Halo Kakak, terima kasih yang sudah baca kisah Alina dan Aksa. Untuk informasi jadwal update, bisa langsung tanya aku ke akun sossmed aku ya. Cari aja dengan ketik napenku di ighe atau efbe, terima kasih.(✷‿✷)
Nenek Agni menatap sebal karena ucapan Aksa, akan tetapi apa yang dikatakan Aksa ada benarnya.Nenek Agni menyerah setelah sebelumnya terlalu bersemangat jika menyangkut tentang Alina, sampai membuatnya lupa soal perjanjiannya dengan Aksa.Aksa adalah cucunya, tetapi kini posisinya adalah kepala keluarga Radjasa. Sebagai seorang nenek, Nenek Agni jelas dituakan, tetapi kalau Nenek Agni terlalu berlebihan, Aksa bisa juga menarik diri dan membatalkan pernikahan ini.“Baiklah, nenek tidak akan minta sesuatu yang bisa membongkar rahasia keluarga kita,” ucap Nenek Agni akhirnya pasrah.Aksa hanya mengangguk-angguk pelan sebagai isyarat jika keputusannya menolak keinginan Nenek Agni memang benar.“Tetapi, meski begitu kamu harus bersikap baik pada Alina dan jangan sampai kamu berani membuat Alina menderita,” ujar Nenek Agni memperingatkan.Aksa hanya menatap sang nenek tanpa berniat membalas ucapan Nenek Agni.“Bicara denganmu kadang seperti bicara dengan patung,” gerutu Nenek Agni karena A
Alina tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin di negara ini hanya satu keluarga yang memiliki nama Radjasa, dan yang datang ke pesta itu juga pasti bukanlah keluarga suaminya. Lagi pula nama bukan hak paten seseorang, bisa saja dipakai orang di kota ini juga dipakai orang yang berada kota berbeda. Pun Kaira hanya menyebut nama belakang dari keluarga Radjasa itu, bukan Aksa Radjasa. Lalu, jika dipikir kembali Nenek Agni dan Aksa juga tak terlihat seperti berasal dari keluarga konglomerat, bahkan penampilan mereka biasa saja. Sekarang Alina juga tinggal di apartemen sederhana bukan tempat yang mewah layaknya tempat orang-orang kaya tinggal. Jadi, pasti itu hanya kebetulan dan tak percaya jika Aksa adalah bagian keluarga Radjasa seperti yang dimaksud Kaira. “Kenapa kamu jadi melamun?” tanya Kaira saat melihat Alina hanya diam mengaduk makanan di piringnya, bahkan Alina terlihat menggeleng pelan tadi. Kaira tentu heran sampai menjentikkan jari di depan wajah Alin
Alina dan Bima pernah menjadi sepasang kekasih saat mereka duduk di bangku kuliah.Dulu, Alina sangat mencintai Bima. Ketika Alina tidak memiliki siapa-siapa di kota ini, Alina memiliki Bima yang sangat perhatian dan selalu ada untuknya.Bima ada di masa sulitnya belajar sambil menghidupi dan menyekolahkan sang adik, karena hidup mereka tak sepenuhnya ditanggung oleh keluarga dari sang ayah.Melihat Bima di hadapannya seperti ini, ingatan Alina kembali melayang pada masa itu.Sebenarnya saat itu, Kaira telah memperingatkan Alina, karena Kaira melihat Bima jalan berdua begitu mesra dengan salah satu teman kuliah Alina yang juga dekat dengannya, tetapi Alina tidak percaya dan berakhir mereka bertengkar. Alina bahkan menuduh Kaira memfitnah karena cemburu dengan hubungan asmaranya dan Bima.Setelah diperingatkan Kaira, Alina sempat menepis pikiran buruk atas kecurigaannya tentang hubungan Bima dan teman kuliahnya itu, meski beberapa kali dia pun melihat Bima memberikan perhatian yang ber
