Alina bosan berada di apartemen. Ingin kembali ke butik tapi takut jika Nenek Agni tahu dan berpikiran yang tidak-tidak.
Alina akhirnya menghubungi sahabatnya, sekaligus ingin memberitahu soal pernikahannya. “Hm … ada apa, Al?” tanya Kaira dari seberang panggilan. “Kamu sedang sibuk?” tanya Alina memastikan dulu sebelum bicara, takut sahabatnya itu sedang bertemu klien atau yang lainnya lalu terkejut. “Tidak, aku malah rasanya ingin kabur dari pekerjaan yang melelahkan ini,” jawab Kaira terdengar begitu malas dari seberang panggilan. Alina mendengar sahabatnya itu tertawa, lalu dia membalas, “Sudah enak jadi direktur umum, memangnya seberat apa pekerjaanmu, hm?” “Sudahlah, ada apa menghubungiku? Kamu mau mengajakku jalan-jalan?” tanya Kaira. “Bukan,” jawab Alina, “aku hanya ingin memberitahumu kalau aku baru saja menikah hari ini,” ucap Alina penuh kehati-hatian. Hening untuk beberapa waktu. “Halo, Kai?” “Kamu bilang apa tadi? Menikah?! APA MAKSUDNYA ITU?” Suara Kaira menggelegar dari seberang panggilan sampai membuat Alina menjauhkan ponsel dari telinga. “Ya Tuhan, Alina! Bagaimana bisa kamu begitu sembrono dan gegabah seperti itu, hah?” Kaira tidak bisa tidak terkejut dan menyalahkan keputusan Alina. Menikah itu bukan perkara mudah, dan Kaira tahu betul alasan Alina betah sendiri hingga saat ini. Namun, sahabatnya itu diam-diam justru datang dengan berita tentang pernikahannya lewat telepon? Kira-kira di mana letak otak sahabatnya itu, ya? “Tenang, Kai, aku akan jelaskan,” ujar Alina pelan. Alina tahu, Kaira pasti akan sulit menerima keputusannya, terlebih dia tidak bisa memberitahukan soal pernikahannya pada Kaira sejak awal. Alina menjelaskan soal pernikahannya dan alasan kenapa dirinya harus menikah hari itu juga. “Aku benar-benar terpaksa, Kai. Kamu pasti paham, aku tidak mungkin membuat keputusan tanpa berpikir jika bukan karena terdesak,” ucap Alina setelah menjelaskan. Alina mendengar suara Kaira yang menghela napas kasar, lalu suara Kaira terdengar kembali, “Baiklah, aku tahu itu sulit dan ceroboh, tapi aku bisa menerima karena alasanmu itu,” ucap Kaira mencoba memaklumi karena tahu bagaimana kehidupan Alina selama ini. Alina lega karena Kaira mau memahami posisinya sekarang. Kaira memang sahabat terbaiknya, mereka berteman sejak SMA, jika Kaira terlahir dan tumbuh di keluarga yang kaya, berbeda dengan Alina yang tumbuh di keluarga sederhana dan penuh kekurangan. Namun, meski begitu Kaira tak pernah mempermasalahkan itu dan mau menjadi sahabat terbaik untuk Alina sampai sekarang. “Oh, ya. Bukankah kamu janji mau menemaniku pergi ke pesta. Kamu nggak lupa, ‘kan?” tanya Kaira dari seberang panggilan. Alina menepuk keningnya, lupa dengan janjinya. “Astaga, Kai, aku lupa.” Terdengar helaan pelan dari ujung telepon. Alina mengerti Kaira mungkin kecewa karena ia lupa dengan janjinya pada Kiara, tetapi dengan situasinya sekarang Alina juga kesulitan. “Sepertinya aku tidak bisa. Bagaimanapun aku sekarang sudah jadi seorang istri, aku tidak bisa pergi tanpa izin suamiku,” ucap Alina mencoba meminta pengertian Kaira. Terlebih Alina baru ingat kalau dia dan Aksa belum bertukar nomor ponsel, jadi dia tidak bisa menghubungi Aksa untuk meminta izin. Alina juga tidak berani meminta nomor ponsel Aksa pada Nenek Agni, takutnya Nenek Agni akan curiga padanya. “Ya sudahlah, tidak masalah,” balas Kaira menghormati keputusan Alina yang tidak bisa menemaninya pergi malam