Aksa keluar dari kamar Alina setelah memberikan botol air hangat. Dia mengecek ponsel, lalu berjalan menuju pintu untuk keluar. Namun, saat baru saja membuka pintu, Aksa menatap kesal karena masih ada Bima di sana.Aksa mengabaikan Bima. Dia menutup pintu dan ingin pergi, tetapi Bima mencegah langkah Aksa.“Bagaimana kondisinya?” tanya Bima.Aksa melihat raut wajah Bima yang cemas. Namun, apa dipikir Aksa akan peduli? Tidak!Aksa menatap datar pada Bima tentunya tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya untuk menjawab pertanyaan Bima.“Alina selalu merasakan nyeri perut saat sedang datang bulan. Seharusnya kamu tahu itu lalu memberikan apa yang dibutuhkannya untuk mengurangi rasa nyerinya,” ujar Bima yang tahu tentang kondisi kesehatan Alina.Aksa mulai kesal karena Bima sedang menunjukkan jika tahu segalanya tentang Alina. Dia akhirnya menatap dingin ke mantan kekasih istrinya itu.“Sepertinya kamu sangat suka sekali memberi perhatian ke istri orang?” Ucapan Aksa begitu menoh
Aksa masih diam dengan segala pikiran yang berkecamuk di kepala. Sampai dia tidak menyadari kalau Ilham sudah datang dan kini berdiri di hadapannya.“Pak.” Ilham melihat Aksa yang sedang menatap kosong.Ilham sendiri dibuat pusing karena harus bolak-balik membeli keperluan wanita demi atasannya itu. Ingin menolak, tetapi ingat uang lembur yang lumayan banyak, membuatnya memilih tetap melaksanakan meski sedikit menggerutu.“Apa Bu Alina baik-baik saja?” tanya Ilham karena Aksa tidak merespon sapaannya.Meski raut wajahnya tampak datar, tetapi Aksa sebenarnya terkejut karena Ilham sudah ada di depan mata.Aksa tak menjawab pertanyaan Ilhan dan langsung mengambil paper bag berisi kantong penghangat dan sarapan yang dipesannya. Aksa ingin kembali naik, tetapi sebelum itu berkata, “Aku akan terlambat ke perusahaan.”“Baik, Pak.” Ilham mengangguk.Ilham memandang Aksa yang berjalan menuju lift. Tiba-tiba Ilham tersenyum sendiri, dia mendadak senang karena baru kali ini Aksa sangat peduli pa
Aksa berada di perusahaan dan sedang mengecek berkas di meja. Dia menerima pesan dari Alina, lantas membacanya tanpa membalas. Tatapan Aksa datar menatap pesan itu, dia tidak pernah mengirim semua makanan yang ada di foto.Mungkin Bima yang mengirim itu? Ekspresi wajah Aksa mendadak berubah tidak senang. Dia tidak menyukai Bima yang terlalu mencampuri urusan tentang Alina padahal hanya seorang mantan.Aksa memilih meletakkan ponselnya tanpa berniat membalas atau menjelaskan apa pun ke Alina.Beberapa saat kemudian Ilham masuk ruangan Aksa tanpa mengetuk pintu. “Pak, Anda ada rapat nanti si ….” Ilham menjeda ucapannya saat melihat tatapan dingin Aksa.Apa lagi sekarang, ya Tuhan? Tadi pagi Aksa terlihat menjadi sosok berbeda yang sangat mengagumkan dan penuh perhatian, tetapi sekarang berubah seperti sosok menakutkan. Bahkan Ilham sampai meneguk ludah ketika melihat tatapan Aksa yang seperti ingin menelannya bulat-bulat.“Apa saya mengganggu? Saya hanya mau mengingatkan saja. Kalau s
