“Buat apa dia tanya nomorku? Apa kamu kasih?” tanya Alina yang sangat terkejut.“Aku masih waras, buat apa kasih nomormu ke pria macam itu,” balas Kaira dengan santainya, “lagian kamu sudah bersuami, dan Kevin tahu itu. Aku juga heran kenapa dia masih minta nomormu,” imbuh Kaira.Alina lega. Dia juga tahu kalau Kaira tidak mungkin memberikan nomor ponselnya ke sembarang orang. Alina kembali makan, lalu teringat pada Marsha.“Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan Marsha,” ucap Alina yang belum sempat menceritakan itu ke Kaira.Kaira sangat terkejut sampai menegakkan badan. Dia langsung kesal mendengar nama Marsha.“Buat apa kamu bertemu Marsha?” tanya Kaira memasang wajah sebal jika ingat kelakuan Marsha pada Alina.“Aku tidak sengaja bertemu dengannya,” jawab Alina, “dia masih saja seperti dulu, suka sekali menindasku setelah ketahuan tidur dengan Bima,” ujar Alina lagi.“Orang kayak Marsha, mana punya muka buat malu dan sadar diri. Dia menindasmu karena tak ingin ditindas sebab dia
Tatapan mata Aksa terlihat dingin, tampak jelas jika pria itu tak senang dengan pertanyaan sang istri.Alina menyadari tatapan Aksa yang berubah, sehingga dia buru-buru menjelaskan.“Kamu jangan salah paham. Temanku yang tanya karena penasaran, bukan aku,” ujar Alina agar Aksa tidak salah paham. “Ingat Kaira, kan? Nah, dia yang tanya nama temanmu itu,” imbuh Alina lagi agar Aksa tidak berpikiran yang macam-macam.Aksa masih diam mendengarkan penjelasan Alina, sampai akhirnya dia menjawab, “Ilham.”“Heh?” Alina terkejut karena Aksa menyebut nama tetapi samar-samar.“Namanya Ilham. Dia ….” Aksa hampir menyebut Ilham asistennya, tetapi untungnya langsung sadar da
Aksa berdiri di depan pintu unit apartemen. Sesekali menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Dia ternyata menyuruh Ilham untuk membelikan pembalut karena sangat mustahil dia mau pergi sendiri, meskipun ada minimarket di lantai bawah gedung ituTak beberapa lama kemudian. Ilham datang membawa kantong kresek hitam di tangan kirinya. Dia datang dengan wajah masam karena merasa dikerjai oleh atasannya itu.“Di bawah ada minimarket, kenapa Anda malah menyuruh saya yang sangat jauh di ujung sana suruh membeli barang beginian?” tanya Ilham memprotes perintah atasannya itu.Aksa hanya menatap datar mendengar keluhan Ilham.“Anda bisa membayangkan betapa malunya saya? Saya sampai dilihatin para gadis saat memandang benda itu. Belum lagi karyawannya
Alina memandang pada Aksa yang berdiri di dekat pintu. Perutnya sakit karena datang bulan, tetapi dia tidak mengatakannya ke Aksa karena tak mau merepotkan lagi seperti semalam.“Hari ini aku mau istirahat saja di rumah,” ucap Alina dengan suara lemas.Aksa tak membalas ucapan Alina. Dia hendak pergi, tetapi langkahnya terhenti lagi dan menoleh Alina.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Aksa karena merasa sikap Alina aneh.“Iya, aku baik,” jawab Alina, “hanya perutku saja sakit karena menstruasi, jadi kamu jangan cemas,” imbuh Alina meyakinkan meski jujur soal perutnya. Lagi pula Aksa tidak akan paham dengan yang dia rasakan, kan?Cemas? Kenapa Alina berpikir kalau Aksa cemas? Aksa merasa jika Alina besar kepala dan menganggapnya perhatian hanya karena pertanyaan yang dilontarkannya.“Kamu makan di luar saja, ya. Aku benar-benar tidak bisa memasak pagi ini,” ucap Alina merasa bersalah
