Jadwal upnya belum teratur sampai bab 32, semoga kalian sabar menunggu, apalagi jika aku belum up atau tidak up, hehehehe. Terima kasih yang tetap mengikuti kisah Alina dan Aksa. Sayang kalian. Kalau mau tanya-tanya soal buku ini, atau mau cerita cerita, bisa kunjungi aku di sosmed aku, ya. Ketik saja napenku di sana. Aililea, akan muncul akunku nantinya. Terima kasih.
Nenek Agni mengamati Alina dan Dani yang sama-sama terdiam, tentu saja dia tahu kondisi keduanya. Nenek Agni melihat Alina yang sedikit menunduk hingga membuat Nenek Agni tak senang dengan pertanyaan Sasmita. Dia menoleh pada menantunya. “Kedua orang tua mereka sudah meninggal,” jawab Nenek Agni.Semua orang terkejut karena justru Nenek Agni yang menjawab pertanyaan Sasmita.“Meski begitu, mereka ini hebat. Bisa kuliah sampai lulus, lalu bekerja dengan baik walaupun tanpa orang tua. Bukankah mereka perlu diberi apresiasi? Di luar sana banyak yang putus asa karena tidak punya orang tua, tapi Alina dan Dani sangat hebat bisa menjalani hidup bersama dan saling menguatkan menghadapi kehidupan yang sulit. Bukankah begitu?”Nenek Agni menggenggam telapak tangan Alina lagi dan menatap Alina hangat, menguatkan Alina agar tidak merasa sedih mengingat orang tuanya.Alina mengangguk sambil memulas senyum. Dia terharu karena Nenek Agni membelanya. Dulu Nenek Agni pernah bertanya-tanya soal oran
Alina sangat terkejut ketika melihat Sasmita ada di depan toilet. Alina mencoba tersenyum tetapi dibalas dengan tatapan datar dari mertuanya itu. Alina mendadak cemas, dia takut kalau Sasmita mendengar apa yang dikatakan Karin. Dia tidak ingin ada masalah dengan keluarga Aksa, tetapi melihat Sasmita yang diam menatapnya sekarang ini, mungkinkah mertuanya tidak mendengar perdebatannya dengan Karin? Jika mendengar, sudah pasti Sasmita akan mengamuk karena dihina Karin, bukan? “Mama mau ke toilet? Saya ke ruangan dulu,” ucap Alina dengan senyum canggung karena sikap Sasmita sangat berbeda daripada saat di ruangan tadi. Alina memberi jalan agar Sasmita bisa masuk toilet, dia sendiri hendak bergegas kembali, tetapi langkahnya terhenti karena Sasmita menghadangnya. Alina menatap bingung pada Sasmita, tetapi tidak berani bertanya. “Sebaiknya kamu jaga sikap selama menjadi istri Aksa,” ucap Sasmita penuh penekanan untuk memperingatkan Alina, dia menatap datar pada menantunya itu. Kedua
Di salah satu perusahaan milik RDJ Group, anak cabang perusahaan Aksa. Marsha dipanggil bagian HRD. “Mulai hari ini, kamu diberhentikan dari perusahaan. Kontrak kerjamu tinggal enam bulan, jadi kami akan memberikan kompensasi atas pemecatan yang dilakukan.” Marsha sangat syok mendengar ucapan kepala HRD. “Pak, Anda bercanda, ‘kan? Bukankah seharusnya saya mendapat perpanjangan kontrak, tapi kenapa malah dipecat?” tanya Marsha tak percaya. Pak Adi, kepala HRD, menatap Marsha lalu menggelengkan kepala. “Tidak sama sekali,” jawab pria berbadan gempal itu. “Ini surat pemecatanmu.” Marsha membaca surat pemecatan itu, lalu menatap pada Pak Adi lagi. “Ini tidak masuk akal. Kenapa tiba-tiba saya dipecat, saya merasa tidak melakukan kesalahan apa pun,” ucap Marsha membela diri, dia yakin ini hanya sebuah kesalahan. “Aku hanya menjalankan keputusan atasan.” Pak Adi tidak mau banyak berkomentar. “Atasan mana? Saya tidak terima dipecat seperti ini?!” tanya Marsha geram dan mulai naik pita
