Tante Sonya sangat ingin meloncat dan berteriak kegirangan. Namun dia masih sadar untuk tetap duduk tenang di samping suaminya.
Masih banyak pertanyaan yang terisa dalam benak yang harus mendapat jawaban dari suaminya. Tante Sonya teremnung sambil memutar otak, mencari dan menyusun kata serta kalimat yang tepat untuk penyelidik tanpa harus dicurigai.
“Emangnya mau kapan Gerald ke sininya lagi? Tumben Ioh Papa ampe segitunya maksa mama. Ada apa denganmu? Hehehe…” Tante Sonya kembali berpura-pura santai dan keberatan untuk menutupi rasa senangnya yang membuncah dalam dada.
“Kapan aja bisa, tapi papa janjian sama Gerald minggu depan, bisa kan Mah? Maksudnya, Mama gak ada kegiatan di luar kota kan minggu depan?” Pak Hendrawan pun tak kalah antusiasnya.
“Sepertinya sih gak ada. tapi gimana dengan Edgar? Mama malu, gak bernai dipijat lelaki lain kalau ada Edgar di rumah.” Tante Sonya menyoal anak bungsunya yang sudah duduk di bangku SMA.
“Mama kayak gak tahu aja, malam Sabtu dan malam Minggu mana pernah Edgar tinggl di rumah.” Pak Hendrawan mengingatkan.
“Heheh iya juga ya. Tapi Papa harus nemenin kalau Mama benar-benar jadi dipijat sama Gerald. Mama takut kalau dipijat hanya berduaan. Apalagi kan mama belum terlalu kenal dengan Gerald, bagaimana kalau dia kurang ajar sama mama?” Tante Sonya kembali menutupi perasaannya yang sejatinya dia sangat ingin meloncat-loncat kegirangan.
“Mama percaya deh sama Papa. Gerald itu bukan anak muda yang kurang ajar. Mana berani dia ganggu atau godain istri dosennya sendiri? Emang mau jadi mahasiswa abadi apa? Hehehe.” Pak Hendrawan terus berusaha meyakinkan istrinya.
“Emang Papa udah lama kenal sama Gerald? Kok baru sekarang sih pakai jasa dia buat mijit?” Tante Sonya makin penasaran dan ingin terus menelisik keterangan dari suaminya.
“Gerald Arisandy itu sebenarnya mahasiswa yang pendiam. Papa baru kenal seminggu yang lalu, itu pun atas rekomendasi Pak Juang. Walau dia mahasiswa papa, tapi kalau pendiam begitu gak terlalu dikenal, Mah. Namun demikian, papa sangat yakin, walau Gerald alumni STM, tapi dia tetap anak baik.” Pak Hendrawan style yakin dengan pengenalannya terhadap Gerald.
“Berarti istrinya Pak Juang pernah dipijat jug sama Gerald ya?” Tante Sonya akhirnya berani bertanya atas pikirannya yang sejak tadi bergelayut.
“Kata Pak Juang sih udah sering. Tapi selalu ditemani Pak Juang, sama aja kaya mama mungkin awalnya juga gak berani.”
“Oh gitu. Ya udah kalau memang Papa maksa terus, minggu depan mama usahakan dipijat sama Gerald. Tapi sekarang kita makan dulu yu!” ajak Tante Sonya mengakhiri obrolannya di ruang keluarganya.
‘Jangan-jangan Bu Jaung juga sudah merasakan rudalnya Gerald? Ah, sialan. Kalau itu sampai terjadi, rasanya aku benar-benar tidak rela. Rudal Gerlad tidak boleh ada yang menikmatinya, titik!’ batin Tante Sonya.
Pasangan berbahagia itu pun makan malam bersama dengan suasana yang sangat berbeda. Wajah Pak Hendrawan tampak sumringah dan bercahaya, mungkin karena habis dipijat, atau mungkin juga karena senang karena istrinya dengan mudah bisa diluluhkan hatinya.
Pada awalnya Pak Hendrawan merasa sangat berat merayu istrinya. Selama ini dia mengenal istrinya sebagai wanita yang sangat menjaga jarak dengan lelaki lain, walau kesehariannya tidak berpakaian yang serba tertutup.
