Alina baru saja selesai bersiap-siap untuk pergi ke butik seperti biasa. Saat baru saja keluar dari kamar, Alina berpapasan dengan Aksa yang berjalan dari arah dapur.Keduanya diam saling tatap, Alina kembali merasa canggung karena kejadian semalam ditambah pembahasan perkara uang belanja.Aksa menatap datar pada Alina, saat akan berjalan lebih dulu ke arah ruang tamu, Alina mencegah Aksa.“Dasimu kurang rapi,” ucap Alina.Aksa menurunkan pandangan dan baru menyadari jika yang dikatakan Alina benar.“Biar aku rapikan,” kata Alina lalu meraih dasi Aksa.Aksa melirik ke tangan Alina yang sedang merapikan ikatan dasinya. “Biasanya aku mengikat dasi Dani, karena istrinya tidak bisa mengikat dasi,” ucap Alina tiba-tiba teringat pada Dani.Aksa masih diam memperhatikan, lalu Alina menjauhkan tangan setelah selesai.“Sudah,” ucap Alina, “soal uang belanja, akan kugunakan sebaik mungkin, walaupun tidak aku pakai, setidaknya bisa ditabung. Jadi jangan merasa kesal,” ujar Alina lagi lalu terse
Selama perjalanan ke butik. Aksa dan Alina sama-sama diam.Sesekali Alina melirik pada Aksa yang fokus menyetir. Alina sendiri bingung dan mendadak merasa bersalah karena Aksa tidak senang setiap kali bertemu Bima.Ya, Alina sadar diri jika sudah tak lajang, ditatap oleh pria lain tentu bisa membuat pasangannya kesal. Tetapi, memangnya Aksa menganggapnya benar-benar istri? Mereka hanya tinggal bersama, bukan hidup bersama, kan? Mereka tak mencampuri urusan satu sama lain, bahkan mungkin jika ada wanita yang mendekati Aksa, Alina juga akan diam. Lalu, kenapa Aksa harus sekesal itu pada Bima? Padahal Alina tidak melakukan apa-apa.Akhirnya mobil Aksa sampai di depan butik. Alina turun dari mobil, tetapi sebelum pergi dia sempat membungkuk agar bisa memandang Aksa yang ada di dalam.“Nanti sore mau makan apa? Aku akan memasaknya sebelum kamu pulang?” tanya Alina hanya sekadar untuk mencairkan suasana, mengalah agar apa pun yang membuat Aksa kesal bisa segera hilang.Aksa tak menjawab per
[Nenek Agni bilang kalau sore ini mau datang untuk makan malam di apartemen. Bagaimana dengan kasur di ruang televisi, tidak mungkin ‘kan dibiarkan di sana, kalau Nenek Agni lihat, pasti akan jadi masalah.] Aksa buru-buru mengganti pakaiannya seperti tadi pagi setelah membaca pesan dari Alina, lalu keluar dari ruang kerja untuk segera pulang. “Anda mau ke mana?” tanya Ilham terkejut melihat Aksa pergi. Ilham panik karena Aksa tidak menjawab, mereka setelah ini ada janji bertemu Pak Restu, tetapi Aksa malah pergi dulu. “Aku harus kasih alasan apa pada Pak Restu?” Ilham menggaruk kepala karena bingung. ** Aksa meninggalkan perusahaan, tetapi sebelum pulang dia menjemput Alina di butik. Istrinya itu sudah menunggu di depan, sehingga saat Aksa datang, Alina langsung masuk mobil. “Apa pekerjaanmu sedang banyak? Maaf kalau menghubungi dadakan, karena aku juga bingung,” ucap Alina sambil memasang sabuk pengaman. Aksa menatap Alina yang meminta maaf kepadanya, padahal itu bukan salah
