Gerald Mahardika, pada awalnya hanya seseorang yang dipandang sebelah mata. Kelahirannya tidak dikehendaki oleh siapapun, termasuk ayah dan ibunya. Beruntung ada kakek, nenek dan pamannya yang masih memiliki nurani untuk merawatnya dalam segala ketebatasan. Gerald tak pernah menuntut diistimewakan. Dia hanya ingin dianggap sebagai manusia biasa yang selama ini dirasakan sangat mustahil dan mahal. Dia hanya tidak ingin dicap sebagai anak haram yang selama bertahun-tahun telah memasung dan menempatkan dirinya dalam dititik kasta yang paling hinda dan rendah. Dalam segala keputus-asaan, Gerald terus berdoa dan berusaha agar segala stigma buruk tentang dirinya terhapus dan tergantikan. Dia ingin menujukan pada dunia jika siapapun berhadap untuk menjadi yang terbaik. Doa-doa Gerald dikabulkan Tuhan. Yang Maha Kuasa mengirimkan banyak malaikat tak bersayap dalam berbagai situasi yang tak terduga dan teramat mengejutkan. Tuhan pun mengirimkan banyak bidadari yang senantiasa mengelilingingnya dalam segala keindahan dan kenikmatan dunia. Gerald bukan hanya mengubah dirinya tapi dia telah menyulap ratusan bahkan ribuan orang di belakangnya. Termasuk orang-orang yang dulu pernah mencaci dan merendahkannya. Gerald Mahardika telah menjadi Pria Terdahsyat dengan perjuangan dan romantikanya yang sangat mendebarkan. Kini sosoknya sangat dikagumi dan ditakuti oleh semua kawan maupun lawan. Tak satu kemewehan pun yang tak bisa dinikmatinya dan tak satu wanita pun yang tak bisa ditaklukannya. Inilah Gerald Sang Penakluk
View More“Mah, kenalin nih, Gerald. Mahasiswa, sekaligus terapis papa yang baru.” Dengan wajah yang semringah dan berseri-seri Pak Hendrawan memperkenalkan seorang anak muda kepada istrinya.
“Gerald!” Anak muda berusia 21 tahun itu pun menyebutkan namanya seraya menyodorkan tangan mengajak bersalaman kepada istrinya Pak Hendrawan. Dia berusaha menenangkan detak jantungnya yang mendadak dag-dig-dug tak karuan.
“Sonya,” balas istri Pak Hendrawan singat sambil tersenyum canggung. Debaran jantung Tante Sonya nyaris tak dapat dikuasasinya. Perasaaan kaget dan tak percaya masih mendera jiwanya. Hampir saja dia berteriak memanggil nama Gerald, andai tak segera menyadari situasi dan keadaannya.
“Oke, Ger, santai aja. Silakan duduk, saya juga mau ganti pakaian dulu!” Pak Hendrawan menyadarkan keterkejutan Gerald. Suasana canggung yang terjadi antara Tante Sonya dengan Gerald pun sedikit mencair. Keduanya menyadari jika Pak Hendrawan sama sekali tak menangkap apapun dari keterkejutan mereka.
“Mah, tolong buatkan kopi untuk Gerald, ya.” Pak Hendrawan bicara lembut seraya menggandeng pinggang sang istri saat mereka berjalan menuju kamar tidurnya.
“Papa di mana kenal anak itu?” Tante Sonya bertanya penasaran sambil berusaha bersikap wajar.
“Gerald itu mahasiswa papa, Mah. Setiap ada mata kuliah Pertambangan, pasti kami bertemu. Hanya saja, baru beberapa hari ini papa mengetahui kalau dia ternyata seorang terapis yang handal.” Pak Hendrawan bicara seraya berdiri depan pintu kamarnya.
“Kayanya dia masih muda banget ya Pah, kok udah jadi terapis sih. Dari mana Papa tahu kalau dia terapis handal?” Tante Sonya makin penasaran. Dia pun sama sekali jika Gerald ternyata juga seorang terapis.
“Beberapa dosen merekomendasikannya. Makanya papa ingin mencoba, sekaligus membuktikan kehandalannya itu. Mama mau nyoba dipijat juga sama dia gak?” Pak Hendrawan menatap istrinya dengan sorot mata yang sedikit berbeda.
“Ih, gak ah. Masa mama dipijat sama cowok?” Tante Sonya menolak.