Pak Hendrawan sudah kenal betul siapa istrinya. Godaan laki-laki lain di segala tempat sukses dia singkirkan, bahkan ketika lebih dari tiga bulan tinggal di Jepang, istrinya sama sekali tidak dikabarkan selingkuh atau ada tanda-tanda ke arah sana.
‘Ternyata melihat istri kita dipijat oleh lelaki lain itu, sangat luar biasa sensasinya. Tidak bisa diucapkan dengan kata-kata namun bisa dirasakan dengan debaran jantung yang bergelora. Silakan rasakan langsung sama Pak Hendrawan.’
Kata-kata motivasi dari Pak Juang sukses membuat Pak Hendrawan semakin giat merayu istrinya untuk bisa sudi dipijat oleh Gerlad. Pak Hendrawan bahkan sudah tidak sabar ingin segera merasakan sensasi dan fantasi gila yang sering obral oleh koleganya itu. .
Setelah selesai makan malam, mereka pun langsung masuk kamar tidur. Pak Hendrawan yang merasa lelah dan kekenyangan, langsung tertidur dengan pulas, stelah terlebih dahulu meminta maaf pada istrinya karena belum bisa memberikan nafkah batinnya. Dan Tante Sonya pun sangat memakluminya.
Ketika Pak Hendrawan sudah terbang jauh di alam mimpi, Tante Sonya semakin anteng dengan lamunannya. Bibirnya kembali tersenyum membayangkan akan kembali bisa disentuh Gerald.
Walau mungkin nantinya hanya sekedar sebuah pijatan, namun Tante Sonya yakin itu adalah merupakan jalan pembuka baginya untuk bisa kembali berkomunikasi dengan Gerald, yang selanjutnya tentu saja terserah dia.
Dalam perenungan panjangnya, Tante Sonya mulai bertanya-tanya tentang suaminya yang sebegitu memaksa dirinya agar mau dipijat Gerald.
‘Apakah suamiku memiliki fantasi seksual yang aneh? Aku pernah mendengar ada beberapa suami yang memiliki orientasi seks cucukold. Benarkah demikian?’ tanya Tante Sonya dalam hati.
Tante Sonya mulai menarik benang merah dari sikap dan ucapan suaminya yang berubah drastis. Menurut hematnya, bisa jadi gangguan seksual suaminya selama ini diakibatnya dari beban psikologisnya sendiri. Fantasi seksual suaminya telah membebani pikirannya sendiri hingga berpengaruh pada fungsi kejantanannya.
Sudah lebih dari setahun Pak Hendrawan mudah gelisah dan mengaku mudah merasa letih. Gairah seksualnya menurun drastis bahkan hingga ejakulasi dini. Setiap melakukan persetubuhan, suaminya selalu kalah duluan di saat Tante Sonya belum merasakan apa-apa.
Hal itu teramat disadari Pak Hendrawan. Dia sangat sadar bagaimana kualitas hubungan ranjangnya dengan istrinya. Oleh karena itu, dia membelikan alat vibrator yang secara tidak langsung dapat membantu memuaskan istrinya saat bersenggaman dengannya.
Pada awalnya alat tersebut dipakai sebagai simulator sebelum berhubungan badan. Akan tetapi lama kelamaan secara diam-diam Tante Sonya menggunakannya untuk menyalurkan hasrat seksualnya di belakang Pak Hendrawan. Namun justru hal tersebut bukannya memadamkan gairah, namun juatru semakin meluap-luap. Tak jarang Tante Sonya sampai harus melakukan masturbasi di kantornya.
Karena merasa jenuh dan bosan menggunakan dildo, akhirnya Tante Sonya nekad mencari kepuasan dari lekaki lain. Dia ingin kembali merasakan nikmatnya bercinta tanpa alat bantu. Gerald adalah lelaki pertama yang benar-benar mampu memberikan kenikmatan dan kepuasan dalam bercinta pada Tante Sonya.
Dalam perenungan panjangnya Tante Sonya tiba-tiba tersenyum geli, mengenang peristiwa yang menjijikkan yang terjadi beberapa jam sebelum bertemu Gerald pada hari itu.
