Sampai nantinya Bab mencapai 25/30, aku bakal up hanya 1 bab sehari ya. setelahnya aku akan up lebih dari 1 bab. terima kasih
Aksa segera menekan tombol agar pintu lift tertutup dan membawa Alina turun menuju basement parkir.Alina kebingungan karena seharusnya dia keluar di lobby.“Tapi, seharusnya aku--” Alina ingin bicara tetapi terhenti karena melihat tatapan Aksa yang baru saja menoleh ke arahnya.Alina melipat bibir ke dalam karena ekspresi datar Aksa yang membuatnya bingung dan tak nyaman.Pintu lift terbuka di basement, lalu Aksa meminta Alina keluar.“Masuk mobil!” perintah Aksa.Alina ingin menolak tetapi merasa percuma apalagi perintah Aksa seolah tak bisa dibantah.Akhirnya Alina hanya mengangguk lalu masuk mobil Aksa.Sepanjang jalan Aksa hanya diam menyetir menuju butik milik Alina, sedangkan Alina duduk diam mengamati jalan dengan perasaan tidak karuan.Sikap dingin dan diamnya Aksa seperti ini membuat Alina gelisah dan salah tingkah. Sebelum masuk lift aura Aksa terasa mencair meskipun tetap dingin, tetapi setelah keluar lift sampai saat ini, aura pria itu berubah 180 derajat.Alina bahkan me
Ilham terkejut melihat Karissa masuk begitu saja, tentu saja Ilham tahu siapa wanita itu.Karissa memberi isyarat agar Ilham tak bicara karena dia ingin memberi kejutan ke Aksa. Ilham hanya mengangguk mengiakan karena tidak ingin berurusan dengan wanita itu.Ilham memberi jalan lebih dulu untuk Karissa masuk, lalu segera keluar dari ruangan itu.Karissa masuk ruangan Aksa dengan raut wajah penuh kebahagiaan. Dia buru-buru menghampiri Aksa begitu masuk ruangan itu.Karissa baru saja pulang dari luar negeri setelah menyelesaikan pekerjaannya sebagai seorang model. Dia langsung pergi ke perusahaan Aksa hanya untuk bisa melihat pria itu lebih dulu karena sudah sangat lama tidak melihat Aksa dan merindukannya.Saat ini, Karissa berniat tinggal di negara ini agar bisa dekat dan sering bertemu dengan Aksa, setelah selama satu tahun lebih tinggal di luar negeri karena tuntutan pekerjaan.“Kak Aksa.” Karissa menyapa dengan senyum manis dan suara begitu manja ketika ada di depan meja Aksa.Aksa
“Al.” Kaira menatap Alina yang mondar-mandir menggantung pakaian di rak display.“Apa?” tanya Alina tanpa menoleh pada Kaira yang sejak tadi memandangnya sibuk. “Kamu ini datang katanya buat nemenin aku, sekarang malah merengek? Minta apa, sih?”Alina akhirnya mengalihkan tatapannya pada Kaira yang duduk di belakang meja kasir.Kaira berdiri menghampiri Alina yang baru saja restock baju, lantas memeluk Alina dari belakang sambil bergelayut manja.“Ya, yang tadi aku bilang. Ayolah, Al. Masa kamu tega sama aku. Temenin, ya,” pinta Kaira membujuk. Dia menatap Alina dari samping sambil memasang wajah imut untuk merayu.“Terus kalau aku ikut, aku disuruh jadi obat nyamuk? Jangan mengada-ada.” Alina melepas kedua tangan Kaira yang melingkar di pinggangnya. Dia kemudian membalikkan badan dan menatap sahabatnya itu.Kaira diminta melakukan kencan buta oleh ayahnya, hal itu membuat Kaira malas dan bingung jika harus pergi sendiri. Karena itu Kaira mencoba mengajak Alina untuk menemaninya.Kaira
“Anda sudah mau pulang, Pak?” tanya Ilham saat melihat Aksa sedang merapikan meja kerja kemudian berjalan menuju ruangan kecil di dalam kantornya. Beberapa saat kemudian, Aksa keluar dengan pakaian yang berbeda daripada sebelumnya, kini Aksa mengenakan pakaian kerja biasa, celana hitam panjang dengan kemeja polos lengan panjang berwarna biru muda. Aksa menatap sekilas pada Ilham sambil mengenakan mantel tipis, lalu membalas, “Ya.” Ilham mengerutkan alis mendengar jawaban Aksa. Tidak biasanya atasannya itu pulang tepat waktu. Dia sampai melihat ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan, masih jam empat sore kurang lima menit. Rasanya begitu aneh melihat Aksa akan pulang tepat waktu. Biasanya atasannya akan pulang ke rumah ketika hari sudah sangat gelap, bahkan paling cepat Aksa pulang adalah ketika langit mulai gelap. Sebenarnya kebiasaan baru ini sudah terjadi beberapa hari setelah Aksa menikah, dan meskipun Ilham senang karena dia tak perlu lembur, tetapi tetap saja perubaha
