Sementara itu di ruang tamu, Gerald dan Pak Hendrawan asik ngobrol seputar keahlian Gerald melakukan pemijatan untuk mengembalikan vitalitas lelaki, yang sekaligus bisa membangkitkan gairah seksual kaum wanita.
Sang terapis muda yang sudah diakui banyak orang kemampuannya dalam mendeteksi dan mengobati berbagai penyakit hanya dengan pemijatan itu pun sangat antusias mendengar dan menanggapi keluhan serta keinginan Pak Hendrawan, dosennya.
Pak Hendrawan, seorang dosen di Institut Pertambangan Dolar, berusia kurang lebih 50 tahun. Sementara istrinya berusia 45 tahun. Tante Sonia seorang wanita karir yang sudah sangat mapan.
Mereka berumah tangga sudah lebih dari 20 tahun dan sudah dikaruniai dua orang anak. Anak pertamanya yang perempuan saat ini sedang kuliah dan kost di Bandung. Semantara anak keduanya yang laki-laki, baru kelas 2 SMA. Saat ini dia ini sedang menginap di rumah saudaranya.
Rumah tangga Pak Hendrawan dan Tante Sonya, terbilang sangat harmonis, adem ayem, sejahtera dan bahagia. Pak Hendrawan seorang kepala keluarga yang sangat bertanggung jawab, penyabar, ngemong dan pandai membawa suasana hangat pada seluruh keluarganya. Dia senang bercanda dan membuat aneka joke-joke inteleknya yang sangat menghibur.
Sementara Tante Sonya menduduki jabatan yang cukup mentereng pada sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor-impor benih lobster ke berbagai penjuru dunia.
Walau karir Tante Sonya cukup banyak menyita tenaga dan waktunya, namun dia mampu menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah tangga dengan baik. Walau tentus aja dibantu oleh sepasang suami istri yang sudah lama mengabdi pada keluarga mereka.
Tak ada gading yang tak retak. Keharmonisan rumah tangga Pak Hendrawan dengan Tante Sonya, akhir-akhir ini mulai sedikit terganggu akibat menurunnya daya tempur di atas ranjang sang kepala keluarganya. Mungkin disebebkan faktor beban pekerjaan yang semakin berat juga faktor usia atau faktor lain yang sampai saat ini belum diketahui secara pasti oleh Pak Hendrawan itu sendiri.
Sudah beberapa kali beliau konsultasi pada dokter, dan sudah berbagai macam obat yang dia kosnsumsi, namun sejauh ini belum menujukan hasil yang menggembirakan. Terlebih lagi beberapa ahli kesehetan yang memeriksanya, justru selalu mengatakan jika keperkasaan Pak Hendrawan sangat baik-baik.
Untuk mengembalikan vitalitas dan daya tempurnya di atas ranjang, selain rajin berobat dan berkonsultasi pada dokter, Pak Hendrawan pun rajin mengkonsumsi makan sehat serta obat-obatan herbal sebagai penunjangnya. Dia pun menjalani terapi dari seorang terapis yang sudah terkenal. Namun semua usahanya belum menunjukan tanda-tanda yang menggembirakan.
Karena dirasa pijat vitalitas dari seorang terapis berpengalaman itu tidak membuahkan hasil, Pak Hendrawan pun memutuskan untuk pelan-pelan mundur dari kegiatannya itu. Yang semula seminggu sekali mulai digeser menjadi dua minggu sekali.
Sudah cukup besar biaya yang dikeluarkan Pak Hendrawan. Memang sejauh ini Tante Sonya pun tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun sebagai suami tentu saya Pak Hendrawan punya kewajiban memberikan nafkah lahir dan batin yang memandai dan memuasakan kepada istrinya.
Jangan sampai ada pejantan lain yang mencoba menggantikan posisinya. Atau lebih jauhnya justru istrinya mencari kepuasan di luar sana. Tidak, Pak Hendrawan tidak ingin semua itu terkadi. Terlalu mahal keutuhan rumah tangga dan masa depan anak-anaknya jika harus dihancurkan karena hal demikian.
Beberapa hari yang lalu, Pak Hendrawan mendapat bisikkan rekomendasi dari salah seorang kolegnya yang bernasib kurang lebih hampir sama dengan dirinya. Pada awalnya Pak Hendrawan tidak percaya jika terapis yang direkomendasikan itu ternyata Gerald, mahasiswanya sendiri.