“Hehehe, dia kan mahasiswa papa. Oh iya, Mama juga wajib tahu, Gerald itu justru malah lebih handal memijat wanita loh. Bahkan menurut para istri dosen yang sudah pernah dipijatnya, Gerald mampu membangkitkan gairah para istri yang sudah sedikit frigit. Begitu pun untuk para suaminya?” Pak Hendrawan makin gencar berpromosi.
“Masa sih para istri dosen itu suka dipijat sama cowok?” Kali ini Tante Sonya benar-benar keheranan, bersamaan dengan detak jantungnya yang kian dag-dig-dug tak menentu.
“Makanya coba dulu, Mah. Buktikan sendiri, siapa tahu kita pun akan kembali mendapatkan gairah dan keharmonisan seperti dulu, iya gak?” Pak Hendrawan sedikit memaksa.
Sesungguh Pak Hendrawan sangat penasaran dengan testimoni beberapa koleganya yang menjelaskan jika mereka justru mendapat sensasi yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, setelah mereka dan istrinnya dipijat secara bergantian oleh Gerald.
“Lihat sikon nanti aja, ya Pah. Sekarang Papa aja dulu yang dipijat, kalau menurut Papa oke, mungkin kapan-kapan mama juga mau dipijat. Kayaknya mama belum berani deh dipijat sama cowok. Apalagi di depan Papa, heheheh,” jawab Tante Sonya dengan senyumnya yang sedikit dikulum.
“Oke deh. Papa ganti pakaian dulu ya, Sayang.” Pak Hendrawan memungkas obrolan dengan istrinya di depan pintu kamarnya.
Dengan senyum yang masih dikulum serta pikiran yang sedikit berkecamuk, Tante Sonya segera menyiapkan makanan kecil dan dua cangkir kopi untuk Gerald dan suaminya.
Sudah menjadi kebiasaan, sebelum dipijat Pak Hendrawan selalu ngajak ngopi dan ngobrol dulu sang terapisnya. Selama ini terapis yang dibawa ke rumahnya rata-rata sudah berusia tua dan beberapa diantaranya tuna netra. Sonya bahkan tidak tahu nama-nama mereka karena suaminya tidak pernah memperkenalkannya.
Setelah semua siap, Tante Sonya membawa makanan kecil dan dua cangkir kopi ke ruang tamu, tempat Gerald menunggu Pak Hendrawan yang sedang berganti pakaian di kamar tidurnya.
“Tante Sonya kok ada di si…?”
“Sssst,” Tante Sonya segera memotong ucapan Gerald dengan meletakkan jari telunjuk kirinya di bibir mungilnya yang sedikit diomonyongkan. Memberi isyarat agar Gerald tidak banyak bertanya.
“Silakah diminum, Dek!” Tante Sonya bicara seraya mengedipkan sebelah matanya pada Gerald. Dia bahkan sengaja menyaringkan suaranya agar terdengar oleh suaminya.
“Terima kasih, Bu.” Gerald yang sudah bisa menangkap isyarat dari Tante Sonya pun menjawab dengan santun.
“Silakan diminum dulu, Ger. Santai aja malam libur ini. Besok gak ada kegiatan kampus kan?” tanya Pak Hendrawan yang ternyata sudah berdiri di belakang istrinya.
“Iya, Pak, gak ada kegiatan kok,” jawab Gerald sedikit gugup. Sudut matanya melirik pada Tante Sonya yang berdiri sejajar dengan suaminya.
“Gimana Mah, mama mau dipijat gak?” tanya Pak Hendrawan pada istrinya mengulangi pertanyaan tadi, dan kini sepertinya sengaja diucapkan di depan Gerald.
“Eh, mungkin lain kali aja, Pah. Kasihan terapisnya kalau mijit sekaligus dua orang.” Tante Sonya tetap menolak tawaran suaminya. Dia pun memberi kode rahasia pada Gerald. Kode yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.
“Emang gak kuat kalau mijat dua orang dalam semalam, Ger?” Pak Hendrawan meminta klarifikasi pada Gerald.
“Sebenarnya gak ada masalah, Pak. Hanya mungkin akan lebih nyaman jika Bapak dulu aja yang dipijat. Bapak juga kan belum merasakan bagaimana pijatan saya. Kalau menurut Bapak cocok, nanti bisa dilanjutkan dengan memijat Ibu pada pertemuan berikutnya, bagaimana Pak?” Gerald menjelaskan panjang lebar.