“Kamu tidak bisa hati-hati?” tanya Aksa datar.Alina mengerjap untuk beberapa setelah mendengar suara Aksa.Tadi, Alina sangat terkejut karena hampir jatuh, lebih terkejut lagi saat menyadari begitu dekat dengan Aksa. Apalagi pria itu masih merengkuh pinggangnya dan kedua mata mereka saling tatap.Alina kikuk dan salah tingkah karena Aksa masih merengkuh pinggangnya, terlebih dia tak sengaja berpegangan pada lengan Aksa yang terasa keras berotot.“Ma-maaf.” Alina merasa sangat malu karena sudah ceroboh. Jantungnya mendadak berdegup cepat. Aneh. Ada sesuatu di hatinya.Alina cepat-cepat berdiri dengan benar lalu sedikit mundur setelah Aksa melepas pinggangnya. Dia bingung harus bagaimana setelah kejadian tak terduga itu terjadi.Di saat Alina salah tingkah, Aksa tampak tenang dan wajahnya tetap saja datar. Apa pria itu tidak terganggu, ya?“Ah, ya. Tadi ada orang mengirim kasur. Tapi, karena aku bingung mau diletakkan di mana, jadi aku minta untuk diletakkan dulu di ruang televisi,” u
Alina terbatuk karena hampir tersedak setelah mendengar ucapan Aksa barusan. Alina masih menatap Aksa yang tampak serius sambil memberikan segelas air pada Alina.Alina memiringkan tubuhnya untuk meminum segelas air yang disodorkan Aksa. Lalu, menaruh gelas kosong itu di meja dan tertawa kecil pada Aksa.“Jangan mengada-ada,” ucap Alina sambil mencoba menghentikan tawanya.Alina tertawa sebab merasa ucapan Aksa sangat lucu. Pria itu menggunakan kata ‘melenyapkan’ dalam kalimatnya, seolah-olah Aksa adalah orang yang sangat berkuasa.Melihat Alina tertawa, kedua sudut alis Aksa tertarik ke atas. Memangnya ada yang salah dengan ucapannya? Aksa serius dengan ucapannya, jika Alina mau, Aksa bisa dengan mudah melenyapkan mantan kekasih Alina itu.Apa Alina meremehkan Aksa? Kini, Aksa menyipitkan mata menatap Alina.“Kamu tidak usah melakukan apa-apa karena itu adalah urusanku,” ucap Alina kemudian, sambil tersenyum lalu kembali makan.Alina kembali menatap pada Aksa yang hanya diam, kemudia
Hari berikutnya, Alina dan Kaira sudah ada di Radja Mall untuk bertemu dengan teman kencan buta Kaira. “Kai, kamu yakin mau ngajak aku? Rasanya ini aneh,” ucap Alina lalu memandang sekeliling pada bangunan mall yang begitu besar itu. Alina baru ke tempat ini lagi setelah waktu itu membeli cincin pernikahan di salah satu toko perhiasan yang ada di mall ini. “Ish, kamu sudah janji. Kenapa sekarang ragu?” tanya Kaira cemberut karena ucapan Alina. Alina menoleh pada Kaira, lalu membalas, “Ya, karena ini kencan butamu yang disiapkan papamu. Masa iya aku ikut?” “Tapi kamu sudah janji mau nemenin. Pokoknya aku nggak mau dengar alasanmu. Soal Papa, biar aku yang urus kalau dia kesal karena kamu ikut.” Kaira meyakinkan Alina lalu merangkul lengan sahabatnya itu agar tidak kabur. Akhirnya Alina pasrah saja. Dia tetap ikut meski rasanya aneh karena takut mengganggu pertemuan Kaira dengan pria yang dijodohkan dengan Kaira. Alina dan Kaira tiba di fine dining tempat papa Kaira mengatur
