“Kevin, kita berdua tidak cocok. Jadi, ini pertemuan pertama dan terakhir kita. Kita tidak perlu bertemu lagi.” Kaira mengatakannya langsung pada Kevin setelah kembali dari toilet. Kaira bahkan tak peduli Kevin akan sakit hati dengan ucapannya. Kaira sudah tidak ingin berlama-lama di sana, jadi setelah mengatakan hal itu Kaira menarik tangan Alina, membuat Alina sedikit kebingungan. “Kami pergi dulu.” Tetapi, Kaira tetap berpamitan pada Kevin. Alina ikut berdiri setelah mengambil tasnya, hingga ketika berjalan menuju arah pintu keluar, Alina terpaku dan menghentikan langkah kakinya. “Ada apa?” tanya Kaira heran. Kaira memandang arah pandang Alina, lalu dia melihat dua pria berjalan ke arah mereka dan menyadari salah satu dari dua pria itu hanya memandang lurus Alina. “Siapa mereka?” tanya Kaira setengah berbisik. “Yang berjalan di depan, itu suamiku,” jawab Alina sambil mendekatkan bibir ke telinga Kaira saat berbisik. Kaira menatap pria yang berjalan di depan dengan langkah te
Di dalam hati, Alina panik, tetapi ia tetap tenang. Alina menatap tangannya yang digenggam Aksa.Namun, langkah lebar Aksa membuat Alina agak kesulitan mengimbangi langkah Aksa. Alina bisa saja jatuh kalau salah langkah.“Aku bisa jalan mengikutimu, apa kamu harus menarikku seperti ini?” tanya Alina karena beberapa pengunjung mall sampai memandang ke arah mereka. Dia malu karena semua orang yang melihat tampak menatap aneh pada mereka.Akan tetapi, Aksa tak menggubris perkataan Alina. Dia masih terus menarik tangan istrinya itu.Akhirnya Aksa baru berhenti saat mereka sampai di parkiran. Dia melepas tangan Alina, lalu menatap dingin pada istrinya itu.“Masuk!” perintah Aksa.Sebelum masuk, Alina menoleh pada mobil yang ada di samping mereka. Alis Alina berkerut, itu bukan mobil Aksa. Mobil itu mewah dan jauh di atas mobil Aksa.“Masuk sini?” tanya Alina memastikan sambil menunjuk mobil itu. Aksa pasti salah mobil.Aksa hanya menatap datar, dia lalu menekan tombol di kunci mobil hingga
Alina bisa melihat telinga Aksa yang sedikit memerah ketika Aksa memalingkan muka setelah mendengar pertanyaannya.“Kamu benar-benar cemburu?” tanya Alina. Sekarang Alina tidak tahan untuk tidak menggoda Aksa.Aksa tak merespon dan memilih tetap memandang ke depan.Alina memindahkan pandangannya pada telunjuk Aksa yang diketuk pada stir berkali-kali, membuat Alina semakin semangat untuk menggoda.“Kalau cemburu bilang saja, aku tidak apa-apa,” ucap Alina, duduk dengan benar sambil menatap ke depan, lalu dia mengulum bibir menahan diri karena ingin tertawa.Aksa tetap tidak merespon ucapan Alina, membuat wanita itu kembali bicara, “Cemburu boleh, tapi harusnya kamu jangan marah-marah begitu.”Aksa akhirnya menoleh ke Alina, lalu membalas, “Siapa yang cemburu? Jangan besar kepala!”Alina ikut menoleh karena akhirnya Aksa bereaksi.“Itu tadi, kalau bukan cemburu apa namanya? Masa orang marah tanpa alasan?”“Bukankah sudah kubilang? Kamu harus menjaga martabat suami. Sikapmu itu seolah me