“Mah, beneran nih gak mau dipijat?” Pak Hendrawan kembali bertanya pada istrinya yang sedang duduk termenung di depan meja riasnya.
“Eh, kayaknya lain kali aja deh, Pah, malam ini mama ngantuk banget. Gak papa kan kalau mama tidur duluan?” Tante Sonya tetap menolak tawaran suaminya.
“Gak papa, kata Gerald sih papa juga gak lama dipijatnya, mungkin sekitar satu atau satu jam setangahan,” balas Pak Hendrawan ringan.
Setelah itu dia segera masuk ke salah satu kamar yang biasa dipakai untuk memijat. Gerald pun sudah menunggunya di sana.
‘Ah gila! Bagaimana mungkin aku berani diijat sama Gerald di depan suamiku. Bagaimana kalau aku keceplosan atau….’ Tante Sonya bergumam dalam hatinya sambil beranjak dari tempat duduknya.
Setelah menutup pintu kamar, Tante Sonya pun membaringkan tubuh di atas kasur sambil membayangkan peristiwa beberapa bulan yang lalu, saat dirinya mengenal Gerald untuk yang pertama kalinya.
Tante Sonya memejamkan mata, Bibirnya tersenyum, dadanya bergemuruh serta darahnya berdesir kuat. Terlalu indah kenangan bersama Gerald untuk bisa dilupakannya.
Sementara itu di kamar yang berbeda, Gerald mulai menjalankan tugasnya memijat pasiennya secara profesional. Pak Hendrawan pun benar-benar merasakan sesuatu yang berbeda dari pijatan Gerald.
Walau masih sekitar telapak kaki yang kena pijatan, namun Pak Hendrawan sudah bisa mengatakan jika pijatan Gerald memang berbeda dengan yang dilakukan oleh terapis kenamaan sebelumnya. ‘Pijatannya seperti yang mengandung magic’ pikir Pak Hendrawan.
Saat ngobrol-ngobrol tadi, Pak Hendrawan sudah menceritakan keluhan dan harapannya tentang kejantanan dirinya. Dan dengan sangat antusias Gerald pun menawarkan beberapa metode pengobatan seperti yang dia lakukannya pada salah seorang dosen yang merekomendasikannya. Namun Gerald pun menyampaikan jika metodenya itu harus dipratikkan secara perlahan-lahan.
“Wah, pijatanmu benar-benar berbeda, Ger!” Pak Hendrawan kembali memuji kehebatan pijatan Gerald pada area pahanya.
“Hehehe, ini belum pada pemijatan yang sebenarnya, Pak,” balas Gerald kalem.
“Hmmm, sayangnya Ibu belum mau dipijat, ya. Mudah-mudahan minggu depan dia sudah berani diijat. Nanti saya rayu dulu. Tenang aja, Ger. Ya maklum saja ibu kan memang belum pernah dipijat sama laki-laki, apalagi kalau sampai harus buka-bukaan hanya mengenakan kemben, heheh.”
“Iya, Pak. Pemijatan memang sebaiknya tidak dipaksakan, karena akan sangat berpengaruh kepada hasilnya.”
“Ya, betul. Apalagi kamu kan cowok. Ibu mungkin masih merasa risih dan ragu. Perlu adaptasai dululah, soalnya ibu belum pernah dipijat cowok sebelumnya. Jadi kalau Ibu menolak, itu bukan karena gak percaya dengan kemampuanmu, Ger.”
“Saya paham, Pak.” Gerald menjawab sambil menahan geli dalam hati.
‘Ah, gila! ternyata Tante Sonya istrinya dosen gua, Njiiiiir!’ seru Gerald dalam hati.
Sambil terus melanjutkan aktifitasnya, mata Gerald sedikit terpejam. Angannya pun kembali tertuju pada peristiwa yang sangat mendebarkan kurang lebih setengah tahun yang lalu.
Peristiwa yang akhirnya membuat Gerald dan Tante Sonya benar-benar senang sekaligus terperanjat saat pertama tadi kembali berjumpa dalam suasana yang hampir saja menjadikan mereka mati gaya dan keceplosan.
Jam sepuluh malam, Gerald sudah kembali berada di kamar kostnya. Bibirnya selalu tersenyum mengingat ucapan-ucapan Pak Hendrawan yang sama sekali tidak mengetahi atau bahkan tidak sedikit pun menaruh curiga jika Tante Sonya dengan dirinya sudah saling mengenal jauh sebelum ini.