nanti. Alina mengangguk-angguk mendengar ucapan Kaira. Dia sekarang lega karena sahabatnya itu sudah tahu dirinya menikah agar tidak terkejut di kemudian hari jika tahu dari orang lain. “Baiklah, selamat bekerja lagi. Aku harus melakukan hal lain,” ucap Alina setelah selesai menyampaikan berita pernikahannya. Alina mengakhiri panggilan, lalu menatap nama sahabatnya yang terpampang di layar. Alina menghela napas kasar lalu mengedarkan pandangan dengan tatapan banyak beban. ** Hari berganti malam. Nit. Nit. Nunanit. Alina berusaha membuka matanya ketika mendengar suara yang mengganggu tidurnya. Alina tadi sudah tidur di sofa. Alina bingung harus tidur di mana, Aksa juga belum pulang. Dia tidak enak juga kalau tidur di kamar Aksa, jadi dia memilih tidur di sofa. Akan tetapi, suara pintu apartemen yang terus berusaha dibuka membuat kesadaran Alina menaik cepat. Alina mendadak takut dan panik, bagaimana kalau itu pencuri atau orang jahat karena beberapa kali gagal memasukkan kode pintu untuk membuka? Aksa menyuruh Alina untuk tidak menunggunya pulang, maka dia memilih untuk tidur. Namun, kalau situasinya seperti ini sekarang, Alina menyesal tidur. Dan, dia berharap ada Aksa di apartemen. Alina memberanikan diri untuk memeriksa yang ada di depan pintu. Tadi, dia sudah memeriksa lewat layar interkom tetapi tidak jelas wajah seseorang di depan karena orang itu membungkuk. Alina ingin mengabaikan, tetapi suara pintu itu mengganggu. Akhirnya, Alina mengambil vas dari meja kecil untuk berjaga-jaga jika yang ada di depan pintu benar orang jahat. Alina menarik napas panjang, lalu mengembuskan pelan untuk menyiapkan dirinya. Dia membuka pintu perlahan, hingga terkejut saat melihat seseorang di depan pintu. “Aksa.” Alina terkejut namun lega di saat yang bersamaan. Alina melihat Aksa yang menunduk dan berdiri dengan satu tangan menyentuh dinding. Dia membuka lebar pintu agar Aksa bisa masuk. “Kenapa tidak masuk?” tanya Alina karena Aksa masih berpegangan pada dinding sambil menunduk. Alina masih memperhatikan Aksa, lalu pria itu mengangkat wajah memandang Alina, membuat Alina menyadari kalau Aksa sedang mabuk. “Kamu mabuk?” tanya Alina lalu sedikit mundur. Alina waspada saat mengetahui hal itu, apalagi wajah Aksa benar-benar merah dan aroma alkohol begitu menyeruak hingga menggelitik indera penciumannya.Alina melihat Aksa yang berjalan mendekat ke arahnya. Alina panik dan tanpa sadar berjalan mundur hingga terbentur dinding di belakangnya. Tatapan Aksa yang sayu tetapi dalam padanya membuat Alina menelan ludah susah payah dengan jantung yang tiba-tiba berdegup sangat cepat. “Ada apa? Mau apa kamu?” tanya Alina yang panik dan waspada karena Aksa terus maju. Aksa sudah sangat dekat dengan Alina, bahkan wajah mereka kini begitu dekat. Alina menahan napas sampai memejamkan mata saat Aksa menunduk ke wajahnya, hingga Aksa tiba-tiba menjatuhkan kening di pundak Alina. Alina sangat terkejut sampai langsung membuka mata, mengerjap untuk beberapa saat. Akan tetapi, kemudian memegangi tubuh Aksa yang limbung dan hampir jatuh. Dia melirik wajah Aksa, pria itu ternyata memejamkan mata. “Aksa.” Alina memanggil tetapi tidak ada respon. “Aksa, bangun dan pergi ke kamarmu,” ucap Alina mencoba membangunkan Aksa yang bersandar pada pundaknya. Tubuh seorang pria biasanya lebih berat dibanding t