Alina benar-benar merasa sakit dan ingin pergi ke minimarket untuk membeli kantong penghangat untuk mengompres perutnya. Akan tetapi, saat baru saja keluar dari unit apartemen, Alina sangat terkejut melihat Bima tiba-tiba muncul di sana dan bertanya akan kondisinya.Kenapa Bima bisa ada di lantai itu? Alina rasa ini bukan sebuah kebetulan, kan?Alina hanya menatap sekilas pada Bima dan tak terlalu memedulikan. Dia ingin berjalan mengabaikan dan menjauhi pria itu, tetapi perutnya semakin sakit sampai membuat kedua kaki Alina terasa sangat lemas dan akibatnya dia hampir saja jatuh.Bima mencoba membantu menahan tangan Alina saat limbung, tetapi tangannya ditepis Alina.“Kamu sedang datang bulan?” tanya Bima menebak saat melihat Alina terus memegangi perut.Bima masih ingat kebiasaan Alina yang selalu nyeri perut saat datang bulan dan kondisinya pasti sama seperti saat ini.Alina menoleh Bima. Satu tangannya berpegangan pada dinding. Wajahnya terlihat pucat, bahkan ada keringat dingin be
Aksa keluar dari kamar Alina setelah memberikan botol air hangat. Dia mengecek ponsel, lalu berjalan menuju pintu untuk keluar. Namun, saat baru saja membuka pintu, Aksa menatap kesal karena masih ada Bima di sana.Aksa mengabaikan Bima. Dia menutup pintu dan ingin pergi, tetapi Bima mencegah langkah Aksa.“Bagaimana kondisinya?” tanya Bima.Aksa melihat raut wajah Bima yang cemas. Namun, apa dipikir Aksa akan peduli? Tidak!Aksa menatap datar pada Bima tentunya tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya untuk menjawab pertanyaan Bima.“Alina selalu merasakan nyeri perut saat sedang datang bulan. Seharusnya kamu tahu itu lalu memberikan apa yang dibutuhkannya untuk mengurangi rasa nyerinya,” ujar Bima yang tahu tentang kondisi kesehatan Alina.Aksa mulai kesal karena Bima sedang menunjukkan jika tahu segalanya tentang Alina. Dia akhirnya menatap dingin ke mantan kekasih istrinya itu.“Sepertinya kamu sangat suka sekali memberi perhatian ke istri orang?” Ucapan Aksa begitu menoh
Aksa masih diam dengan segala pikiran yang berkecamuk di kepala. Sampai dia tidak menyadari kalau Ilham sudah datang dan kini berdiri di hadapannya.“Pak.” Ilham melihat Aksa yang sedang menatap kosong.Ilham sendiri dibuat pusing karena harus bolak-balik membeli keperluan wanita demi atasannya itu. Ingin menolak, tetapi ingat uang lembur yang lumayan banyak, membuatnya memilih tetap melaksanakan meski sedikit menggerutu.“Apa Bu Alina baik-baik saja?” tanya Ilham karena Aksa tidak merespon sapaannya.Meski raut wajahnya tampak datar, tetapi Aksa sebenarnya terkejut karena Ilham sudah ada di depan mata.Aksa tak menjawab pertanyaan Ilhan dan langsung mengambil paper bag berisi kantong penghangat dan sarapan yang dipesannya. Aksa ingin kembali naik, tetapi sebelum itu berkata, “Aku akan terlambat ke perusahaan.”“Baik, Pak.” Ilham mengangguk.Ilham memandang Aksa yang berjalan menuju lift. Tiba-tiba Ilham tersenyum sendiri, dia mendadak senang karena baru kali ini Aksa sangat peduli pa