‘Kalau saja siang itu tidak ada peristiwa menjijikkan di kantor, mungkin aku tidak bertemu Gerald. Untung saja siang itu aku mendapatkan kesialan, hingga betah berlama-lama di restoran dan akhirnya bertemu dengan Gerald dan mendapat kenikmatan yang tiada terhingga.’ Bibir Tante Sonya kembali tersenyum merekah.
Benar-benar ‘Ah benar-benar sengsara membawa nikmat.’
Akhirnya memori Tante Sonya benar-benar kembali melayang pada peristiwa yang terjadi dan dia alami beberapa bulan yang lalu…
^*^
Tujuh bulan yang lalu sebelum Tante Sonya bertemu Gerald. Siang ini Tante Sonya sedang kedatangan tamu penting di ruangan kantornya. Dia bahkan harus berpesan pada sekretarisnya agar tidak mengganggunya, dan melarang siapapun masuk ke ruangannya. Tamu penting yang dihadapi Tante Sonya adalah dua orang pejabat dari dinas departemen perikanan dan kelautan setempat. Pak Handoyo dan Pak Guntoro, merupakan orang penting dan memiliki kewenangan penuh dalam memuluskan kerjasama proyek ekspor benih lobster ke beberapa negara termuka di kawasan Asia dan Amerika, terutama negara Jepang yang benar-benar diincar oleh perusahaan tempat Tante Sonya mengabdi. Tante Sonya memiliki tugas dan tanggung jawab penuh agar proyek tersebut sukses dan berkelanjutan. Bonus besar dan kesempatan tinggal di Jepang selama tiga bulan sudah menanti Tante Sonya, jika tender proyek itu benar-benar dimenangkan oleh perusahaannya. Guna kepentingan hal tersebut di atas, Tante Sonya berusaha bersikap manis kepada dua t
Pak Handoyo lalu menyerahkan dokumen tersebut kepada Pak Guntoro untuk ditanda tangani setelah dia sendiri menandatanginya. Lalu setelah selesai Pak Guntoro pun memperlihatkan dokumen tersebut pada Tante Sonya. Dan seketika itu juga hati Tante Sonya bersorak. Ternyata tidak sesulit yang dibayangkan bernegosiasi dengan dua bandot yang terkenal sangat licik ini. “Maksud saya begini Bu. Saat ini kami sama sekali tidak sedang butuh teman seorang selegram atau artis tiktok sekalipun. Kami melihat penampilan dan tubuh Bu Sonya jauh lebih menarik dan menggairahkan.” “Hah!” Tante Sonya membelalakan matanya tanpa bisa berkata-kata. “Tetapi maaf Bu, kami tidak memaksa. Kalau Ibu keberatan dengan terpaksa kami pun akan pamit dengan membawa kembali dokumen ini, hehehe.” Pak Handoyo terkekeh licik. “Maksudnya Bapak-bapak mengingkan tubuh saya, begitu?” tanya Tante Sonya sambil mengernyitkan dahinya. Tante Sonya benar-benar tidak menyangka orang-orang ini menginginkan tubuhnya yang dia pikir t
Gerald sedang dirundung malang. Pikirannya suntuk karena kuliahnya terancam droup out akibat orang tuanya benar-benar mengalami kesulitan ekonomi yang sangat dahsyat. Gerald sebannya tidak tinggal diam. Setiap hari mendatangi banyak restaurant, kantin, kios, bengkel hingga warung-warung kecil yang mungkin sedang membutuhkan karyawan lepas. Gerald mau bekerja apa saja asal tetap bisa melanjutkan kuliahnya yang tinggal dua tahun lagi. Namun semua nihil. Ketika itu sudah hampir empat Gerald tinggal di kostan Bu Ana. Tinggal di sana awalnya secara tidak sengaja dia dipertemukan dengan Bu Ana di pasar. Waktu itu Bu Ana yang sedang berbelanja kecopetan tas tangannya yang berisi uang dan perhiasan yang akan dijualnya, atas tukar tambah yang lebih besar. Bu Ana berteriak minta tolong. Banyak yang mengejak copet itu, namun Gerald yang kebetulan ada di sana yang bisa menangkap copet itu sekaligus mengambil tas Bu Ana. Sang copet babak belur dihamili masa, sementara Gerald mengembalikan tas t
