‘Semoga saja Tante Sonya seorang pengusaha dan mau mengajak aku bekerja di perusahaannya. Kalau dilihat dari penampilannya sepertinya dia memang seorang pengusaha. Semoga saja ini adalah jawaban atas semua doa-doaku dan ibuku. Semoga ada rizki buatku dan kedua adikku, Amiin,’ ucap Gerald dalam hati.
Dengan dada yang terasa lega dan disorong sebuah harapan baru dan semangat membara, Gerald mencari barang yang sedang dicari Tante Sonya. Dan sama sekali tidak ada kendala karena memang barang tersebut sangat mudah dicari hampir di semua toko yang menjual aksesotis kendaraan.
Ketika akan balik kanan kembali dari toko hendak menemui kembali Tante Sonya, Gerald menghentikan langkahnya karena posnsel yang disimpan di saku celananya bergetar pertanda ada panggilan masuk.
“Assalamulaikum Bu,” Gerald pun langsung membuka percakapan telpon dengan ibu kostanya.
“Waalaikumsalam, Gerald sekarang sedang di mana?” tanya Bu Ana dengan nada yang terdengar sedikit cemas.
“Saya sedang di rumah teman, Bu. Ada apa?” Gerald pun menjawab dengan nada yang sama, lalu dia bergeser ke tempat yang lebih sepi karena pendengaran sedikit terganggu dengan suara berisik dari lalu lalang orang.
“Di rumah teman di mana? Kok kedengarannya rame banget, Ger.” Rupanya Bu Ana sudah terlanjut menangkap keriuhan yang di sekitar Gerald berada.
“Gak kok, Bu. Biasa ini lagi kumpul-kumpul sama teman sambil dengerin musik, hehehe.” Gerald segera beralibi, kebetulan suara musik dari salah satu kios yang dekat dengannya paling mendominasi. “Maaf ada apa ya, Bu?” lanjut Gerald kembali bertanya penasaran.
“Ini Ger, barusan ke rumah ada Pak Ustad Umar sama Bang Andre, nyariin kamu. Apakah malam ini Gerald mau nginap atau pulang ke kostan?” Bu Ana balik bertanya untuk memastikan.
“Oh Pak Ustad? Mau ngasih kerjaan bukan Bu?” Wajah Gerald seketika menadak cerah dan tak sadar dia juga malah balik bertanya saking senangnya.
“Kurang tahu juga. Katanya sih ada perlu penting sama Gerald. Nanti kalau pulang ditunggu di rumah Pak Ustad Umar, katanya.” Bu Ana kembali menginfokan.
“I..iya siap Bu. Ta..tapi mungkin agak sorean saya pulangnya. Soalnya sekarang sedang nganter teman dulu. Iya saya pasti pulang kok, Bu.” Gerald menjawab sedikit gelagapan antara senang dan kaget.
“Oh ya, udah gak papa, nanti kangsung aja ke rumah Pak Ustad ya, Ger.”
“Iya Bu, Assalaualaikum!” pungkas Gerald.
“Waalaikum salam,” balas Bu Ana sebelum memutus hubungan teleponnya.
“Ya Allah mudah-mudahan ini juga rizki buat hamba-Mu ini, Amiin” uap Gerald pelan sambil membasuhkan kedua telapak tangannya pada wajahnya, pertanda besar harapan dan bersyukur.
Ustad Umar adalah seorang tokoh masyarakat yang juga imam masjid di kompleksnya. Gerald sudah kenal cukup dekat dan baik dengan beliau, bahkan dengan istrinya. Rumah Ustad Umar tidak terlalu jauh dari rumah Bu Ana. Gerald sering membantu pekerjaan Ustad Umar, termasuk babat halamannya. Biasanya Ustad Umar memberikan imbalan yang cukup besar, walau tidak diminta.
Sementara Bang Andre adalah pemuda setempat yang juga cukup dekat dengan Gerald. Bang Andre juga sering membantu pekerjaan Ustad Umar, walau saat ini dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai tenaga keamanan lapangan di sebuah proyek pembangunan jembatan antar kecamatan.
‘’Apakah Bang Andre mau menawariku pekerjaan? Beberapa waktu yang lalu aku pernah ngobrol sama dia, butuh pekerjaan. Ya Allah, semoga ini juga rezki buat hamba-Mu, Amiin.” Gerald kembali berharap dan berdoa dalam hati.
