily memutuskan meraih ponselnya, dan menghubungi nomor sang suami. Namun, sayangnya beberapa kali nada tunggu terdengar, dan suaminya itu tak menjawab panggilannya.“Lionel tidak menjawabku. Apa dia benar-benar sangat sibuk?” gumam Lily lagi, yang terlihat jelas kemuraman di wajahnya.Suara pintu terbuka. Lily mengalihkan pandangannya, menatap sang suami yang berdiri di ambang pintu. Senyuman di wajah Lily terlukis. Wanita cantik itu langsung bangkit
“Negative, hasilnya masih negative.”Suara lembut terdengar putus asa dari seorang wanita cantik berambut cokelat tebal bernama Lily. Wanita itu tampak muram di kala hasil testpack-nya menunjukkan garis satu—yang menandakan hasilnya negative. Tidak ada harapan ada benih di dalam rahimnya. Lionel mengembuskan napas kasar. “Sudahku katakan, jangan selalu melakukan test kehamilan. Itu hanya membuatmu menjadi stress. Kenapa kau keras kepala sekali?!” serunya memberikan teguran pada sang istri.Lily semakin muram di kala dimarahi oleh sang suami. “A-aku hanya ingin segera memberikanmu keturunan, Sayang. Tahun ini sudah tahun kedua kita menikah, tapi aku belum bisa memberikanmu keturunan. Aku merasa gagal menjadi seorang wanita.”Mata Lily berkaca-kaca kala mengatakan hal itu. Wanita cantik berusia 24 tahun itu sudah menikah dengan Lionel De Vitto—pria yang sangat dia cintai selama dua tahun lamanya. Namun, sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehamilan padanya. Setiap hari, Lily selalu