“Nah, itu maksud mama, Pah.” Tante Sonya mengamini ucapan Gerald dengan hati yang riang. Ternyata kode yang dia kirimkan secara rahasia, bisa ditangkap dengan sangat baik oleh Gerald.
“Oke deh, memang masih banyak waktu. Kalau pun tidak malam ini kan masih bisa besok atau malam Sabtu berikutnya, Iya gak.” Pak Hendrawan menyetujui usulan Gerald dan istrinya.
Tante Sonya segera meninggalkan ruang tamu. Dia benar-benar tak menduga akan bertemu kembali dengan Gerald di tempat yang sama sekali tidak diharapkannya.
Sudah cukup lama Tante Sonya memendam kerinduannya pada Gerald. Dia sangat ingin bertemu dengan Gerald, namun tidak di rumahnya, apalagi ketika sedang ada suaminya. Dan yang pasti, Tante Sonya tak menduga jika Gerald mahasiswa suaminya yang sekaligus seorang terapis.
Setelah menyimpan nampan di meja makan, Tante Sonya pun segera masuk ke kamarnya.
“Gila! sudah hampir tujuh purnama aku kehilangan kontak Gerald, eh sekalinya ketemu malah di rumahku sendiri. Gilanya lagi dia dibawa sama suamiku ke sini. Aduuuh gimana sih ini!” umpat Tante Sonya dalam hati seraya menatap bayangan dirinya yang terpantul di cermin meja rias.
Bukan kejutan namanya jika datang sesuai prediksi. Hanya itu yang kini bisa disadari Tante Sonya. Dulu Gerald pernah menjanjikan akan memberikan kejutan pada dirinya.
Benarkah ini kejutan yang dimaksud Gerlad?
Tante Sonya sangat meragukannya karena Gerlad pun justru tampak begitu terkejuat saat berjumpa dengan dirinya.
‘Apakah ini hanya kebetulan semata? Masih perlu aku cermati lebih lanjut. Jangan gegabah, sepertinya ada yang gak beres dengan semua ini.’
‘Hmmm, jangan-jangan suamiku…’
Berjuta pertanyaan tak terjawab dan perasaan cemas juga bimbang berkecamuk dalam pikiran istri Pak Hendrawan.
‘Ah mala jadi resah begini. Mengapa Gerlad harus tahu suamiku?’
^*^
Sore harinya Bu Nina memintaku untuk mengantarnya pulang. Tentu saja dia bukan benar-benar ingin pulang. Sepanjang perjalanan otakku tak pernah bisa diam, dipenuhi dengan berbagai obsesi liar. Bahkan beberapa kali aku sengaja memancing Bu Nina dengan obrolan yang sedikit panas dan menjurus mesum. Namun beliau sepertinya selalu mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia masih jengah dengan peristiwa tadi pagi, namun aku sendiri menduga jika dia sengaja mengajakku pulang duluan karena ingin mengulanginya. “Ke Duta Permata aja, Ger.” Tiba-tiba Bu Nina bicara tegas setelah mobil melaju di jalan raya. “Kita mau Ke hotel, Bu?” tanyaku memastikan. “Ya,” balas Bu Nina pelan, dan dengan santainya menganggukkan kepala seraya tersenyum. Dengan semangat 45 aku melajukan mobil Bu Nina menuju hotel yang dia sebutkan. Tak sampai setengah jam kemudian kami pun tiba di depan hotel yang berlokasi dekat dengan salah kampus negeri ternama. Kami segera masuk ke dalam hotel. Setelah menyelesaikan urusan di
Wajah Bu Nina semakin tampak merah merona namun matanya seolah sudah terpatri di selangkanganku. Batang zakarku pun sepertinya merasakan itu, dia bergerak-gerak sendiri seolah mengangguk-angguk memberikan penghormtan pada Bu Nina. Bu Nina pun melangkah menuju ke arah jam tangannya yang tertinggal. Pikiran mesumku semakin menjadi-jadi maka dengan cepat aku tutup pintu jamban. “Gerald kamu apa…ap…apaaan?” Bu Nina bertanya dengan suara yang sedikit gelagapan. "Maaf Bu, ta.. pi.. Ibu benar-benar sangat menggoda dan menggairahkan saya." Entah siapa yang mengajariku untuk bicara frontal dan kurang ajar pada mantan Kepala sekolahku. Aku bahkan tidak memikirkan apa akibat dari permainan dan perkataan gilaku ini. “Kamu.. sudah gila apa, Gerald!" sentak Bu Nina. Namun belum sempat kujawab pertanyaannya dia kembali menyahut. "Ibu sudah menduga kamu dari kejadian tadi malam, tapi kamu harus tahu bahwa Ibu sudah bersuami dan lagian ibu kan sudah tua, Gerald!" Dia mencoba menyadarkan aku. "Tap