Alina sibuk memasak lalu menghidangkan makanan di meja. Dia juga membersihkan seluruh ruangan secepat kilat tanpa bantuan siapa pun, bahkan Aksa.Aksa hanya melihat Alina yang sangat sibuk. Dia bertanya-tanya, bagaimana bisa Alina mengerjakan itu semua tanpa mengeluh sama sekali?“Akhirnya selesai,” ucap Alina begitu lega ketika melihat ruang makan hingga televisi bersih. Bahkan semua barang tertata rapi.Alina menoleh pada Aksa yang sejak tadi diam. Dia tidak meminta bantuan atau protes ketika suaminya itu hanya diam dan tak menawarkan diri untuk membantunya.“Apa menurutmu kita butuh tambahan buah? Kita hanya punya jeruk di rumah,” kata Alina saat mengecek ulang makanan yang ada di meja makan.“Tidak usah,” balas Aksa.Alina menoleh pada Aksa.“Nenek tidak makan buah banyak, lagi pula yang datang hanya dia, tidak perlu menyiapkan sesuatu secara berlebihan,” ujar Aksa dengan tatapan datarnya seperti biasa.Alina diam. Dia hanya ingin memberikan yang terbaik, apalagi ini pertama kalin
Di unit apartemen Bima. Pria itu baru saja selesai mandi ketika mendengar suara bel pintu depan. Bima berjalan menuju pintu sambil mengusap rambut yang masih basah menggunakan handuk kecil, lalu saat melihat pada layar interkom, ekspresi wajah Bima berubah. Bima menatap tak senang saat melihat Marsha datang. Dia tidak ingin membuka, tetapi Marsha terus menekan bel yang bisa membuat tetangga apartemennya terganggu. Akhirnya Bima terpaksa membuka pintu.“Mau apa kamu ke sini?” tanya Bima sambil memasang wajah datar.Bukannya menjawab pertanyaan Bima, Marsha malah masuk begitu saja melewati pria itu.“Aku membawa makanan untukmu,” ucap Marsha saat sudah masuk apartemen Bima. Dia memang sering datang meski Bima mengabaikan.Bima sangat terkejut, tetapi tidak bisa mengelak.Marsha masuk dapur lalu mengambil piring dan membuka pembungkus makanan yang dibawanya.“Sudah kubilang jangan ke sini lagi,” ucap Bima sambil menatap Marsha yang sibuk sendiri.Marsha tak menggubris ucapan Bima, tetapi
Keesokan harinya. Aksa berangkat ke kantor seperti biasa. Dia baru saja masuk ruangan bersama Ilham yang siap membacakan jadwal Aksa hari ini.“Nanti jadwal bertemu dokter pukul dua siang,” kata Ilham sambil melihat jadwal Aksa. “Dokter? Dokter apa?” tanya Aksa dengan dahi berkerut.“Dokter psikolog, Pak,” jawab Ilham dengan ekspresi bingung mendengar pertanyaan Aksa.“Kenapa aku harus ke dokter psikolog?” tanya Aksa lagi.Ilham kaget mendengar pertanyaan Aksa.“Kemarin Anda minta untuk dijadwalkan bertemu dokter psikolog,” jawab Ilham. Ekspresi wajahnya benar-benar tidak bisa menyembunyikan kebingungannya saat ini.“Tidak jadi, aku sibuk.” Aksa membuka berkas di meja setelah membalas ucapan Ilham.Ilham melongo. Dia pusing memikirkan apa yang sebenarnya Aksa mau. Dulu tidak serumit ini, kenapa setelah menikah pemikiran atasannya itu semakin sulit ditebak.“Kenapa tidak jadi?” tanya Ilham masih belum puas dengan penjelasan Aksa.Aksa memandang pada Ilham.“Memangnya kamu pikir aku sa
“Buat apa dia tanya nomorku? Apa kamu kasih?” tanya Alina yang sangat terkejut.“Aku masih waras, buat apa kasih nomormu ke pria macam itu,” balas Kaira dengan santainya, “lagian kamu sudah bersuami, dan Kevin tahu itu. Aku juga heran kenapa dia masih minta nomormu,” imbuh Kaira.Alina lega. Dia juga tahu kalau Kaira tidak mungkin memberikan nomor ponselnya ke sembarang orang. Alina kembali makan, lalu teringat pada Marsha.“Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan Marsha,” ucap Alina yang belum sempat menceritakan itu ke Kaira.Kaira sangat terkejut sampai menegakkan badan. Dia langsung kesal mendengar nama Marsha.“Buat apa kamu bertemu Marsha?” tanya Kaira memasang wajah sebal jika ingat kelakuan Marsha pada Alina.“Aku tidak sengaja bertemu dengannya,” jawab Alina, “dia masih saja seperti dulu, suka sekali menindasku setelah ketahuan tidur dengan Bima,” ujar Alina lagi.“Orang kayak Marsha, mana punya muka buat malu dan sadar diri. Dia menindasmu karena tak ingin ditindas sebab dia