Saat siang hari.Di bahu jalan dekat butik Alina, ada mobil sport merah terparkir cukup lama di sana. Mobil itu milik Karissa, wanita itu duduk diam di mobil sambil memperhatikan butik Alina.Setelah memergoki Aksa bersama seorang wanita, Karissa langsung menyelidiki siapa wanita yang bersama Aksa itu. Semua informasi soal wanita itu sudah Karissa dapatkan.“Kenapa Kak Aksa mau bersama wanita miskin?” Karissa masih tidak terima tempo hari Aksa menggandeng tangan seorang wanita.Setelah melihat penampilan wanita itu yang sangat jauh berbeda dengan dirinya maupun Aksa, Karissa makin tak percaya jika Aksa mau dekat-dekat dengan wanita miskin itu.Wanita miskin itu tidak selevel dengan dirinya, bahkan dengan Aksa.Dari dalam mobil, tatapan Karissa terus tertuju ke butik. “Jangan-jangan wanita itu yang menggoda Kak Aksa. Apalagi kulihat Kak Aksa waktu itu terlihat tidak senang. Benar, sepertinya begitu, tidak akan kubiarkan jika dia berani merayu Kak Aksa.”Karissa larut dalam pikirannya s
Saat sore hari. Ilham sedang merapikan meja saat Aksa keluar dari ruangan dan sudah berganti kemeja polos biasa. “Anda sudah mau pulang, Pak?” tanya Ilham berbasa-basi. Aksa menatap datar pada Ilham. Bibir Ilham langsung tertutup rapat melihat tatapan Aksa. Bukankah seharusnya sudah tahu jawabannya, tetapi tetap saja Ilham iseng bertanya. Ilham langsung menyusul di belakang Aksa ketika melihat atasannya itu sudah berjalan lebih dulu menuju lift. “Untuk rapat besok, apa kamu sudah atur jadwalnya?” tanya Aksa sambil memasukkan satu tangan di saku celana ketika menunggu lift terbuka. “Sudah, Pak. Bahkan saya sudah memberitahu tempat dan waktunya pada asisten Pak Restu,” jawab Ilham karena Aksa dan klien bernama Pak Restu itu memang akan melakukan akad kerjasama. Aksa mengangguk mendengar penjelasan Ilham. Aksa dan Ilham turun ke basement bersama, lalu keduanya pulang secara terpisah. Jika dulu Aksa akan selalu pulang dikawal Ilham, tetapi sekarang jelas berbeda. ** Aks
Alina masih merasakan jantungnya berdegup dengan cepat. Bagaimana bisa dia tidak hati-hati sampai membahayakan keselamatannya. Jika tidak ada Aksa, mungkin Alina sekarang hanya bisa merintih di ranjang. Alina sedang memasak makan malam, tapi pikirannya terus membayangkan kejadian tadi. Mungkin bukan saat dirinya hampir jatuh, tetapi lebih pada saat Aksa menangkap dan menggendongnya.Wajah Alina mendadak panas. Dia buru-buru mematikan kompor karena menganggap api yang membuat wajahnya merona.“Apa yang kamu pikirkan?” Alina menggeleng pelan menyadarkan dirinya sendiri.Setelah menyiapkan makan malam. Alina memanggil Aksa seperti biasa tetapi kali ini dia kabur lebih dulu sebelum Aksa keluar dari kamar.Aksa keluar dari kamar setelah Alina memanggil. Dia melihat Alina yang berjalan setengah berlari menuju ruang makan, membuat dahinya berkerut melihat tingkah Alina.Aksa pergi ke ruang makan lalu menarik kursi yang berhadapan dengan Alina. “Makanlah, nanti makanannya keburu dingin,” uc