Alina menatap datar seseorang yang sekarang ada di hadapannya.“Seharusnya aku yang mengatakan itu,” balas Alina dengan nada suara dingin.Wanita di hadapan Alina malah tersenyum miring mendengar balasan Alina. “Kenapa kamu tidak menghilang saja?” Tatapan wanita itu terasa begitu membenci Alina.“Menghilang? Kenapa aku yang harus menghilang? Bukankah seharusnya itu kamu? Kamu orang yang selingkuh dan dengan kejam tidur dengan kekasih temanmu sendiri, sekarang kamu minta aku menghilang? Kamu waras, Marsha?”Alina tentunya takkan mengalah atau takut dengan Marsha, teman kuliah yang tega berkhianat dengan Bima.Alina ingin pergi mengabaikan Marsha, tetapi wanita itu menghalangi troli Alina, membuat Alina mendengkus kasar.“Gara-gara kamu, Bima meninggalkanku! Alina, Alina, dan Alina terus yang dia sebut!” bentak Marsha.Alina menatap malas, lalu membalas, “Aku tidak peduli.”Alina berusaha pergi, tetapi Marsha tetap menghalangi.“Bisakah kamu pergi dari kehidupan Bima? Jangan berpikir kam
Saat sore hari.Alina turun ke lantai bawah untuk membuang sampah. Dia keluar lift yang terbuka di basement karena tempat pembuangan sampah khusus penghuni ada di dekat sana.Belum sampai tempat pembuangan sampah, langkah Alina dihadang oleh Bima. Alina memutar bola mata malas melihat pria itu.“Kamu mau membuang sampah?” tanya Bima berbasa-basi.Alina tak menggubris pertanyaan Bima. Dia memilih berjalan melewati Bima. Namun, ia tidak tahu Bima tetap mengikutinya dari belakang, hingga membuat Alina terkejut saat memutar badan setelah membuang sampah dan melihat Bima yang sudah ada di hadapannya.“Apa pekerjaanmu sekarang menjadi penguntit?” tanya Alina dengan nada kesal.Akan tetapi, tanpa menanti balasan Bima, Alina memilih kembali melangkah untuk meninggalkan pria itu. Namun, baru beberapa langkah, Bima kembali menghadang jalan Alina.“Mau apa, sih?” tanya Alina sambil menatap kesal.“Siapa pria yang bersamamu tempo hari?” tanya Bima. Dia tidak akan puas sebelum mendapatkan jawaban y
Akhir pekan. Di rumah keluarga besar Aksa, kedua orang tua Aksa sedang bersiap untuk pergi makan siang bersama Alina dan Aksa. “Kenapa Aksa harus menikah dengan orang miskin, yang akhirnya membuat kita harus ikut bersandiwara?” tanya Sasmita, ibu Aksa, memprotes keputusan anaknya yang sama sekali tidak ditentang oleh suaminya. Sasmita masih keheranan, Aksa tampan dan berkarisma, tetapi kenapa malah mau menikah dengan wanita biasa dari kalangan yang entah seperti apa keluarganya. Ini membuat Sasmita tidak bisa menerima pernikahan putranya. “Tidak masalah dari kalangan mana wanita yang dinikahi Aksa, yang terpenting dia mau menikah,” jawab Mirza, ayah Aksa. Dia tahu betul kalau putranya itu susah sekali untuk serius menjalin hubungan dengan wanita, meski banyak rekan kerja yang ingin menjodohkan Aksa dengan putri-putri mereka, tetapi Aksa terus menolak. Jadi, ketika ibunya ingin menjodohkan Aksa dengan wanita pilihan ibunya, Mirza sama sekali tidak keberatan. Justru Mirza se
Aksa dan Alina berada di mobil menuju restoran. Alina duduk diam mengamati jalanan yang mereka lewati, lalu tiba-tiba menoleh pada Aksa ketika ingat akan sesuatu.“Apa kamu yakin kita akan makan di restoran itu?” tanya Alina, “aku tidak mau kamu keluar uang banyak hanya untuk sekadar makan siang,” imbuh Alina terlihat cemas.Bukan Alina pelit, dia hanya berpikir tak perlu makan mewah di restoran mahal, tetapi yang terpenting kebersamaannya.Aksa mengerutkan alis mendengar ucapan Alina. Dia menoleh pada istrinya itu sebelum kembali fokus pada jalanan di hadapannya.“Nenek yang mau,” jawab Aksa singkat, “jadi kamu tidak usah banyak berpikir.”Alina ingin mengatakan sesuatu, tetapi urung dan memilih diam. Lagi pula, jika Aksa sudah berkata demikian, membantah juga percuma.Setelah perjalanan memakan waktu beberapa menit akhirnya mereka sampai di restoran.Saat sampai di sana, ternyata Nenek Agni dan kedua orang tua Aksa juga baru saja datang.Nenek Agni langsung berjalan cepat menghampiri