Aksa berada di perusahaan dan sedang mengecek berkas di meja. Dia menerima pesan dari Alina, lantas membacanya tanpa membalas. Tatapan Aksa datar menatap pesan itu, dia tidak pernah mengirim semua makanan yang ada di foto.Mungkin Bima yang mengirim itu? Ekspresi wajah Aksa mendadak berubah tidak senang. Dia tidak menyukai Bima yang terlalu mencampuri urusan tentang Alina padahal hanya seorang mantan.Aksa memilih meletakkan ponselnya tanpa berniat membalas atau menjelaskan apa pun ke Alina.Beberapa saat kemudian Ilham masuk ruangan Aksa tanpa mengetuk pintu. “Pak, Anda ada rapat nanti si ….” Ilham menjeda ucapannya saat melihat tatapan dingin Aksa.Apa lagi sekarang, ya Tuhan? Tadi pagi Aksa terlihat menjadi sosok berbeda yang sangat mengagumkan dan penuh perhatian, tetapi sekarang berubah seperti sosok menakutkan. Bahkan Ilham sampai meneguk ludah ketika melihat tatapan Aksa yang seperti ingin menelannya bulat-bulat.“Apa saya mengganggu? Saya hanya mau mengingatkan saja. Kalau s
Waktu cepat berlalu, tanpa terasa semua terlewati begitu saja. Hidup memang harus tetap berjalan dan di sinilah mereka pada akhirnya harus menjalani hari dengan kurangnya kasih sayang.Aksa masih tertidur pulas karena semalam harus begadang mengecek beberapa berkas. Dia masih hanyut dalam mimpi indah ketika mendengar suara bising dari luar.“Tuan kecil, jangan lari-larian!”“Mandiin bibi saja, ya.”“Nggak mau!”Terdengar suara pintu ditutup keras, langkah kaki kecil itu terdengar mendekat, sampai akhirnya ada pergerakan di ranjang yang membuat Aksa mengerutkan kening.Arlo Radjasa, bocah berumur tiga tahun itu naik ke ranjang lalu duduk di atas perut sang papa setelah berhasil menghindari kejaran pelayan yang ingin memandikannya. Arlo duduk diam sambil menunggu ayahnya membuka mata.Aksa menghela napas berat. Dia membuka mata dan melihat sang putra sudah duduk di atas perutnya.“Kenapa belum mandi?” tanya Aksa.Arlo hanya menggeleng sambil memasang wajah cemberut.Aksa menghela napas
Aksa masih di rumah sakit menunggu bayinya. Saat dia masih menunggu di luar karena jam jenguk bayi sudah habis, seorang perawat datang menghampiri Aksa.“Sore, Pak.”Aksa mengangguk membalas sapaan perawat.“Dokter sudah memberikan informasi kalau besok bayi Anda sudah diperbolehkan pulang. Karena ibunya meninggal, mungkin Anda harus mencari ibu susu, tidak harus menyusui langsung, tapi Anda bisa meminta stok ASI berlebih dari si ibu menyusui untuk putra Anda demi kesehatannya,” ujar perawat menjelaskan.“Apa itu baik? Kita tidak tahu apakah ASI yang dihasilkan bagus,” ujar Aksa ragu.“Sebenarnya kami punya usulan. Wanita ini baru saja melahirkan bayi laki-laki juga, jadi sepertinya tidak masalah jika Anda memakai ASI wanita itu untuk bayi Anda. Soal gizinya, Anda boleh ikut memantau asupan gizi wanita itu agar yakin, tentu dengan kesepakatan bersama juga,” ujar perawat memberi usul.Aksa mengangguk-angguk paham, lalu bertanya, “Apa rumah sakit bisa membantu menjadi perantara?”“Tentu