Selama Gerald melakukan pemijatan, bahkan hingga dia berpamitan pulang, Tante Sonya sama sekali tidak menunjukkan lagi batang hidungnya.
Gerald menduga wanita setengah baya yang masih sangat seksi, cantik nan baik hati itu, sengaja menghindar agar tidak terjadi sesuatu yang mungkin akan menimbulkan kecurigaan bagi Pak Hendrawan.
‘Tenang aja Tan, saya pun akan tetap menjaga rahasia kita,’ bisik Gerald dalam hati ketika dia akan meninggalkan rumah mewah dosennya itu.
‘Aku kira Tante Sonya sudah menetap di Jepang, ternyata dia sudah kembali ke Indoneisa. Oh my God!’ Gerald berseru dalam hati sambil melajukan motor matic kebanggaannya.
^*^
‘Gerald, kamu makin ganteng banget sekarang. Kemana aja kamu, Sayang?’ batin Tante Sonya. Ketika Gerald sedang menjalankan tugas memijat Pak Hendrawan, Tante Sonya pun sama sekali tidak memejamkan mata walau tadi dia sudah beralasan ngantuk pada suaminya. Tante Sonya hanya telentang seraya memandangi langit-langit kamar. Masih serasa bermimpi bisa bertemu kembali dengan Gerald setelah sekian purnama kehilangan jejaknya. Gerald laksana hilang ditelan bumi dan lautan. Tante Sonya bahkan menduga Gerlad telah kembali ke kampung halamannya dan tak kembali. Hati sang wanita karir itu kembli bergejolak dan berdebar-debar tak menentu. Jiwanya meronta ingin menemani suaminya yang sedang dipijit agar dia bisa memandangi wajah lelaki muda yang teramat dirindukannya itu dengan leluasa. Kerinduan yang sudah menggunung tentu saja belum terbayarkan lunas hanya dengan memandangnya sekilas. Namun Tante Sonya berusaha sekuat mungkin menahan dan mengendalikan segala gejolak dalam dirinya. Bukan hany
Tante Sonya sangat ingin meloncat dan berteriak kegirangan. Namun dia masih sadar untuk tetap duduk tenang di samping suaminya. Masih banyak pertanyaan yang terisa dalam benak yang harus mendapat jawaban dari suaminya. Tante Sonya teremnung sambil memutar otak, mencari dan menyusun kata serta kalimat yang tepat untuk penyelidik tanpa harus dicurigai. “Emangnya mau kapan Gerald ke sininya lagi? Tumben Ioh Papa ampe segitunya maksa mama. Ada apa denganmu? Hehehe…” Tante Sonya kembali berpura-pura santai dan keberatan untuk menutupi rasa senangnya yang membuncah dalam dada. “Kapan aja bisa, tapi papa janjian sama Gerald minggu depan, bisa kan Mah? Maksudnya, Mama gak ada kegiatan di luar kota kan minggu depan?” Pak Hendrawan pun tak kalah antusiasnya. “Sepertinya sih gak ada. tapi gimana dengan Edgar? Mama malu, gak bernai dipijat lelaki lain kalau ada Edgar di rumah.” Tante Sonya menyoal anak bungsunya yang sudah duduk di bangku SMA. “Mama kayak gak tahu aja, malam Sabtu dan malam
Tujuh bulan yang lalu sebelum Tante Sonya bertemu Gerald. Siang ini Tante Sonya sedang kedatangan tamu penting di ruangan kantornya. Dia bahkan harus berpesan pada sekretarisnya agar tidak mengganggunya, dan melarang siapapun masuk ke ruangannya. Tamu penting yang dihadapi Tante Sonya adalah dua orang pejabat dari dinas departemen perikanan dan kelautan setempat. Pak Handoyo dan Pak Guntoro, merupakan orang penting dan memiliki kewenangan penuh dalam memuluskan kerjasama proyek ekspor benih lobster ke beberapa negara termuka di kawasan Asia dan Amerika, terutama negara Jepang yang benar-benar diincar oleh perusahaan tempat Tante Sonya mengabdi. Tante Sonya memiliki tugas dan tanggung jawab penuh agar proyek tersebut sukses dan berkelanjutan. Bonus besar dan kesempatan tinggal di Jepang selama tiga bulan sudah menanti Tante Sonya, jika tender proyek itu benar-benar dimenangkan oleh perusahaannya. Guna kepentingan hal tersebut di atas, Tante Sonya berusaha bersikap manis kepada dua t