Alasan yang dibuat-buat pada Bu Ana, akhirnya membuat Gerald bingung sendiri. Sejatinya dia sama sekali tidak punya janji dengan siapapun. Gerald belum banyak punya teman, dan hampir semua temannya tidak tinggal di kost. Mereka bersama orang tuanya dan cukup jauh. Sebagai lelaki yang sudah mengenal dunia esek-esek dan bahkan sudah pernah beberapa kali melakukan hubungan badan, Gerald bukan tidak tahu gelagat Bu Ana yang sepertinya akan membawa dia menuju sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan. Gerald sangat paham, namun dia juga masih menjaga menocba menjaga kewarasannya dan berusaha menjunjung tinggi moral dan etika. Biar bagaimana pun Bu Ana adalah wanita yang sangat dihormatinya. Dan walau tidak terlalu kenal dengan suaminya, namun Gerald yakin Pak Sukardi orang baik. Sebenarnya Gerald tadi sempat berpikir untuk memanfaatkan kesepian Bu Ana. Kalau boleh jujur, Gerald selama ini pun sangat memahami kebaikan Bu Ana pada dirinya yang relatif agak berlebihan dan berbeda, bukan
‘Semoga saja Tante Sonya seorang pengusaha dan mau mengajak aku bekerja di perusahaannya. Kalau dilihat dari penampilannya sepertinya dia memang seorang pengusaha. Semoga saja ini adalah jawaban atas semua doa-doaku dan ibuku. Semoga ada rizki buatku dan kedua adikku, Amiin,’ ucap Gerald dalam hati. Dengan dada yang terasa lega dan disorong sebuah harapan baru dan semangat membara, Gerald mencari barang yang sedang dicari Tante Sonya. Dan sama sekali tidak ada kendala karena memang barang tersebut sangat mudah dicari hampir di semua toko yang menjual aksesotis kendaraan. Ketika akan balik kanan kembali dari toko hendak menemui kembali Tante Sonya, Gerald menghentikan langkahnya karena posnsel yang disimpan di saku celananya bergetar pertanda ada panggilan masuk. “Assalamulaikum Bu,” Gerald pun langsung membuka percakapan telpon dengan ibu kostanya. “Waalaikumsalam, Gerald sekarang sedang di mana?” tanya Bu Ana dengan nada yang terdengar sedikit cemas. “Saya sedang di rumah teman
[Ger, kalau ada waktu, besok tante tunggu di tempat yang nanti tante infokan, kira-kira jam makan siang. Bisa gak] Gerald membaca pesan singkat dari Tante Sonya dengan wajah yang berbinar-binar. Kala itu dia baru saja naik angkot hendak pulang ke kostannya. [Siap Tante] Dengan sigap Gerald segera membalasnya. [Oke, nanti tante infokan lagi ya] balasan dari Tante Sonya kembali masuk dan Gerald membalasnya dengan emot kepalan tangan siap!. Walau tidak tahu apa maksudnya Tante Sonya mengajak kembali bertemu, namun Geralad langsung menyetujuinya karena sangat yakin akan banyak kebaikan setelahnya. Bukan hanya sekedar materi, namun Tante Sonya memang sanggup membuat Gerald nyaman dan percaya diri saat bersamanya. Hampir saja Gerald melanjutkan chatnya itu dengan menanyakan kebernaran jumlah uang yang diberikan Tante Sonya padanya, takutnya salah hitunga atau salah ngasih. Namun dia pikir lebih baik besok ditanyakan langung saat bertemu. Dan Gerald berusaha untuk tidak dulu memakainya, s