Aku bertanya dalam hati mimpi apa semalam sehingga memperoleh keuntungan dobel. Pertama memegang buah dada indahnya, yang kedua bisa melihat bokong dan pahanya walaupun agak sedikit samar. Tak terasa celanaku semakin sempit karena senjata kesayanganku pun ikut-ikutan menggeliat. Tanganku meraba rudalku dan membuat remasan-remasan kecil. Tak puas dengan itu aku mengeluarkan batang rudalku sehingga dapat berdiri bebas mengacung. Aku yakin Bu Nina tidak akan melihat polahku yang super gila ini. Sepertinya Bu Nina sudah selesai buang air kecilnya. Dan ketika akan naik ke atas, aku ulurkan tanganku dan menariknya. Aku minta Bu Nina berjalan di depanku dengan alasan aku mengawal kalau ada apa-apa. Namun yang sebenarnya bukan karena itu, tapi aku bisa bebas membuat rudalku terjulur keluar dari seleting celanaku. Sensasi ini aku nikmati sampai ke dekat tenda pembina. Kami melanjutkan ngobrol sampai akhirnya acara jurit malam selesai. Malam sudah larut bahkan menjelang dini hari, kami pembi
“Geer, udah dulu bersih-bersihnya!” Teriakan ibuku mengagetkan. Saat ini aku sedang berada di rumah ibuku dan membantu membersihkan kebun belakang. Kedua adikku pun ikut membantu. Kami semua pun sontak menghentikan segala aktifitas, walau hanya sekedar menyiangi rumpat pada sayuran yang rencananya beberapa hari lagi akan dipanen oleh tengkulak yang sudah mondar-mondir kebelet pengen membelinya. “Ada apa, Ma?” tanya Gayatri, adikku yang baru berusia empat belas tahun kebetulan berdiri tak jauh dariku. “Ada Pak Budi, mau ketemu sama A Gerald,” jawab Ibu sambil menyodorkan handuk kepadku. Perintah halus agar aku segera mandi atau setidaknya mencuci anggota tubuhku yang kotor. “Pak Budi mana?” Aku balik bertanya sambil mengernyitkan dahi, banyak sekali nama Budi di kampung ini, terutama yang sudah dewasa. Kalau anak-anak muda rasanya sudah jarang sekali yang bernama ‘Budi.’ Kata ibu, dulu nama Budi dan Wati adalah nama pavorit di seluruh Indonesia. Gak tahu mengapa bisa demikian. “Pa
Aku hanya mengganguk dan tersenyum seraya sedikit menunduk, lalu dengan pelan berjalan mendekati Bu Ardy yang kini sudah kembali tengkurep di atas kasurnya. Dengan jantung yang semakin tak karu-karuan dan dalam intimidasi tatapan nenekku, aku memulai kerjaku dengan memijat pelan-pelan pergelangan kaki Bu Ardy, seperti biasa saat aku memijat teman-temanku atau tetangga lelakiku yang kadang iseng meminta dipijat. Titik titik pergelangan kedua kaki Bu Ardy kupijat dengan tekanan cukup kuat tapi tidak sampai membuatnya kesakitan. Setelah pergelangan kaki, aku pun mulai memijat betisnya, tak lama naik ke paha, pantat lalu punggung. Itu hanya pijatan adaptasi atau perkenalan awal dengan tanpa menggunakan lotion. Pelan tapi penuh tekanan, aku memijat telapak kaki Bu Ardy. Sesekali aku melirik pada nenekku, takut kalau pijatanku salah. Namun nenekku sama sekali tidak memberikan respon, tampaknya memang pijatanku masih sesuai dengan prosedur yang selama ini dia terapkan. "Enak loh pijatan