Tatapan mata Aksa terlihat dingin, tampak jelas jika pria itu tak senang dengan pertanyaan sang istri.Alina menyadari tatapan Aksa yang berubah, sehingga dia buru-buru menjelaskan.“Kamu jangan salah paham. Temanku yang tanya karena penasaran, bukan aku,” ujar Alina agar Aksa tidak salah paham. “Ingat Kaira, kan? Nah, dia yang tanya nama temanmu itu,” imbuh Alina lagi agar Aksa tidak berpikiran yang macam-macam.Aksa masih diam mendengarkan penjelasan Alina, sampai akhirnya dia menjawab, “Ilham.”“Heh?” Alina terkejut karena Aksa menyebut nama tetapi samar-samar.“Namanya Ilham. Dia ….” Aksa hampir menyebut Ilham asistennya, tetapi untungnya langsung sadar da
Aksa pulang agak larut. Dia menaiki anak tangga dengan rasa lelah yang begitu kentara di wajah. Saat masuk kamar sambil melonggarkan dasi, Aksa terkejut melihat Arlo belum tidur.Putranya duduk di atas ranjang menunggu Aksa pulang sambil melipat kedua tangan di depan dada, Arlo memasang wajah masam.“Ini sudah malam, kenapa belum tidur?” tanya Aksa sambil menghampiri Arlo.“Papa bohong,” amuk Arlo lalu memanyunkan bibir.Aksa menghela napas panjang. Dia tahu putranya merajuk sehingga Aksa segera mengangkat tubuh Arlo lalu memangkunya.“Katanya mau pulang cepat, kok malam?” Arlo semakin bersidekap dan memanyunkan bibir.“Maaf, kerjaan papa sangat banyak jadi harus lembur,” jawab Aksa sambil memeluk erat Arlo. Dia mencium kepala putranya itu sebagai tanda sayangnya.Meski Arlo sering merajuk kalau Aksa pulang larut, tetapi hal ini malah tidak membuat Aksa kesal. Dia malah merasa kalau seperti sedang diposesifin oleh putra sendiri sebagai ganti istrinya.“Besok, Alo mau ikut kelja, Alo n
Waktu cepat berlalu, tanpa terasa semua terlewati begitu saja. Hidup memang harus tetap berjalan dan di sinilah mereka pada akhirnya harus menjalani hari dengan kurangnya kasih sayang.Aksa masih tertidur pulas karena semalam harus begadang mengecek beberapa berkas. Dia masih hanyut dalam mimpi indah ketika mendengar suara bising dari luar.“Tuan kecil, jangan lari-larian!”“Mandiin bibi saja, ya.”“Nggak mau!”Terdengar suara pintu ditutup keras, langkah kaki kecil itu terdengar mendekat, sampai akhirnya ada pergerakan di ranjang yang membuat Aksa mengerutkan kening.Arlo Radjasa, bocah berumur tiga tahun itu naik ke ranjang lalu duduk di atas perut sang papa setelah berhasil menghindari kejaran pelayan yang ingin memandikannya. Arlo duduk diam sambil menunggu ayahnya membuka mata.Aksa menghela napas berat. Dia membuka mata dan melihat sang putra sudah duduk di atas perutnya.“Kenapa belum mandi?” tanya Aksa.Arlo hanya menggeleng sambil memasang wajah cemberut.Aksa menghela napas