Alina bingung. Dia menatap Aksa yang bicara dengan nada datar, tetapi entah kenapa terasa menusuk di dada. Dia mencoba mencerna maksud Aksa, lalu teringat dengan es krim dan coklat tadi.“Bukan kamu yang kirim?” tanya Alina memastikan setelah sadar jika yang dibahas adalah kiriman makanan itu.Aksa diam mendengar pertanyaan Alina. Dia tak menjawab atau menjelaskan, tetapi malah menghindar dengan cara berjalan meninggalkan Alina.Alina menebak jika itu benar. Dia kesal karena Aksa tidak menjelaskan apa pun. Dia menyusul Aksa yang mau pergi, lalu kembali menghadangnya.“Kalau kamu tidak mengirimnya, harusnya kamu bilang. Jadi kalau aku tahu itu bukan darimu, aku tidak akan memakannya,” ujar Alina dengan tatapan kesal.Aksa masih diam, lalu Alina kembali bicara.“Kalau tahu itu dari Bima, aku pasti langsung membuangnya. Sekarang sudah di perut, apa aku harus memuntahkannya!” Alina bicara lagi tetapi kali ini dengan nada membentak karena sangat sebal menghadapi sikap Aksa.Aksa menatap Al
“Boleh aku yang menentukan makan di mana?” tanya Alina ketika baru saja masuk mobil.Alina menoleh Aksa. Suaminya itu hanya diam menatap. Aksa tidak menjawab, akhirnya Alina menganggap jika suaminya setuju dia yang memilih tempat makan.“Aku tidak mau makan di restoran, boros. Jadi aku mau makan di tempat biasa saja,” ucap Alina bahkan tak peduli mau Aksa setuju atau tidak.Aksa ingin membantah, tetapi ingat jika dibantah Alina pasti akan curiga kalau Aksa kukuh ingin makan di tempat mewah. Akhirnya Aksa ikut saja kemauan Alina.Aksa tak banyak bicara. Dia hanya melajukan mobil menuju jalanan yang diarahkan Alina. Lalu saat sampai di tempat yang dimaksud Alina, Aksa hanya diam melihat warung tenda di pinggir jalan.“Ayo turun!” ajak Alina sambil melepas sabuk pengaman.Aksa turun dari mobil bersama Alina, lalu memperhatikan tempat makan itu.“Apa kamu yakin mau makan di sini? Apa tempat ini terjamin kebersihannya? Lihat saja, mencuci peralatan makan di ember bukan di air mengalir?” ta
Hari berikutnya. Karissa pergi ke rumah Aksa setelah beberapa hari ini sibuk dengan pekerjaannya. Dia sengaja datang ke rumah Aksa saat masih pagi karena siang nanti masih ada pemotretan.Karissa sudah sampai di depan gerbang, lalu ada satpam yang menghampirinya.“Mau ketemu Pak Aksa, Non?” tanya satpam yang sudah hafal dengan Karissa.“Iya,” jawab Karissa, “dia belum ke kantor, kan?” tanya Karissa balik.“Sebenarnya Tuan sudah lama tidak pulang ke rumah ini,” jawab satpam.Dahi Karissa berkerut halus mendengar jawaban satpam. Apa maksudnya tidak pulang?“Apa dia bilang tinggal di mana?” tanya Karissa lagi.Satpam menggeleng menjawab pertanyaan Karissa.Karissa berpikir jika Aksa mungkin tinggal bersama kedua orang tuanya. Dia akhirnya memutuskan pergi ke rumah orang tua Aksa.Saat sampai di rumah orang tua Aksa, Karissa bertemu dengan Sasmita yang sedang merawat tanaman yang ada di depan teras.“Karissa.” Sasmita tampak begitu senang melihat kedatangan Karissa. “Bibi.” Senyum Kariss
Saat sore hari. Aksa bersiap pulang lebih awal dari biasanya.Ilham masih ada di ruangan Aksa. Dia melihat atasannya itu baru saja mengganti baju, tetapi kali ini tidak tanya apakah Aksa mau pulang atau tidak karena takut salah bicara.Seharian ini Aksa sudah bersikap seperti biasa, jadi Ilham berusaha sebisa mungkin tidak membuat Aksa kesal lagi atau harinya terasa mencekam seperti kemarin.“Laporan tadi kirim ke alamat emailku, biar aku cek di rumah,” ucap Aksa sambil merapikan kemejanya.“Baik, Pak.” Ilham mengiakan tanpa berkomentar.Aksa memandang Ilham yang tumben tidak cerewet seperti biasa.“Kalau semua sudah dirapikan, kamu bisa pulang,” ucap Aksa lagi lalu pergi meninggalkan ruangan.Ilham lega, sangat bersyukur hari ini bisa dilewati dengan aman dan terkendali.Aksa pergi ke basement, lalu mengemudikan mobil meninggalkan perusahaan. Dia pulang melewati jalan tempat butik Alina berada, lalu melihat Alina yang juga kebetulan sedang mengunci pintu butik. Aksa menekan klakson a
