Lionel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Pria tampan itu melangkah masuk ke dalam mansion, dan seketika langkahnya terhenti di kala berpapasan dengan pelayan.
“Selamat malam, Tuan,” sapa sang pelayan sopan.
Lionel mengangguk singkat. “Apa ibuku masih di sini?”
“Sudah tidak, Tuan. Nyonya Shada sudah pulang dari jam sepuluh malam,” jawab sang pelayan sopan.
Lionel mengangguk lagi. “Di mana Lily? Apa dia sudah tidur?”
“Tadi saya lihat Nyonya Lily ada di perpustakaan. Beliau bilang tidak bisa tidur, karena Anda belum pulang,” jawab sang pelayan lagi.
Lionel mengembuskan napas kasar. ‘Wanita itu keras kepala sekali. Aku sudah memintanya untuk tidur duluan, kenapa malah belum tidur?’ gerutunya dalam hati.
“Tuan, apa Anda ingin saya makan sesuatu? Jika iya, saya akan membuatkan makanan untuk Anda,” ucap sang pelayan menawarkan.
Lionel menggelengkan kepalanya. “Aku masih kenyang. Aku ingin menyusul Lily sekarang.”
“Baik, Tuan,” jawab pelayan itu, lalu Lionel melangkah menuju perpustakaan. Tampak raut wajahnya menunjukkan kekesalan.
“Lily!” Lionel masuk ke dalam perpustakaan, dan menatap ternyata Lily sedang membaca buku.
Lily tersenyum melihat Lionel sudah pulang. “Sayang? Kau sudah pulang? Dari tadi aku menunggumu,” ucapnya sambil bangkit berdiri, menghampiri sang suami yang berdiri di ambang pintu.
Lionel menatap dingin Lily. “Kenapa kau belum tidur? Aku kan sudah bilang, kau tidur duluan, jangan menungguku!”
Raut wajah Lily berubah muram di kala ditegur sang suami. “Aku belum mengantuk. Lagi pula, aku tidak bisa tidur tanpamu.”
Lionel mendesah kasar. “Lily! Kau jangan kekanakan! Kau bisa tidur duluan, dan aku akan menyusulmu!”
Lily menunduk. “Aku sudah berusaha tidur, Lionel, tapi tetap tidak bisa. Aku sulit tidur jika sendirian. Aku sudah terbiasa menunggumu.”
Lionel ingin marah, tapi dia rasa sangat percuma. Dia sangat mengenal sifat sang istri yang keras kepala. “Kita ke kamar sekarang! Ini sudah larut malam!”
Lily mengangguk, lalu tersenyum dan memeluk lengan sang suami. Detik selanjutnya, dia melangkah menuju kamar. Wanita cantik itu bergelayut manja di lengan kekar sang suami tercinta.
“Aku ingin mengganti pakaianku. Kau tidur saja duluan,” ucap Lionel dingin, di kala sudah tiba di kamar.
Lily menggelengkan kepalanya. “Aku akan menunggumu.”
Lionel menghela napas kasar. “Kenapa kau keras kepala sekali, Lily?!”
Lily menatap Lionel dengan mata berkaca-kaca. “Aku ingin tidur di pelukanmu, Lionel.”
Lionel memijat keningnya, lalu dia masuk ke dalam walk-in closet, dan mengganti pakaiannya tanpa berkata apa pun. Pria itu enggan bicara lagi, karena dia tahu sang istri akan tetap bersikeras menunggunya.
Saat Lionel mengganti pakaian, tatapan Lily teralih pada ponsel Lionel yang berdering menandakan pesan masuk. Wanita itu penasaran siapa yang mengirim pesan untuk sang suami di malam yang larut seperti ini.
Lily mengambil ponsel sang suami, dan membuka pesan suaminya itu. Beruntung, password suaminya tidak berubah, jadi dia bisa membaca jika ada pesan masuk.