Pak Handoyo lalu menyerahkan dokumen tersebut kepada Pak Guntoro untuk ditanda tangani setelah dia sendiri menandatanginya. Lalu setelah selesai Pak Guntoro pun memperlihatkan dokumen tersebut pada Tante Sonya. Dan seketika itu juga hati Tante Sonya bersorak. Ternyata tidak sesulit yang dibayangkan bernegosiasi dengan dua bandot yang terkenal sangat licik ini. “Maksud saya begini Bu. Saat ini kami sama sekali tidak sedang butuh teman seorang selegram atau artis tiktok sekalipun. Kami melihat penampilan dan tubuh Bu Sonya jauh lebih menarik dan menggairahkan.” “Hah!” Tante Sonya membelalakan matanya tanpa bisa berkata-kata. “Tetapi maaf Bu, kami tidak memaksa. Kalau Ibu keberatan dengan terpaksa kami pun akan pamit dengan membawa kembali dokumen ini, hehehe.” Pak Handoyo terkekeh licik. “Maksudnya Bapak-bapak mengingkan tubuh saya, begitu?” tanya Tante Sonya sambil mengernyitkan dahinya. Tante Sonya benar-benar tidak menyangka orang-orang ini menginginkan tubuhnya yang dia pikir t
Gerald sedang dirundung malang. Pikirannya suntuk karena kuliahnya terancam droup out akibat orang tuanya benar-benar mengalami kesulitan ekonomi yang sangat dahsyat. Gerald sebannya tidak tinggal diam. Setiap hari mendatangi banyak restaurant, kantin, kios, bengkel hingga warung-warung kecil yang mungkin sedang membutuhkan karyawan lepas. Gerald mau bekerja apa saja asal tetap bisa melanjutkan kuliahnya yang tinggal dua tahun lagi. Namun semua nihil. Ketika itu sudah hampir empat Gerald tinggal di kostan Bu Ana. Tinggal di sana awalnya secara tidak sengaja dia dipertemukan dengan Bu Ana di pasar. Waktu itu Bu Ana yang sedang berbelanja kecopetan tas tangannya yang berisi uang dan perhiasan yang akan dijualnya, atas tukar tambah yang lebih besar. Bu Ana berteriak minta tolong. Banyak yang mengejak copet itu, namun Gerald yang kebetulan ada di sana yang bisa menangkap copet itu sekaligus mengambil tas Bu Ana. Sang copet babak belur dihamili masa, sementara Gerald mengembalikan tas t
Alasan yang dibuat-buat pada Bu Ana, akhirnya membuat Gerald bingung sendiri. Sejatinya dia sama sekali tidak punya janji dengan siapapun. Gerald belum banyak punya teman, dan hampir semua temannya tidak tinggal di kost. Mereka bersama orang tuanya dan cukup jauh. Sebagai lelaki yang sudah mengenal dunia esek-esek dan bahkan sudah pernah beberapa kali melakukan hubungan badan, Gerald bukan tidak tahu gelagat Bu Ana yang sepertinya akan membawa dia menuju sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan. Gerald sangat paham, namun dia juga masih menjaga menocba menjaga kewarasannya dan berusaha menjunjung tinggi moral dan etika. Biar bagaimana pun Bu Ana adalah wanita yang sangat dihormatinya. Dan walau tidak terlalu kenal dengan suaminya, namun Gerald yakin Pak Sukardi orang baik. Sebenarnya Gerald tadi sempat berpikir untuk memanfaatkan kesepian Bu Ana. Kalau boleh jujur, Gerald selama ini pun sangat memahami kebaikan Bu Ana pada dirinya yang relatif agak berlebihan dan berbeda, bukan