Kurang lebih dua puluh menit kemudian, Gerald sudah kembali duduk di hadapan Tante Sonya. Tak ada kendala sama sekali bagi seorang Gerald untuk mencari barang yang sedang dicari tante kenalan barunya itu.
"Alhamdulillah udah dapat barang nih, Tan," ucap Gerald seraya menyodorkan kembali brosur yang tadi dipinjamnya dari Tante Sonya, sekalian dengan gambar dan daftar harga yang dia dapatkan dari toko.
"Tan.. Tan.. emangnya aku ini ketan atau setan, Ger?" seloroh Tante Sonya sambil tersenyum dan menatap wajah Gerald yang sedikit lembab karena berkeringat.
"Eh.. maaf maksud saya, Tante Sonya," jawab Gerald sambil cengengesan.
Tante Sonya menawarkan minuman dan makanan yang sudah dipesannya yang disodorkan oleh seorang pramusaji, sesaat setelah Gerald duduk.
Tanpa basa-basi, Gerald yang sedang sangat lapar, langsung menyantapnya dengan lahap. Sementara Tante Sonya, asik meneliti hasil buruan lelaki muda yang sejak pertama melihatnya sudah sangat menarik hatinya. Kekesalan hatinya akibat ulah duo bandot tua di kantornya, sedikit terobati.
Entah apa yang ada dalam diri Gerald, namun feeling Tante Sonya mengatakan jika Gerald orangnya sangat asik dan baik. Tentu saja wajah Arab sang brondong pun tidak perlu diragukan lagi ketampanannya.
‘Anak ini sepertinya dari kampung dan dari keluarga sederhana. Tapi aku sangat suka dengan kepribadiannya. Wajah dan penampilan juga benar-benar khas orang ndeso. Ganteng, sederhana dan jantan. Berbeda dengan brondong metrosexsual yang kulitnya glowing dan terkesan cantik.’ bisik hati Tante Sonya sambil sesekali melirik wajah Gerald yang sedang asik menikmati makanannya.
Setelah usai makan, mereka sama-sama mendatangi toko acsessories. Ternyata jumlah belanjaan Tante Sonya jadi membengkak. Bukan hanya acsessories untuk mobil suaminya yang dibeli, namun juga banyak pernak-pernik untuk akseroris mobilnya.
Setelah selesai, tanpa diminta Gerald pun langsung membawakan barang-barang belanjaan Tante Sonya menuju mobilnya di tempat parkir. Setelah sampai di area parkir, belanjaan yang dibawa Gerald langsung diambil oleh sopirnya Tante Sonya yang sudah siaga menunggu majikannya.
"Wah, terima kasih, Ger udah ngebantuin tante.”
“Sama-sama Tante.”
“Oh iya, ini buat sekedar beli cendol, kali aja Gerald kehausan setelah bawa belanjaan tante, hehehe," ucap Tante Sonya sambil menyelipkan sejumlah uang pada kantong celana Gerald.
"Ah, gak usah Tante, saya cuma bantuin dikit kok," jawab Gerald malu-malu namun tentu saja hatinya riang tak terkira.
Walau sama sekali tdak tahu berapa jumlah uang yang diberikan Tante Sonya. Namun dia yakin uang tersebut akan bisa menyambung hidupnya minimal bisa untuk membeli sarapan besok pagi.
"Oh iya Ger, kapan-kapan tante boleh kontak kamu ya? Awas jangan gonta-ganti nomor ya. Beneran kan kamu bisa bawa mobil?” tanya Tante Sonya.
“Siap Tante. Insya Allah bisa, hanya belum punya SIM,” jawab Gerald sigap. Mereka sudah banyak ngobrol dan bahkan bertukar nomor kontak saat sedang berbelanja tadi.
“Oke tante ulang duluan ya, Ger.”
“Silakan Tante. Sekali lagi, terima kasih untuk cendolnya, hehehe.”
Beberapa menit kemudian, mobil Tante Sonya keluar dari area parkiran. Sementara Gerald bersiap untuk pulang menemui Ustad Umar dan Bang Andre. Ketika sedang menuju tangga, iseng-iseng Gerald menarik uang yang tadi diselipkan Tante Sonya ke dalam saku celananya.
“Astagfirullah!” seru Gerald sambil memegangi lima lembar uang merah di tangannya.