Aksa pergi ke kantor setelah merasa lebih segar. Saat Ilham masuk untuk membacakan jadwal kegiatan Aksa hari itu, Ilham langsung terkena sembur. “Kenapa semalam kamu meninggalkanku di pesta?” tanya Aksa dengan tatapan kesal. Semalam, Aksa menghadiri pesta peluncuran salah satu produk terbaru dari brand milik kolega orang tua Aksa. Aksa yang memang memiliki toleransi alkohol rendah akhirnya mabuk meski minum sedikit. Aksa sudah berusaha untuk tak minum, akan tetapi karena sungkan dan takut dianggap tak sopan jika menolak saat diajak bersulang oleh kolega keluarganya, membuat Aksa akhirnya minum sedikit dan berakhir mabuk. Untungnya meski mabuk, Aksa masih bisa pulang ke apartemen diantar sopirnya. “Saya minta maaf, Pak. Saya pikir Anda benar-benar akan menahan diri untuk tidak minum,” ucap Ilham mencoba menjelaskan. Aksa menyandarkan kepala di sandaran kursi dan tetap memasang wajah datar mendengar alasan Ilham. “Semalam saya juga sudah izin untuk pulang lebih dulu dan Anda men
Nenek Agni menatap sebal karena ucapan Aksa, akan tetapi apa yang dikatakan Aksa ada benarnya.Nenek Agni menyerah setelah sebelumnya terlalu bersemangat jika menyangkut tentang Alina, sampai membuatnya lupa soal perjanjiannya dengan Aksa.Aksa adalah cucunya, tetapi kini posisinya adalah kepala keluarga Radjasa. Sebagai seorang nenek, Nenek Agni jelas dituakan, tetapi kalau Nenek Agni terlalu berlebihan, Aksa bisa juga menarik diri dan membatalkan pernikahan ini.“Baiklah, nenek tidak akan minta sesuatu yang bisa membongkar rahasia keluarga kita,” ucap Nenek Agni akhirnya pasrah.Aksa hanya mengangguk-angguk pelan sebagai isyarat jika keputusannya menolak keinginan Nenek Agni memang benar.“Tetapi, meski begitu kamu harus bersikap baik pada Alina dan jangan sampai kamu berani membuat Alina menderita,” ujar Nenek Agni memperingatkan.Aksa hanya menatap sang nenek tanpa berniat membalas ucapan Nenek Agni.“Bicara denganmu kadang seperti bicara dengan patung,” gerutu Nenek Agni karena A
Alina tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin di negara ini hanya satu keluarga yang memiliki nama Radjasa, dan yang datang ke pesta itu juga pasti bukanlah keluarga suaminya. Lagi pula nama bukan hak paten seseorang, bisa saja dipakai orang di kota ini juga dipakai orang yang berada kota berbeda. Pun Kaira hanya menyebut nama belakang dari keluarga Radjasa itu, bukan Aksa Radjasa. Lalu, jika dipikir kembali Nenek Agni dan Aksa juga tak terlihat seperti berasal dari keluarga konglomerat, bahkan penampilan mereka biasa saja. Sekarang Alina juga tinggal di apartemen sederhana bukan tempat yang mewah layaknya tempat orang-orang kaya tinggal. Jadi, pasti itu hanya kebetulan dan tak percaya jika Aksa adalah bagian keluarga Radjasa seperti yang dimaksud Kaira. “Kenapa kamu jadi melamun?” tanya Kaira saat melihat Alina hanya diam mengaduk makanan di piringnya, bahkan Alina terlihat menggeleng pelan tadi. Kaira tentu heran sampai menjentikkan jari di depan wajah Alin
Alina dan Bima pernah menjadi sepasang kekasih saat mereka duduk di bangku kuliah.Dulu, Alina sangat mencintai Bima. Ketika Alina tidak memiliki siapa-siapa di kota ini, Alina memiliki Bima yang sangat perhatian dan selalu ada untuknya.Bima ada di masa sulitnya belajar sambil menghidupi dan menyekolahkan sang adik, karena hidup mereka tak sepenuhnya ditanggung oleh keluarga dari sang ayah.Melihat Bima di hadapannya seperti ini, ingatan Alina kembali melayang pada masa itu.Sebenarnya saat itu, Kaira telah memperingatkan Alina, karena Kaira melihat Bima jalan berdua begitu mesra dengan salah satu teman kuliah Alina yang juga dekat dengannya, tetapi Alina tidak percaya dan berakhir mereka bertengkar. Alina bahkan menuduh Kaira memfitnah karena cemburu dengan hubungan asmaranya dan Bima.Setelah diperingatkan Kaira, Alina sempat menepis pikiran buruk atas kecurigaannya tentang hubungan Bima dan teman kuliahnya itu, meski beberapa kali dia pun melihat Bima memberikan perhatian yang ber