‘Semoga saja Tante Sonya seorang pengusaha dan mau mengajak aku bekerja di perusahaannya. Kalau dilihat dari penampilannya sepertinya dia memang seorang pengusaha. Semoga saja ini adalah jawaban atas semua doa-doaku dan ibuku. Semoga ada rizki buatku dan kedua adikku, Amiin,’ ucap Gerald dalam hati. Dengan dada yang terasa lega dan disorong sebuah harapan baru dan semangat membara, Gerald mencari barang yang sedang dicari Tante Sonya. Dan sama sekali tidak ada kendala karena memang barang tersebut sangat mudah dicari hampir di semua toko yang menjual aksesotis kendaraan. Ketika akan balik kanan kembali dari toko hendak menemui kembali Tante Sonya, Gerald menghentikan langkahnya karena posnsel yang disimpan di saku celananya bergetar pertanda ada panggilan masuk. “Assalamulaikum Bu,” Gerald pun langsung membuka percakapan telpon dengan ibu kostanya. “Waalaikumsalam, Gerald sekarang sedang di mana?” tanya Bu Ana dengan nada yang terdengar sedikit cemas. “Saya sedang di rumah teman
[Ger, kalau ada waktu, besok tante tunggu di tempat yang nanti tante infokan, kira-kira jam makan siang. Bisa gak] Gerald membaca pesan singkat dari Tante Sonya dengan wajah yang berbinar-binar. Kala itu dia baru saja naik angkot hendak pulang ke kostannya. [Siap Tante] Dengan sigap Gerald segera membalasnya. [Oke, nanti tante infokan lagi ya] balasan dari Tante Sonya kembali masuk dan Gerald membalasnya dengan emot kepalan tangan siap!. Walau tidak tahu apa maksudnya Tante Sonya mengajak kembali bertemu, namun Geralad langsung menyetujuinya karena sangat yakin akan banyak kebaikan setelahnya. Bukan hanya sekedar materi, namun Tante Sonya memang sanggup membuat Gerald nyaman dan percaya diri saat bersamanya. Hampir saja Gerald melanjutkan chatnya itu dengan menanyakan kebernaran jumlah uang yang diberikan Tante Sonya padanya, takutnya salah hitunga atau salah ngasih. Namun dia pikir lebih baik besok ditanyakan langung saat bertemu. Dan Gerald berusaha untuk tidak dulu memakainya, s
Sore harinya Bu Nina memintaku untuk mengantarnya pulang. Tentu saja dia bukan benar-benar ingin pulang. Sepanjang perjalanan otakku tak pernah bisa diam, dipenuhi dengan berbagai obsesi liar. Bahkan beberapa kali aku sengaja memancing Bu Nina dengan obrolan yang sedikit panas dan menjurus mesum. Namun beliau sepertinya selalu mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia masih jengah dengan peristiwa tadi pagi, namun aku sendiri menduga jika dia sengaja mengajakku pulang duluan karena ingin mengulanginya. “Ke Duta Permata aja, Ger.” Tiba-tiba Bu Nina bicara tegas setelah mobil melaju di jalan raya. “Kita mau Ke hotel, Bu?” tanyaku memastikan. “Ya,” balas Bu Nina pelan, dan dengan santainya menganggukkan kepala seraya tersenyum. Dengan semangat 45 aku melajukan mobil Bu Nina menuju hotel yang dia sebutkan. Tak sampai setengah jam kemudian kami pun tiba di depan hotel yang berlokasi dekat dengan salah kampus negeri ternama. Kami segera masuk ke dalam hotel. Setelah menyelesaikan urusan di
Wajah Bu Nina semakin tampak merah merona namun matanya seolah sudah terpatri di selangkanganku. Batang zakarku pun sepertinya merasakan itu, dia bergerak-gerak sendiri seolah mengangguk-angguk memberikan penghormtan pada Bu Nina. Bu Nina pun melangkah menuju ke arah jam tangannya yang tertinggal. Pikiran mesumku semakin menjadi-jadi maka dengan cepat aku tutup pintu jamban. “Gerald kamu apa…ap…apaaan?” Bu Nina bertanya dengan suara yang sedikit gelagapan. "Maaf Bu, ta.. pi.. Ibu benar-benar sangat menggoda dan menggairahkan saya." Entah siapa yang mengajariku untuk bicara frontal dan kurang ajar pada mantan Kepala sekolahku. Aku bahkan tidak memikirkan apa akibat dari permainan dan perkataan gilaku ini. “Kamu.. sudah gila apa, Gerald!" sentak Bu Nina. Namun belum sempat kujawab pertanyaannya dia kembali menyahut. "Ibu sudah menduga kamu dari kejadian tadi malam, tapi kamu harus tahu bahwa Ibu sudah bersuami dan lagian ibu kan sudah tua, Gerald!" Dia mencoba menyadarkan aku. "Tap