“Ah, gila! Pasti si Tante salah ngasih. Masa cuma nganter belanja gitu doang dikasih uang sebanyak ini?” guman Gerald sambil kembali memasukan uang teresebut dalam saku celananya.
Bibir Gerald tersenyum lebar. Hatinya pun riang gembira. Malam ini dia bisa benar-benar tidur dengan nyenyak, walau uang kostnya belum bisa da bayar seluruhnya.
‘Terima kasih, ya Allah. Terima kasih Tante Sonya, akhirnya aku masih bisa bertahan di kota ini,’ ucap Gerald sambil kembali menghadap langit mengucapkan syukur pada Yang Maha Pemberi Rizky. Tal terasa kedua bola matanya pun berkaca-kaca.
Benar-benar tak terduga, pada saat Gerald sedang sangat oleng, rizki dan bakal rizki seakan datang berbarengan dalam waktu yang yang hampir bersamaan. Mungkin ini yang biasa disebut 'Rizky Anak Oleng.'
^*^
[Ger, kalau ada waktu, besok tante tunggu di tempat yang nanti tante infokan, kira-kira jam makan siang. Bisa gak] Gerald membaca pesan singkat dari Tante Sonya dengan wajah yang berbinar-binar. Kala itu dia baru saja naik angkot hendak pulang ke kostannya. [Siap Tante] Dengan sigap Gerald segera membalasnya. [Oke, nanti tante infokan lagi ya] balasan dari Tante Sonya kembali masuk dan Gerald membalasnya dengan emot kepalan tangan siap!. Walau tidak tahu apa maksudnya Tante Sonya mengajak kembali bertemu, namun Geralad langsung menyetujuinya karena sangat yakin akan banyak kebaikan setelahnya. Bukan hanya sekedar materi, namun Tante Sonya memang sanggup membuat Gerald nyaman dan percaya diri saat bersamanya. Hampir saja Gerald melanjutkan chatnya itu dengan menanyakan kebernaran jumlah uang yang diberikan Tante Sonya padanya, takutnya salah hitunga atau salah ngasih. Namun dia pikir lebih baik besok ditanyakan langung saat bertemu. Dan Gerald berusaha untuk tidak dulu memakainya, s
Sore sampai malam di hari pertama itu, tugas Gerald benar-benar hanya menemani Umi Yani. Walau pada awalnya tidak terlalu saing kenal, namun lama kelamaan mereka pun menjadi sangat akrab. Terlebih lagi Umi Yani tipe orang yang mudah terbuka kepada orang yang bisa dipercaya. Selama ini Umi Yani memang tidak kenal terlalu dekat dengan Gerald, namun nama Gerald bukanlah sesuatu yang baru baginya. Ustad Umar, Umi Anisa dan tetangga lainnya beberapa kali menceritakan kebaikan seorang Gerald. Umi Yani juga sangat yakin, tidak mungkin adik iparnya meminta Gerald menemaninya, jika pemuda itu tdak bisa dipercaya. Umi Yani justru akan menolak mentah-mentah jika Bang Andre yang menemaninya. Dia sudah tahu siapa Andre yang sebenarnya. Gerald juga mulai mengetahui jika Umi Yani aslinya berasal dari Kuningan. Sementara Ustad Buyamin, berasal dari Bandung sama seperti Ustad Umar. Umi Yani telah dikaruniai tiga anak yang sudah dewasa. Dua laki-laki, satu perempuan. Semua sudah menikah dan tinggal b
Adegan yang sangat panjang dan panas namun tidak terlalu mengesankan. Gerald merasa tak sabar ingin segera merasakan nikmatnya bercinta dengan wanita itu. Khayal dan angannya dipenuhi dengan berjuta kenikmatan yang akan dia dapatkan dibanding dengan percintaan-percintaan sebelumnya. Bibir basah Tante Sonya yang merekah pasrah saat berbicara, tergambar jelas di mata Gerald. Harum tubuh Tante Sonya yang menggairahkan, kembali tercium jelas di hidung Gerald. Kelembutan kulit tangan Tante Sonya dan kenyalnya buat dadanya saat menyentuh lengannya, kemballi semua terasa seperti nyata. Bahkan sang jantan merasakannya teramat nyata. Gerald menelan ludah berkali-kali. Jantungnya berdegup kencang, seperti ketika waktu dia membayangkan bisa melumat bibir Tante Sonya saat sedang bersama tadi. ‘Sedang apa Tante Sonya sekarang? Apakah dia sedang dicumbu suaminya?’ Pertanyaan terakhir Gerald tiba-tiba dia rasa sangat mengganggu dan membuatnya terbakar cemburu dalam birahi. Sungguh sangat mengge