Aksa memandang pada Alina yang sedang berjalan menuju lift. Dia menyadari jika Alina terlihat lesu, tetapi kenapa? Apa karena dahinya luka?Aksa melihat di layar ponsel nama Karissa terpampang di sana, tetapi dia tidak menjawab panggilan itu dan memilih menolaknya. Lalu Aksa malah menghubungi seseorang.“Ya.” Suara pria terdengar dari seberang panggilan.Aksa langsung bicara begitu mendengar suara orang kepercayaannya itu. “Retas keamanan Cctv di butik Alia, aku ingin tahu apa yang terjadi di butik itu hari ini. Aku kirimkan alamatnya!”“Baik.”Setelah mendengar balasan dari seberang panggilan, Aksa lalu mengakhiri panggilan dan mengirimkan alamat butik milik Alina berada. Aksa tahu kalau di butik Alina terpasang Cctv.Aksa turun dari mobil lalu masuk lift menuju ke lantai unit apartemennya berada. Saat baru saja masuk, Aksa melihat Alina yang duduk di ruang makan sedang mengobati dahinya. Sepertinya Alina tidak menyembunyikan lagi memar di dahi karena Aksa sudah melihatnya.Aksa tak
Aksa pulang agak larut. Dia menaiki anak tangga dengan rasa lelah yang begitu kentara di wajah. Saat masuk kamar sambil melonggarkan dasi, Aksa terkejut melihat Arlo belum tidur.Putranya duduk di atas ranjang menunggu Aksa pulang sambil melipat kedua tangan di depan dada, Arlo memasang wajah masam.“Ini sudah malam, kenapa belum tidur?” tanya Aksa sambil menghampiri Arlo.“Papa bohong,” amuk Arlo lalu memanyunkan bibir.Aksa menghela napas panjang. Dia tahu putranya merajuk sehingga Aksa segera mengangkat tubuh Arlo lalu memangkunya.“Katanya mau pulang cepat, kok malam?” Arlo semakin bersidekap dan memanyunkan bibir.“Maaf, kerjaan papa sangat banyak jadi harus lembur,” jawab Aksa sambil memeluk erat Arlo. Dia mencium kepala putranya itu sebagai tanda sayangnya.Meski Arlo sering merajuk kalau Aksa pulang larut, tetapi hal ini malah tidak membuat Aksa kesal. Dia malah merasa kalau seperti sedang diposesifin oleh putra sendiri sebagai ganti istrinya.“Besok, Alo mau ikut kelja, Alo n
Waktu cepat berlalu, tanpa terasa semua terlewati begitu saja. Hidup memang harus tetap berjalan dan di sinilah mereka pada akhirnya harus menjalani hari dengan kurangnya kasih sayang.Aksa masih tertidur pulas karena semalam harus begadang mengecek beberapa berkas. Dia masih hanyut dalam mimpi indah ketika mendengar suara bising dari luar.“Tuan kecil, jangan lari-larian!”“Mandiin bibi saja, ya.”“Nggak mau!”Terdengar suara pintu ditutup keras, langkah kaki kecil itu terdengar mendekat, sampai akhirnya ada pergerakan di ranjang yang membuat Aksa mengerutkan kening.Arlo Radjasa, bocah berumur tiga tahun itu naik ke ranjang lalu duduk di atas perut sang papa setelah berhasil menghindari kejaran pelayan yang ingin memandikannya. Arlo duduk diam sambil menunggu ayahnya membuka mata.Aksa menghela napas berat. Dia membuka mata dan melihat sang putra sudah duduk di atas perutnya.“Kenapa belum mandi?” tanya Aksa.Arlo hanya menggeleng sambil memasang wajah cemberut.Aksa menghela napas