Nenek Agni mengamati Alina dan Dani yang sama-sama terdiam, tentu saja dia tahu kondisi keduanya. Nenek Agni melihat Alina yang sedikit menunduk hingga membuat Nenek Agni tak senang dengan pertanyaan Sasmita. Dia menoleh pada menantunya. “Kedua orang tua mereka sudah meninggal,” jawab Nenek Agni.Semua orang terkejut karena justru Nenek Agni yang menjawab pertanyaan Sasmita.“Meski begitu, mereka ini hebat. Bisa kuliah sampai lulus, lalu bekerja dengan baik walaupun tanpa orang tua. Bukankah mereka perlu diberi apresiasi? Di luar sana banyak yang putus asa karena tidak punya orang tua, tapi Alina dan Dani sangat hebat bisa menjalani hidup bersama dan saling menguatkan menghadapi kehidupan yang sulit. Bukankah begitu?”Nenek Agni menggenggam telapak tangan Alina lagi dan menatap Alina hangat, menguatkan Alina agar tidak merasa sedih mengingat orang tuanya.Alina mengangguk sambil memulas senyum. Dia terharu karena Nenek Agni membelanya. Dulu Nenek Agni pernah bertanya-tanya soal oran
Di rumah sakit. Daniel masih menemani Jia yang terbaring lemah. Dokter mengatakan jika tidak ada kerusakan fatal di organ dalam, sehingga Jia hanya butuh perawatan biasa sampai kondisinya benar-benar pulih.“Kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Daniel.Jia menggeleng.Daniel sabar menemani Jia karena kondisi Jia yang masih lemas. Terdengar suara ketukan pintu kamar. Daniel menoleh dan melihat pintu kamar terbuka. Kedua orang tua Edwin ternyata datang untuk melihat kondisi Jia.Daniel segera berdiri lalu sedikit membungkuk ke arah mertua Jia, sedangkan Jia masih terbaring lemah dan hanya bisa menatap dua orang itu.“Saya keluar dulu,” ucap Daniel agar Jia dan kedua orang tua Edwin bisa bicara.Kedua orang tua Edwin mengangguk. Mereka tak menyangka jika Daniel sangat sopan, padahal sebelumnya mereka sudah menuduh jika Daniel selingkuhan Jia.“Bagaimana kondisimu?” tanya ibu Edwin setelah Daniel keluar dari ruangan itu.“Tidak baik,” jawab Jia lirih.Kedua orang tua itu saling pandang, lal
Bams menatap Naya yang hanya diam. Dia tersenyum getir, Bams yakin kalau Naya akan mundur setelah mendengar ceritanya. Inilah alasan kenapa Bams tidak pernah mau dekat dengan wanita, dia takut jika ditolak karena masa lalu dan asal usulnya yang buruk.“Sudah tahu aku hasil anak apa, hidup dan besar di mana, lalu bagaimana kejamnya aku, kan? Jika mau mundur, mundur saja.” Bams tersenyum getir lalu memalingkan muka dari Naya.Naya melihat tatapan kecewa dari mata Bams. Ya, meski dia syok, tetapi bukan berarti dia akan langsung menilai Bams buruk juga. Mungkin Naya hanya butuh memikirkan dengan matang, mempertimbangkan dengan pemikiran dingin, lalu melihat kebaikan Bams yang sekarang. Bukankah begitu?“Tidak apa, aku terima.” Bams mengusap kedua pahanya, lalu berdiri untuk kembali ke kamar. Lagi pula, untuk apa menunggu, dia sudah tahu jawabannya.Naya terkejut Bams mau pergi. Dia langsung menahan pergelangan tangan Bams.“Dih, kenapa main pergi saja?” tanya Naya seraya menatap pada Bams
