Lily mendatangi rumah sakit yang kerap dia kunjungi. Perkataan ibu mertuanya begitu menusuk, sampai membuatnya langsung bergegas ke rumah sakit. Wanita cantik itu bertekad kuat akan memberikan keturunan untuk sang suami. Walaupun dia kerap mendengar hasil yang belum membuahkan, tapi sampai kapan pun dia tak akan menyerah.
“Selamat pagi, Nyonya De Vitto,” sapa sang dokter kandungan, dengan penuh keramahan.
Lily tersenyum menatap sang dokter. “Selamat pagi, Dok.”
“Nyonya, saya sedikit terkejut Anda ke sini sendiri. Saya pikir Anda akan bersama dengan Tuan De Vitto,” ujar sang dokter hangat.
Lily sedikit muram kala mendengar ucapan sang dokter. Sudah lama dia mendatangi dokter kandungan hanya sendiri saja, tak bersama dengan sang suami. Bukan tanpa alasan, setiap kali dia mengajak suaminya, maka suaminya selalu mengatakan sibuk. Hal tersebut yang membuatnya kerap mengunjungi sang dokter seorang diri.
“Suamiku sibuk, Dok,” jawab Lily lembut, terpaksa mengatakan ini.
Sang dokter mengangguk paham. “Baik, apa yang Anda keluhkan, Nyonya?”
Lily menggigit bibir bawahnya seraya menautkan jemarinya. “Dok, saya sudah beberapa kali memeriksa kehamilan saya menggunakan testpack, tapi hasil yang saya dapatkan selalu negative. Dokter selama ini selalu mengatakan kandungan saya baik-baik saja, tapi kenapa hasilnya selalu negative, Dok?”
Rasanya Lily sangat lelah setiap kali memeriksa testpack, hasil selalu negative. Dokter mengatakan kondisi kandungannya sehat, dan Lionel juga sempat diperiksa hasilnya suaminya itu sehat. Namun, entah sampai detik ini dirinya tak kunjung hamil.
Sang dokter tersenyum menatap Lily. “Nyonya, Anda belum mengandung saat ini karena belum mendapatkan restu dari Sang Maha Pencipta. Kandungan Anda sehat. Tuan De Vitto juga sehat. Itu artinya Anda tinggal menunggu keajaiban datang. Obat yang saya berikan memang untuk menyuburkan kandungan Anda, tapi saya ini hanya dokter, Nyonya. Saya tetap bukan Tuhan. Yang bisa saya lakukan adalah terus mendukung Anda tetap semangat. Saya percaya, Tuhan tidak akan tutup mata pada orang yang sudah berjuang.”
Lily menahan air matanya mendengar penjelasan dari sang dokter. Tangannya mulai membelai perutnya sambil menggumamkan doa dalam hati agar Tuhan mau mengabulkan apa yang sudah selama ini dia doakan dan perjuangkan.
‘Sayang, Mommy sangat menunggumu datang di hidup Mommy dan Daddy,’ batin Lily seraya terus mengelus perutnya, berharap ada keajaiban di dalam rahimnya.
***
Lionel melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh membelah kota. Salju turun tak selebat biasanya, memudahkan dirinya dalam mengemudikan mobil. Mungkin musim salju banyak disukai oleh banyak orang. Namun, Lionel kesal setiap kali ada badai salju, membuat pekerjaannya tertunda.
Saat mobil Lionel memasuki halaman parkir perusahaan, tiba-tiba ponselnya berdering. Pria tampan itu meraih ponselnya, menatap ke layar tertera nomor asing yang menghubunginya. Awalnya, dia ingin mengabaikan panggilan telepon itu, tapi karena ponselnya terus menerus berdering membuatnya memilih menjawab panggilan itu.
“Halo?” jawab Lionel dingin, kala panggilan terhubung.
“Lionel, ini aku. Apa aku mengganggumu?” tanya seorang wanita dari seberang sana.
