Kakak semua, jangan lupa komentar dan ulasannya ya. Aku sangat butuh komen dan ulasan bintang 5 kalian biar makin semangat. Terima kasih
Alina menatap datar seseorang yang sekarang ada di hadapannya.“Seharusnya aku yang mengatakan itu,” balas Alina dengan nada suara dingin.Wanita di hadapan Alina malah tersenyum miring mendengar balasan Alina. “Kenapa kamu tidak menghilang saja?” Tatapan wanita itu terasa begitu membenci Alina.“Menghilang? Kenapa aku yang harus menghilang? Bukankah seharusnya itu kamu? Kamu orang yang selingkuh dan dengan kejam tidur dengan kekasih temanmu sendiri, sekarang kamu minta aku menghilang? Kamu waras, Marsha?”Alina tentunya takkan mengalah atau takut dengan Marsha, teman kuliah yang tega berkhianat dengan Bima.Alina ingin pergi mengabaikan Marsha, tetapi wanita itu menghalangi troli Alina, membuat Alina mendengkus kasar.“Gara-gara kamu, Bima meninggalkanku! Alina, Alina, dan Alina terus yang dia sebut!” bentak Marsha.Alina menatap malas, lalu membalas, “Aku tidak peduli.”Alina berusaha pergi, tetapi Marsha tetap menghalangi.“Bisakah kamu pergi dari kehidupan Bima? Jangan berpikir kam
Saat sore hari.Alina turun ke lantai bawah untuk membuang sampah. Dia keluar lift yang terbuka di basement karena tempat pembuangan sampah khusus penghuni ada di dekat sana.Belum sampai tempat pembuangan sampah, langkah Alina dihadang oleh Bima. Alina memutar bola mata malas melihat pria itu.“Kamu mau membuang sampah?” tanya Bima berbasa-basi.Alina tak menggubris pertanyaan Bima. Dia memilih berjalan melewati Bima. Namun, ia tidak tahu Bima tetap mengikutinya dari belakang, hingga membuat Alina terkejut saat memutar badan setelah membuang sampah dan melihat Bima yang sudah ada di hadapannya.“Apa pekerjaanmu sekarang menjadi penguntit?” tanya Alina dengan nada kesal.Akan tetapi, tanpa menanti balasan Bima, Alina memilih kembali melangkah untuk meninggalkan pria itu. Namun, baru beberapa langkah, Bima kembali menghadang jalan Alina.“Mau apa, sih?” tanya Alina sambil menatap kesal.“Siapa pria yang bersamamu tempo hari?” tanya Bima. Dia tidak akan puas sebelum mendapatkan jawaban y
Akhir pekan. Di rumah keluarga besar Aksa, kedua orang tua Aksa sedang bersiap untuk pergi makan siang bersama Alina dan Aksa. “Kenapa Aksa harus menikah dengan orang miskin, yang akhirnya membuat kita harus ikut bersandiwara?” tanya Sasmita, ibu Aksa, memprotes keputusan anaknya yang sama sekali tidak ditentang oleh suaminya. Sasmita masih keheranan, Aksa tampan dan berkarisma, tetapi kenapa malah mau menikah dengan wanita biasa dari kalangan yang entah seperti apa keluarganya. Ini membuat Sasmita tidak bisa menerima pernikahan putranya. “Tidak masalah dari kalangan mana wanita yang dinikahi Aksa, yang terpenting dia mau menikah,” jawab Mirza, ayah Aksa. Dia tahu betul kalau putranya itu susah sekali untuk serius menjalin hubungan dengan wanita, meski banyak rekan kerja yang ingin menjodohkan Aksa dengan putri-putri mereka, tetapi Aksa terus menolak. Jadi, ketika ibunya ingin menjodohkan Aksa dengan wanita pilihan ibunya, Mirza sama sekali tidak keberatan. Justru Mirza se
Aksa dan Alina berada di mobil menuju restoran. Alina duduk diam mengamati jalanan yang mereka lewati, lalu tiba-tiba menoleh pada Aksa ketika ingat akan sesuatu.“Apa kamu yakin kita akan makan di restoran itu?” tanya Alina, “aku tidak mau kamu keluar uang banyak hanya untuk sekadar makan siang,” imbuh Alina terlihat cemas.Bukan Alina pelit, dia hanya berpikir tak perlu makan mewah di restoran mahal, tetapi yang terpenting kebersamaannya.Aksa mengerutkan alis mendengar ucapan Alina. Dia menoleh pada istrinya itu sebelum kembali fokus pada jalanan di hadapannya.“Nenek yang mau,” jawab Aksa singkat, “jadi kamu tidak usah banyak berpikir.”Alina ingin mengatakan sesuatu, tetapi urung dan memilih diam. Lagi pula, jika Aksa sudah berkata demikian, membantah juga percuma.Setelah perjalanan memakan waktu beberapa menit akhirnya mereka sampai di restoran.Saat sampai di sana, ternyata Nenek Agni dan kedua orang tua Aksa juga baru saja datang.Nenek Agni langsung berjalan cepat menghampiri