Dani memasukkan semua barangnya ke bagasi mobil dibantu Rizki. “Apa semuanya sudah kamu bawa?” tanya Restu memastikan saat Rizki menutup bagasi mobil.“Sudah, Paman. Aku hanya membawa barang-barang pentingku, selebihnya biar diurus pihak kebersihan. Kunci apartemen juga sudah aku titipkan pada Bams,” jawab Dani.Restu menepuk-nepuk punggung Dani, lalu berkata, “Semua akan baik-baik saja setelah ini. Ingatlah namamu sekarang sebagai Daniel Januarta.”Dani mengangguk-angguk.“Ayo!” ajak Restu agar mereka segera masuk mobil.Dani masuk mobil bersama Restu. Dia tidak menyangka pada akhirnya akan meninggalkan kota tempatnya tumbuh dengan susah dan senang bersama sang kakak.“Semua sudah aku atur, kamu tidak perlu mencemaskan apa pun lagi,” ucap Restu saat melihat Dani hanya diam.Dani menoleh pada Restu, lalu mengangguk. “Terima kasih, meski Paman datang terlambat. Tapi aku bersyukur memiliki Paman.”“Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah terlambat tujuh belas tahun menemukan kalian
Hari itu langit tampak gelap dan terlihat begitu suram. Kabar meninggalnya Alina langsung diketahui banyak orang, sehingga beberapa rekan bisnis dan klien datang ke pemakaman untuk ikut berbela sungkawa. Jenazah itu langsung dimakamkan atas permintaan Dani, tanpa disemayamkan lebih dulu di rumah untuk menghindari perdebatan antara Aksa dan Dani.Aksa diam selama prosesi pemakaman berlangsung. Dia terus memandang pada liang-lahat yang menjadi pembaringan terakhir istrinya. Sampai detik ini, Aksa masih tidak percaya kalau istrinya sudah tiada, hatinya menolak itu.“Aku turut berduka cita,” ucap Restu menemui Aksa setelah prosesi pemakaman selesai. Dia menatap wajah pucat Aksa yang tidak kentara jika tak diperhatikan dengan seksama.Aksa mengangguk, tidak ada yang tahu bagaimana tatapan matanya sekarang karena tertutup kacamata hitam.“Bagaimana dengan bayimu?” tanya Restu.“Masih di rumah sakit karena masih mendapat perawatan intensif. Terima kasih Anda berkenan datang kemari,” jawab Ak
Dokter menatap simpati pada semua orang yang sudah menunggu kabar darinya. Dalam sekali helaan napas dokter itu berucap, “Kami sudah berusaha sebisa kami, tapi maaf Bu Alina tidak selamat karena kehilangan banyak darah.”Dani mundur saat mendengar penjelasan dokter.Aksa begitu syok, sampai mencengkram baju dokter yang baru saja memberikan informasi tentang Alina.“Jangan membohongi kami. Dia tidak mungkin meninggal!” Aksa tidak bisa menerima begitu saja.Dani geram dengan sikap Aksa. Dia menarik lengan Aksa sampai melepas cengkraman dari dokter, lalu dalam sekali ayunan dia memukul wajah Aksa.Aksa terhuyung karena mendapat pukulan cukup keras dari Dani.“Semua salahmu! Kakakku pergi karenamu!” amuk Dani.Bams langsung menengahi agar tidak terjadi perkelahian di sana.Nenek Agni pingsan saat mendengar Alina meninggal. Mirza sampai menopang tubuh sang mama lalu mencoba membaringkan ke kursi selasar di sana.Semua orang di sana benar-benar terkejut dan terpukul, termasuk Sasmita yang m
Aksa menunggu dengan cemas di depan ruang operasi. Dia terus menatap ke pintu ruang operasi karena pikirannya sangat tidak tenang dan takut jika terjadi sesuatu pada Alina.“Bu Alina pasti baik-baik saja, Pak.” Bams mencoba menenangkan karena wajah Aksa begitu pucat.Aksa tak membalas ucapan Bams. Pikirannya terasa begitu kosong karena kecemasan yang sedang melandanya.Nenek Agni, Sasmita, dan Mirza datang begitu mendapat kabar soal Alina. Nenek Agni terlihat sangat panik saat melihat Aksa berdiri di depan ruang operasi.“Bagaimana kondisi Alina?” tanya Nenek Agni.Nenek Agni melihat Aksa yang hanya diam. Dia akhirnya menoleh pada Bams.“Apa sudah ada kabar dari dokter?” tanya Mirza pada Bams.“Bu Alina mengalami kontraksi dan ada pembukaan meski kehamilannya baru tujuh bulan. Dia juga mengalami beberapa masalah kesehatan, sehingga dokter mengambil keputusan untuk dilakukan cesar demi keselamatan bayi dan ibunya,” ujar Bams yang menjelaskan.Nenek Agni sangat terkejut. Dia ingin memar