Tangan yang satu lagi beralih ke bawah. Tante Sonya memerlukan kedua tangannya untuk mendaki puncak dahsyat birahinya. Satu tangan untuk menekan kedua jarinya masuk lebih dalam lagi pada lobang surgawi yang menimbulkan rasa nikmat itu, sementara tangan yang lain mengusap-menekan-memilin klitorisnya yang merah dan berdenyut-denyut. Tante Sonya mengangkat pinggulnya, memberikan tekanan ekstra ke seluruh daerah kewanitaannya, menggosok-gosoknya dengan sangat keras dengan kedua tangannya. “Geraaaaald oooh gantengku oooh…” Gerald di kamar kostnya, terus menggosok-gosok dan mengurut batangnya dengan sangat keras. Naik turun tangannya semakin cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Napasnya terengah-engah. Kakinya terasa melayang, padahal keduanya menjejak kasur dengan keras. Satu tangannya yang bebas kini mencengkram seprai, seakan mencegah tubuhnya melambung ke langit-langit. Gerald tak tahan lagi, tubuhnya merinding merasakan tubuhnya yang seperti akan meledak. “Tante Sonyaaaa aaaaah
Feeling Tante Sonya mengatakan jika sebenarnya keadaan Gerald kemarin itu sedang tidak baik-baik saja. Itu bisa dia bandingkan dengan raut wajah Gerald antara saat ini yang tampak jauh lebih cerah dan semringah. "Gak rahasia sih, Tan. Hanya memang kurang enak didengarnya.” Gerald akirnya menjawab pelan dalam keragu-raguan. Hatinya terus bertanya-tanya apakah pantas dia menceritakan keadaan dirinya yang sejujurnya. “Apa tuh yang kurang enak didengar? Bicara jujur aja Ger, gak usah ragu, siapa tahu tante bisa bantu solusinya kalau memang itu sesuatu yang kamu butuhkan.” Tante Sonya sengaja melontarkan kalimat itu agar Gerald tidka merasa sendirian dalam mengatasi kesulitannya. “Hmm memangnya beneran Tante mau tahu?" tanya Gerald seraya menebak-nebak isi kepala lawan bicaranya. "Iya lah, Ger. Kalau gak mau tahu, ngapain juga tanya-tanya kamu terus. Dari kemarin, tante merasa sebenarnya ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Ada apa sih Ger?" Tante Sonya bicara semakin lembut, tak uba
Umi Anisa bergelinjang manja dan menggoda. Dia meramas-remas kedua payudaranya sendiri sambil mendesah-desah lembut mengiringi setiap gerakan tangannya. Wanita yang kesehariannya terkesan sangat alim dan setia itu benar-benar telah terbakar libido dan gairah seksualnya. Bang Andre yang bertubuh tinggi besar dan bekulit agak gelap itu pun berdiri gagah. Tangan kanannya memegangi dan memainkan batang kejantanannya. Sinar matanya nanar menatap sayu Umi Anisa yang menggelinjang di atas kasur. Mereka saling bertatapan dan saling beradu senyum mesum yang tersungging dari keduanya. Dengan gerakan perlahan, layaknya binatang berkaki empat, Bang Andre naik ke atas ranjang mendekati tubuh bugil Umi Anisa. Kedua tangan Bang Andre memegangi kedua paha istri Ustad Umar itu dengan lembutnya, lalu melebarkannya. Tak lama kemudian Bang Andre menunduk lalu membenamkan wajahnya di selangkangan Umi Anisa. “Oooowhsss, Andreee ssssst…” Umi Anisa melenguh panjang dengan kepala menghentak. Sementara kedua