Kurang lebih jam setengah tujuh malam, aku sudah bersiap mengantar nenek ke emplasemen dengan motor Umi Yani. Emplasemen adalah sebutan untuk kompleks perumahan yang dihuni oleh para petinggi atau pejabat perkebunan yang lokasinya bersebelahan dengan kampung tempat tinggalku. Jaraknya kurang lebih tiga kilo meteran. Untuk ukuran kampung masih terasa dekat, karena biasanya ditempuh dengan jalan kaki. Sejak kakek meninggal dunia, aku yang selalu mengantar nenek jika ada panggilan memijat ke tempat yang jauh. Aku tidak mengizinkan beliau naik ojek karena sebagain besar tukang ojek di kampungku bermata keranjang. Dan sebagaimana janda yang lainnya, nenek pun terkadang masih suka digodain. Sungguh edan memang mereka itu, hehehe. "Parkir dulu motornya, Ger, jangan lupa kunci stangnya juga," ucap nenek saat kami sudah tiba di depan rumah keluarga Pak Ardy yang akan dipjatnya. Menurut nenek, Pak Ardy adalah salah seorang pejabat di perkebunan itu. Tidak berapa lama pintu rumah Pak Ardy
“Asiik A Gerald pulang!” seru Hendi saat baru saja masuk ke rumah nenek dan mencium tanganku seperti santri pada ustadnya. “Hehe, senang amat, kenapa?” tanyaku sambil mengelus kepalanya. “Hendi bentar lagi ulangan A, mau ikut bimbel sama Aa, boleh?” “Boleh banget, yang penting ranking satu.” “Siaap A. mulai malam ini ya?” “Boleh.” Seperti biasa setiap berada di kampung aku kumpul bersama teman-teman yang masih ada. Kebanyakan teman seangkatanku sudah bekerja dan merantau ke kota. Hendi adalah anaknya almarhum Mang Adin, adik ibuku, alias anak bungsunya nenek. Mang Adin sudah meninggal dua setahun yang lalu. Namun hubungan kekeluargaan kami dengan mantan istinya juga Hendi anaknya tetap baik. Mamanya Hendi bernama Nara, kami biasa memanggilnya Bi Ara. Usia 30 tahun dan Hendi yang baru kelas satu SMP merupakan anak tunggalnya. Sudah dua tahun Bi Ara menjanda namun sepertinya belum berniat menikah lagi. Menurut cerita nenek dan aku juga tahu, banyak yang ingin menjadikan Bi Ara i
“Gerald, ja..ja.jangan pergi dulu, d..dan ja..jang dimatiin hapenya, ib..ibu takut…, serem banget ini tempatnya,” ucap Bu Endang saat aku membalikan badan membelakanginya yang akan membuka celana panjangnya. “Iya Bu, tenang aja,” jawabku kalem. Pikiran isengku tiba-tiba timbul. Ingin merekam suasana sekitar. Siapa tahu ada penampakan makhluk astral yang tertangkap kamera. Ini sangat menarik dan sudah pasti akan viral jika diposting di medsos. Maka aku pun menggerahkan camera hape dalam mode merekan ke beberapa sudut ruangan yang sangat gelap dan mencekam. Tentu saja membelakangi Bu Endang yang sedang pipis. Nanti aku malah digampar kalau sampai merekam aksinya. BRUG! BRUG! “Geraaaaaald!!!!” teriak Bu Endang keras. Baru saja beberapa detik merekam, tiba-tiba dia berteriak keras mengiringi suara gedebug di atas genting. Aku menduga itu suara ranting pohon yang patah, karena kaget, refeks membalikan badan, langsung mengarahkan camera hape ke pojokkan. Deg! Jantungku seketika teras
Sebenarnya sampai hari ini pun, aku masih belum percaya dengan kejadian waktu kelas tiga SMA itu. Bu Nina, guru agama kami yang bena-benar sangat alim dan bahkan suaminya juga sama alimnya, ternyata mempunyai sisi liar bersama Rizal. Harus aku akui, ketika dulu Rizal memang bintangnya di sekolah. Ganteng, lumayan cerdas, tajir dan isi kepalanya super mesum. Selalu punya cara untuk menaklukan wanita manapaun yang dia incar. Tidak terkecuali Bu Nina, si istri sholehah itu. Nanti biar Rizal yang cerita sendiri keseruannya. Tak berselang lama aku dan Rizal pun bersiap untuk berpisah. Rizal mendapat telpon dari seseorang yang diminta untuk memeriksakan motornya yang mogok. Aku juga harus segera berangkat sebelum hari menjadi gelap, karena membonceng istrinya Pak Endang. “Gini aja, Zal. Gua mungkin semingguan di kampung. Gimana kalau subuh minggu depan lu tunggu gua di sini. Terus kita bareng ke kota. Sambil nyari atau nunggu kerjaan buat lu kan bisa bantu-bantu dulu di rumah teman gua.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments