Alina memandang pada Aksa yang berdiri di dekat pintu. Perutnya sakit karena datang bulan, tetapi dia tidak mengatakannya ke Aksa karena tak mau merepotkan lagi seperti semalam.
“Hari ini aku mau istirahat saja di rumah,” ucap Alina dengan suara lemas.
Aksa tak membalas ucapan Alina. Dia hendak pergi, tetapi langkahnya terhenti lagi dan menoleh Alina.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Aksa karena merasa sikap Alina aneh.
“Iya, aku baik,” jawab Alina, “hanya perutku saja sakit karena menstruasi, jadi kamu jangan cemas,” imbuh Alina meyakinkan meski jujur soal perutnya. Lagi pula Aksa tidak akan paham dengan yang dia rasakan, kan?
Cemas? Kenapa Alina berpikir kalau Aksa cemas? Aksa merasa jika Alina besar kepala dan menganggapnya perhatian hanya karena pertanyaan yang dilontarkannya.
“Kamu makan di luar saja, ya. Aku benar-benar tidak bisa memasak pagi ini,” ucap Alina merasa bersalah
Alina benar-benar merasa sakit dan ingin pergi ke minimarket untuk membeli kantong penghangat untuk mengompres perutnya. Akan tetapi, saat baru saja keluar dari unit apartemen, Alina sangat terkejut melihat Bima tiba-tiba muncul di sana dan bertanya akan kondisinya.Kenapa Bima bisa ada di lantai itu? Alina rasa ini bukan sebuah kebetulan, kan?Alina hanya menatap sekilas pada Bima dan tak terlalu memedulikan. Dia ingin berjalan mengabaikan dan menjauhi pria itu, tetapi perutnya semakin sakit sampai membuat kedua kaki Alina terasa sangat lemas dan akibatnya dia hampir saja jatuh.Bima mencoba membantu menahan tangan Alina saat limbung, tetapi tangannya ditepis Alina.“Kamu sedang datang bulan?” tanya Bima menebak saat melihat Alina terus memegangi perut.Bima masih ingat kebiasaan Alina yang selalu nyeri perut saat datang bulan dan kondisinya pasti sama seperti saat ini.Alina menoleh Bima. Satu tangannya berpegangan pada dinding. Wajahnya terlihat pucat, bahkan ada keringat dingin be
Aksa keluar dari kamar Alina setelah memberikan botol air hangat. Dia mengecek ponsel, lalu berjalan menuju pintu untuk keluar. Namun, saat baru saja membuka pintu, Aksa menatap kesal karena masih ada Bima di sana.Aksa mengabaikan Bima. Dia menutup pintu dan ingin pergi, tetapi Bima mencegah langkah Aksa.“Bagaimana kondisinya?” tanya Bima.Aksa melihat raut wajah Bima yang cemas. Namun, apa dipikir Aksa akan peduli? Tidak!Aksa menatap datar pada Bima tentunya tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya untuk menjawab pertanyaan Bima.“Alina selalu merasakan nyeri perut saat sedang datang bulan. Seharusnya kamu tahu itu lalu memberikan apa yang dibutuhkannya untuk mengurangi rasa nyerinya,” ujar Bima yang tahu tentang kondisi kesehatan Alina.Aksa mulai kesal karena Bima sedang menunjukkan jika tahu segalanya tentang Alina. Dia akhirnya menatap dingin ke mantan kekasih istrinya itu.“Sepertinya kamu sangat suka sekali memberi perhatian ke istri orang?” Ucapan Aksa begitu menoh