Alina baru saja selesai bersiap-siap untuk pergi ke butik seperti biasa. Saat baru saja keluar dari kamar, Alina berpapasan dengan Aksa yang berjalan dari arah dapur.Keduanya diam saling tatap, Alina kembali merasa canggung karena kejadian semalam ditambah pembahasan perkara uang belanja.Aksa menatap datar pada Alina, saat akan berjalan lebih dulu ke arah ruang tamu, Alina mencegah Aksa.“Dasimu kurang rapi,” ucap Alina.Aksa menurunkan pandangan dan baru menyadari jika yang dikatakan Alina benar.“Biar aku rapikan,” kata Alina lalu meraih dasi Aksa.Aksa melirik ke tangan Alina yang sedang merapikan ikatan dasinya. “Biasanya aku mengikat dasi Dani, karena istrinya tidak bisa mengikat dasi,” ucap Alina tiba-tiba teringat pada Dani.Aksa masih diam memperhatikan, lalu Alina menjauhkan tangan setelah selesai.“Sudah,” ucap Alina, “soal uang belanja, akan kugunakan sebaik mungkin, walaupun tidak aku pakai, setidaknya bisa ditabung. Jadi jangan merasa kesal,” ujar Alina lagi lalu terse
Selama perjalanan ke butik. Aksa dan Alina sama-sama diam.Sesekali Alina melirik pada Aksa yang fokus menyetir. Alina sendiri bingung dan mendadak merasa bersalah karena Aksa tidak senang setiap kali bertemu Bima.Ya, Alina sadar diri jika sudah tak lajang, ditatap oleh pria lain tentu bisa membuat pasangannya kesal. Tetapi, memangnya Aksa menganggapnya benar-benar istri? Mereka hanya tinggal bersama, bukan hidup bersama, kan? Mereka tak mencampuri urusan satu sama lain, bahkan mungkin jika ada wanita yang mendekati Aksa, Alina juga akan diam. Lalu, kenapa Aksa harus sekesal itu pada Bima? Padahal Alina tidak melakukan apa-apa.Akhirnya mobil Aksa sampai di depan butik. Alina turun dari mobil, tetapi sebelum pergi dia sempat membungkuk agar bisa memandang Aksa yang ada di dalam.“Nanti sore mau makan apa? Aku akan memasaknya sebelum kamu pulang?” tanya Alina hanya sekadar untuk mencairkan suasana, mengalah agar apa pun yang membuat Aksa kesal bisa segera hilang.Aksa tak menjawab per
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.
Jia dan Daniel saling pandang, sampai akhirnya Jia tersenyum lalu mengambil cangkir kopi untuk Daniel dan memberikan pada pria itu.“Minumlah,” ucap Jia.Daniel mengangguk. Dia menyesap kopi buatan Jia.Jia menatap pada Daniel yang sedang minum, hingga terbesit pertanyaan yang membuatnya penasaran.“Dan, kita sudah menjadi suami-istri, apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Jia.Daniel baru saja selesai minum. Dia menatap pada Jia, lalu meletakkan cangkir di meja.“Tanya saja,” jawab Daniel.“Jangan tersinggung, ya. Aku hanya mau tanya tanpa bermaksud apa-apa,” ujar Jia.Daniel mengangguk-angguk.“Apa penyebab kamu mandul?” tanya Jia dengan sangat hati-hati.Daniel terkejut mendengar pertanyaan Jia, tetapi dia sudah berjanji untuk menjawab.“Itu karena sperma yang dihasilkan tidak bagus, bahkan terlalu sedikit,” jawab Daniel dengan senyum getir di wajah.Jia melihat Daniel yang malu, mungkin karena jawaban itu sangat pribadi untuk Daniel. Namun, mereka sudah suami istri, sudah sewajar