{Lionel, jika kau tidak keberatan, besok aku ingin mengajakmu makan siang bersama sebagai bentuk rasa terima kasihku—Paloma}
Raut wajah Lily berubah di kala membaca pesan masuk itu. Kegelisahan menyelimutinya. Hatinya penuh dengan tanya. Namun, sebisa mungkin dia berusaha untuk mengendalikan kemarahan dalam diri.
Lionel melangkah keluar dari walk-in closet. Pria tampan itu sudah selesai mengganti pakaiannya dengan piyama tidur. Dia hendak bermaksud berbaring di ranjang, tapi seketika geraknya terhenti melihat Lily memegang ponselnya.
“Kau membaca pesanku?” Lionel langsung mengambil ponselnya di tangan Lily, dengan sedikit kasar.
Lily terkejut di kala Lionel mengambil ponselnya dengan kasar. “M-maaf, Lionel, aku tidak sengaja membaca pesanmu.”
Lionel membaca sekilas pesan di ponselnya, lalu dia meletakan kembali ponselnya ke atas nakas. “Hindari rasa ingin tahumu. Kau bisa salah paham.”
Lily menggigit bibir bawahnya. “Aku membaca pesan dari Paloma. Siapa dia, Lionel?” tanyanya ingin tahu.
Lionel menatap dingin Lily. “Kau mulai mencurigaiku lagi?”
Lily menggelengkan kepalanya pelan. “A-aku tidak bermaksud mencurigaimu, Lionel. A-aku hanya bertanya saja padamu.”
Lionel membaringkan tubuhnya di ranjang. “Paloma adalah wanita yang aku tabrak tempo hari.”
Lily terdiam sebentar. “Lalu, untuk apa dia mengajakmu makan siang bersama?”
“Mungkin untuk berterima kasih,” ucap Lionel dingin, dan datar.
“A-apa kau akan makan siang berdua dengannya?” tanya Lily hati-hati.
“Aku tidak tahu, Lily! Aku sibuk! Ini sudah malam! Cepat tidur!” seru Lionel mengingatkan.
Lily mengangguk pelan, lalu dia membaringkan tubuhnya di dada bidang sang suami. Lionel langsung tidur, sedangkan Lily sama sekali tidak bisa tidur. Pikiran wanita itu berkecamuk memikirkan Paloma yang mengajak suaminya makan siang bersama. Entah kenapa hatinya merasakan gelisah, padahal dulu dia selalu percaya pada suaminya.
***
Pagi menyapa, Lionel lebih dulu bangun dan bersiap untuk ke kantor. Pria tampan itu sudah rapi dengan jasnya. Sementara Lily masih baru saja membuka mata. Tampak wanita itu terkejut melihat Lionel sudah rapi.
“Sayang, maaf aku bangun kesiangan,” ucap Lily panik.
“Kau istirahat saja. Aku akan sarapan di kantor,” jawab Lionel dingin.
Lily bangkit berdiri. “Kau sarapan di kantor? Apa hari ini kau memiliki meeting pagi?”
Lionel mengangguk. “Ya, aku memiliki meeting pagi.”
Lily terdiam sebentar. “Nanti siang, kalau aku buatkan makanan untukmu bagaimana? Kau mau tidak?”
“Tidak usah. Aku takut siang ini meeting di luar.” Lionel merapikan dasinya.
Lily tampak curiga. “A-apa kau akan makan siang bersama dengan Paloma?” tanyanya hati-hati.
Gerak Lionel terhenti, tatapannya terhunus tajam pada Lily. “Apa kau bisa menggunakan otakmu untuk berpikir, Lily?! Aku ini bekerja! Kenapa kau terus menerus mencurigaiku! Sebenarnya ada apa denganmu?!”
Lily menggigit bibir bawahnya. “A-aku hanya bertanya saja, Lionel.”
“Aku tidak suka kau cemburu tidak jelas! Aku dan Paloma tidak memiliki hubungan apa pun! Kau mengerti?!” Mata Lionel menyalang begitu tajam, akibat emosi.