Nenek Agni mengamati Alina dan Dani yang sama-sama terdiam, tentu saja dia tahu kondisi keduanya. Nenek Agni melihat Alina yang sedikit menunduk hingga membuat Nenek Agni tak senang dengan pertanyaan Sasmita. Dia menoleh pada menantunya. “Kedua orang tua mereka sudah meninggal,” jawab Nenek Agni.Semua orang terkejut karena justru Nenek Agni yang menjawab pertanyaan Sasmita.“Meski begitu, mereka ini hebat. Bisa kuliah sampai lulus, lalu bekerja dengan baik walaupun tanpa orang tua. Bukankah mereka perlu diberi apresiasi? Di luar sana banyak yang putus asa karena tidak punya orang tua, tapi Alina dan Dani sangat hebat bisa menjalani hidup bersama dan saling menguatkan menghadapi kehidupan yang sulit. Bukankah begitu?”Nenek Agni menggenggam telapak tangan Alina lagi dan menatap Alina hangat, menguatkan Alina agar tidak merasa sedih mengingat orang tuanya.Alina mengangguk sambil memulas senyum. Dia terharu karena Nenek Agni membelanya. Dulu Nenek Agni pernah bertanya-tanya soal oran
Alina sangat terkejut ketika melihat Sasmita ada di depan toilet. Alina mencoba tersenyum tetapi dibalas dengan tatapan datar dari mertuanya itu. Alina mendadak cemas, dia takut kalau Sasmita mendengar apa yang dikatakan Karin. Dia tidak ingin ada masalah dengan keluarga Aksa, tetapi melihat Sasmita yang diam menatapnya sekarang ini, mungkinkah mertuanya tidak mendengar perdebatannya dengan Karin? Jika mendengar, sudah pasti Sasmita akan mengamuk karena dihina Karin, bukan? “Mama mau ke toilet? Saya ke ruangan dulu,” ucap Alina dengan senyum canggung karena sikap Sasmita sangat berbeda daripada saat di ruangan tadi. Alina memberi jalan agar Sasmita bisa masuk toilet, dia sendiri hendak bergegas kembali, tetapi langkahnya terhenti karena Sasmita menghadangnya. Alina menatap bingung pada Sasmita, tetapi tidak berani bertanya. “Sebaiknya kamu jaga sikap selama menjadi istri Aksa,” ucap Sasmita penuh penekanan untuk memperingatkan Alina, dia menatap datar pada menantunya itu. Kedua
Di salah satu perusahaan milik RDJ Group, anak cabang perusahaan Aksa. Marsha dipanggil bagian HRD. “Mulai hari ini, kamu diberhentikan dari perusahaan. Kontrak kerjamu tinggal enam bulan, jadi kami akan memberikan kompensasi atas pemecatan yang dilakukan.” Marsha sangat syok mendengar ucapan kepala HRD. “Pak, Anda bercanda, ‘kan? Bukankah seharusnya saya mendapat perpanjangan kontrak, tapi kenapa malah dipecat?” tanya Marsha tak percaya. Pak Adi, kepala HRD, menatap Marsha lalu menggelengkan kepala. “Tidak sama sekali,” jawab pria berbadan gempal itu. “Ini surat pemecatanmu.” Marsha membaca surat pemecatan itu, lalu menatap pada Pak Adi lagi. “Ini tidak masuk akal. Kenapa tiba-tiba saya dipecat, saya merasa tidak melakukan kesalahan apa pun,” ucap Marsha membela diri, dia yakin ini hanya sebuah kesalahan. “Aku hanya menjalankan keputusan atasan.” Pak Adi tidak mau banyak berkomentar. “Atasan mana? Saya tidak terima dipecat seperti ini?!” tanya Marsha geram dan mulai naik pita
Saat siang hari.Di bahu jalan dekat butik Alina, ada mobil sport merah terparkir cukup lama di sana. Mobil itu milik Karissa, wanita itu duduk diam di mobil sambil memperhatikan butik Alina.Setelah memergoki Aksa bersama seorang wanita, Karissa langsung menyelidiki siapa wanita yang bersama Aksa itu. Semua informasi soal wanita itu sudah Karissa dapatkan.“Kenapa Kak Aksa mau bersama wanita miskin?” Karissa masih tidak terima tempo hari Aksa menggandeng tangan seorang wanita.Setelah melihat penampilan wanita itu yang sangat jauh berbeda dengan dirinya maupun Aksa, Karissa makin tak percaya jika Aksa mau dekat-dekat dengan wanita miskin itu.Wanita miskin itu tidak selevel dengan dirinya, bahkan dengan Aksa.Dari dalam mobil, tatapan Karissa terus tertuju ke butik. “Jangan-jangan wanita itu yang menggoda Kak Aksa. Apalagi kulihat Kak Aksa waktu itu terlihat tidak senang. Benar, sepertinya begitu, tidak akan kubiarkan jika dia berani merayu Kak Aksa.”Karissa larut dalam pikirannya s
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.