Aku bertanya dalam hati mimpi apa semalam sehingga memperoleh keuntungan dobel. Pertama memegang buah dada indahnya, yang kedua bisa melihat bokong dan pahanya walaupun agak sedikit samar. Tak terasa celanaku semakin sempit karena senjata kesayanganku pun ikut-ikutan menggeliat. Tanganku meraba rudalku dan membuat remasan-remasan kecil. Tak puas dengan itu aku mengeluarkan batang rudalku sehingga dapat berdiri bebas mengacung. Aku yakin Bu Nina tidak akan melihat polahku yang super gila ini. Sepertinya Bu Nina sudah selesai buang air kecilnya. Dan ketika akan naik ke atas, aku ulurkan tanganku dan menariknya. Aku minta Bu Nina berjalan di depanku dengan alasan aku mengawal kalau ada apa-apa. Namun yang sebenarnya bukan karena itu, tapi aku bisa bebas membuat rudalku terjulur keluar dari seleting celanaku. Sensasi ini aku nikmati sampai ke dekat tenda pembina. Kami melanjutkan ngobrol sampai akhirnya acara jurit malam selesai. Malam sudah larut bahkan menjelang dini hari, kami pembi
“Geer, udah dulu bersih-bersihnya!” Teriakan ibuku mengagetkan. Saat ini aku sedang berada di rumah ibuku dan membantu membersihkan kebun belakang. Kedua adikku pun ikut membantu. Kami semua pun sontak menghentikan segala aktifitas, walau hanya sekedar menyiangi rumpat pada sayuran yang rencananya beberapa hari lagi akan dipanen oleh tengkulak yang sudah mondar-mondir kebelet pengen membelinya. “Ada apa, Ma?” tanya Gayatri, adikku yang baru berusia empat belas tahun kebetulan berdiri tak jauh dariku. “Ada Pak Budi, mau ketemu sama A Gerald,” jawab Ibu sambil menyodorkan handuk kepadku. Perintah halus agar aku segera mandi atau setidaknya mencuci anggota tubuhku yang kotor. “Pak Budi mana?” Aku balik bertanya sambil mengernyitkan dahi, banyak sekali nama Budi di kampung ini, terutama yang sudah dewasa. Kalau anak-anak muda rasanya sudah jarang sekali yang bernama ‘Budi.’ Kata ibu, dulu nama Budi dan Wati adalah nama pavorit di seluruh Indonesia. Gak tahu mengapa bisa demikian. “Pa
Aku hanya mengganguk dan tersenyum seraya sedikit menunduk, lalu dengan pelan berjalan mendekati Bu Ardy yang kini sudah kembali tengkurep di atas kasurnya. Dengan jantung yang semakin tak karu-karuan dan dalam intimidasi tatapan nenekku, aku memulai kerjaku dengan memijat pelan-pelan pergelangan kaki Bu Ardy, seperti biasa saat aku memijat teman-temanku atau tetangga lelakiku yang kadang iseng meminta dipijat. Titik titik pergelangan kedua kaki Bu Ardy kupijat dengan tekanan cukup kuat tapi tidak sampai membuatnya kesakitan. Setelah pergelangan kaki, aku pun mulai memijat betisnya, tak lama naik ke paha, pantat lalu punggung. Itu hanya pijatan adaptasi atau perkenalan awal dengan tanpa menggunakan lotion. Pelan tapi penuh tekanan, aku memijat telapak kaki Bu Ardy. Sesekali aku melirik pada nenekku, takut kalau pijatanku salah. Namun nenekku sama sekali tidak memberikan respon, tampaknya memang pijatanku masih sesuai dengan prosedur yang selama ini dia terapkan. "Enak loh pijatan