Lily mengangguk pelan. “I-iya, Lionel. Maafkan aku.”
Lionel mengembuskan napas kasar, lalu dia berangkat pergi tanpa berpamitan. Tampak raut wajah Lily panik melihat Lionel pergi dalam keadaan marah. Wanita itu hendak ingin mengejar, tapi dia mengenal sifat keras sang suami jika sedang marah.
Lily memilih untuk mengalah, dan tak menyusul sang suami. Meski tak dipungkiri hatinya terus memikirkan pesan wanita bernama Paloma. Lionel mengatakan padanya tak memiliki hubungan apa pun dengan Paloma, tapi kenapa wanita itu seakan menaruh harapan lebih pada suaminya? Ah! Lily membenci pikirannya ini. Dia membenci dirinya yang mulai menaruh rasa curiga, dan berujung membuat sang suami marah padanya.
Lily menatap cermin, dan berkata penuh keyakinan, “Lionel tidak akan mungkin mengkhianatimu, Lily. Berhenti berpikiran aneh. Sekarang kau memang belum mengandung, tapi kelak kau pasti akan memberikan keturunan untuk Lionel.”
Lily duduk di tepi kolam renang, dengan sorot pandang lurus ke depan, seakan ada yang mengganggu ketenangan pikirannya. Embusan angin menerpa kulitnya, menyejukan membuat matanya sempat terpejam sebentar. Namun, di kala ketenangan itu menyergap, tiba-tiba saja terdengar dering ponsel, yang membuat Lily membuka mata—dan mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang terletak di atas meja.“Siapa yang menghubungiku?” gumam Lily, seraya mengambil ponselnya ke layar—dan menatap tertera nama ‘Amelia’ di sana. Senyuman di wajah Lily terlukis, Amelia adalah teman semasa kuliahnya dulu, dan sudah lama dia tak berhubungan dengan Amelia.Lily segera menggeser tombol hijau, untuk menerima panggilan itu.“Amelia?” sapa Lily kala panggilan terhubung.“Lily, apa kabar?” tanya Amelia dari seberang sana. Lily tersenyum. “Aku baik, bagaimana denganmu?” “Aku juga baik, ngomong-ngomong, kau sekarang di mana, Lily?” “Aku di mansion suamiku, Amelia. Kenapa?”“Apa kau sibuk?” “Hem, tidak. Aku tidak s
“Negative, hasilnya masih negative.”Suara lembut terdengar putus asa dari seorang wanita cantik berambut cokelat tebal bernama Lily. Wanita itu tampak muram di kala hasil testpack-nya menunjukkan garis satu—yang menandakan hasilnya negative. Tidak ada harapan ada benih di dalam rahimnya. Lionel mengembuskan napas kasar. “Sudahku katakan, jangan selalu melakukan test kehamilan. Itu hanya membuatmu menjadi stress. Kenapa kau keras kepala sekali?!” serunya memberikan teguran pada sang istri.Lily semakin muram di kala dimarahi oleh sang suami. “A-aku hanya ingin segera memberikanmu keturunan, Sayang. Tahun ini sudah tahun kedua kita menikah, tapi aku belum bisa memberikanmu keturunan. Aku merasa gagal menjadi seorang wanita.”Mata Lily berkaca-kaca kala mengatakan hal itu. Wanita cantik berusia 24 tahun itu sudah menikah dengan Lionel De Vitto—pria yang sangat dia cintai selama dua tahun lamanya. Namun, sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehamilan padanya. Setiap hari, Lily selalu