Aksa masih di rumah sakit menunggu bayinya. Saat dia masih menunggu di luar karena jam jenguk bayi sudah habis, seorang perawat datang menghampiri Aksa.“Sore, Pak.”Aksa mengangguk membalas sapaan perawat.“Dokter sudah memberikan informasi kalau besok bayi Anda sudah diperbolehkan pulang. Karena ibunya meninggal, mungkin Anda harus mencari ibu susu, tidak harus menyusui langsung, tapi Anda bisa meminta stok ASI berlebih dari si ibu menyusui untuk putra Anda demi kesehatannya,” ujar perawat menjelaskan.“Apa itu baik? Kita tidak tahu apakah ASI yang dihasilkan bagus,” ujar Aksa ragu.“Sebenarnya kami punya usulan. Wanita ini baru saja melahirkan bayi laki-laki juga, jadi sepertinya tidak masalah jika Anda memakai ASI wanita itu untuk bayi Anda. Soal gizinya, Anda boleh ikut memantau asupan gizi wanita itu agar yakin, tentu dengan kesepakatan bersama juga,” ujar perawat memberi usul.Aksa mengangguk-angguk paham, lalu bertanya, “Apa rumah sakit bisa membantu menjadi perantara?”“Tentu
Dani memasukkan semua barangnya ke bagasi mobil dibantu Rizki. “Apa semuanya sudah kamu bawa?” tanya Restu memastikan saat Rizki menutup bagasi mobil.“Sudah, Paman. Aku hanya membawa barang-barang pentingku, selebihnya biar diurus pihak kebersihan. Kunci apartemen juga sudah aku titipkan pada Bams,” jawab Dani.Restu menepuk-nepuk punggung Dani, lalu berkata, “Semua akan baik-baik saja setelah ini. Ingatlah namamu sekarang sebagai Daniel Januarta.”Dani mengangguk-angguk.“Ayo!” ajak Restu agar mereka segera masuk mobil.Dani masuk mobil bersama Restu. Dia tidak menyangka pada akhirnya akan meninggalkan kota tempatnya tumbuh dengan susah dan senang bersama sang kakak.“Semua sudah aku atur, kamu tidak perlu mencemaskan apa pun lagi,” ucap Restu saat melihat Dani hanya diam.Dani menoleh pada Restu, lalu mengangguk. “Terima kasih, meski Paman datang terlambat. Tapi aku bersyukur memiliki Paman.”“Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah terlambat tujuh belas tahun menemukan kalian
Hari itu langit tampak gelap dan terlihat begitu suram. Kabar meninggalnya Alina langsung diketahui banyak orang, sehingga beberapa rekan bisnis dan klien datang ke pemakaman untuk ikut berbela sungkawa. Jenazah itu langsung dimakamkan atas permintaan Dani, tanpa disemayamkan lebih dulu di rumah untuk menghindari perdebatan antara Aksa dan Dani.Aksa diam selama prosesi pemakaman berlangsung. Dia terus memandang pada liang-lahat yang menjadi pembaringan terakhir istrinya. Sampai detik ini, Aksa masih tidak percaya kalau istrinya sudah tiada, hatinya menolak itu.“Aku turut berduka cita,” ucap Restu menemui Aksa setelah prosesi pemakaman selesai. Dia menatap wajah pucat Aksa yang tidak kentara jika tak diperhatikan dengan seksama.Aksa mengangguk, tidak ada yang tahu bagaimana tatapan matanya sekarang karena tertutup kacamata hitam.“Bagaimana dengan bayimu?” tanya Restu.“Masih di rumah sakit karena masih mendapat perawatan intensif. Terima kasih Anda berkenan datang kemari,” jawab Ak
Dokter menatap simpati pada semua orang yang sudah menunggu kabar darinya. Dalam sekali helaan napas dokter itu berucap, “Kami sudah berusaha sebisa kami, tapi maaf Bu Alina tidak selamat karena kehilangan banyak darah.”Dani mundur saat mendengar penjelasan dokter.Aksa begitu syok, sampai mencengkram baju dokter yang baru saja memberikan informasi tentang Alina.“Jangan membohongi kami. Dia tidak mungkin meninggal!” Aksa tidak bisa menerima begitu saja.Dani geram dengan sikap Aksa. Dia menarik lengan Aksa sampai melepas cengkraman dari dokter, lalu dalam sekali ayunan dia memukul wajah Aksa.Aksa terhuyung karena mendapat pukulan cukup keras dari Dani.“Semua salahmu! Kakakku pergi karenamu!” amuk Dani.Bams langsung menengahi agar tidak terjadi perkelahian di sana.Nenek Agni pingsan saat mendengar Alina meninggal. Mirza sampai menopang tubuh sang mama lalu mencoba membaringkan ke kursi selasar di sana.Semua orang di sana benar-benar terkejut dan terpukul, termasuk Sasmita yang m