Pandangan Aksa dalam pada Alina di hadapannya. Aksa masih menatap Alina setelah menjawab pertanyaan yang sebenarnya sebuah pengakuan untuk menguji istrinya itu. Dia terlihat tenang sambil menunggu respon Alina akan pernyataan yang terkesan seperti sebuah pertanyaan. Jika Alina senang saat mengetahui Aksa berasal dari keluarga konglomerat, itu artinya Aksa sudah bisa menilai hanya dari jawaban Alina. Wanita itu memang hanya ingin mengincar hartanya saja. “Aku harap kamu tidak berasal dari keluarga konglomerat,” jawab Alina menatap sekilas pada Aksa, lalu kembali fokus pada makanannya. “Ya, mungkin karena aku merasa kalau tidak akan pernah bisa sejajar dengan keluarga seperti itu. Aku tahu diri, jadi jika kamu bukan seperti mereka, aku lebih bersyukur,” imbuh Alina menjelaskan, meskipun dengan wajah tertunduk terlihat senyum manis di wajahnya. Aksa masih diam mendengar jawaban Alina, lalu mendengar Alina kembali bicara, “Bukankah orang-orang kaya sangat suka kesetaraan sosial? Aku
Alina mengulum bibir sejenak mendengar pertanyaan Aksa, lalu menatap Aksa lagi yang menunggu jawaban darinya.“Di sofa,” jawab Alina agak lirih lalu memasukkan makanan ke mulut.Aksa terkesiap mendengar jawaban Alina, tetapi ekspresi wajahnya tetap tidak menunjukkan apa pun.“Belilah apa pun yang kamu butuhkan. Gunakan kartu kredit yang aku berikan kemarin,” ucap Aksa.Sekali lagi dia masih ingin menguji Alina dengan kartu kredit miliknya.Alina mengangguk mengiakan ucapan Aksa. Mereka lalu kembali melanjutkan makan malam.Setelah makan malam. Alina membersihkan diri dan mengganti pakaiannya.Saat Alina baru saja keluar dari kamar mandi, dia melihat Aksa yang ada di luar kamar. Sebenarnya Alina bingung, haruskah malam ini dia tidur di sofa lagi?“Tidurlah di kamar,” ucap Aksa tiba-tiba.Alina terkejut sampai menatap Aksa yang kini berdiri di depan pintu kamar.“Ap-apa? Tidur di kamar?” Alina kebingungan.“Tidak usah, aku bisa tidur di sofa,” ucap Alina menolak karena salah tingkah, bah
Aksa segera menekan tombol agar pintu lift tertutup dan membawa Alina turun menuju basement parkir.Alina kebingungan karena seharusnya dia keluar di lobby.“Tapi, seharusnya aku--” Alina ingin bicara tetapi terhenti karena melihat tatapan Aksa yang baru saja menoleh ke arahnya.Alina melipat bibir ke dalam karena ekspresi datar Aksa yang membuatnya bingung dan tak nyaman.Pintu lift terbuka di basement, lalu Aksa meminta Alina keluar.“Masuk mobil!” perintah Aksa.Alina ingin menolak tetapi merasa percuma apalagi perintah Aksa seolah tak bisa dibantah.Akhirnya Alina hanya mengangguk lalu masuk mobil Aksa.Sepanjang jalan Aksa hanya diam menyetir menuju butik milik Alina, sedangkan Alina duduk diam mengamati jalan dengan perasaan tidak karuan.Sikap dingin dan diamnya Aksa seperti ini membuat Alina gelisah dan salah tingkah. Sebelum masuk lift aura Aksa terasa mencair meskipun tetap dingin, tetapi setelah keluar lift sampai saat ini, aura pria itu berubah 180 derajat.Alina bahkan me
Ilham terkejut melihat Karissa masuk begitu saja, tentu saja Ilham tahu siapa wanita itu.Karissa memberi isyarat agar Ilham tak bicara karena dia ingin memberi kejutan ke Aksa. Ilham hanya mengangguk mengiakan karena tidak ingin berurusan dengan wanita itu.Ilham memberi jalan lebih dulu untuk Karissa masuk, lalu segera keluar dari ruangan itu.Karissa masuk ruangan Aksa dengan raut wajah penuh kebahagiaan. Dia buru-buru menghampiri Aksa begitu masuk ruangan itu.Karissa baru saja pulang dari luar negeri setelah menyelesaikan pekerjaannya sebagai seorang model. Dia langsung pergi ke perusahaan Aksa hanya untuk bisa melihat pria itu lebih dulu karena sudah sangat lama tidak melihat Aksa dan merindukannya.Saat ini, Karissa berniat tinggal di negara ini agar bisa dekat dan sering bertemu dengan Aksa, setelah selama satu tahun lebih tinggal di luar negeri karena tuntutan pekerjaan.“Kak Aksa.” Karissa menyapa dengan senyum manis dan suara begitu manja ketika ada di depan meja Aksa.Aksa