**Biar tdak membosankan cerita akan dilanjut dengan POV Gerald** Entah berapa lama aku tertegun duduk di dalam kamar kostku. Tak tahu harus berbuat apa, dan yang pasti masih tidak percaya dengan yang baru saja aku saksikan namun nyata adanya. Bayangan bersetubuhn antara Bang Andre dengan Umi Anisa masih terus menari-nari dalam benakku. Ternyata orang-orang yang selama ini aku hormati dengan sepenuh hati, tidak lebih mulia dariku. [Nak Gerald, siap-siap ya. Sebentar lagi kita berangkat lagi ke rumah sakit. Umi juga ketiduran barusan baru bangun, ini baru mau mandi] Sebuah pesan masuk dari Umi Yani, sontak membuyarkan lamunanku. Dan tanpa menuda waktu aku segera mengganti pakaian, lalu mengeluarkan kain sarung dari dalam lemari dan memasukannya ke dalam tas soren. Lalu setelah berpamitan pada ibu kostku yang kebetulan sedang nonton tv, aku pun segera berangkat ke rumah Umi Yani. Ketik di tengah perjalanan Umi Yani mengirimkan pesan lagi. [Nak Gerald, masuk langsung aja lewat dapur
Umi Yani pun langsung menolak. Posisinya yang dekat dengan kamar mayat menjadi pertimbangannya. Namun beliau pada akhirnya menyerah setelah benar-benar tidak ada lagi tempat yang bisa ditempati. Aku pun berjanji untuk berjaga sepanjang malam, menemaninya tidur. Pikiran kotorku pun sudah hilang entah kemana. "Janji ya Gerald, kamu harus bangunkan umi kalau mau kencing atau beli rokok. Soalnya umi takut ditinggal sendirian, apalagi dekat…..," ucap Umi Yani dengan wajah yang tampak masih pucat dan cemas. Aku tahu dia sangat terpaksa menerima tawaranku dan belum bisa membuang rasa takutnya. "Persediaan rokok saya lebih dari cukup sampai pagi, Umi. Jadi tidak perlu kemana-mana lagi, paling kecing, itu pun kalau gak bisa ditahan, hehehe," jawabku sambil cengengesan. Sengaja bercanda agar dia tidak terlalu merasa takut dan tegang. Akhirnya kami menggelar tikar dan plastik di teras bangunan yang jaraknya tidak lebih dari tiga meter dengan ruang kamar jenazah. Ternyata nyaman juga menempat
Sore harinya Bu Nina memintaku untuk mengantarnya pulang. Tentu saja dia bukan benar-benar ingin pulang. Sepanjang perjalanan otakku tak pernah bisa diam, dipenuhi dengan berbagai obsesi liar. Bahkan beberapa kali aku sengaja memancing Bu Nina dengan obrolan yang sedikit panas dan menjurus mesum. Namun beliau sepertinya selalu mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia masih jengah dengan peristiwa tadi pagi, namun aku sendiri menduga jika dia sengaja mengajakku pulang duluan karena ingin mengulanginya. “Ke Duta Permata aja, Ger.” Tiba-tiba Bu Nina bicara tegas setelah mobil melaju di jalan raya. “Kita mau Ke hotel, Bu?” tanyaku memastikan. “Ya,” balas Bu Nina pelan, dan dengan santainya menganggukkan kepala seraya tersenyum. Dengan semangat 45 aku melajukan mobil Bu Nina menuju hotel yang dia sebutkan. Tak sampai setengah jam kemudian kami pun tiba di depan hotel yang berlokasi dekat dengan salah kampus negeri ternama. Kami segera masuk ke dalam hotel. Setelah menyelesaikan urusan di
Wajah Bu Nina semakin tampak merah merona namun matanya seolah sudah terpatri di selangkanganku. Batang zakarku pun sepertinya merasakan itu, dia bergerak-gerak sendiri seolah mengangguk-angguk memberikan penghormtan pada Bu Nina. Bu Nina pun melangkah menuju ke arah jam tangannya yang tertinggal. Pikiran mesumku semakin menjadi-jadi maka dengan cepat aku tutup pintu jamban. “Gerald kamu apa…ap…apaaan?” Bu Nina bertanya dengan suara yang sedikit gelagapan. "Maaf Bu, ta.. pi.. Ibu benar-benar sangat menggoda dan menggairahkan saya." Entah siapa yang mengajariku untuk bicara frontal dan kurang ajar pada mantan Kepala sekolahku. Aku bahkan tidak memikirkan apa akibat dari permainan dan perkataan gilaku ini. “Kamu.. sudah gila apa, Gerald!" sentak Bu Nina. Namun belum sempat kujawab pertanyaannya dia kembali menyahut. "Ibu sudah menduga kamu dari kejadian tadi malam, tapi kamu harus tahu bahwa Ibu sudah bersuami dan lagian ibu kan sudah tua, Gerald!" Dia mencoba menyadarkan aku. "Tap