Sembilan tahun lalu. “Dasar jalang sialan. Kamu bilang mau memberiku perawan, ternyata mana?” Seorang pria berbadan besar menampar wanita paruh baya hingga tersungkur di lantai. “Ta-tapi dia bilang kalau belum pernah melakukannya.” Wanita itu mencoba menjelaskan, tetapi tamparan kembali dilayangkan secara bertubi-tubi. “Sialan! Kamu hanya mencoba menipuku! Kembalikan uangku!” perintah pria itu seraya menjambak rambut wanita paruh baya itu. Saat itu, Bams yang berumur dua puluhan tahun, melihat wanita tadi dianiaya. Dia melempar barang belanjaan yang dibawanya, lantas menghampiri untuk menolong wanita yang tak lain ibunya. “Berhenti memukuli ibuku!” teriak Bams seraya menghalau tangan pria tadi memukul sang ibu. Pria itu geram karena ada yang menahannya. Dia menghempaskan tubuh Bams hingga tersungkur di lantai. “Tidak usah ikut campur, kecuali kamu mau mengganti uangku. Atau, kamu mau jadi gigolo lalu uangnya untuk mengganti uang yang sudah wanita ini ambil!” Pria itu tersenyum
Naya menuang segelas air putih, lalu menyodorkannya ke Bams.“Minum obatmu, lalu istirahat. Tidak usah memikirkan hal lainnya, lagi pula penjahatnya sudah ditangkap,” ucap Naya masih menyodorkan segelas air putih dan obat yang harus diminum Bams.Bams tak segera mengambil gelas dan obat itu. Dia malah terus memandangi wajah Naya seraya tersenyum kecil.“Apa? Kenapa menatapku seperti itu? Ini obatnya. Naya mendekatkan gelas dan obat itu agar Bams segera menerimanya.“Nay, kamu serius menyukaiku?” tanya Bams masih seperti mimpi.Naya menghela napas Bams kembali membahas itu.“Tidak, aku berkata seperti itu agar kamu cepat sembuh saja,” elak Naya.Ekspresi wajah Bams berubah. Dia mengambil obat dan segelas air putih dari tangan Naya, lantas meminum obat itu dalam sekali tenggak.Naya menahan senyum melihat Bams kesal. Pria matang ini sangat lucu ketika sedang kesal.“Aku menyukaimu, tapi jika kamu juga benar-benar menyukaiku,” ucap Naya setelah Bams selesai minum.Bams diam menatap pada
Daniel baru saja mengakhiri panggilan saat melihat Jia menggerakkan kelopak mata.“Kamu bisa mendengarku?” tanya Daniel sedikit membungkuk seraya memperhatikan kelopak mata Jia yang hendak terbuka.Daniel memperhatikan Jia yang mengangguk-angguk. Dia lega karena Jia merespon ucapannya.Daniel sabar menunggu sampai Jia benar-benar sadar karena tahu jika pengaruh obat bius pasti tidak cepat hilang.Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Jia membuka mata dengan sempurna. Daniel masih duduk sambil terus memperhatikan Jia.“Mau kupanggilkan dokter?” tanya Daniel.Daniel melihat Jia menggeleng pelan.“Di mana Anya dan Papa?” tanya Jia dengan suara lemah. Perlahan dia menoleh pada Daniel.“Mereka aman. Sekarang berada di apartemen pamanku,” jawab Daniel agar Jia lega.Jia bernapas lega.Daniel menatap Jia, dalam kondisi seperti ini pun Jia masih memikirkan orang lain.“Bagaimana dengan Edwin?” tanya Jia. Dia cemas dan takut jika Edwin masih berkeliaran lalu membahayakan ayah dan putrinya.“Ka
Daniel dan yang lain mengikuti Jia yang dipindah ke ruang inap. Demi mengamankan Jia, Aksa meminta bantuan dari perusahaan pengawalan untuk menjaga kamar Jia.“Paman bilang kalau Pak Alex dan Anya untuk sementara dibawa ke apartemennya,” kata Daniel setelah membaca pesan dari Restu.“Anya pasti sangat syok melihat semua kejadian ini,” ujar Alina.“Untungnya dia bisa kabur saat mau ditangkap, jadi aku juga tahu kalau Jia diculik suami bajingannya itu.” Daniel begitu emosi saat ingat Edwin yang berusaha mencekik Jia padahal kondisinya begitu lemas.“Kami akan melihat kondisi Anya, kamu tidak apa-apa ditinggal sendiri, kan?” tanya Alina.“Di luar sudah ada pengawalan, jadi kamu tidak perlau khawatir,” imbuh Aksa.Daniel mengangguk-angguk. Dia lalu menatap Jia yang tidak sadarkan diri karena pengaruh obat bius.Alina dan Aksa saling pandang. Mereka merasa ada sesuatu dari sikap Daniel.Di luar. Bams menolak untuk rawat inap, sehingga hanya mendapat obat jalan dan diminta kontrol satu mingg
