Umi Anisa bergelinjang manja dan menggoda. Dia meramas-remas kedua payudaranya sendiri sambil mendesah-desah lembut mengiringi setiap gerakan tangannya. Wanita yang kesehariannya terkesan sangat alim dan setia itu benar-benar telah terbakar libido dan gairah seksualnya. Bang Andre yang bertubuh tinggi besar dan bekulit agak gelap itu pun berdiri gagah. Tangan kanannya memegangi dan memainkan batang kejantanannya. Sinar matanya nanar menatap sayu Umi Anisa yang menggelinjang di atas kasur. Mereka saling bertatapan dan saling beradu senyum mesum yang tersungging dari keduanya. Dengan gerakan perlahan, layaknya binatang berkaki empat, Bang Andre naik ke atas ranjang mendekati tubuh bugil Umi Anisa. Kedua tangan Bang Andre memegangi kedua paha istri Ustad Umar itu dengan lembutnya, lalu melebarkannya. Tak lama kemudian Bang Andre menunduk lalu membenamkan wajahnya di selangkangan Umi Anisa. “Oooowhsss, Andreee ssssst…” Umi Anisa melenguh panjang dengan kepala menghentak. Sementara kedua
**Biar tdak membosankan cerita akan dilanjut dengan POV Gerald** Entah berapa lama aku tertegun duduk di dalam kamar kostku. Tak tahu harus berbuat apa, dan yang pasti masih tidak percaya dengan yang baru saja aku saksikan namun nyata adanya. Bayangan bersetubuhn antara Bang Andre dengan Umi Anisa masih terus menari-nari dalam benakku. Ternyata orang-orang yang selama ini aku hormati dengan sepenuh hati, tidak lebih mulia dariku. [Nak Gerald, siap-siap ya. Sebentar lagi kita berangkat lagi ke rumah sakit. Umi juga ketiduran barusan baru bangun, ini baru mau mandi] Sebuah pesan masuk dari Umi Yani, sontak membuyarkan lamunanku. Dan tanpa menuda waktu aku segera mengganti pakaian, lalu mengeluarkan kain sarung dari dalam lemari dan memasukannya ke dalam tas soren. Lalu setelah berpamitan pada ibu kostku yang kebetulan sedang nonton tv, aku pun segera berangkat ke rumah Umi Yani. Ketik di tengah perjalanan Umi Yani mengirimkan pesan lagi. [Nak Gerald, masuk langsung aja lewat dapur
Umi Yani pun langsung menolak. Posisinya yang dekat dengan kamar mayat menjadi pertimbangannya. Namun beliau pada akhirnya menyerah setelah benar-benar tidak ada lagi tempat yang bisa ditempati. Aku pun berjanji untuk berjaga sepanjang malam, menemaninya tidur. Pikiran kotorku pun sudah hilang entah kemana. "Janji ya Gerald, kamu harus bangunkan umi kalau mau kencing atau beli rokok. Soalnya umi takut ditinggal sendirian, apalagi dekat…..," ucap Umi Yani dengan wajah yang tampak masih pucat dan cemas. Aku tahu dia sangat terpaksa menerima tawaranku dan belum bisa membuang rasa takutnya. "Persediaan rokok saya lebih dari cukup sampai pagi, Umi. Jadi tidak perlu kemana-mana lagi, paling kecing, itu pun kalau gak bisa ditahan, hehehe," jawabku sambil cengengesan. Sengaja bercanda agar dia tidak terlalu merasa takut dan tegang. Akhirnya kami menggelar tikar dan plastik di teras bangunan yang jaraknya tidak lebih dari tiga meter dengan ruang kamar jenazah. Ternyata nyaman juga menempat