Kurang lebih jam setengah tujuh malam, aku sudah bersiap mengantar nenek ke emplasemen dengan motor Umi Yani. Emplasemen adalah sebutan untuk kompleks perumahan yang dihuni oleh para petinggi atau pejabat perkebunan yang lokasinya bersebelahan dengan kampung tempat tinggalku. Jaraknya kurang lebih tiga kilo meteran. Untuk ukuran kampung masih terasa dekat, karena biasanya ditempuh dengan jalan kaki. Sejak kakek meninggal dunia, aku yang selalu mengantar nenek jika ada panggilan memijat ke tempat yang jauh. Aku tidak mengizinkan beliau naik ojek karena sebagain besar tukang ojek di kampungku bermata keranjang. Dan sebagaimana janda yang lainnya, nenek pun terkadang masih suka digodain. Sungguh edan memang mereka itu, hehehe. "Parkir dulu motornya, Ger, jangan lupa kunci stangnya juga," ucap nenek saat kami sudah tiba di depan rumah keluarga Pak Ardy yang akan dipjatnya. Menurut nenek, Pak Ardy adalah salah seorang pejabat di perkebunan itu. Tidak berapa lama pintu rumah Pak Ardy
“Asiik A Gerald pulang!” seru Hendi saat baru saja masuk ke rumah nenek dan mencium tanganku seperti santri pada ustadnya. “Hehe, senang amat, kenapa?” tanyaku sambil mengelus kepalanya. “Hendi bentar lagi ulangan A, mau ikut bimbel sama Aa, boleh?” “Boleh banget, yang penting ranking satu.” “Siaap A. mulai malam ini ya?” “Boleh.” Seperti biasa setiap berada di kampung aku kumpul bersama teman-teman yang masih ada. Kebanyakan teman seangkatanku sudah bekerja dan merantau ke kota. Hendi adalah anaknya almarhum Mang Adin, adik ibuku, alias anak bungsunya nenek. Mang Adin sudah meninggal dua setahun yang lalu. Namun hubungan kekeluargaan kami dengan mantan istinya juga Hendi anaknya tetap baik. Mamanya Hendi bernama Nara, kami biasa memanggilnya Bi Ara. Usia 30 tahun dan Hendi yang baru kelas satu SMP merupakan anak tunggalnya. Sudah dua tahun Bi Ara menjanda namun sepertinya belum berniat menikah lagi. Menurut cerita nenek dan aku juga tahu, banyak yang ingin menjadikan Bi Ara i
“Gerald, ja..ja.jangan pergi dulu, d..dan ja..jang dimatiin hapenya, ib..ibu takut…, serem banget ini tempatnya,” ucap Bu Endang saat aku membalikan badan membelakanginya yang akan membuka celana panjangnya. “Iya Bu, tenang aja,” jawabku kalem. Pikiran isengku tiba-tiba timbul. Ingin merekam suasana sekitar. Siapa tahu ada penampakan makhluk astral yang tertangkap kamera. Ini sangat menarik dan sudah pasti akan viral jika diposting di medsos. Maka aku pun menggerahkan camera hape dalam mode merekan ke beberapa sudut ruangan yang sangat gelap dan mencekam. Tentu saja membelakangi Bu Endang yang sedang pipis. Nanti aku malah digampar kalau sampai merekam aksinya. BRUG! BRUG! “Geraaaaaald!!!!” teriak Bu Endang keras. Baru saja beberapa detik merekam, tiba-tiba dia berteriak keras mengiringi suara gedebug di atas genting. Aku menduga itu suara ranting pohon yang patah, karena kaget, refeks membalikan badan, langsung mengarahkan camera hape ke pojokkan. Deg! Jantungku seketika teras
Sebenarnya sampai hari ini pun, aku masih belum percaya dengan kejadian waktu kelas tiga SMA itu. Bu Nina, guru agama kami yang bena-benar sangat alim dan bahkan suaminya juga sama alimnya, ternyata mempunyai sisi liar bersama Rizal. Harus aku akui, ketika dulu Rizal memang bintangnya di sekolah. Ganteng, lumayan cerdas, tajir dan isi kepalanya super mesum. Selalu punya cara untuk menaklukan wanita manapaun yang dia incar. Tidak terkecuali Bu Nina, si istri sholehah itu. Nanti biar Rizal yang cerita sendiri keseruannya. Tak berselang lama aku dan Rizal pun bersiap untuk berpisah. Rizal mendapat telpon dari seseorang yang diminta untuk memeriksakan motornya yang mogok. Aku juga harus segera berangkat sebelum hari menjadi gelap, karena membonceng istrinya Pak Endang. “Gini aja, Zal. Gua mungkin semingguan di kampung. Gimana kalau subuh minggu depan lu tunggu gua di sini. Terus kita bareng ke kota. Sambil nyari atau nunggu kerjaan buat lu kan bisa bantu-bantu dulu di rumah teman gua.