Acara pernikahan Jia dan Daniel diadakan sederhana bersama keluarga. “Mama, dedeknya kok belum bisa main baleng? Kan sudah besal ini?” tanya Arlo seraya menunjuk pada anak Kaira.Alina dan Kaira menoleh bersamaan mendengar suara aduan Arlo. Mereka memandang pada anak Kaira yang ada di stroller.“Dek Disya belum bisa kalau lari-lari, terus sekarang Dek Disya ngantuk. Tuh lagi minum susu,” ujar Kaira menjelaskan karena putrinya anteng seraya minum susu dari dot.“Ah, nggak asyik. Padahal Alo mau main sama dedek. Nanti kalau dedeknya Alo kelual, pokoknya halus main, nggak boleh bobok.” Setelah mengatakan itu, Arlo berlari menyusul Anya yang sedang bermain ayunan.Alina dan Kaira sampai terkejut bersamaan, dua wanita itu sampai menggeleng pelan dengan tingkah Arlo.“Lama-lama sifat anak itu seperti ayahnya. Kalau menginginkan sesuatu, harus didapat. Keras kepala dan susah sekali diaturnya,” ucap Kaira.“Nunggu punya pawang,” balas Alina.“Dih, sekecil itu. Kayaknya kamu harus ekstra saba
Saat malam hari. Arlo berada di kamar bersama Alina dan Aksa. Alina memang selalu berusaha menemani Arlo sebelum tidur, agar putranya tidak merasa kesepian atau terabaikan.“Ini dedeknya?” tanya Arlo saat melihat foto USG yang Alina berikan.“Iya,” jawab Alina.“Kok kecil sekali?” tanya Arlo seraya mengamati foto USG itu.Aksa dan Alina menahan senyum.“Iya, kan masih di dalam perut. Kalau nanti sudah keluar, dedeknya bisa besar kayak Arlo,” jawab Alina menjelaskan.Arlo mengangguk-angguk. Lalu tangan mungilnya menyentuh perut Alina.“Dedek cepat keluar, ya. Biar bisa main sama Alo.” Setelah mengatakan itu, Arlo mencium perut Alina.Alina dan Aksa saling pandang dengan seulas senyum di wajah. Mereka bersyukur karena Arlo menerima kehamilan itu dan tidak iri sama sekali.“Sekarang tidur, ya.” Alina menarik selimut. Dia dan Aksa mau berbaring di samping Arlo.“Alo mau bobok sendili,” ucap Arlo.Alina terkejut, tetapi menjelaskan, “Iya, nanti bobok sendiri. Sekarang biarkan mama dan Papa
Aksa mengantar Alina ke rumah sakit. Dia memang meluangkan waktu menemani Alina memeriksakan kandungan karena tak mau melewatkan momen melihat tumbuh kembang calon bayi mereka.“Janinnya tumbuh sangat baik. Berat dan ukurannya sangat pas dengan usianya, jenis kelaminnya--” Dokter ingin menyebutkan jenis kelamin janin Alina, tetapi langsung dicegah.“Jangan sebutkan, Dok. Biar menjadi kejutan,” potong Alina.“Padahal aku mau tahu, Al.” Aksa sudah semangat menunggu, tetapi Alina malah menolak.“Tidak usah, pokoknya biar kejutan,” kekeh Alina.Aksa melirik pada dokter yang tersenyum.“Baiklah, saya tidak akan menyebutkan jenis kelaminnya,” ujar dokter itu.Aksa menatap kecewa pada Alina, padahal dia sudah sangat antusias.Alina hanya menahan senyum melihat suaminya kecewa.“Ingat ya, Bu Alina. Makan apa pun yang Anda mau, tidak usah memantang apa pun, selama yang dimakan bagus untuk pertumbuhan janin. Mungkin makanan kemasan, beralkohol, dan fast food saja yang saya larang,” ujar dokter p
Aksa mengusap perut Alina yang lumayan besar. Seperti sudah menjadi rutinitasnya setiap malam harus menyentuh perut sang istri sebelum dia beristirahat.“Jam berapa ini? Kamu baru mau tidur?” Alina terbangun karena sentuhan Aksa.Alina sudah tidur lebih dulu karena Aksa berkata ingin menyelesaikan pekerjaan.“Tidurlah lagi, maaf kalau mengganggumu,” ucap Aksa lalu membetulkan selimut untuk menutupi tubuh Alina.Alina merangsek ke pelukan saat Aksa sudah berbaring. Dia memeluk suaminya meski sekarang terhalang perut yang agak besar.“Jangan terlalu capek bekerja, Aksa. Aku tidak mau punya suami dengan tampang tua, mata cekung karena kebanyakan begadang, padahal anak-anaknya masih kecil,” seloroh Alina seraya memejamkan mata.Aksa menahan tawa. Ada saja ucapan istrinya ini yang mampu membuat semua rasa lelah dan beban pikirannya hilang.“Tenang saja, aku akan perawatan melebihimu kalau sampai terlihat tua,” balas Aksa seraya memeluk Alina, tak lupa kecupan hangat juga didaratkan di keni