Hari itu. Aksa pergi ke kamar untuk bicara dengan Alina. Dia melihat Alina yang hanya duduk di atas ranjang dengan tatapan tertuju ke jendela.“Bagaimana kondisimu hari ini?” tanya Aksa mencoba mengajak Alina bicara setelah sekian lama mereka diam.Siang ini Alina sudah lebih tenang dari biasanya, sehingga Aksa memberanikan diri menemui dan berinteraksi dengan Alina.Namun, saat Aksa duduk di kursi yang berhadapan dengan Alina, tatapan istrinya begitu dingin padanya. “Apa kamu masih tidak mau mempertimbangkan hubungan kita? Setidaknya pikirkan anak kita,” ucap Aksa mencoba kembali membujuk.Alina tidak menjawab. Dia menatap lurus ke depan, memandang kosong pada sesuatu yang tak bisa dilihatnya, kebebasan.Aksa mengepalkan erat telapak tangan. Dia ingin memaksa Alina menerima karena bagaimanapun dia tidak akan melepaskan Alina. Namun, dia masih menyadari, kondisi Alina tidak memungkinkan untuk terus ditekan, membuat Aksa memilih pergi dari kamar itu.Setelah Aksa pergi, bulir kristal
Restu sedang berada di ruang rapat bersama Aksa untuk membahas bisnis. Restu tetap melakukan kerjasama karena bagaimanapun Aksa belum tahu siapa dirinya.Saat sedang mendengarkan penjelasan dari staff Aksa, Restu mendapat pesan dari dokter yang memerika Alina.[Saya sudah menyampaikan pesan Anda pada Bu Alina.][Dia juga menitip pesan untuk Anda, Bu Alina berkata jika dia akan menunggu sampai melahirkan, tapi setelahnya ingin bebas bahkan jika perlu jauh dari Pak Aksa agar suaminya kehilangan dia sebagai balasan atas semua yang didapatnya. Dia ingin pergi jauh dari kehidupan Pak Aksa.]Restu diam sejenak membaca pesan itu, lalu kembali menatap pada Aksa yang duduk di seberangnya. Sebagai seorang paman, tentunya dia ingin yang terbaik untuk Alina dan tidak ingin rumah tangga Alina hancur. Namun, jika Alina sudah bertekad kuat, Restu juga tidak bisa berbuat apa-apa.Meski begitu, Restu menunggu sampai Alina melahirkan dan melihat apakah Alina berubah pikiran atau tidak.**Di rumah Nene
Hari berikutnya. Dokter datang untuk memeriksa kondisi Alina. Dia datang bersama perawat seperti biasa membawa alat yang di rumah tidak ada.“Apa Bu Alina masih muntah?” tanya dokter saat berjalan naik menuju kamar Alina bersama Bams.“Sudah tidak, mungkin karena semalaman Bu Alina tertidur,” jawab Bams.Dokter hanya mengangguk.Saat mereka sampai di depan kamar, Bams menghentikan langkah mereka.“Sesuai pesan Pak Aksa, tidak ada ponsel atau barang lain yang tak berhubungan dengan pemeriksaan yang diperbolehkan dibawa masuk kamar,” ucap Bams lalu menunjuk pada troli berisi nampan yang ada di samping pintu.Dokter dan perawat menoleh ke troli itu lalu melakukan apa yang Bams katakan. Tas dan ponsel diletakkan di sana, baru kemudian mereka diperbolehkan masuk kamar.“Bagaimana perasaan Anda hari ini?” tanya dokter menyapa.Alina hanya menatap datar apalagi ada Bams di sana.Dokter itu memeriksa detak jantung dan lainnya, lalu melirik pada Bams yang berdiri di dekat ranjang.“Saya mau me