Aksa masih di rumah sakit menunggu bayinya. Saat dia masih menunggu di luar karena jam jenguk bayi sudah habis, seorang perawat datang menghampiri Aksa.“Sore, Pak.”Aksa mengangguk membalas sapaan perawat.“Dokter sudah memberikan informasi kalau besok bayi Anda sudah diperbolehkan pulang. Karena ibunya meninggal, mungkin Anda harus mencari ibu susu, tidak harus menyusui langsung, tapi Anda bisa meminta stok ASI berlebih dari si ibu menyusui untuk putra Anda demi kesehatannya,” ujar perawat menjelaskan.“Apa itu baik? Kita tidak tahu apakah ASI yang dihasilkan bagus,” ujar Aksa ragu.“Sebenarnya kami punya usulan. Wanita ini baru saja melahirkan bayi laki-laki juga, jadi sepertinya tidak masalah jika Anda memakai ASI wanita itu untuk bayi Anda. Soal gizinya, Anda boleh ikut memantau asupan gizi wanita itu agar yakin, tentu dengan kesepakatan bersama juga,” ujar perawat memberi usul.Aksa mengangguk-angguk paham, lalu bertanya, “Apa rumah sakit bisa membantu menjadi perantara?”“Tentu
Dani memasukkan semua barangnya ke bagasi mobil dibantu Rizki. “Apa semuanya sudah kamu bawa?” tanya Restu memastikan saat Rizki menutup bagasi mobil.“Sudah, Paman. Aku hanya membawa barang-barang pentingku, selebihnya biar diurus pihak kebersihan. Kunci apartemen juga sudah aku titipkan pada Bams,” jawab Dani.Restu menepuk-nepuk punggung Dani, lalu berkata, “Semua akan baik-baik saja setelah ini. Ingatlah namamu sekarang sebagai Daniel Januarta.”Dani mengangguk-angguk.“Ayo!” ajak Restu agar mereka segera masuk mobil.Dani masuk mobil bersama Restu. Dia tidak menyangka pada akhirnya akan meninggalkan kota tempatnya tumbuh dengan susah dan senang bersama sang kakak.“Semua sudah aku atur, kamu tidak perlu mencemaskan apa pun lagi,” ucap Restu saat melihat Dani hanya diam.Dani menoleh pada Restu, lalu mengangguk. “Terima kasih, meski Paman datang terlambat. Tapi aku bersyukur memiliki Paman.”“Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah terlambat tujuh belas tahun menemukan kalian
Hari itu langit tampak gelap dan terlihat begitu suram. Kabar meninggalnya Alina langsung diketahui banyak orang, sehingga beberapa rekan bisnis dan klien datang ke pemakaman untuk ikut berbela sungkawa. Jenazah itu langsung dimakamkan atas permintaan Dani, tanpa disemayamkan lebih dulu di rumah untuk menghindari perdebatan antara Aksa dan Dani.Aksa diam selama prosesi pemakaman berlangsung. Dia terus memandang pada liang-lahat yang menjadi pembaringan terakhir istrinya. Sampai detik ini, Aksa masih tidak percaya kalau istrinya sudah tiada, hatinya menolak itu.“Aku turut berduka cita,” ucap Restu menemui Aksa setelah prosesi pemakaman selesai. Dia menatap wajah pucat Aksa yang tidak kentara jika tak diperhatikan dengan seksama.Aksa mengangguk, tidak ada yang tahu bagaimana tatapan matanya sekarang karena tertutup kacamata hitam.“Bagaimana dengan bayimu?” tanya Restu.“Masih di rumah sakit karena masih mendapat perawatan intensif. Terima kasih Anda berkenan datang kemari,” jawab Ak
Dokter menatap simpati pada semua orang yang sudah menunggu kabar darinya. Dalam sekali helaan napas dokter itu berucap, “Kami sudah berusaha sebisa kami, tapi maaf Bu Alina tidak selamat karena kehilangan banyak darah.”Dani mundur saat mendengar penjelasan dokter.Aksa begitu syok, sampai mencengkram baju dokter yang baru saja memberikan informasi tentang Alina.“Jangan membohongi kami. Dia tidak mungkin meninggal!” Aksa tidak bisa menerima begitu saja.Dani geram dengan sikap Aksa. Dia menarik lengan Aksa sampai melepas cengkraman dari dokter, lalu dalam sekali ayunan dia memukul wajah Aksa.Aksa terhuyung karena mendapat pukulan cukup keras dari Dani.“Semua salahmu! Kakakku pergi karenamu!” amuk Dani.Bams langsung menengahi agar tidak terjadi perkelahian di sana.Nenek Agni pingsan saat mendengar Alina meninggal. Mirza sampai menopang tubuh sang mama lalu mencoba membaringkan ke kursi selasar di sana.Semua orang di sana benar-benar terkejut dan terpukul, termasuk Sasmita yang m