Lily duduk di tepi ranjang, menunggu kepulangan sang suami. Meski suaminya itu mengatakan pulang terlambat, tapi entah kenapa hatinya merasa tidak nyaman, dan tidak tenang. Dia merasakan seperti ada sesuatu hal yang mengusik ketenangan dalam dirinya. Hal tersebut yang membuat Lily menjadi sulit tidur.Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Salju di kota Manhattan semakin turun begit lebat. Lily menjadi sangat khawatir takut akan ada lagi badai salju, dan membuat suaminya menjadi sulit untuk pulang.“Aku harus menghubungi Lionel.” Lily memutuskan meraih ponselnya, dan menghubungi nomor sang suami. Namun, sayangnya beberapa kali nada tunggu terdengar, dan suaminya itu tak menjawab panggilannya.“Lionel tidak menjawabku. Apa dia benar-benar sangat sibuk?” gumam Lily lagi, yang terlihat jelas kemuraman di wajahnya.Suara pintu terbuka. Lily mengalihkan pandangannya, menatap sang suami yang berdiri di ambang pintu. Senyuman di wajah Lily terlukis. Wanita cantik itu langsung bangkit
Lily mendatangi rumah sakit yang kerap dia kunjungi. Perkataan ibu mertuanya begitu menusuk, sampai membuatnya langsung bergegas ke rumah sakit. Wanita cantik itu bertekad kuat akan memberikan keturunan untuk sang suami. Walaupun dia kerap mendengar hasil yang belum membuahkan, tapi sampai kapan pun dia tak akan menyerah.“Selamat pagi, Nyonya De Vitto,” sapa sang dokter kandungan, dengan penuh keramahan.Lily tersenyum menatap sang dokter. “Selamat pagi, Dok.”“Nyonya, saya sedikit terkejut Anda ke sini sendiri. Saya pikir Anda akan bersama dengan Tuan De Vitto,” ujar sang dokter hangat. Lily sedikit muram kala mendengar ucapan sang dokter. Sudah lama dia mendatangi dokter kandungan hanya sendiri saja, tak bersama dengan sang suami. Bukan tanpa alasan, setiap kali dia mengajak suaminya, maka suaminya selalu mengatakan sibuk. Hal tersebut yang membuatnya kerap mengunjungi sang dokter seorang diri.“Suamiku sibuk, Dok,” jawab Lily lembut, terpaksa mengatakan ini.Sang dokter mengangg
Lily duduk di tepi kolam renang, dengan sorot pandang lurus ke depan, seakan ada yang mengganggu ketenangan pikirannya. Embusan angin menerpa kulitnya, menyejukan membuat matanya sempat terpejam sebentar. Namun, di kala ketenangan itu menyergap, tiba-tiba saja terdengar dering ponsel, yang membuat Lily membuka mata—dan mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang terletak di atas meja.“Siapa yang menghubungiku?” gumam Lily, seraya mengambil ponselnya ke layar—dan menatap tertera nama ‘Amelia’ di sana. Senyuman di wajah Lily terlukis, Amelia adalah teman semasa kuliahnya dulu, dan sudah lama dia tak berhubungan dengan Amelia.Lily segera menggeser tombol hijau, untuk menerima panggilan itu.“Amelia?” sapa Lily kala panggilan terhubung.“Lily, apa kabar?” tanya Amelia dari seberang sana. Lily tersenyum. “Aku baik, bagaimana denganmu?” “Aku juga baik, ngomong-ngomong, kau sekarang di mana, Lily?” “Aku di mansion suamiku, Amelia. Kenapa?”“Apa kau sibuk?” “Hem, tidak. Aku tidak s
Lionel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Pria tampan itu melangkah masuk ke dalam mansion, dan seketika langkahnya terhenti di kala berpapasan dengan pelayan.“Selamat malam, Tuan,” sapa sang pelayan sopan.Lionel mengangguk singkat. “Apa ibuku masih di sini?”“Sudah tidak, Tuan. Nyonya Shada sudah pulang dari jam sepuluh malam,” jawab sang pelayan sopan.Lionel mengangguk lagi. “Di mana Lily? Apa dia sudah tidur?”“Tadi saya lihat Nyonya Lily ada di perpustakaan. Beliau bilang tidak bisa tidur, karena Anda belum pulang,” jawab sang pelayan lagi.Lionel mengembuskan napas kasar. ‘Wanita itu keras kepala sekali. Aku sudah memintanya untuk tidur duluan, kenapa malah belum tidur?’ gerutunya dalam hati.“Tuan, apa Anda ingin saya makan sesuatu? Jika iya, saya akan membuatkan makanan untuk Anda,” ucap sang pelayan menawarkan.Lionel menggelengkan kepalanya. “Aku masih kenyang. Aku ingin menyusul Lily sekarang.”“Baik, Tuan,” jawab pel