Aku bertanya dalam hati mimpi apa semalam sehingga memperoleh keuntungan dobel. Pertama memegang buah dada indahnya, yang kedua bisa melihat bokong dan pahanya walaupun agak sedikit samar. Tak terasa celanaku semakin sempit karena senjata kesayanganku pun ikut-ikutan menggeliat. Tanganku meraba rudalku dan membuat remasan-remasan kecil. Tak puas dengan itu aku mengeluarkan batang rudalku sehingga dapat berdiri bebas mengacung. Aku yakin Bu Nina tidak akan melihat polahku yang super gila ini. Sepertinya Bu Nina sudah selesai buang air kecilnya. Dan ketika akan naik ke atas, aku ulurkan tanganku dan menariknya. Aku minta Bu Nina berjalan di depanku dengan alasan aku mengawal kalau ada apa-apa. Namun yang sebenarnya bukan karena itu, tapi aku bisa bebas membuat rudalku terjulur keluar dari seleting celanaku. Sensasi ini aku nikmati sampai ke dekat tenda pembina. Kami melanjutkan ngobrol sampai akhirnya acara jurit malam selesai. Malam sudah larut bahkan menjelang dini hari, kami pembi
“Geer, udah dulu bersih-bersihnya!” Teriakan ibuku mengagetkan. Saat ini aku sedang berada di rumah ibuku dan membantu membersihkan kebun belakang. Kedua adikku pun ikut membantu. Kami semua pun sontak menghentikan segala aktifitas, walau hanya sekedar menyiangi rumpat pada sayuran yang rencananya beberapa hari lagi akan dipanen oleh tengkulak yang sudah mondar-mondir kebelet pengen membelinya. “Ada apa, Ma?” tanya Gayatri, adikku yang baru berusia empat belas tahun kebetulan berdiri tak jauh dariku. “Ada Pak Budi, mau ketemu sama A Gerald,” jawab Ibu sambil menyodorkan handuk kepadku. Perintah halus agar aku segera mandi atau setidaknya mencuci anggota tubuhku yang kotor. “Pak Budi mana?” Aku balik bertanya sambil mengernyitkan dahi, banyak sekali nama Budi di kampung ini, terutama yang sudah dewasa. Kalau anak-anak muda rasanya sudah jarang sekali yang bernama ‘Budi.’ Kata ibu, dulu nama Budi dan Wati adalah nama pavorit di seluruh Indonesia. Gak tahu mengapa bisa demikian. “Pa
Aku hanya mengganguk dan tersenyum seraya sedikit menunduk, lalu dengan pelan berjalan mendekati Bu Ardy yang kini sudah kembali tengkurep di atas kasurnya. Dengan jantung yang semakin tak karu-karuan dan dalam intimidasi tatapan nenekku, aku memulai kerjaku dengan memijat pelan-pelan pergelangan kaki Bu Ardy, seperti biasa saat aku memijat teman-temanku atau tetangga lelakiku yang kadang iseng meminta dipijat. Titik titik pergelangan kedua kaki Bu Ardy kupijat dengan tekanan cukup kuat tapi tidak sampai membuatnya kesakitan. Setelah pergelangan kaki, aku pun mulai memijat betisnya, tak lama naik ke paha, pantat lalu punggung. Itu hanya pijatan adaptasi atau perkenalan awal dengan tanpa menggunakan lotion. Pelan tapi penuh tekanan, aku memijat telapak kaki Bu Ardy. Sesekali aku melirik pada nenekku, takut kalau pijatanku salah. Namun nenekku sama sekali tidak memberikan respon, tampaknya memang pijatanku masih sesuai dengan prosedur yang selama ini dia terapkan. "Enak loh pijatan