“Kevin, kita berdua tidak cocok. Jadi, ini pertemuan pertama dan terakhir kita. Kita tidak perlu bertemu lagi.” Kaira mengatakannya langsung pada Kevin setelah kembali dari toilet. Kaira bahkan tak peduli Kevin akan sakit hati dengan ucapannya. Kaira sudah tidak ingin berlama-lama di sana, jadi setelah mengatakan hal itu Kaira menarik tangan Alina, membuat Alina sedikit kebingungan. “Kami pergi dulu.” Tetapi, Kaira tetap berpamitan pada Kevin. Alina ikut berdiri setelah mengambil tasnya, hingga ketika berjalan menuju arah pintu keluar, Alina terpaku dan menghentikan langkah kakinya. “Ada apa?” tanya Kaira heran. Kaira memandang arah pandang Alina, lalu dia melihat dua pria berjalan ke arah mereka dan menyadari salah satu dari dua pria itu hanya memandang lurus Alina. “Siapa mereka?” tanya Kaira setengah berbisik. “Yang berjalan di depan, itu suamiku,” jawab Alina sambil mendekatkan bibir ke telinga Kaira saat berbisik. Kaira menatap pria yang berjalan di depan dengan langkah te
Daniel dan yang lain mengikuti Jia yang dipindah ke ruang inap. Demi mengamankan Jia, Aksa meminta bantuan dari perusahaan pengawalan untuk menjaga kamar Jia.“Paman bilang kalau Pak Alex dan Anya untuk sementara dibawa ke apartemennya,” kata Daniel setelah membaca pesan dari Restu.“Anya pasti sangat syok melihat semua kejadian ini,” ujar Alina.“Untungnya dia bisa kabur saat mau ditangkap, jadi aku juga tahu kalau Jia diculik suami bajingannya itu.” Daniel begitu emosi saat ingat Edwin yang berusaha mencekik Jia padahal kondisinya begitu lemas.“Kami akan melihat kondisi Anya, kamu tidak apa-apa ditinggal sendiri, kan?” tanya Alina.“Di luar sudah ada pengawalan, jadi kamu tidak perlau khawatir,” imbuh Aksa.Daniel mengangguk-angguk. Dia lalu menatap Jia yang tidak sadarkan diri karena pengaruh obat bius.Alina dan Aksa saling pandang. Mereka merasa ada sesuatu dari sikap Daniel.Di luar. Bams menolak untuk rawat inap, sehingga hanya mendapat obat jalan dan diminta kontrol satu mingg
Daniel ada di rumah sakit menunggu Jia mendapat perawatan dari dokter. Dia mondar-mandir di depan ruang perawatan, tidak berani masuk karena takut mengganggu pengobatan.“Dani.”Daniel menoleh saat ada yang memanggil. Dia melihat sang kakak dan kakak iparnya datang.“Kak.”Alina terlihat begitu cemas. Dia langsung mengecek tubuh sang adik.“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Alina.“Aku baik-baik saja, Kak.” Daniel malah tersenyum melihat Alina mencemaskan dirinya.“Aku sedang mencemaskanmu, kenapa kamu malah senyum-senyum?” Alina gemas sampai memukul lengan adiknya itu.Daniel hanya tersenyum seraya mengusap lengan yang terkena timpuk.“Bagaimana kondisi Jia?” tanya Aksa.Daniel langsung mode serius ketika mendengar pertanyaan Aksa.“Dokter masih memeriksanya. Sepertinya cukup parah mengingat mobil yang membawanya terbalik di jalanan,” jawab Daniel.Alina sangat syok. Dia sampai menutup mulut.Aksa mengangguk, mereka akhirnya menunggu sampai dokter keluar dari ruang pemeriksaan.Tak be
Bams lengah karena berambisi menangkap pria itu. Saat melihat belati mengarah padanya, Bams tidak sempat menghindar sampai akhirnya ujung belati menggores lengannya.Bams memekik seraya memegangi lengan yang tergores belati, tetapi luka sekecil itu tidak akan membuatnya tumbang. Bams menendang tangan pria itu, membuat belati yang dipegang terlempar ke aspal jalanan.“Beraninya kamu menyerang, hah!” Bams mengepalkan telapak tangan, lantas menghajar pria itu.Saat itu, security area perumahan elite itu datang karena mendengar suara tembakan. Mereka mengenal Bams, sehingga langsung meringkus pria yang ditangkap Bams.“Tolong tahan pria ini selagi menunggu polisi datang,” pinta Bams.“Baik.” Security itu mengikat kedua tangan pelaku ke belakang.“Tanganmu terluka.” Security melihat jaket yang dipakai Bams sobek dan ada noda merah di sana.Bams melirik ke lengan, tetapi dia menggeleng seolah tak masalah. Dia memilih menghubungi polisi, lalu kembali ke rumah untuk melihat kondisi yang lain.