Pandangan Aksa dalam pada Alina di hadapannya. Aksa masih menatap Alina setelah menjawab pertanyaan yang sebenarnya sebuah pengakuan untuk menguji istrinya itu. Dia terlihat tenang sambil menunggu respon Alina akan pernyataan yang terkesan seperti sebuah pertanyaan. Jika Alina senang saat mengetahui Aksa berasal dari keluarga konglomerat, itu artinya Aksa sudah bisa menilai hanya dari jawaban Alina. Wanita itu memang hanya ingin mengincar hartanya saja. “Aku harap kamu tidak berasal dari keluarga konglomerat,” jawab Alina menatap sekilas pada Aksa, lalu kembali fokus pada makanannya. “Ya, mungkin karena aku merasa kalau tidak akan pernah bisa sejajar dengan keluarga seperti itu. Aku tahu diri, jadi jika kamu bukan seperti mereka, aku lebih bersyukur,” imbuh Alina menjelaskan, meskipun dengan wajah tertunduk terlihat senyum manis di wajahnya. Aksa masih diam mendengar jawaban Alina, lalu mendengar Alina kembali bicara, “Bukankah orang-orang kaya sangat suka kesetaraan sosial? Aku
Alina mengulum bibir sejenak mendengar pertanyaan Aksa, lalu menatap Aksa lagi yang menunggu jawaban darinya.“Di sofa,” jawab Alina agak lirih lalu memasukkan makanan ke mulut.Aksa terkesiap mendengar jawaban Alina, tetapi ekspresi wajahnya tetap tidak menunjukkan apa pun.“Belilah apa pun yang kamu butuhkan. Gunakan kartu kredit yang aku berikan kemarin,” ucap Aksa.Sekali lagi dia masih ingin menguji Alina dengan kartu kredit miliknya.Alina mengangguk mengiakan ucapan Aksa. Mereka lalu kembali melanjutkan makan malam.Setelah makan malam. Alina membersihkan diri dan mengganti pakaiannya.Saat Alina baru saja keluar dari kamar mandi, dia melihat Aksa yang ada di luar kamar. Sebenarnya Alina bingung, haruskah malam ini dia tidur di sofa lagi?“Tidurlah di kamar,” ucap Aksa tiba-tiba.Alina terkejut sampai menatap Aksa yang kini berdiri di depan pintu kamar.“Ap-apa? Tidur di kamar?” Alina kebingungan.“Tidak usah, aku bisa tidur di sofa,” ucap Alina menolak karena salah tingkah, bah
Aksa segera menekan tombol agar pintu lift tertutup dan membawa Alina turun menuju basement parkir.Alina kebingungan karena seharusnya dia keluar di lobby.“Tapi, seharusnya aku--” Alina ingin bicara tetapi terhenti karena melihat tatapan Aksa yang baru saja menoleh ke arahnya.Alina melipat bibir ke dalam karena ekspresi datar Aksa yang membuatnya bingung dan tak nyaman.Pintu lift terbuka di basement, lalu Aksa meminta Alina keluar.“Masuk mobil!” perintah Aksa.Alina ingin menolak tetapi merasa percuma apalagi perintah Aksa seolah tak bisa dibantah.Akhirnya Alina hanya mengangguk lalu masuk mobil Aksa.Sepanjang jalan Aksa hanya diam menyetir menuju butik milik Alina, sedangkan Alina duduk diam mengamati jalan dengan perasaan tidak karuan.Sikap dingin dan diamnya Aksa seperti ini membuat Alina gelisah dan salah tingkah. Sebelum masuk lift aura Aksa terasa mencair meskipun tetap dingin, tetapi setelah keluar lift sampai saat ini, aura pria itu berubah 180 derajat.Alina bahkan me