“Ger, pu…pu,…punya kamu ge..gede amat,” Bisikan yang sudah kuduga sebelumnya. “Ini beneran punya kamu?” tanyanya sambil terus meremas dan menggenggam batang rudalku. “Iya Mi, masa punya orang saya bawa-bawa, emangnya kenapa, Mi?” tanyaku pura-pura tak mengerti. “Gila, ini punya kamu gede amat, Gerald. Usia kamu berapa, sih?” Umi Yani tampak makin penasaran. “Hehehe, umi suka gak sama yang gede panjang dan keras?” Aku balik bertanya dengan mengacuhkan pertanyaannya. “Ini sih udah kaya punya orang bule, Ger. Kamu keturuan Arab sih ya.” Umi Yani semakin penasaran namun tangannya semakin gemas mencengkeram batangku yang masih dalam celana pendekku. “Emang Umi tahu punya orang Arab atau orang bule itu gede panjang?” tanyaku iseng dan sejujrunya penasaran dari mana dia tahu itu. “Pernah liat di internet, tapi…” ucapnya tidak selesai. Mungkin dia malu merasa keceplosan. “Hehehe Umi mau menikmatinya yang ada digenggaman Umi gak?” godaku sambil mengedut-ngedutkan batang rudalku yang maki
Subuh-subuh aku sudah kembali ke kostan karena harus kuliah. Umi Yani menyelipakan uang buat sarapan yang jumlahnya aku pikir lebih dari cukup buat 20 kali sarapan. Aku sudah menolaknya namun dia memaksa. Sungguh tidak terduga keberuntunganku minggu-minggu ini. Mungkinkah setelah bertemu dengan Tante Sonya aku menjadi sangat bersemangat dan percaya diri hingga semua terasa sangat mudah dan ringan untuk dijalani. Di kampus pun aku sudah kembali gaul dan berinteraksi dengan teman-teman karena pikiranku mulai tidak terlalu terganggu dengan problema keuangan. “Eh Dit kapan kerjaan dari Tante Intan itu pastinya?” tanyaku saat sama-sama hendak ke kantin. “Gak tahu, gua juga belum ketemu lagi sama dia. Lu hubungi langusng aja, kan ada nomornya,” saran Dito. “Gak enak juga sih. Entar aja deh nunggu dia ke sini, hehehe,” balasku seraya cengengesan malu-malu. “Proyek tambahannya, ngelonin dia, mau gak, Bro?” Tiba-tib Dito berbisiki di telingaku. “Hah! pala lu bau asbak! Dia kan mertua kak
“Oh gitu?” tanggapku seraya melongo karena tadi malam tak secuil pun Umi Yani membahasnya. “Iya, makanya kami datang mendadak untuk mengurus dan memastikan segalanya. Kalau deket sih, mungkin kami juga masih butuh tenaga Gerald. Tapi kalau di Jakarta kan bisa ngeganggu kuliah Gerald, iya gak?” “Iya sih Mas. Wah syukur kalau mau dirawat yang lebih baik. Saya hanya bisa turut mendoakan semoaga Pak Ustad bisa segera cepat sembuh dan kembali seperti biasa.” “Amin.” “Dan ini, maaf, jangan dianggap penghinaan. Mohon diterima, bukan gaji tapi sekedar ganti uang sabun dan uang lelah aja, Ger,” ucap Mas Budiana serya menyerahkan amplop yang kurasa sangat tebal. “Aduh Maaas, sa..” Aku berseru kaget. “Sssst, sudahlah jangan ditolak, mohon diterima. Mohon maaf jika jumlahnya tidak sesuai. Intinya kami menghaturkan terima kasih atas kebaikan hati Gerlad.” Belum sempat aku menjawab, tak lama berselang Ustad Umar, Umi Anisa dan Bang Andre datang. Sepertinya mereka juga akan ikut ke Jakarta men
Saat tiba di rumah sakit, aku benar-benar tersentak tak percaya. Ternyata di sana sudah ada Tante Sonya yang sedang menjenguk Ustad Buyamin. Awalnya aku hampir tak percaya jika Tante Sonya benar-benar menjenguk suaminya Umi Yani. Mengapa mereka saling kenal? Setelah dijelaskan baru aku paham. Perushaan Mas Budiana ternyata salah satu partner bisnis perusahaan Tante Sonya. Antara mereka sudah sering bekerja sama, bahkan Tante Sonya sudah lama saling mengenal. Ketika mengetahi Mas Budiana ada di Bogor, Tante Sonya langsung menemuinya sekalian menjenguk Abinya Mas Budianan yang perawatannya akan dipindah ke Jakarta. “Seperi sebuah sinetron ya, Ger,” ucap Tante Sonya saat kami berdiri berdua melepas ambulance yang akan membawa suaminya Umi Yani ke Jakarta. “Amazing banget Tante, hehehe,” balasku masih sedikit excited. “Tante aja sampe kaget saat Umi Yani bilang kalau yang nemein dia selam di rumah sakit itu Gerald. Aku rasa pasti kamu, karena nama Gerald di sini sangat jarang. Dan ter