Sore sampai malam di hari pertama itu, tugas Gerald benar-benar hanya menemani Umi Yani. Walau pada awalnya tidak terlalu saing kenal, namun lama kelamaan mereka pun menjadi sangat akrab. Terlebih lagi Umi Yani tipe orang yang mudah terbuka kepada orang yang bisa dipercaya. Selama ini Umi Yani memang tidak kenal terlalu dekat dengan Gerald, namun nama Gerald bukanlah sesuatu yang baru baginya. Ustad Umar, Umi Anisa dan tetangga lainnya beberapa kali menceritakan kebaikan seorang Gerald. Umi Yani juga sangat yakin, tidak mungkin adik iparnya meminta Gerald menemaninya, jika pemuda itu tdak bisa dipercaya. Umi Yani justru akan menolak mentah-mentah jika Bang Andre yang menemaninya. Dia sudah tahu siapa Andre yang sebenarnya. Gerald juga mulai mengetahui jika Umi Yani aslinya berasal dari Kuningan. Sementara Ustad Buyamin, berasal dari Bandung sama seperti Ustad Umar. Umi Yani telah dikaruniai tiga anak yang sudah dewasa. Dua laki-laki, satu perempuan. Semua sudah menikah dan tinggal b
Adegan yang sangat panjang dan panas namun tidak terlalu mengesankan. Gerald merasa tak sabar ingin segera merasakan nikmatnya bercinta dengan wanita itu. Khayal dan angannya dipenuhi dengan berjuta kenikmatan yang akan dia dapatkan dibanding dengan percintaan-percintaan sebelumnya. Bibir basah Tante Sonya yang merekah pasrah saat berbicara, tergambar jelas di mata Gerald. Harum tubuh Tante Sonya yang menggairahkan, kembali tercium jelas di hidung Gerald. Kelembutan kulit tangan Tante Sonya dan kenyalnya buat dadanya saat menyentuh lengannya, kemballi semua terasa seperti nyata. Bahkan sang jantan merasakannya teramat nyata. Gerald menelan ludah berkali-kali. Jantungnya berdegup kencang, seperti ketika waktu dia membayangkan bisa melumat bibir Tante Sonya saat sedang bersama tadi. ‘Sedang apa Tante Sonya sekarang? Apakah dia sedang dicumbu suaminya?’ Pertanyaan terakhir Gerald tiba-tiba dia rasa sangat mengganggu dan membuatnya terbakar cemburu dalam birahi. Sungguh sangat mengge
Sore harinya Bu Nina memintaku untuk mengantarnya pulang. Tentu saja dia bukan benar-benar ingin pulang. Sepanjang perjalanan otakku tak pernah bisa diam, dipenuhi dengan berbagai obsesi liar. Bahkan beberapa kali aku sengaja memancing Bu Nina dengan obrolan yang sedikit panas dan menjurus mesum. Namun beliau sepertinya selalu mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia masih jengah dengan peristiwa tadi pagi, namun aku sendiri menduga jika dia sengaja mengajakku pulang duluan karena ingin mengulanginya. “Ke Duta Permata aja, Ger.” Tiba-tiba Bu Nina bicara tegas setelah mobil melaju di jalan raya. “Kita mau Ke hotel, Bu?” tanyaku memastikan. “Ya,” balas Bu Nina pelan, dan dengan santainya menganggukkan kepala seraya tersenyum. Dengan semangat 45 aku melajukan mobil Bu Nina menuju hotel yang dia sebutkan. Tak sampai setengah jam kemudian kami pun tiba di depan hotel yang berlokasi dekat dengan salah kampus negeri ternama. Kami segera masuk ke dalam hotel. Setelah menyelesaikan urusan di
Wajah Bu Nina semakin tampak merah merona namun matanya seolah sudah terpatri di selangkanganku. Batang zakarku pun sepertinya merasakan itu, dia bergerak-gerak sendiri seolah mengangguk-angguk memberikan penghormtan pada Bu Nina. Bu Nina pun melangkah menuju ke arah jam tangannya yang tertinggal. Pikiran mesumku semakin menjadi-jadi maka dengan cepat aku tutup pintu jamban. “Gerald kamu apa…ap…apaaan?” Bu Nina bertanya dengan suara yang sedikit gelagapan. "Maaf Bu, ta.. pi.. Ibu benar-benar sangat menggoda dan menggairahkan saya." Entah siapa yang mengajariku untuk bicara frontal dan kurang ajar pada mantan Kepala sekolahku. Aku bahkan tidak memikirkan apa akibat dari permainan dan perkataan gilaku ini. “Kamu.. sudah gila apa, Gerald!" sentak Bu Nina. Namun belum sempat kujawab pertanyaannya dia kembali menyahut. "Ibu sudah menduga kamu dari kejadian tadi malam, tapi kamu harus tahu bahwa Ibu sudah bersuami dan lagian ibu kan sudah tua, Gerald!" Dia mencoba menyadarkan aku. "Tap