Bams masih menatap Naya, menunggu apa yang tidak jadi Naya ucapkan.“Kamu tadi mau bilang apa?” tanya Bams memastikan.Naya bersiap mengelak, tetapi ternyata Bams lebih dulu menengok pada ponsel yang berdering.“Halo.” Bams menjawab panggilan dari anak buahnya yang berjaga di luar.“Ada mobil yang parkir di dekat rumah, mobil itu tampak mencurigakan karena seperti ada aktivitas di dalam,” ujar anak buah Bams dari seberang panggilan.Tatapan mata Bams menajam mendengar laporan anak buahnya. “Jangan bertindak gegabah. Aku akan mengeceknya langsung,” perintah Bams.Naya masih memperhatikan Bams, sebelum akhirnya pria itu mengakhiri panggilan.“Ada apa?” tanya Naya saat melihat ekspresi dingin di wajah Bams.“Tetaplah di dalam bersama Arlo, kunci pintu dan beritahu semua pelayan untuk tak keluar lebih dulu, jangan buka pintu jika bukan aku yang mengetuk!” perintah Bams.Naya langsung bisa menebak apa yang terjadi. Dia lantas mengangguk. Seumur hidup, baru kali ini Naya merasakan keteganga
Daniel langsung turun dari mobil untuk menyelamatkan Jia. Orang-orang yang sedang melintas juga ikut berhenti menyaksikan kejadian itu.Daniel berlari dengan ekspresi wajah cemas. Dia berjongkok lalu menunduk untuk mencari di mana keberadaan Jia.“Jia!” panggil Daniel seraya memastikan posisi Jia.Di dalam mobil. Jia tertindih tubuh Edwin karena tadi pria itu menjambak rambutnya. Kedua kakinya tertimpa Edwin, membuat Jia kesulitan bergerak. Dia mendengar suara Daniel, tetapi sepertinya Daniel ada di dekat kakinya.“Aku di sini,” ucap Jia dengan suara lemah.Daniel mendengar suara Jia. Dia berputar ke sisi satunya, hingga melihat tangan Jia sudah terulur ke jendela yang pecah, kepalanya mendongak agar wajahnya terlihat.“Bertahanlah.” Daniel mencoba mengeluarkan Jia.Saat Jia menunggu Daniel mengeluarkannya. Edwin sadar dan melihat Jia yang berusaha menggapai keluar. Dia tidak akan membiarkan Jia selamat begitu saja, sehingga dengan sisa tenaga, Edwin berusaha mencekik Jia.“Kamu tidak
Anya terlepas dari gendongan Jia. Bocah itu ketakutan melihat sang mama ditarik seorang pria dengan kondisi mulut dibekap.“Mama!” Anya panik. Dia melihat ada pria lain ingin menangkapnya, membuat Anya langsung berlari ke arah orang-orang yang sedang berusaha memadamkan api.“Paman! Paman!” Anya memanggil siapa pun yang bisa mendengarnya di sela riuh semua orang berusaha memadamkan api.Saat itu, Daniel baru saja menurunkan Alex. Dia mengedarkan pandangan mencari Jia dan malah melihat Anya berlari.“Paman!” teriak Anya.Daniel melihat pria yang mengejar Anya.“Anya!” Daniel berlari ke arah Anya, Jhony yang melihat hal itu ikut berlari.“Paman, orang itu bawa Mama!” teriak Anya sekuat tenaga berlari sampai akhirnya sampai pada Daniel.Pria yang mengejar Anya berhenti melangkah. Dia berbalik arah karena Daniel melihatnya.“Mama diculik.” Anya menangis sangat kencang.Daniel melihat pria tadi masuk mobil yang langsung melaju.“Anya tetap di sini, paman akan bawa Mama kembali.”Anya menan