Kening Lionel mengerut dalam, tak asing mendengar suara wanita itu, tapi dia juga tak mengingat pemilik suara yang dia dengar sekarang. “Maaf, kau siapa?”
“Aku Paloma, Lionel. Maaf sudah mengganggumu,” ucap Paloma lembut.
“Ah, kau rupanya.” Lionel mengangguk, dia baru ingat dirinya memberikan kartu nama pada Paloma. Tujuannya agar jika Paloma membutuhkan sesuatu, bisa dengan mudah menghubunginya. Sebab, bagaimana pun dia tetap bersalah, karena sudah menabrak wanita itu.
“Iya, Lionel. Ini aku. Aku menghubungimu, karena ingin berterima kasih kau sudah membawaku ke rumah sakit.”
“Aku yang bersalah karena sudah menabrakmu. Tidak perlu mengucapkan terima kasih. Tindakan yang aku lakukan adalah bentuk tanggung jawabku. Bagaimana keadaanmu?”
“Aku baik, Lionel. Aku sudah mulai pulih.”
“Good, aku senang mendengarnya. Sorry, Paloma, aku hari ini sibuk, aku harus tutup dulu.”
“Iya, Lionel. Terima kasih.”
Lionel menutup panggilan telepon itu, lalu dia melangkah masuk ke dalam perusahaannya. Namun, di kala dia hendak masuk, tatapannya tak sengaja ada seorang pria masuk ke lobi perusahaannya bersama dengan seorang anak laki-laki yang mungkin sekitar usia 3 tahun.
“Daddy, hari ini Daddy memiliki meeting penting?”
“Iya, Son.”
“Setelah meeting, nanti Daddy main denganku, ya?”
“Iya, nanti Daddy main denganmu.”
Percakapan ayah dan anak itu membuat Lionel terpaku, sampai tak sadar bahwa pria yang ada di hadapannya itu adalah rekan bisnisnya.
“Tuan De Vitto,” sapa Andrew Brown, rekan bisnis Lionel.
“Ah, Tuan Brown,” jawab Lionel seraya menatap Andrew.
“Tuan, maaf hari ini saya membawa putra saya, karena kebetulan dia rewel sekali minta ikut. Tapi, Anda tidak perlu khawatir, ada pengasuh yang akan menjaganya selama kita meeting,” ucap Andrew sopan.
Lionel terdiam tak menyangka. “Tidak perlu minta maaf, ada ruangan kosong yang anakmu bisa pakai bersama pengasuhnya saat menunggu kau meeting bersamaku.”
Andrew tersenyum sopan. “Terima kasih, Tuan De Vitto.”
Lionel menoleh, menatap bocah laki-laki yang digandeng Andrew. Tatapannya begitu dalam penuh jutaan arti. Perasaannya merasa campur aduk, seakan dirinya merasa ada sesuatu yang hilang.
***
Lily menunduk lesu membaca pesan dari Lionel yang mengatakan akan pulang malam. Padahal dia sudah membuatkan makanan lezat untuk suaminya itu. Dia menyiapkan makanan special untuk sang suami, tapi sayang semua sia-sia karena suaminya tidak pulang.
“Di mana putraku?” tanya Shada ketus, menatap Lily. Wanita paruh baya itu masih tinggal di mansion putranya. Alasan utama, karena dia masih ingin di dekat putranya.
Lily memberanikan diri menatap Shada. “Lionel pulang malam, Mom.”
Shada berdecih sinis. “Suami mana yang betah pulang ke rumah kalau istrinya mandul? Jika kau bisa memberikan anak, aku yakin Lionel akan sering pulang ke rumah!”
Lily menggigit bibir bawahnya, menahan sakit hati akan ucapan ibu mertuanya itu. “Mom, hari ini aku sudah memeriksa kondisiku ke dokter. Dokter bilang kondisi kandunganku sehat.”
Shada mendengkus kasar. “Saat aku menikah dengan suamiku, beberapa bulan kemudian aku sudah mengandung Lionel! Sementara kau sudah dua tahun menikah dengan Lionel, tapi tidak juga diberikan keturunan! Dasarnya memang kau mandul! Ucapan dokter pasti tidak sepenuhnya benar. Dokter yang kau datangi pasti hanya menjaga perasaanmu saja!”
Mata Lily berkaca-kaca. “M-Mom, t-tapi aku dan Lionel sudah berusaha. A-aku yakin suatu saat akan memberikan cucu untuk Mom dan Dad.”
“Paling kau hanya berniat mengangkat anak saja! Aku yakin kau menggunakan jalan pintas dengan cara mengangkat anak! Ingat, jika bukan darah De Vitto di tubuh cucuku, maka aku tidak akan pernah mengakui anakmu sebagai cucuku!” seru Shada yang langsung melangkah pergi meninggalkan Lily yang sekarang meneteskan air mata.
Lily terduduk lemah di kursi meja makan. Air matanya terus berlinang deras membasahi pipinya. Hatinya sakit bahkan sangat sakit mendengar ucapan ibu mertuanya. Namun, dia berusaha mengerti pastinya ibu mertuanya mengatakan seperti itu, karena sangat ingin dirinya segera mengandung.
Lionel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Pria tampan itu melangkah masuk ke dalam mansion, dan seketika langkahnya terhenti di kala berpapasan dengan pelayan.“Selamat malam, Tuan,” sapa sang pelayan sopan.Lionel mengangguk singkat. “Apa ibuku masih di sini?”“Sudah tidak, Tuan. Nyonya Shada sudah pulang dari jam sepuluh malam,” jawab sang pelayan sopan.Lionel mengangguk lagi. “Di mana Lily? Apa dia sudah tidur?”“Tadi saya lihat Nyonya Lily ada di perpustakaan. Beliau bilang tidak bisa tidur, karena Anda belum pulang,” jawab sang pelayan lagi.Lionel mengembuskan napas kasar. ‘Wanita itu keras kepala sekali. Aku sudah memintanya untuk tidur duluan, kenapa malah belum tidur?’ gerutunya dalam hati.“Tuan, apa Anda ingin saya makan sesuatu? Jika iya, saya akan membuatkan makanan untuk Anda,” ucap sang pelayan menawarkan.Lionel menggelengkan kepalanya. “Aku masih kenyang. Aku ingin menyusul Lily sekarang.”“Baik, Tuan,” jawab pel
Lily duduk di tepi kolam renang, dengan sorot pandang lurus ke depan, seakan ada yang mengganggu ketenangan pikirannya. Embusan angin menerpa kulitnya, menyejukan membuat matanya sempat terpejam sebentar. Namun, di kala ketenangan itu menyergap, tiba-tiba saja terdengar dering ponsel, yang membuat Lily membuka mata—dan mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang terletak di atas meja.“Siapa yang menghubungiku?” gumam Lily, seraya mengambil ponselnya ke layar—dan menatap tertera nama ‘Amelia’ di sana. Senyuman di wajah Lily terlukis, Amelia adalah teman semasa kuliahnya dulu, dan sudah lama dia tak berhubungan dengan Amelia.Lily segera menggeser tombol hijau, untuk menerima panggilan itu.“Amelia?” sapa Lily kala panggilan terhubung.“Lily, apa kabar?” tanya Amelia dari seberang sana. Lily tersenyum. “Aku baik, bagaimana denganmu?” “Aku juga baik, ngomong-ngomong, kau sekarang di mana, Lily?” “Aku di mansion suamiku, Amelia. Kenapa?”“Apa kau sibuk?” “Hem, tidak. Aku tidak s