Oh my God, dia bahkan lebih cantik dari mantan pacar kilatku, atau siapapun gadis-gadis yang pernah tertidur di bawah perutku. Ini benar-benar cantik yang mengundang hasratku. Dan seketika itu juga aku merasakan dunia dan juga waktu berputar sangat lambat. Setelah aku mengunci pintu, Tante Sonya duduk di ujung ranjang putih, menghadap ke jendela membelakangiku. Aku duduk di kursi yang tersedia di sana dan kami saling diam-diaman untuk beberapa saat. Aku bingung harus memulai dari mana. Kami benar-benar dua insan berbeda kelamin yang terjebak di sebuah kamar dalam keadaan saling ragu. Mungkin berasa ingin khilaf tapi tipis-tipis aja. Apakah Tante Sonya merasa menyesal telah mengundangku ke kamar ini? Kamar terasa hening dan beku. “Gerald…” “Sonya..” Kami saling menyapa dalam waktu yang bersamaan hingga membuat kami tertawa. Aneh sekali seperti ada sebuah kesepakatan untuk saling memanggil nama. Ini baru pertama terjadi dan syukurlah, suasana kamar kembali mencair setelah kami sa
Sore harinya Bu Nina memintaku untuk mengantarnya pulang. Tentu saja dia bukan benar-benar ingin pulang. Sepanjang perjalanan otakku tak pernah bisa diam, dipenuhi dengan berbagai obsesi liar. Bahkan beberapa kali aku sengaja memancing Bu Nina dengan obrolan yang sedikit panas dan menjurus mesum. Namun beliau sepertinya selalu mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia masih jengah dengan peristiwa tadi pagi, namun aku sendiri menduga jika dia sengaja mengajakku pulang duluan karena ingin mengulanginya. “Ke Duta Permata aja, Ger.” Tiba-tiba Bu Nina bicara tegas setelah mobil melaju di jalan raya. “Kita mau Ke hotel, Bu?” tanyaku memastikan. “Ya,” balas Bu Nina pelan, dan dengan santainya menganggukkan kepala seraya tersenyum. Dengan semangat 45 aku melajukan mobil Bu Nina menuju hotel yang dia sebutkan. Tak sampai setengah jam kemudian kami pun tiba di depan hotel yang berlokasi dekat dengan salah kampus negeri ternama. Kami segera masuk ke dalam hotel. Setelah menyelesaikan urusan di
Wajah Bu Nina semakin tampak merah merona namun matanya seolah sudah terpatri di selangkanganku. Batang zakarku pun sepertinya merasakan itu, dia bergerak-gerak sendiri seolah mengangguk-angguk memberikan penghormtan pada Bu Nina. Bu Nina pun melangkah menuju ke arah jam tangannya yang tertinggal. Pikiran mesumku semakin menjadi-jadi maka dengan cepat aku tutup pintu jamban. “Gerald kamu apa…ap…apaaan?” Bu Nina bertanya dengan suara yang sedikit gelagapan. "Maaf Bu, ta.. pi.. Ibu benar-benar sangat menggoda dan menggairahkan saya." Entah siapa yang mengajariku untuk bicara frontal dan kurang ajar pada mantan Kepala sekolahku. Aku bahkan tidak memikirkan apa akibat dari permainan dan perkataan gilaku ini. “Kamu.. sudah gila apa, Gerald!" sentak Bu Nina. Namun belum sempat kujawab pertanyaannya dia kembali menyahut. "Ibu sudah menduga kamu dari kejadian tadi malam, tapi kamu harus tahu bahwa Ibu sudah bersuami dan lagian ibu kan sudah tua, Gerald!" Dia mencoba menyadarkan aku. "Tap