Kurang lebih jam setengah tujuh malam, aku sudah bersiap mengantar nenek ke emplasemen dengan motor Umi Yani. Emplasemen adalah sebutan untuk kompleks perumahan yang dihuni oleh para petinggi atau pejabat perkebunan yang lokasinya bersebelahan dengan kampung tempat tinggalku. Jaraknya kurang lebih tiga kilo meteran. Untuk ukuran kampung masih terasa dekat, karena biasanya ditempuh dengan jalan kaki. Sejak kakek meninggal dunia, aku yang selalu mengantar nenek jika ada panggilan memijat ke tempat yang jauh. Aku tidak mengizinkan beliau naik ojek karena sebagain besar tukang ojek di kampungku bermata keranjang. Dan sebagaimana janda yang lainnya, nenek pun terkadang masih suka digodain. Sungguh edan memang mereka itu, hehehe. "Parkir dulu motornya, Ger, jangan lupa kunci stangnya juga," ucap nenek saat kami sudah tiba di depan rumah keluarga Pak Ardy yang akan dipjatnya. Menurut nenek, Pak Ardy adalah salah seorang pejabat di perkebunan itu. Tidak berapa lama pintu rumah Pak Ardy
“Asiik A Gerald pulang!” seru Hendi saat baru saja masuk ke rumah nenek dan mencium tanganku seperti santri pada ustadnya. “Hehe, senang amat, kenapa?” tanyaku sambil mengelus kepalanya. “Hendi bentar lagi ulangan A, mau ikut bimbel sama Aa, boleh?” “Boleh banget, yang penting ranking satu.” “Siaap A. mulai malam ini ya?” “Boleh.” Seperti biasa setiap berada di kampung aku kumpul bersama teman-teman yang masih ada. Kebanyakan teman seangkatanku sudah bekerja dan merantau ke kota. Hendi adalah anaknya almarhum Mang Adin, adik ibuku, alias anak bungsunya nenek. Mang Adin sudah meninggal dua setahun yang lalu. Namun hubungan kekeluargaan kami dengan mantan istinya juga Hendi anaknya tetap baik. Mamanya Hendi bernama Nara, kami biasa memanggilnya Bi Ara. Usia 30 tahun dan Hendi yang baru kelas satu SMP merupakan anak tunggalnya. Sudah dua tahun Bi Ara menjanda namun sepertinya belum berniat menikah lagi. Menurut cerita nenek dan aku juga tahu, banyak yang ingin menjadikan Bi Ara i
“Gerald, ja..ja.jangan pergi dulu, d..dan ja..jang dimatiin hapenya, ib..ibu takut…, serem banget ini tempatnya,” ucap Bu Endang saat aku membalikan badan membelakanginya yang akan membuka celana panjangnya. “Iya Bu, tenang aja,” jawabku kalem. Pikiran isengku tiba-tiba timbul. Ingin merekam suasana sekitar. Siapa tahu ada penampakan makhluk astral yang tertangkap kamera. Ini sangat menarik dan sudah pasti akan viral jika diposting di medsos. Maka aku pun menggerahkan camera hape dalam mode merekan ke beberapa sudut ruangan yang sangat gelap dan mencekam. Tentu saja membelakangi Bu Endang yang sedang pipis. Nanti aku malah digampar kalau sampai merekam aksinya. BRUG! BRUG! “Geraaaaaald!!!!” teriak Bu Endang keras. Baru saja beberapa detik merekam, tiba-tiba dia berteriak keras mengiringi suara gedebug di atas genting. Aku menduga itu suara ranting pohon yang patah, karena kaget, refeks membalikan badan, langsung mengarahkan camera hape ke pojokkan. Deg! Jantungku seketika teras
Sebenarnya sampai hari ini pun, aku masih belum percaya dengan kejadian waktu kelas tiga SMA itu. Bu Nina, guru agama kami yang bena-benar sangat alim dan bahkan suaminya juga sama alimnya, ternyata mempunyai sisi liar bersama Rizal. Harus aku akui, ketika dulu Rizal memang bintangnya di sekolah. Ganteng, lumayan cerdas, tajir dan isi kepalanya super mesum. Selalu punya cara untuk menaklukan wanita manapaun yang dia incar. Tidak terkecuali Bu Nina, si istri sholehah itu. Nanti biar Rizal yang cerita sendiri keseruannya. Tak berselang lama aku dan Rizal pun bersiap untuk berpisah. Rizal mendapat telpon dari seseorang yang diminta untuk memeriksakan motornya yang mogok. Aku juga harus segera berangkat sebelum hari menjadi gelap, karena membonceng istrinya Pak Endang. “Gini aja, Zal. Gua mungkin semingguan di kampung. Gimana kalau subuh minggu depan lu tunggu gua di sini. Terus kita bareng ke kota. Sambil nyari atau nunggu kerjaan buat lu kan bisa bantu-bantu dulu di rumah teman gua.