“Mau sampai kapan kita nampung Kak Alina? Aku tuh nggak bebas. Mau apa-apa ngerasa nggak enak, mau beli ini takut diceramahi, mau jalan-jalan takut dinasihati. Lama-lama aku tuh nggak nyaman ada dia di sini. Kakak kamu itu sudah berumur kenapa nggak nikah? Jadi beban saja! Pantas saja Tuhan belum kasih kita momongan, soalnya kita masih ada beban Kak Alina!”
“Kenapa kamu ngomong seperti itu? Bukankah dulu sebelum kita nikah, kamu setuju serumah dengan Kak Alina?” Alina berhenti mengulurkan tangan menyentuh gagang pintu saat mendengar suara adik iparnya. Dia mendengar iparnya mempermasalahkan dirinya tinggal di sana lagi. Ini bukanlah yang pertama kali Alina mendengar iparnya berdebat dengan sang adik. “Mau bagaimanapun, Kak Alina itu kakakku, Karin. Dia yang membesarkan dan bertanggung jawab kepadaku sampai aku besar. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja, apalagi membiarkannya hidup sendirian di luaran sana.” Alina masih berdiri termangu di depan pintu, mendengarkan sang adik yang selalu membela dirinya. “Tapi kamu itu sudah punya istri, Dan. Harusnya kamu mengutamakanku, bukan Kak Alina. Kalau kamu nggak mau Kak Alina pindah, ya sudah aku saja yang pindah!” Alina sangat terkejut mendengar ancaman Karin. Dia harus bertindak dan bertanggung jawab atas pertengkaran Dani dan Karin karena keduanya selalu bertengkar hanya karena meributkan keberadaannya di sana. Alina menarik napas panjang lalu mengetuk pintu tepat saat Dani sedang membujuk Karin agar tak melakukan yang dikatakan istrinya. “Kak.” Alina melihat raut wajah Dani yang terkejut dengan kedatangannya, lalu dia melihat Karin langsung memalingkan muka tampak kesal. “Ada yang mau aku bicarakan,” kata Alina sambil memulas senyum tipis di wajah. Alina melihat Dani mengangguk, lalu dia mengajak duduk Dani dan Karin di ruang tamu. Alina hanya ingin menyelesaikan pertengkaran yang terus terjadi. “Begini, aku mau izin pindah,” ucap Alina. Alina melihat sang adik kembali terkejut, sedangkan iparnya tampak langsung tersenyum. Alina tersenyum tipis. Wajar mereka bereaksi seperti itu setelah ucapannya tadi. Ini keputusan mendadak, Alina juga tidak tahu akan bagaimana setelah ini, tetapi dia harus melakukannya demi pernikahan sang adik. “Nggak, Kak. Aku tidak mengizinkan.” Sudah bisa ditebak sang adik akan menolak. Alina menatap Dani yang tak setuju, lalu menoleh pada iparnya yang kembali kesal. “Aku nggak mengizinkan Kak Alina tinggal di luar sendirian. Selama aku masih ada, untuk apa Kak Alina tinggal sendiri?” “Aku tidak akan sendirian, sebenarnya aku sudah punya kekasih dan kami berencana menikah. Karena itu aku izin dulu, sekalian menyiapkan semuanya,” ujar Alina sambil memulas senyum. Akan tetapi, dalam hati dia merutuki kebodohannya sendiri. Hanya saja, itu satu-satunya ide yang terlintas di benaknya tadi. Alina terpaksa berbohong agar Dani mengizinkan serta agar bisa menyelamatkan rumah tangga adiknya. Dia tak bisa mendengar Dani terus menerus terlibat percekcokan dengan Karin. Alina tahu adiknya pasti tidak percaya, tetapi dia berusaha untuk terlihat santai. “Baiklah, kalau memang benar seperti itu, tapi aku harus tahu dulu, siapa pria yang akan menikah dengan Kak Alina,” ujar Dani. Alina mengangguk lalu membalas, “Tentu saja, aku akan segera mengenalkannya dengan kalian.” Alina terus memulas senyum untuk menyembunyikan kebohongannya. Dia melihat adik iparnya yang tersenyum semringah, membuat Alina lega meski sedih karena harus berbohong. ** Esok harinya. Alina pergi ke butik seperti biasa. Dia duduk termangu memikirkan ucapannya pada Dani semalam. “Mau cari calon suami di mana?” Alina menghela napas, wajahnya memelas bingung. Dani pasti menagih untuk dikenalkan dengan pria yang akan menikahinya, padahal yang sesungguhnya dia tidak memiliki kekasih! Alina terlalu sibuk mengurus butiknya, meskipun butik yang dikelolanya masih kecil, tetapi seluruh waktunya hampir dia habiskan di butik ini. Alina tidak punya waktu untuk bertemu pria. Alina mengembuskan napas kasar, di saat yang tepat pintu butiknya terbuka. Melihat siapa yang datang, wajah Alina langsung tersenyum sumringah. Lagi pula dia tidak mungkin menceritakan masalah pribadinya pada pelanggannya. Nenek tua langganan butik Alina masuk dan tersenyum menyapa, “Sepertinya ini hari keberuntunganku karena butiknya sepi, jadi aku bisa menyita semua waktumu untuk melayaniku,” ucap Nenek Agni. Alina membalas senyum ramah Nenek Agni. Dia langsung menghampiri Nenek Agni. “Nenek mau cari apa? Duduklah dan biar aku yang mengambilkan,” ucap Alina sopan. Alis Alina terangkat sedikit saat melihat Nenek Agni tidak melepas senyum untuknya. Kendati demikian, Alina meminta Nenek Agni duduk agar tidak lelah mencari barang yang diinginkan karena dia yang akan melayani. “Aku memang mencari sesuatu, tapi sepertinya agak sulit,” kata Nenek Agni sambil terus menatap Alina. “Sulit? Memangnya apa?” tanya Alina agak membungkuk pada Nenek Agni. Alina semakin salah tingkah dan bingung melihat Nenek Agni yang menatapnya begitu dalam. “Aku punya desain terbaru yang cocok dengan Nenek, apa Nenek mau melihatnya?” tawar Alina, sekaligus ingin mengalihkan pembicaraan karena merasa canggung melihat tatapan Nenek Agni. “Duduklah dulu,” kata Nenek Agni. Alina bingung, tetapi menuruti perkataan Nenek Agni. “Sebenarnya hari ini aku ingin minta tolong.” Alina diam mendengarkan. “Maukah kamu menikah dengan cucuku?” Bagaimana? Alina mengerjap, menatap Nenek Agni. Sedang Nenek Agni tersenyum melihat respon Alina. “Dia cucuku satu-satunya. Aku sangat mencemaskan cucuku kalau dia tidak bisa mendapat istri yang baik. Lagi pula bukankah kamu belum menikah? Aku merasa kamu adalah pasangan yang tepat untuk cucuku, aku juga ingin memiliki cucu menantu yang cantik dan sabar sepertimu,” ucap Nenek Agni lalu menepuk punggung tangan Alina. Alina diam berpikir sejenak. Mungkinkah ini jawaban atas kegelisahannya? Akan tetapi, ini terlalu mendadak. Alina memang butuh seorang pria saat ini, tetapi ditawari pilihan untuk langsung menikah … Alina bingung juga. Atau, dia terima saja, ya, permintaan Nenek Agni? Setidaknya Alina tidak perlu mencari pria asing lain dan dia mengenal Nenek Agni. Demi Dani, Alina berhenti berpikir hingga kepalanya mengangguk begitu saja. “Iya, kalau cucu Nenek juga bersedia,” balas Alina mengambil kesempatan itu. “Bagus.” Nenek Agni terlihat senang. “Sekarang tutup butiknya. Kalian akan menikah hari ini juga.” “Apa?” Alina kembali terkejut mendengar ucapan Nenek Agni. Lagi-lagi ini terlalu mendadak, apalagi dirinya harus menikah hari itu juga. Namun, Alina tetapi menuruti ucapan Nenek Agni hingga bertemu dengan cucu sang Nenek. Alina memandang pria yang berdiri di samping Nenek Agni. Pria itu berpenampilan sederhana, Alina tahu pakaian yang digunakan pria itu juga tidak bermerk sama sekali. Hanya jas rapi dengan jahitan yang biasa. Akan tetapi, Alina tertegun ketika pria itu menatap balik Alina. Harus Alina akui, wajah cucu sang Nenek sangat tampan dengan alis tebal dan matanya yang hitam pekat, hidungnya yang mancung dan rahangnya yang tegas. Alina mencoba tersenyum pada pria itu, tetapi sayangnya pria itu hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi. “Nenek sudah menyiapkan semuanya. Kamu sudah sepakat mau menikah dengan wanita pilihan nenek, jadi ini wanita pilihan nenek. Cantik, bukan?” Alina tersenyum canggung karena Nenek Agni memujinya. “Ini Aksa, cucu nenek,” ucap Nenek Agni mengenalkan. Alina memberanikan diri mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri, tetapi pria bernama Aksa itu hanya menatap uluran tangan Alina tanpa ekspresi. “Aksa, yang sopan pada calon istrimu!” Nenek Agni kesal dan mengambil tangan Aksa secara paksa untuk menjabat uluran tangan Agni. Alina tersenyum getir, akan tetapi sentuhan pertama yang diberikan Aksa membuat darahnya sedikit berdesir.Alina dan Aksa sudah berada di depan kantor urusan agama.Alina memandang bangunan itu, sebelumnya dia mengantar Dani mendaftar pernikahan, tetapi siapa sangka sekarang dia yang akan mendaftarkan pernikahannya dengan pria asing nan dingin yang ada di sampingnya sekarang ini.Alina melirik Aksa sekilas, tetapi buru-buru menatap kantor urusan agama itu lagi karena tak ingin membuat masalah jika Aksa tersinggung akibat tatapannya.Nenek Agni meninggalkan Alina berdua dengan Aksa karena Nenek Agni bilang ada keperluan, sehingga dia dan Aksa harus mengurus surat nikah mereka berdua saja.Alina mendengar suara dehaman dari Aksa, membuatnya menoleh dan melihat pria itu masih berdiri di sampingnya.“Kita jadi masuk?” tanya Alina memastikan karena mereka sudah cukup lama hanya berdiri di sana.Alina tertegun.Aksa menoleh dan menatapnya datar, sejurus kemudian pria itu bertanya, “Apa kamu yakin mau melanjutkan pernikahan ini? Aku yakin kamu juga terpaksa karena didesak nenekku?”Tubuh Alina me
“Apa kamu paham?” tanya Aksa memastikan.“Paham,” balas Alina masih menatap pria itu.Alina kembali diam. Dia tidak tahu harus bagaimana, semua yang terjadi hari ini terlalu mendadak untuknya.“Kamu butuh cincin pernikahan. Ikut denganku!” perintah Aksa kemudian menarik kesadaran Alina. Alina lalu melihat Aksa yang sudah melangkah menuju mobil yang terparkir di halaman KUA.“Kamu tidak perlu membelikanku cincin, aku akan pergi membelinya sendiri,” ujar Alina, mengejar langkah panjang Aksa.Di hadapan Alina, Aksa tiba-tiba berhenti lalu memutar tubuhnya menghadap Alina.“Pernikahan kita terjadi karena sama-sama membutuhkan. Kamu mau menikahiku saja sudah membuatku tenang. Tidak masalah jika kamu tak membelikanku cincin, aku bisa membelinya sendiri,” ucap Alina menjelaskan, merasa tak perlu menuntut apa pun dari Aksa.Alina tak ingin merepotkan Aksa lagi.Untuk beberapa saat Aksa hanya diam menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa Alina mengerti, apalagi tatapan pria itu kepadanya mam
Tiba-tiba Aksa sudah ada di sampingnya dan menatap Alina dengan tatapan penuh cinta?! “Kamu mengenalnya?” tanya Aksa lagi pada Alina sambil menatap dua wanita di hadapan mereka. Kakak Karin terkejut melihat Aksa. Meski berpenampilan sederhana, tapi Aksa terlihat gagah dan tampan. “Dia ....” Kakak Karin mendadak tergagap saat melihat Aksa. “Aku suami Alina. Kami ke sini untuk membeli cincin pernikahan kami, bukankah begitu, Sayang?” Aksa kembali menoleh pada Alina, remasan di pinggang Alina seolah menunjukkan jika Alina miliknya yang tak bisa diganggu. Alina mengerjap. Dia hampir kehilangan kendali saat ini. Sentuhan Aksa dan panggilan ‘sayang’ dari Aksa membuat jantungnya berdegup. Tepat saat itu pelayan toko juga datang dan meminta Aksa membubuhkan tandatangan pada kartu kreditnya untuk melanjutkan pembayaran. Di saat yang sama, kakak Karin melihat kartu kredit yang dipakai Aksa, senyum miring kembali menghias di salah satu sudut bibir wanita itu. Senyum mengejek karena tahu s
Alina sangat terkejut mendengar ucapan Karin. Selama ini dia hanya mendengar ucapan itu secara tak sengaja ketika Karin berdebat dengan Dani, tetapi sekarang Karin bicara langsung padanya tanpa rasa canggung sama sekali.“Mau Kak Alina hamil duluan atau tidak. Aku tidak peduli, yang terpenting Kak Alina segera pindah saja. Kak Alina tahu, ‘kan? Biaya hidup semakin tinggi, gaji Dani hanya cukup buat kebutuhan sehari-hari dan keperluanku, adanya Kak Alina di sini hanya menjadi beban saja. Jatahku harus dipangkas karena Dani juga ingin memberi Kak Alina gajinya!” Karin bicara dengan nada ketus, tanpa menunjukkan rasa sopan juga pada Alina Karin berbicara sambil melipat kedua tangan di dada.Alina cukup terkejut mendengar Karin sekarang terang-terangan bicara seperti itu. Sejak awal, Alina merasa Karin bukan wanita yang baik bagi Dani, tetapi dulu dia setuju Dani menikahi Karin karena sang adik sangat mencintai wanita itu. Sekarang firasatnya terbukti, Karin memang tak pernah menyukainya
Aksa pergi setelah mengantar Alina ke apartemennya.Saat sudah mengemudi jauh dari apartemen, Aksa menghentikan mobil di bahu jalan di mana ada sebuah mobil mewah sudah terparkir di sana.Aksa keluar dari mobil, lalu berjalan ke mobil mewah itu.Pria berpakaian sopir langsung mengambil alih mobil yang tadi dipakai Aksa untuk membawa mobil itu pergi dari sana.“Siang, Pak.” Seorang pria memakai setelan formal membungkuk menyapa Aksa yang baru saja datang.“Pakaian Anda sudah ada di dalam mobil,” ucap pria itu saat Aksa berdiri di depannya.Aksa tak banyak bicara. Dia langsung masuk mobil yang sudah dibuka oleh sopirnya, lalu mengganti pakaian sederhananya dengan setelan jas mahal yang sudah tersedia di sana.Setelah Aksa selesai berganti pakaian. Asisten pribadi dan sopir masuk mobil, mereka lantas pergi menuju perusahaan.“Bagaimana pernikahan Anda?” tanya asisten Aksa yang ikut di mobil itu.Aksa hanya menatap sang asisten dari kaca spion tengah.Ilham langsung membungkam mulut melih
Alina bosan berada di apartemen. Ingin kembali ke butik tapi takut jika Nenek Agni tahu dan berpikiran yang tidak-tidak.Alina akhirnya menghubungi sahabatnya, sekaligus ingin memberitahu soal pernikahannya.“Hm … ada apa, Al?” tanya Kaira dari seberang panggilan.“Kamu sedang sibuk?” tanya Alina memastikan dulu sebelum bicara, takut sahabatnya itu sedang bertemu klien atau yang lainnya lalu terkejut.“Tidak, aku malah rasanya ingin kabur dari pekerjaan yang melelahkan ini,” jawab Kaira terdengar begitu malas dari seberang panggilan.Alina mendengar sahabatnya itu tertawa, lalu dia membalas, “Sudah enak jadi direktur umum, memangnya seberat apa pekerjaanmu, hm?”“Sudahlah, ada apa menghubungiku? Kamu mau mengajakku jalan-jalan?” tanya Kaira.“Bukan,” jawab Alina, “aku hanya ingin memberitahumu kalau aku baru saja menikah hari ini,” ucap Alina penuh kehati-hatian.Hening untuk beberapa waktu.“Halo, Kai?”“Kamu bilang apa tadi? Menikah?! APA MAKSUDNYA ITU?” Suara Kaira menggelegar dari
Alina melihat Aksa yang berjalan mendekat ke arahnya. Alina panik dan tanpa sadar berjalan mundur hingga terbentur dinding di belakangnya. Tatapan Aksa yang sayu tetapi dalam padanya membuat Alina menelan ludah susah payah dengan jantung yang tiba-tiba berdegup sangat cepat. “Ada apa? Mau apa kamu?” tanya Alina yang panik dan waspada karena Aksa terus maju. Aksa sudah sangat dekat dengan Alina, bahkan wajah mereka kini begitu dekat. Alina menahan napas sampai memejamkan mata saat Aksa menunduk ke wajahnya, hingga Aksa tiba-tiba menjatuhkan kening di pundak Alina. Alina sangat terkejut sampai langsung membuka mata, mengerjap untuk beberapa saat. Akan tetapi, kemudian memegangi tubuh Aksa yang limbung dan hampir jatuh. Dia melirik wajah Aksa, pria itu ternyata memejamkan mata. “Aksa.” Alina memanggil tetapi tidak ada respon. “Aksa, bangun dan pergi ke kamarmu,” ucap Alina mencoba membangunkan Aksa yang bersandar pada pundaknya. Tubuh seorang pria biasanya lebih berat dibanding t
Aksa pergi ke kantor setelah merasa lebih segar. Saat Ilham masuk untuk membacakan jadwal kegiatan Aksa hari itu, Ilham langsung terkena sembur. “Kenapa semalam kamu meninggalkanku di pesta?” tanya Aksa dengan tatapan kesal. Semalam, Aksa menghadiri pesta peluncuran salah satu produk terbaru dari brand milik kolega orang tua Aksa. Aksa yang memang memiliki toleransi alkohol rendah akhirnya mabuk meski minum sedikit. Aksa sudah berusaha untuk tak minum, akan tetapi karena sungkan dan takut dianggap tak sopan jika menolak saat diajak bersulang oleh kolega keluarganya, membuat Aksa akhirnya minum sedikit dan berakhir mabuk. Untungnya meski mabuk, Aksa masih bisa pulang ke apartemen diantar sopirnya. “Saya minta maaf, Pak. Saya pikir Anda benar-benar akan menahan diri untuk tidak minum,” ucap Ilham mencoba menjelaskan. Aksa menyandarkan kepala di sandaran kursi dan tetap memasang wajah datar mendengar alasan Ilham. “Semalam saya juga sudah izin untuk pulang lebih dulu dan Anda men