“Al.” Kaira menatap Alina yang mondar-mandir menggantung pakaian di rak display.“Apa?” tanya Alina tanpa menoleh pada Kaira yang sejak tadi memandangnya sibuk. “Kamu ini datang katanya buat nemenin aku, sekarang malah merengek? Minta apa, sih?”Alina akhirnya mengalihkan tatapannya pada Kaira yang duduk di belakang meja kasir.Kaira berdiri menghampiri Alina yang baru saja restock baju, lantas memeluk Alina dari belakang sambil bergelayut manja.“Ya, yang tadi aku bilang. Ayolah, Al. Masa kamu tega sama aku. Temenin, ya,” pinta Kaira membujuk. Dia menatap Alina dari samping sambil memasang wajah imut untuk merayu.“Terus kalau aku ikut, aku disuruh jadi obat nyamuk? Jangan mengada-ada.” Alina melepas kedua tangan Kaira yang melingkar di pinggangnya. Dia kemudian membalikkan badan dan menatap sahabatnya itu.Kaira diminta melakukan kencan buta oleh ayahnya, hal itu membuat Kaira malas dan bingung jika harus pergi sendiri. Karena itu Kaira mencoba mengajak Alina untuk menemaninya.Kaira
Aksa berjalan di koridor perusahaan dengan kedua tangan terkepal. Sorot matanya menunjukkan rasa gelisah dan penasaran yang membuncah, tetapi ekspresi wajahnya terlihat tenang.“Silakan, Pak. Pak Restu sudah menunggu Anda di dalam,” kata Rizki saat menyambut kedatangan Aksa.Aksa mengangguk. Rizki membuka pintu ruangan Restu, lalu mempersilakan Aksa untuk masuk.“Apa yang membawamu datang ke sini?” tanya Restu seraya berdiri untuk menyambut kedatangan Aksa.Aksa tersenyum kecil, dia tidak membalas tetapi langsung duduk bersama Restu.Mereka duduk tanpa kata, sampai Rizki masuk menyajikan kopi, lalu kembali meninggalkan mereka berdua di ruangan itu.“Pak Restu, Anda tahu kalau saya sangat menghormati Anda, bukan?” Aksa bicara sambil menatap pada Restu.Restu diam sejenak, lalu mengangguk.“Tentu saja. Kamu adalah pengusaha muda sukses yang paling menghargaiku,” balas Restu.“Jadi, saya punya pertanyaan, Anda tidak akan berbohong ketika menjawabnya, kan?” Aksa bicara sambil menatap begi
“Alina.”Mira berdiri saat wanita yang dihampiri Arlo memanggilnya dengan nama Alina. Ya, seperti orang lainnya yang salah mengira dan menganggap Mira adalah Alina.Bams dan Nara baru saja sampai di sana, lalu Bams terkejut ketika melihat Sasmita yang tiba-tiba memeluk Mira.Mira terkesiap. Wanita ini tiba-tiba memeluknya erat.“Maafkan mama, Alina. Mama benar-benar tidak pernah bermaksud jahat padamu.” Sasmita bicara sambil memeluk Alina.“Ini neneknya Alo, Mama.” Mendengar Arlo menyebut kata ‘mama’, membuat Sasmita yakin jika yang dipeluknya adalah Alina.Awalnya Mira memang bingung, tetapi akhirnya dia paham kenapa wanita paruh baya ini langsung memeluk dirinya.“Maaf, saya bukan Alina.”Sasmita terkejut. Dia melepas pelukan, lalu menatap pada wanita yang baru saja dia peluk. Jelas-jelas dia tidak salah lihat, lalu bagaimana bisa bukan Alina?“Nyonya, dia ini Nona Mira, tapi memang sangat mirip dengan Bu Alina.” Bams menjelaskan.“Bukan, ini mamanya Alo. Paman salah!” Arlo langsun