Daniel ada di rumah sakit menunggu Jia mendapat perawatan dari dokter. Dia mondar-mandir di depan ruang perawatan, tidak berani masuk karena takut mengganggu pengobatan. “Dani.” Daniel menoleh saat ada yang memanggil. Dia melihat sang kakak dan kakak iparnya datang. “Kak.” Alina terlihat begitu cemas. Dia langsung mengecek tubuh sang adik. “Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Alina. “Aku baik-baik saja, Kak.” Daniel malah tersenyum melihat Alina mencemaskan dirinya. “Aku sedang mencemaskanmu, kenapa kamu malah senyum-senyum?” Alina gemas sampai memukul lengan adiknya itu. Daniel hanya tersenyum seraya mengusap lengan yang terkena timpuk. “Bagaimana kondisi Jia?” tanya Aksa. Daniel langsung mode serius ketika mendengar pertanyaan Aksa. “Dokter masih memeriksanya. Sepertinya cukup parah mengingat mobil yang membawanya terbalik di jalanan,” jawab Daniel. Alina sangat syok. Dia sampai menutup mulut. Aksa mengangguk, mereka akhirnya menunggu sampai dokter keluar dari ruang pemerik
Bams lengah karena berambisi menangkap pria itu. Saat melihat belati mengarah padanya, Bams tidak sempat menghindar sampai akhirnya ujung belati menggores lengannya.Bams memekik seraya memegangi lengan yang tergores belati, tetapi luka sekecil itu tidak akan membuatnya tumbang. Bams menendang tangan pria itu, membuat belati yang dipegang terlempar ke aspal jalanan.“Beraninya kamu menyerang, hah!” Bams mengepalkan telapak tangan, lantas menghajar pria itu.Saat itu, security area perumahan elite itu datang karena mendengar suara tembakan. Mereka mengenal Bams, sehingga langsung meringkus pria yang ditangkap Bams.“Tolong tahan pria ini selagi menunggu polisi datang,” pinta Bams.“Baik.” Security itu mengikat kedua tangan pelaku ke belakang.“Tanganmu terluka.” Security melihat jaket yang dipakai Bams sobek dan ada noda merah di sana.Bams melirik ke lengan, tetapi dia menggeleng seolah tak masalah. Dia memilih menghubungi polisi, lalu kembali ke rumah untuk melihat kondisi yang lain.
Bams masih menatap Naya, menunggu apa yang tidak jadi Naya ucapkan.“Kamu tadi mau bilang apa?” tanya Bams memastikan.Naya bersiap mengelak, tetapi ternyata Bams lebih dulu menengok pada ponsel yang berdering.“Halo.” Bams menjawab panggilan dari anak buahnya yang berjaga di luar.“Ada mobil yang parkir di dekat rumah, mobil itu tampak mencurigakan karena seperti ada aktivitas di dalam,” ujar anak buah Bams dari seberang panggilan.Tatapan mata Bams menajam mendengar laporan anak buahnya. “Jangan bertindak gegabah. Aku akan mengeceknya langsung,” perintah Bams.Naya masih memperhatikan Bams, sebelum akhirnya pria itu mengakhiri panggilan.“Ada apa?” tanya Naya saat melihat ekspresi dingin di wajah Bams.“Tetaplah di dalam bersama Arlo, kunci pintu dan beritahu semua pelayan untuk tak keluar lebih dulu, jangan buka pintu jika bukan aku yang mengetuk!” perintah Bams.Naya langsung bisa menebak apa yang terjadi. Dia lantas mengangguk. Seumur hidup, baru kali ini Naya merasakan keteganga