Aku bertanya dalam hati mimpi apa semalam sehingga memperoleh keuntungan dobel. Pertama memegang buah dada indahnya, yang kedua bisa melihat bokong dan pahanya walaupun agak sedikit samar. Tak terasa celanaku semakin sempit karena senjata kesayanganku pun ikut-ikutan menggeliat. Tanganku meraba rudalku dan membuat remasan-remasan kecil. Tak puas dengan itu aku mengeluarkan batang rudalku sehingga dapat berdiri bebas mengacung. Aku yakin Bu Nina tidak akan melihat polahku yang super gila ini. Sepertinya Bu Nina sudah selesai buang air kecilnya. Dan ketika akan naik ke atas, aku ulurkan tanganku dan menariknya. Aku minta Bu Nina berjalan di depanku dengan alasan aku mengawal kalau ada apa-apa. Namun yang sebenarnya bukan karena itu, tapi aku bisa bebas membuat rudalku terjulur keluar dari seleting celanaku. Sensasi ini aku nikmati sampai ke dekat tenda pembina. Kami melanjutkan ngobrol sampai akhirnya acara jurit malam selesai. Malam sudah larut bahkan menjelang dini hari, kami pembi
“Geer, udah dulu bersih-bersihnya!” Teriakan ibuku mengagetkan. Saat ini aku sedang berada di rumah ibuku dan membantu membersihkan kebun belakang. Kedua adikku pun ikut membantu. Kami semua pun sontak menghentikan segala aktifitas, walau hanya sekedar menyiangi rumpat pada sayuran yang rencananya beberapa hari lagi akan dipanen oleh tengkulak yang sudah mondar-mondir kebelet pengen membelinya. “Ada apa, Ma?” tanya Gayatri, adikku yang baru berusia empat belas tahun kebetulan berdiri tak jauh dariku. “Ada Pak Budi, mau ketemu sama A Gerald,” jawab Ibu sambil menyodorkan handuk kepadku. Perintah halus agar aku segera mandi atau setidaknya mencuci anggota tubuhku yang kotor. “Pak Budi mana?” Aku balik bertanya sambil mengernyitkan dahi, banyak sekali nama Budi di kampung ini, terutama yang sudah dewasa. Kalau anak-anak muda rasanya sudah jarang sekali yang bernama ‘Budi.’ Kata ibu, dulu nama Budi dan Wati adalah nama pavorit di seluruh Indonesia. Gak tahu mengapa bisa demikian. “Pa
Aku hanya mengganguk dan tersenyum seraya sedikit menunduk, lalu dengan pelan berjalan mendekati Bu Ardy yang kini sudah kembali tengkurep di atas kasurnya. Dengan jantung yang semakin tak karu-karuan dan dalam intimidasi tatapan nenekku, aku memulai kerjaku dengan memijat pelan-pelan pergelangan kaki Bu Ardy, seperti biasa saat aku memijat teman-temanku atau tetangga lelakiku yang kadang iseng meminta dipijat. Titik titik pergelangan kedua kaki Bu Ardy kupijat dengan tekanan cukup kuat tapi tidak sampai membuatnya kesakitan. Setelah pergelangan kaki, aku pun mulai memijat betisnya, tak lama naik ke paha, pantat lalu punggung. Itu hanya pijatan adaptasi atau perkenalan awal dengan tanpa menggunakan lotion. Pelan tapi penuh tekanan, aku memijat telapak kaki Bu Ardy. Sesekali aku melirik pada nenekku, takut kalau pijatanku salah. Namun nenekku sama sekali tidak memberikan respon, tampaknya memang pijatanku masih sesuai dengan prosedur yang selama ini dia terapkan. "Enak loh pijatan
Kurang lebih jam setengah tujuh malam, aku sudah bersiap mengantar nenek ke emplasemen dengan motor Umi Yani. Emplasemen adalah sebutan untuk kompleks perumahan yang dihuni oleh para petinggi atau pejabat perkebunan yang lokasinya bersebelahan dengan kampung tempat tinggalku. Jaraknya kurang lebih tiga kilo meteran. Untuk ukuran kampung masih terasa dekat, karena biasanya ditempuh dengan jalan kaki. Sejak kakek meninggal dunia, aku yang selalu mengantar nenek jika ada panggilan memijat ke tempat yang jauh. Aku tidak mengizinkan beliau naik ojek karena sebagain besar tukang ojek di kampungku bermata keranjang. Dan sebagaimana janda yang lainnya, nenek pun terkadang masih suka digodain. Sungguh edan memang mereka itu, hehehe. "Parkir dulu motornya, Ger, jangan lupa kunci stangnya juga," ucap nenek saat kami sudah tiba di depan rumah keluarga Pak Ardy yang akan dipjatnya. Menurut nenek, Pak Ardy adalah salah seorang pejabat di perkebunan itu. Tidak berapa lama pintu rumah Pak Ardy