“Ini sudah malam. Aku balik ke kamar dulu, takutnya Arlo bangun dan mencari,” ucap Mira lalu berdiri dari posisi duduknya.Aksa mengangguk. Saat Mira akan melangkah pergi, Aksa memanggil.“Mira.”Mira menoleh dengan senyum manis di wajahnya.“Ya.”“Terima kasih karena mau menjaga Arlo dan menjaga perasaannya.”Mira terkejut Aksa sampai berterima kasih. Dia tersenyum sambil mengangguk lalu segera pergi meninggalkan dapur.Aksa masih ada di dapur, sampai beberapa saat kemudian Bams menghampiri dan duduk di kursi yang tadi Mira duduki.“Pak, apa Anda tidak berniat menemui dan bertanya pada Pak Restu soal Mira?” tanya Bams karena penasaran.Aksa hanya menatap tanpa menjawab, lalu Aksa berkata, “Cari informasi pasti ada hubungan apa antara Pak Restu dan Mira sampai Mira memiliki nama belakang Januarta, semisal memang Alina memalsukan kematiannya, tidak mungkin Pak Restu membantu begitu saja, kan? Pasti ada alasan yang masuk akal” ujar Aksa.Bams mengangguk-angguk mengerti.“Juga bantu seli
Mira baru saja selesai memandikan dan memakaikan baju Arlo. Naya di sana membantu Mira mengurus Arlo. “Arlo sudah tampan sekarang,” ucap Mira sambil menyisir rambut Arlo. “Alo tampan kayak Papa, tapi kayak Mama juga,” balas Arlo. Mira hanya tersenyum menanggapi ucapan Arlo. “Karena Papa sudah pulang, jadi aku harus pulang. Besok lagi kita mainnya, ya.” Ekspresi wajah Arlo langsung berubah. “Nggak mau! Mama nggak boleh pulang.” Arlo memeluk lengan Mira, takkan membiarkan Mira pergi dari rumah itu. Mira terkejut. Dia berusaha untuk membujuk. “Arlo, nggak boleh gitu, ya. Aku harus pulang, kan barang-barangnya ada di hotel, jadi harus pulang ke hotel,” ujar Mira. “Kalau begitu balang-balangnya dibawa ke sini!” Arlo tetap memeluk lengan Mira, takkan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Mira sampai menatap pada Naya dengan ekspresi bingung. “Mama nggak boleh pelgi!” Arlo melepas pelukan di tangan Mira, lalu mulai berguling di lantai. Mira dan Naya terkejut, apalagi Arlo terus
“Papa!” Arlo melihat sang papa berdiri termangu di kamarnya, membuat Arlo berteriak memanggil. Dia bahkan melambaikan tangan sambil melebarkan senyum dengan begitu ceria.Mira menoleh dan melihat Aksa yang ternyata sudah pulang.“Kamu sudah pulang, kupikir masih lama,” ucap Mira.Aksa sempat terdiam karena keterkejutannya melihat tahi lalat di leher belakang Mira, tetapi dia mencoba bersikap biasa dengan mengangguk menanggapi ucapan Mira.“Bams tadi bilang kalau kamu mungkin akan terlambat, jadi kupikir untuk mengurus Arlo sebelum kamu pulang,” ucap Mira agak canggung.“Ya, tadi ada beberapa pekerjaan yang memang harus diselesaikan, tapi semua sudah diselesaikan,” balas Aksa.Mira mengangguk-angguk.“Aku minta izin mandiin Arlo, dia berkeringat banyak karena seharian terus main,” ucap Mira begitu sopan.“Iya,” balas Aksa dengan anggukan kecil.“Ayo!” Mira menggandeng Arlo menuju kamar mandi.Arlo berjalan bersama Mira sambil melambaikan tangan pada Aksa.Aksa memandang Arlo yang begit
Bams datang menghampiri Mira dan Naya yang ada di ruang keluarga sedang menemani Arlo menonton kartun.“Pak Aksa baru saja menghubungi, beliau berkata jika pulang sedikit terlambat karena masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan,” ujar Bams pada Mira.Mira menengok ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Ini sudah sore, seharusnya dia pulang ke hotel tetapi juga tidak bisa meninggalkan Arlo tanpa Aksa, Mira yakin Arlo tidak akan mau ditinggal.“Sepertinya kita harus menunggu sampai Aksa pulang,” ucap Mira pada Naya, “apa kamu bisa ambilkan baju ganti di hotel?” tanya Mira selanjutnya. Dia tidak mungkin memakai pakaian yang sudah dipakainya seharian sampai malam, kan?Naya mengangguk. Dia lalu berdiri untuk kembali ke hotel.Bams mendengar percakapan Mira dan Naya, lalu berkata, “Apa Anda mau pinjam baju Bu Alina. Pakaian beliau masih disimpan rapi di rumah ini.”Mira terkejut mendengar tawaran Bams. Dia menggeleng.“Jangan, itu tidak akan sopan,” jawab Mira, “biar