Aksa menunggu dengan cemas di depan ruang operasi. Dia terus menatap ke pintu ruang operasi karena pikirannya sangat tidak tenang dan takut jika terjadi sesuatu pada Alina.“Bu Alina pasti baik-baik saja, Pak.” Bams mencoba menenangkan karena wajah Aksa begitu pucat.Aksa tak membalas ucapan Bams. Pikirannya terasa begitu kosong karena kecemasan yang sedang melandanya.Nenek Agni, Sasmita, dan Mirza datang begitu mendapat kabar soal Alina. Nenek Agni terlihat sangat panik saat melihat Aksa berdiri di depan ruang operasi.“Bagaimana kondisi Alina?” tanya Nenek Agni.Nenek Agni melihat Aksa yang hanya diam. Dia akhirnya menoleh pada Bams.“Apa sudah ada kabar dari dokter?” tanya Mirza pada Bams.“Bu Alina mengalami kontraksi dan ada pembukaan meski kehamilannya baru tujuh bulan. Dia juga mengalami beberapa masalah kesehatan, sehingga dokter mengambil keputusan untuk dilakukan cesar demi keselamatan bayi dan ibunya,” ujar Bams yang menjelaskan.Nenek Agni sangat terkejut. Dia ingin memar
Hari itu. Aksa pergi ke kamar untuk bicara dengan Alina. Dia melihat Alina yang hanya duduk di atas ranjang dengan tatapan tertuju ke jendela.“Bagaimana kondisimu hari ini?” tanya Aksa mencoba mengajak Alina bicara setelah sekian lama mereka diam.Siang ini Alina sudah lebih tenang dari biasanya, sehingga Aksa memberanikan diri menemui dan berinteraksi dengan Alina.Namun, saat Aksa duduk di kursi yang berhadapan dengan Alina, tatapan istrinya begitu dingin padanya. “Apa kamu masih tidak mau mempertimbangkan hubungan kita? Setidaknya pikirkan anak kita,” ucap Aksa mencoba kembali membujuk.Alina tidak menjawab. Dia menatap lurus ke depan, memandang kosong pada sesuatu yang tak bisa dilihatnya, kebebasan.Aksa mengepalkan erat telapak tangan. Dia ingin memaksa Alina menerima karena bagaimanapun dia tidak akan melepaskan Alina. Namun, dia masih menyadari, kondisi Alina tidak memungkinkan untuk terus ditekan, membuat Aksa memilih pergi dari kamar itu.Setelah Aksa pergi, bulir kristal
Restu sedang berada di ruang rapat bersama Aksa untuk membahas bisnis. Restu tetap melakukan kerjasama karena bagaimanapun Aksa belum tahu siapa dirinya.Saat sedang mendengarkan penjelasan dari staff Aksa, Restu mendapat pesan dari dokter yang memerika Alina.[Saya sudah menyampaikan pesan Anda pada Bu Alina.][Dia juga menitip pesan untuk Anda, Bu Alina berkata jika dia akan menunggu sampai melahirkan, tapi setelahnya ingin bebas bahkan jika perlu jauh dari Pak Aksa agar suaminya kehilangan dia sebagai balasan atas semua yang didapatnya. Dia ingin pergi jauh dari kehidupan Pak Aksa.]Restu diam sejenak membaca pesan itu, lalu kembali menatap pada Aksa yang duduk di seberangnya. Sebagai seorang paman, tentunya dia ingin yang terbaik untuk Alina dan tidak ingin rumah tangga Alina hancur. Namun, jika Alina sudah bertekad kuat, Restu juga tidak bisa berbuat apa-apa.Meski begitu, Restu menunggu sampai Alina melahirkan dan melihat apakah Alina berubah pikiran atau tidak.**Di rumah Nene