“Negative, hasilnya masih negative.”Suara lembut terdengar putus asa dari seorang wanita cantik berambut cokelat tebal bernama Lily. Wanita itu tampak muram di kala hasil testpack-nya menunjukkan garis satu—yang menandakan hasilnya negative. Tidak ada harapan ada benih di dalam rahimnya. Lionel mengembuskan napas kasar. “Sudahku katakan, jangan selalu melakukan test kehamilan. Itu hanya membuatmu menjadi stress. Kenapa kau keras kepala sekali?!” serunya memberikan teguran pada sang istri.Lily semakin muram di kala dimarahi oleh sang suami. “A-aku hanya ingin segera memberikanmu keturunan, Sayang. Tahun ini sudah tahun kedua kita menikah, tapi aku belum bisa memberikanmu keturunan. Aku merasa gagal menjadi seorang wanita.”Mata Lily berkaca-kaca kala mengatakan hal itu. Wanita cantik berusia 24 tahun itu sudah menikah dengan Lionel De Vitto—pria yang sangat dia cintai selama dua tahun lamanya. Namun, sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehamilan padanya. Setiap hari, Lily selalu
Lily duduk di tepi ranjang, menunggu kepulangan sang suami. Meski suaminya itu mengatakan pulang terlambat, tapi entah kenapa hatinya merasa tidak nyaman, dan tidak tenang. Dia merasakan seperti ada sesuatu hal yang mengusik ketenangan dalam dirinya. Hal tersebut yang membuat Lily menjadi sulit tidur.Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Salju di kota Manhattan semakin turun begit lebat. Lily menjadi sangat khawatir takut akan ada lagi badai salju, dan membuat suaminya menjadi sulit untuk pulang.“Aku harus menghubungi Lionel.” Lily memutuskan meraih ponselnya, dan menghubungi nomor sang suami. Namun, sayangnya beberapa kali nada tunggu terdengar, dan suaminya itu tak menjawab panggilannya.“Lionel tidak menjawabku. Apa dia benar-benar sangat sibuk?” gumam Lily lagi, yang terlihat jelas kemuraman di wajahnya.Suara pintu terbuka. Lily mengalihkan pandangannya, menatap sang suami yang berdiri di ambang pintu. Senyuman di wajah Lily terlukis. Wanita cantik itu langsung bangkit
Lily duduk di tepi kolam renang, dengan sorot pandang lurus ke depan, seakan ada yang mengganggu ketenangan pikirannya. Embusan angin menerpa kulitnya, menyejukan membuat matanya sempat terpejam sebentar. Namun, di kala ketenangan itu menyergap, tiba-tiba saja terdengar dering ponsel, yang membuat Lily membuka mata—dan mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang terletak di atas meja.“Siapa yang menghubungiku?” gumam Lily, seraya mengambil ponselnya ke layar—dan menatap tertera nama ‘Amelia’ di sana. Senyuman di wajah Lily terlukis, Amelia adalah teman semasa kuliahnya dulu, dan sudah lama dia tak berhubungan dengan Amelia.Lily segera menggeser tombol hijau, untuk menerima panggilan itu.“Amelia?” sapa Lily kala panggilan terhubung.“Lily, apa kabar?” tanya Amelia dari seberang sana. Lily tersenyum. “Aku baik, bagaimana denganmu?” “Aku juga baik, ngomong-ngomong, kau sekarang di mana, Lily?” “Aku di mansion suamiku, Amelia. Kenapa?”“Apa kau sibuk?” “Hem, tidak. Aku tidak s
Lionel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Pria tampan itu melangkah masuk ke dalam mansion, dan seketika langkahnya terhenti di kala berpapasan dengan pelayan.“Selamat malam, Tuan,” sapa sang pelayan sopan.Lionel mengangguk singkat. “Apa ibuku masih di sini?”“Sudah tidak, Tuan. Nyonya Shada sudah pulang dari jam sepuluh malam,” jawab sang pelayan sopan.Lionel mengangguk lagi. “Di mana Lily? Apa dia sudah tidur?”“Tadi saya lihat Nyonya Lily ada di perpustakaan. Beliau bilang tidak bisa tidur, karena Anda belum pulang,” jawab sang pelayan lagi.Lionel mengembuskan napas kasar. ‘Wanita itu keras kepala sekali. Aku sudah memintanya untuk tidur duluan, kenapa malah belum tidur?’ gerutunya dalam hati.“Tuan, apa Anda ingin saya makan sesuatu? Jika iya, saya akan membuatkan makanan untuk Anda,” ucap sang pelayan menawarkan.Lionel menggelengkan kepalanya. “Aku masih kenyang. Aku ingin menyusul Lily sekarang.”“Baik, Tuan,” jawab pel