“Asiik A Gerald pulang!” seru Hendi saat baru saja masuk ke rumah nenek dan mencium tanganku seperti santri pada ustadnya. “Hehe, senang amat, kenapa?” tanyaku sambil mengelus kepalanya. “Hendi bentar lagi ulangan A, mau ikut bimbel sama Aa, boleh?” “Boleh banget, yang penting ranking satu.” “Siaap A. mulai malam ini ya?” “Boleh.” Seperti biasa setiap berada di kampung aku kumpul bersama teman-teman yang masih ada. Kebanyakan teman seangkatanku sudah bekerja dan merantau ke kota. Hendi adalah anaknya almarhum Mang Adin, adik ibuku, alias anak bungsunya nenek. Mang Adin sudah meninggal dua setahun yang lalu. Namun hubungan kekeluargaan kami dengan mantan istinya juga Hendi anaknya tetap baik. Mamanya Hendi bernama Nara, kami biasa memanggilnya Bi Ara. Usia 30 tahun dan Hendi yang baru kelas satu SMP merupakan anak tunggalnya. Sudah dua tahun Bi Ara menjanda namun sepertinya belum berniat menikah lagi. Menurut cerita nenek dan aku juga tahu, banyak yang ingin menjadikan Bi Ara i
“Gerald, ja..ja.jangan pergi dulu, d..dan ja..jang dimatiin hapenya, ib..ibu takut…, serem banget ini tempatnya,” ucap Bu Endang saat aku membalikan badan membelakanginya yang akan membuka celana panjangnya. “Iya Bu, tenang aja,” jawabku kalem. Pikiran isengku tiba-tiba timbul. Ingin merekam suasana sekitar. Siapa tahu ada penampakan makhluk astral yang tertangkap kamera. Ini sangat menarik dan sudah pasti akan viral jika diposting di medsos. Maka aku pun menggerahkan camera hape dalam mode merekan ke beberapa sudut ruangan yang sangat gelap dan mencekam. Tentu saja membelakangi Bu Endang yang sedang pipis. Nanti aku malah digampar kalau sampai merekam aksinya. BRUG! BRUG! “Geraaaaaald!!!!” teriak Bu Endang keras. Baru saja beberapa detik merekam, tiba-tiba dia berteriak keras mengiringi suara gedebug di atas genting. Aku menduga itu suara ranting pohon yang patah, karena kaget, refeks membalikan badan, langsung mengarahkan camera hape ke pojokkan. Deg! Jantungku seketika teras
Sebenarnya sampai hari ini pun, aku masih belum percaya dengan kejadian waktu kelas tiga SMA itu. Bu Nina, guru agama kami yang bena-benar sangat alim dan bahkan suaminya juga sama alimnya, ternyata mempunyai sisi liar bersama Rizal. Harus aku akui, ketika dulu Rizal memang bintangnya di sekolah. Ganteng, lumayan cerdas, tajir dan isi kepalanya super mesum. Selalu punya cara untuk menaklukan wanita manapaun yang dia incar. Tidak terkecuali Bu Nina, si istri sholehah itu. Nanti biar Rizal yang cerita sendiri keseruannya. Tak berselang lama aku dan Rizal pun bersiap untuk berpisah. Rizal mendapat telpon dari seseorang yang diminta untuk memeriksakan motornya yang mogok. Aku juga harus segera berangkat sebelum hari menjadi gelap, karena membonceng istrinya Pak Endang. “Gini aja, Zal. Gua mungkin semingguan di kampung. Gimana kalau subuh minggu depan lu tunggu gua di sini. Terus kita bareng ke kota. Sambil nyari atau nunggu kerjaan buat lu kan bisa bantu-bantu dulu di rumah teman gua.