Aksa menunggu dengan cemas di depan ruang operasi. Dia terus menatap ke pintu ruang operasi karena pikirannya sangat tidak tenang dan takut jika terjadi sesuatu pada Alina.“Bu Alina pasti baik-baik saja, Pak.” Bams mencoba menenangkan karena wajah Aksa begitu pucat.Aksa tak membalas ucapan Bams. Pikirannya terasa begitu kosong karena kecemasan yang sedang melandanya.Nenek Agni, Sasmita, dan Mirza datang begitu mendapat kabar soal Alina. Nenek Agni terlihat sangat panik saat melihat Aksa berdiri di depan ruang operasi.“Bagaimana kondisi Alina?” tanya Nenek Agni.Nenek Agni melihat Aksa yang hanya diam. Dia akhirnya menoleh pada Bams.“Apa sudah ada kabar dari dokter?” tanya Mirza pada Bams.“Bu Alina mengalami kontraksi dan ada pembukaan meski kehamilannya baru tujuh bulan. Dia juga mengalami beberapa masalah kesehatan, sehingga dokter mengambil keputusan untuk dilakukan cesar demi keselamatan bayi dan ibunya,” ujar Bams yang menjelaskan.Nenek Agni sangat terkejut. Dia ingin memar
Hari itu. Aksa pergi ke kamar untuk bicara dengan Alina. Dia melihat Alina yang hanya duduk di atas ranjang dengan tatapan tertuju ke jendela.“Bagaimana kondisimu hari ini?” tanya Aksa mencoba mengajak Alina bicara setelah sekian lama mereka diam.Siang ini Alina sudah lebih tenang dari biasanya, sehingga Aksa memberanikan diri menemui dan berinteraksi dengan Alina.Namun, saat Aksa duduk di kursi yang berhadapan dengan Alina, tatapan istrinya begitu dingin padanya. “Apa kamu masih tidak mau mempertimbangkan hubungan kita? Setidaknya pikirkan anak kita,” ucap Aksa mencoba kembali membujuk.Alina tidak menjawab. Dia menatap lurus ke depan, memandang kosong pada sesuatu yang tak bisa dilihatnya, kebebasan.Aksa mengepalkan erat telapak tangan. Dia ingin memaksa Alina menerima karena bagaimanapun dia tidak akan melepaskan Alina. Namun, dia masih menyadari, kondisi Alina tidak memungkinkan untuk terus ditekan, membuat Aksa memilih pergi dari kamar itu.Setelah Aksa pergi, bulir kristal
Restu sedang berada di ruang rapat bersama Aksa untuk membahas bisnis. Restu tetap melakukan kerjasama karena bagaimanapun Aksa belum tahu siapa dirinya.Saat sedang mendengarkan penjelasan dari staff Aksa, Restu mendapat pesan dari dokter yang memerika Alina.[Saya sudah menyampaikan pesan Anda pada Bu Alina.][Dia juga menitip pesan untuk Anda, Bu Alina berkata jika dia akan menunggu sampai melahirkan, tapi setelahnya ingin bebas bahkan jika perlu jauh dari Pak Aksa agar suaminya kehilangan dia sebagai balasan atas semua yang didapatnya. Dia ingin pergi jauh dari kehidupan Pak Aksa.]Restu diam sejenak membaca pesan itu, lalu kembali menatap pada Aksa yang duduk di seberangnya. Sebagai seorang paman, tentunya dia ingin yang terbaik untuk Alina dan tidak ingin rumah tangga Alina hancur. Namun, jika Alina sudah bertekad kuat, Restu juga tidak bisa berbuat apa-apa.Meski begitu, Restu menunggu sampai Alina melahirkan dan melihat apakah Alina berubah pikiran atau tidak.**Di rumah Nene