Beberapa minggu waktu berjalan dengan cepat. Alina berada di studionya sedang mempersiapkan untuk fitting gaun Jia. Alina sudah memiliki studionya sendiri di tengah kota, dia juga mempekerjakan beberapa karyawan studio juga penjahit untuk membantunya.“Mama.” Arlo datang dan langsung berlari menghampiri Alina.Arlo baru saja pulang sekolah dijemput Jia sekalian.“Daniel belum datang?” tanya Jia.“Belum, dia bilang ada rapat dadakan, jadi mungkin akan terlambat datang,” jawab Alina.Jia mengangguk-angguk paham.“Mau mulai sekarang?” tanya Alina.Jia mengangguk. Dia ikut Alina masuk ke ruang fitting gaun, sedangkan anak-anak bermain di playground yang memang disiapkan di salah satu ruangan di studio itu.“Perutmu sudah kelihatan besar,” kata Jia.Alina melirik ke perutnya, lalu membalas, “Iya, sudah dua puluh minggu juga, kan.”Alina memberikan gaun yang dirancangnya tetapi belum selesai sempurna karena masih butuh pendapat Jia.Jia mengganti bajunya, lalu setelahnya dia berdiri di dep
Siang itu Mirza dan Sasmita datang ke kamar inap Nenek Agni setelah menemui dokter. Mereka berkumpul untuk membahas soal kondisi Nenek Agni.“Kami sudah berkonsultasi dengan dokter fisioterapi untuk pemulihan kondisi Mama agar lekas sembuh mengingat ada pergeseran tulang di punggung,” ujar Mirza.“Mama harus sembuh dan sehat seperti sedia kala,” timpal Sasmita.Nenek Agni menatap bergantian pada Aksa dan yang lain, lalu membalas, “Tentu saja aku harus sembuh. Aku masih mau melihat cicit keduaku.”Mirza dan Sasmita terkesiap, mereka secara spontan langsung menatap pada Alina.Alina tersenyum kecil, lalu berkata, “Aku sedang hamil, Ma, Pa.”Sasmita langsung menghampiri Alina, bahkan memeluk wanita itu dengan penuh rasa bahagia.“Selamat, ya. Mama sangat senang mendengarnya,” ucap Sasmita seraya mengusap punggung Alina.“Terima kasih, Ma. Doakan aku sehat sampai melahirkan,” balas Alina.“Tentu, tentu saja.” Sasmita melepas pelukan, senyum kabahagiaan tak bisa disembunyikan dari wajahnya
Aksa masih terjaga setelah meminta Alina untuk istirahat lebih dulu. Dia tidak bisa tenang sampai melihat Nenek Agni bangun. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Aksa melihat Nenek Agni mulai membuka mata.“Nek.” Aksa berdiri dari duduknya, lalu menunggu Nenek Agni membuka mata dengan sempurna.“Kamu di sini,” ucap Nenek Agni dengan suara lemah.Aksa menggenggam tangan Nenek Agni agar merasakan keberadaannya karena kelopak mata wanita tua itu belum terbuka sempurna.“Iya, aku di sini.”Nenek Agni mengembuskan napas panjang. Dia mencoba menatap pada Aksa, sampai akhirnya melihat wajah sang cucu.“Bagaimana bisa Nenek jatuh?” tanya Aksa mencoba mengajak bicara agar sang nenek bisa sadar sepenuhnya.Aksa melihat Nenek Agni meringis kesakitan saat akan bergerak, membuat Aksa mencegah agar Nenek Agni tidak menggerakkan tubuh lebih dulu.“Mau kupanggilkan dokter?” tanya Aksa.Nenek Agni menggeleng. Wanita tua itu akhirnya hanya terlentang karena punggungnya sakit.“Nenekmu ini sudah sanga