Aku bertanya dalam hati mimpi apa semalam sehingga memperoleh keuntungan dobel. Pertama memegang buah dada indahnya, yang kedua bisa melihat bokong dan pahanya walaupun agak sedikit samar. Tak terasa celanaku semakin sempit karena senjata kesayanganku pun ikut-ikutan menggeliat. Tanganku meraba rudalku dan membuat remasan-remasan kecil. Tak puas dengan itu aku mengeluarkan batang rudalku sehingga dapat berdiri bebas mengacung. Aku yakin Bu Nina tidak akan melihat polahku yang super gila ini. Sepertinya Bu Nina sudah selesai buang air kecilnya. Dan ketika akan naik ke atas, aku ulurkan tanganku dan menariknya. Aku minta Bu Nina berjalan di depanku dengan alasan aku mengawal kalau ada apa-apa. Namun yang sebenarnya bukan karena itu, tapi aku bisa bebas membuat rudalku terjulur keluar dari seleting celanaku. Sensasi ini aku nikmati sampai ke dekat tenda pembina. Kami melanjutkan ngobrol sampai akhirnya acara jurit malam selesai. Malam sudah larut bahkan menjelang dini hari, kami pembi
“Geer, udah dulu bersih-bersihnya!” Teriakan ibuku mengagetkan. Saat ini aku sedang berada di rumah ibuku dan membantu membersihkan kebun belakang. Kedua adikku pun ikut membantu. Kami semua pun sontak menghentikan segala aktifitas, walau hanya sekedar menyiangi rumpat pada sayuran yang rencananya beberapa hari lagi akan dipanen oleh tengkulak yang sudah mondar-mondir kebelet pengen membelinya. “Ada apa, Ma?” tanya Gayatri, adikku yang baru berusia empat belas tahun kebetulan berdiri tak jauh dariku. “Ada Pak Budi, mau ketemu sama A Gerald,” jawab Ibu sambil menyodorkan handuk kepadku. Perintah halus agar aku segera mandi atau setidaknya mencuci anggota tubuhku yang kotor. “Pak Budi mana?” Aku balik bertanya sambil mengernyitkan dahi, banyak sekali nama Budi di kampung ini, terutama yang sudah dewasa. Kalau anak-anak muda rasanya sudah jarang sekali yang bernama ‘Budi.’ Kata ibu, dulu nama Budi dan Wati adalah nama pavorit di seluruh Indonesia. Gak tahu mengapa bisa demikian. “Pa
Aku hanya mengganguk dan tersenyum seraya sedikit menunduk, lalu dengan pelan berjalan mendekati Bu Ardy yang kini sudah kembali tengkurep di atas kasurnya. Dengan jantung yang semakin tak karu-karuan dan dalam intimidasi tatapan nenekku, aku memulai kerjaku dengan memijat pelan-pelan pergelangan kaki Bu Ardy, seperti biasa saat aku memijat teman-temanku atau tetangga lelakiku yang kadang iseng meminta dipijat. Titik titik pergelangan kedua kaki Bu Ardy kupijat dengan tekanan cukup kuat tapi tidak sampai membuatnya kesakitan. Setelah pergelangan kaki, aku pun mulai memijat betisnya, tak lama naik ke paha, pantat lalu punggung. Itu hanya pijatan adaptasi atau perkenalan awal dengan tanpa menggunakan lotion. Pelan tapi penuh tekanan, aku memijat telapak kaki Bu Ardy. Sesekali aku melirik pada nenekku, takut kalau pijatanku salah. Namun nenekku sama sekali tidak memberikan respon, tampaknya memang pijatanku masih sesuai dengan prosedur yang selama ini dia terapkan. "Enak loh pijatan