Saat sore hari. Bams langsung melapor soal kamera yang ditemukannya ketika Aksa dan Alina baru saja pulang.“Datanya langsung tersinkron dengan alat yang mereka bawa. Jadi semua kegiatan yang terekam oleh kamera ini, sudah dipegang mereka,” ujar Bams menjelaskan setelah meletakkan kamera pengawas yang didapatnya.Aksa diam dengan tatapan dingin. Jadi benar kalau Edwin berani memantau rumahnya.“Edwin memasang itu karena ingin memastikan apakah Jia di sini atau tidak?” Alina menebak.“Dugaan saya seperti itu. Tapi, karena Jia dan anaknya tidak di sini, mungkin mereka hanya mendapatkan rekaman Arlo atau pelayan lain ketika beraktivitas,” ujar Bams.Ekspresi wajah Alina berubah cemas. Dia langsung menatap pada Aksa.“Apa ada kemungkinan Edwin akan menargetkan Arlo?” tanya Alina dengan ekspresi wajah panik.Aksa diam berpikir, lalu menjawab, “Jika dia memang bajingan, Edwin akan melakukan segala cara untuk menghancurkan siapa saja yang berani membantu Jia. Namun, meski begitu aku tidak ak
Bams segera keluar kamar saat mendengar teriakan Naya. Dia melihat Naya yang sudah menggendong Arlo.“Ada apa?” tanya Bams sampai hanya keluar menggunakan celana pendek dan kaus polos hitam. Sangat jauh dari style yang biasa dipakainya.Naya melipat bibir melihat Bams hanya memakai celana pendek. Dia lalu menunjuk ke tembok di samping rumah.Bams memperhatikan apa yang ditunjuk Naya. Akhirnya dia memanggil salah satu penjaga, kemudian keduanya mengecek apa yang dilihat Naya. Saat Bams naik menggunakan tangga. Dia mendapati sebuah kamera pengawas di sana. Ekspresi wajah Bams berubah suram mengetahui ada yang berani memantau rumah Aksa.Dengan tatapan tajam, tanpa mematikan kamera, Bams berkata di depan kamera itu. “Aku akan memburu kalian.”Setelah mengucapkan itu. Bams mematikan alat itu.Naya masih menggendong Arlo. Dia cemas kalau ada yang memantau Arlo.“Biar saya bawa Tuan kecil masuk,” kata pelayan.Naya mengangguk. Dia memberikan Arlo ke pelayan dan meminta agar menjaga Arlo te
Alina dan yang lain pulang ke rumah Daniel, mereka semua lega karena orang tua Edwin percaya dengan bukti dan kesaksian Jia.“Kalau sudah begini, aku berani meminta pengacara untuk membantu proses perceraian kami. Setidaknya orang tua Edwin tidak akan menghalangi,” ujar Jia.“Iya,” balas Alina, “untung saja kamu punya banyak bukti,” imbuh Alina.Jia tersenyum getir, lalu membalas, “Aku punya semua bukti, hanya saja tidak berani bicara karena Papa ditahan Edwin. Tapi, karena kalian membantuku membebaskan Papa, membuatku lebih berani untuk segera bertindak. Terima kasih.”Jia menatap Daniel, Alina, dan Restu bergantian.“Kami lega bisa membantumu. Tapi selama Edwin belum diatasi, tetaplah tinggal di sini,” ucap Alina seraya menggenggam tangan Jia.Jia mengangguk dengan senyum penuh kelegaan di wajah. Dia kemudian menoleh pada Daniel. Jika tidak ada Daniel yang menolongnya waktu itu, Jia tidak akan pernah berada di posisi ini sekarang, dan mungkin dia masih akan terjebak dalam pernikahan