Lily mendatangi rumah sakit yang kerap dia kunjungi. Perkataan ibu mertuanya begitu menusuk, sampai membuatnya langsung bergegas ke rumah sakit. Wanita cantik itu bertekad kuat akan memberikan keturunan untuk sang suami. Walaupun dia kerap mendengar hasil yang belum membuahkan, tapi sampai kapan pun dia tak akan menyerah.“Selamat pagi, Nyonya De Vitto,” sapa sang dokter kandungan, dengan penuh keramahan.Lily tersenyum menatap sang dokter. “Selamat pagi, Dok.”“Nyonya, saya sedikit terkejut Anda ke sini sendiri. Saya pikir Anda akan bersama dengan Tuan De Vitto,” ujar sang dokter hangat. Lily sedikit muram kala mendengar ucapan sang dokter. Sudah lama dia mendatangi dokter kandungan hanya sendiri saja, tak bersama dengan sang suami. Bukan tanpa alasan, setiap kali dia mengajak suaminya, maka suaminya selalu mengatakan sibuk. Hal tersebut yang membuatnya kerap mengunjungi sang dokter seorang diri.“Suamiku sibuk, Dok,” jawab Lily lembut, terpaksa mengatakan ini.Sang dokter mengangg
Lily duduk di tepi ranjang, menunggu kepulangan sang suami. Meski suaminya itu mengatakan pulang terlambat, tapi entah kenapa hatinya merasa tidak nyaman, dan tidak tenang. Dia merasakan seperti ada sesuatu hal yang mengusik ketenangan dalam dirinya. Hal tersebut yang membuat Lily menjadi sulit tidur.Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Salju di kota Manhattan semakin turun begit lebat. Lily menjadi sangat khawatir takut akan ada lagi badai salju, dan membuat suaminya menjadi sulit untuk pulang.“Aku harus menghubungi Lionel.” Lily memutuskan meraih ponselnya, dan menghubungi nomor sang suami. Namun, sayangnya beberapa kali nada tunggu terdengar, dan suaminya itu tak menjawab panggilannya.“Lionel tidak menjawabku. Apa dia benar-benar sangat sibuk?” gumam Lily lagi, yang terlihat jelas kemuraman di wajahnya.Suara pintu terbuka. Lily mengalihkan pandangannya, menatap sang suami yang berdiri di ambang pintu. Senyuman di wajah Lily terlukis. Wanita cantik itu langsung bangkit
“Negative, hasilnya masih negative.”Suara lembut terdengar putus asa dari seorang wanita cantik berambut cokelat tebal bernama Lily. Wanita itu tampak muram di kala hasil testpack-nya menunjukkan garis satu—yang menandakan hasilnya negative. Tidak ada harapan ada benih di dalam rahimnya. Lionel mengembuskan napas kasar. “Sudahku katakan, jangan selalu melakukan test kehamilan. Itu hanya membuatmu menjadi stress. Kenapa kau keras kepala sekali?!” serunya memberikan teguran pada sang istri.Lily semakin muram di kala dimarahi oleh sang suami. “A-aku hanya ingin segera memberikanmu keturunan, Sayang. Tahun ini sudah tahun kedua kita menikah, tapi aku belum bisa memberikanmu keturunan. Aku merasa gagal menjadi seorang wanita.”Mata Lily berkaca-kaca kala mengatakan hal itu. Wanita cantik berusia 24 tahun itu sudah menikah dengan Lionel De Vitto—pria yang sangat dia cintai selama dua tahun lamanya. Namun, sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehamilan padanya. Setiap hari, Lily selalu