Kurang lebih jam setengah tujuh malam, aku sudah bersiap mengantar nenek ke emplasemen dengan motor Umi Yani. Emplasemen adalah sebutan untuk kompleks perumahan yang dihuni oleh para petinggi atau pejabat perkebunan yang lokasinya bersebelahan dengan kampung tempat tinggalku. Jaraknya kurang lebih tiga kilo meteran. Untuk ukuran kampung masih terasa dekat, karena biasanya ditempuh dengan jalan kaki. Sejak kakek meninggal dunia, aku yang selalu mengantar nenek jika ada panggilan memijat ke tempat yang jauh. Aku tidak mengizinkan beliau naik ojek karena sebagain besar tukang ojek di kampungku bermata keranjang. Dan sebagaimana janda yang lainnya, nenek pun terkadang masih suka digodain. Sungguh edan memang mereka itu, hehehe. "Parkir dulu motornya, Ger, jangan lupa kunci stangnya juga," ucap nenek saat kami sudah tiba di depan rumah keluarga Pak Ardy yang akan dipjatnya. Menurut nenek, Pak Ardy adalah salah seorang pejabat di perkebunan itu. Tidak berapa lama pintu rumah Pak Ardy
“Asiik A Gerald pulang!” seru Hendi saat baru saja masuk ke rumah nenek dan mencium tanganku seperti santri pada ustadnya. “Hehe, senang amat, kenapa?” tanyaku sambil mengelus kepalanya. “Hendi bentar lagi ulangan A, mau ikut bimbel sama Aa, boleh?” “Boleh banget, yang penting ranking satu.” “Siaap A. mulai malam ini ya?” “Boleh.” Seperti biasa setiap berada di kampung aku kumpul bersama teman-teman yang masih ada. Kebanyakan teman seangkatanku sudah bekerja dan merantau ke kota. Hendi adalah anaknya almarhum Mang Adin, adik ibuku, alias anak bungsunya nenek. Mang Adin sudah meninggal dua setahun yang lalu. Namun hubungan kekeluargaan kami dengan mantan istinya juga Hendi anaknya tetap baik. Mamanya Hendi bernama Nara, kami biasa memanggilnya Bi Ara. Usia 30 tahun dan Hendi yang baru kelas satu SMP merupakan anak tunggalnya. Sudah dua tahun Bi Ara menjanda namun sepertinya belum berniat menikah lagi. Menurut cerita nenek dan aku juga tahu, banyak yang ingin menjadikan Bi Ara i
“Gerald, ja..ja.jangan pergi dulu, d..dan ja..jang dimatiin hapenya, ib..ibu takut…, serem banget ini tempatnya,” ucap Bu Endang saat aku membalikan badan membelakanginya yang akan membuka celana panjangnya. “Iya Bu, tenang aja,” jawabku kalem. Pikiran isengku tiba-tiba timbul. Ingin merekam suasana sekitar. Siapa tahu ada penampakan makhluk astral yang tertangkap kamera. Ini sangat menarik dan sudah pasti akan viral jika diposting di medsos. Maka aku pun menggerahkan camera hape dalam mode merekan ke beberapa sudut ruangan yang sangat gelap dan mencekam. Tentu saja membelakangi Bu Endang yang sedang pipis. Nanti aku malah digampar kalau sampai merekam aksinya. BRUG! BRUG! “Geraaaaaald!!!!” teriak Bu Endang keras. Baru saja beberapa detik merekam, tiba-tiba dia berteriak keras mengiringi suara gedebug di atas genting. Aku menduga itu suara ranting pohon yang patah, karena kaget, refeks membalikan badan, langsung mengarahkan camera hape ke pojokkan. Deg! Jantungku seketika teras
Sebenarnya sampai hari ini pun, aku masih belum percaya dengan kejadian waktu kelas tiga SMA itu. Bu Nina, guru agama kami yang bena-benar sangat alim dan bahkan suaminya juga sama alimnya, ternyata mempunyai sisi liar bersama Rizal. Harus aku akui, ketika dulu Rizal memang bintangnya di sekolah. Ganteng, lumayan cerdas, tajir dan isi kepalanya super mesum. Selalu punya cara untuk menaklukan wanita manapaun yang dia incar. Tidak terkecuali Bu Nina, si istri sholehah itu. Nanti biar Rizal yang cerita sendiri keseruannya. Tak berselang lama aku dan Rizal pun bersiap untuk berpisah. Rizal mendapat telpon dari seseorang yang diminta untuk memeriksakan motornya yang mogok. Aku juga harus segera berangkat sebelum hari menjadi gelap, karena membonceng istrinya Pak Endang. “Gini aja, Zal. Gua mungkin semingguan di kampung. Gimana kalau subuh minggu depan lu tunggu gua di sini. Terus kita bareng ke kota. Sambil nyari atau nunggu kerjaan buat lu kan bisa bantu-bantu dulu di rumah teman gua.