“Arlo, sarapan dulu. Papa setelah ini harus ke kantor. Arlo di rumah dulu bersama Paman Bams karena masih belum sembuh,” kata Aksa yang bicara sambil mengikat dasi.Aksa tidak mendapat balasan dari Arlo, membuat pria itu menoleh dan melihat putranya duduk di sofa sambil bersidekap.“Arlo, kenapa malah diam begitu?” tanya Aksa.Pagi itu, Aksa sengaja meminta pelayan membawa sarapan Arlo ke kamar agar dia bisa mengawasi sambil bersiap-siap ke kantor.“Alo nggak mau makan. Maunya disuapi Mama.” Arlo memasang wajah cemberut. Bibirnya mengerucut panjang.Aksa menghela napas kasar. Dia bingung karena Arlo merajuk lagi padahal dia ada rapat penting. Aksa juga tidak mungkin menghubungi dan meminta Mira datang lalu dianggap merepotkan.Aksa mendekat, lalu duduk di samping Arlo.“Arlo makan, ya. Janji setelah rapatnya selesai, papa akan segera pulang,” ujar Aksa membujuk.“Nggak mau. Alo maunya disuapi Mama.” Arlo kekeh tidak mau mendengar bujukan Aksa, bahkan dia sampai memalingkan muka.Aksa
Naya terkejut melihat Mira jatuh ke lantai. Dia segera membantu Mira berdiri lalu membantu ke ranjang agar bisa beristirahat.Naya juga segera mengambil obat Mira, lalu memberikan sebutir untuk Mira agar kondisinya membaik.“Anda memikirkan apa sampai kambuh, Nona?” tanya Naya sambil menatap cemas pada Mira.Mira baru saja menelan obatnya. Dia mengembuskan napas kasar sambil memejamkan mata.“Entahlah.” Mira menekan kuat kepalanya.“Nona, Anda ingat pesan Pak Restu, kan? Anda tidak boleh memikirkan sesuatu yang berlebih, apalagi jika diminta mengingat sesuatu yang Anda lupakan. Mengingat di mana kunci mobil Anda letakkan saja sudah membuat Anda pusing, apalagi yang lain?” Naya cemas karena tahu betul bagaimana kondisi Mira. Bagaimanapun dia sudah ikut Mira dua tahun terakhir ini.Mira menghembuskan napas kasar, lalu mengangguk.“Anda mau makan apa? Akan saya pesankan dulu,” kata Naya.“Apa saja boleh,” balas Mira.Naya mengangguk. Dia pergi untuk memesan makanan dari layanan restoran
“Baringkan di sini saja,” kata Aksa mengajak Mira ke kamar Arlo untuk menidurkan bocah itu.Aksa tidak tega melihat Mira yang sejak tadi memangku Arlo sampai tangannya kesemutan.Mira ingin membaringkan Arlo di ranjang, tetapi ternyata anak itu bangun dan langsung memeluk erat Mira.“Mama jangan pelgi.” Arlo tidak mau turun dari gendongan.Mira terkejut. Dia memeluk Arlo lalu duduk di tepian ranjang sambil memangku bocah itu.“Tidak, aku tidak pergi,” ucap Mira sambil mengusap punggung Arlo.“Mama bohong, kemalin bilang mau datang, tidak datang-datang.” Arlo memeluk erat karena takut ditinggal.Mira memandang pada Aksa, seperti ingin meminta bantuan.Aksa akhirnya mendekat, lalu mencoba menenangkan.“Arlo turun dulu, kasihan Bibi tangannya kesemutan,” ucap Aksa membujuk. Dia tidak memanggil dengan sebutan ‘Mama’ takut Mira salah paham.“Bukan Bibi! Ini mamanya Alo!” protes Arlo kesal.Aksa dan Mira saling tatap, keduanya tidak tahu harus bagaimana.“Iya, mamanya Arlo. Tapi turun dulu,