Lily mendatangi rumah sakit yang kerap dia kunjungi. Perkataan ibu mertuanya begitu menusuk, sampai membuatnya langsung bergegas ke rumah sakit. Wanita cantik itu bertekad kuat akan memberikan keturunan untuk sang suami. Walaupun dia kerap mendengar hasil yang belum membuahkan, tapi sampai kapan pun dia tak akan menyerah.“Selamat pagi, Nyonya De Vitto,” sapa sang dokter kandungan, dengan penuh keramahan.Lily tersenyum menatap sang dokter. “Selamat pagi, Dok.”“Nyonya, saya sedikit terkejut Anda ke sini sendiri. Saya pikir Anda akan bersama dengan Tuan De Vitto,” ujar sang dokter hangat. Lily sedikit muram kala mendengar ucapan sang dokter. Sudah lama dia mendatangi dokter kandungan hanya sendiri saja, tak bersama dengan sang suami. Bukan tanpa alasan, setiap kali dia mengajak suaminya, maka suaminya selalu mengatakan sibuk. Hal tersebut yang membuatnya kerap mengunjungi sang dokter seorang diri.“Suamiku sibuk, Dok,” jawab Lily lembut, terpaksa mengatakan ini.Sang dokter mengangg
Lily duduk di tepi ranjang, menunggu kepulangan sang suami. Meski suaminya itu mengatakan pulang terlambat, tapi entah kenapa hatinya merasa tidak nyaman, dan tidak tenang. Dia merasakan seperti ada sesuatu hal yang mengusik ketenangan dalam dirinya. Hal tersebut yang membuat Lily menjadi sulit tidur.Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Salju di kota Manhattan semakin turun begit lebat. Lily menjadi sangat khawatir takut akan ada lagi badai salju, dan membuat suaminya menjadi sulit untuk pulang.“Aku harus menghubungi Lionel.” Lily memutuskan meraih ponselnya, dan menghubungi nomor sang suami. Namun, sayangnya beberapa kali nada tunggu terdengar, dan suaminya itu tak menjawab panggilannya.“Lionel tidak menjawabku. Apa dia benar-benar sangat sibuk?” gumam Lily lagi, yang terlihat jelas kemuraman di wajahnya.Suara pintu terbuka. Lily mengalihkan pandangannya, menatap sang suami yang berdiri di ambang pintu. Senyuman di wajah Lily terlukis. Wanita cantik itu langsung bangkit
“Negative, hasilnya masih negative.”Suara lembut terdengar putus asa dari seorang wanita cantik berambut cokelat tebal bernama Lily. Wanita itu tampak muram di kala hasil testpack-nya menunjukkan garis satu—yang menandakan hasilnya negative. Tidak ada harapan ada benih di dalam rahimnya. Lionel mengembuskan napas kasar. “Sudahku katakan, jangan selalu melakukan test kehamilan. Itu hanya membuatmu menjadi stress. Kenapa kau keras kepala sekali?!” serunya memberikan teguran pada sang istri.Lily semakin muram di kala dimarahi oleh sang suami. “A-aku hanya ingin segera memberikanmu keturunan, Sayang. Tahun ini sudah tahun kedua kita menikah, tapi aku belum bisa memberikanmu keturunan. Aku merasa gagal menjadi seorang wanita.”Mata Lily berkaca-kaca kala mengatakan hal itu. Wanita cantik berusia 24 tahun itu sudah menikah dengan Lionel De Vitto—pria yang sangat dia cintai selama dua tahun lamanya. Namun, sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehamilan padanya. Setiap hari, Lily selalu