Aksa masih diam dengan segala pikiran yang berkecamuk di kepala. Sampai dia tidak menyadari kalau Ilham sudah datang dan kini berdiri di hadapannya.“Pak.” Ilham melihat Aksa yang sedang menatap kosong.Ilham sendiri dibuat pusing karena harus bolak-balik membeli keperluan wanita demi atasannya itu. Ingin menolak, tetapi ingat uang lembur yang lumayan banyak, membuatnya memilih tetap melaksanakan meski sedikit menggerutu.“Apa Bu Alina baik-baik saja?” tanya Ilham karena Aksa tidak merespon sapaannya.Meski raut wajahnya tampak datar, tetapi Aksa sebenarnya terkejut karena Ilham sudah ada di depan mata.Aksa tak menjawab pertanyaan Ilhan dan langsung mengambil paper bag berisi kantong penghangat dan sarapan yang dipesannya. Aksa ingin kembali naik, tetapi sebelum itu berkata, “Aku akan terlambat ke perusahaan.”“Baik, Pak.” Ilham mengangguk.Ilham memandang Aksa yang berjalan menuju lift. Tiba-tiba Ilham tersenyum sendiri, dia mendadak senang karena baru kali ini Aksa sangat peduli pa
Aksa berada di perusahaan dan sedang mengecek berkas di meja. Dia menerima pesan dari Alina, lantas membacanya tanpa membalas. Tatapan Aksa datar menatap pesan itu, dia tidak pernah mengirim semua makanan yang ada di foto.Mungkin Bima yang mengirim itu? Ekspresi wajah Aksa mendadak berubah tidak senang. Dia tidak menyukai Bima yang terlalu mencampuri urusan tentang Alina padahal hanya seorang mantan.Aksa memilih meletakkan ponselnya tanpa berniat membalas atau menjelaskan apa pun ke Alina.Beberapa saat kemudian Ilham masuk ruangan Aksa tanpa mengetuk pintu. “Pak, Anda ada rapat nanti si ….” Ilham menjeda ucapannya saat melihat tatapan dingin Aksa.Apa lagi sekarang, ya Tuhan? Tadi pagi Aksa terlihat menjadi sosok berbeda yang sangat mengagumkan dan penuh perhatian, tetapi sekarang berubah seperti sosok menakutkan. Bahkan Ilham sampai meneguk ludah ketika melihat tatapan Aksa yang seperti ingin menelannya bulat-bulat.“Apa saya mengganggu? Saya hanya mau mengingatkan saja. Kalau s
Alina bingung. Dia menatap Aksa yang bicara dengan nada datar, tetapi entah kenapa terasa menusuk di dada. Dia mencoba mencerna maksud Aksa, lalu teringat dengan es krim dan coklat tadi.“Bukan kamu yang kirim?” tanya Alina memastikan setelah sadar jika yang dibahas adalah kiriman makanan itu.Aksa diam mendengar pertanyaan Alina. Dia tak menjawab atau menjelaskan, tetapi malah menghindar dengan cara berjalan meninggalkan Alina.Alina menebak jika itu benar. Dia kesal karena Aksa tidak menjelaskan apa pun. Dia menyusul Aksa yang mau pergi, lalu kembali menghadangnya.“Kalau kamu tidak mengirimnya, harusnya kamu bilang. Jadi kalau aku tahu itu bukan darimu, aku tidak akan memakannya,” ujar Alina dengan tatapan kesal.Aksa masih diam, lalu Alina kembali bicara.“Kalau tahu itu dari Bima, aku pasti langsung membuangnya. Sekarang sudah di perut, apa aku harus memuntahkannya!” Alina bicara lagi tetapi kali ini dengan nada membentak karena sangat sebal menghadapi sikap Aksa.Aksa menatap Al
“Boleh aku yang menentukan makan di mana?” tanya Alina ketika baru saja masuk mobil.Alina menoleh Aksa. Suaminya itu hanya diam menatap. Aksa tidak menjawab, akhirnya Alina menganggap jika suaminya setuju dia yang memilih tempat makan.“Aku tidak mau makan di restoran, boros. Jadi aku mau makan di tempat biasa saja,” ucap Alina bahkan tak peduli mau Aksa setuju atau tidak.Aksa ingin membantah, tetapi ingat jika dibantah Alina pasti akan curiga kalau Aksa kukuh ingin makan di tempat mewah. Akhirnya Aksa ikut saja kemauan Alina.Aksa tak banyak bicara. Dia hanya melajukan mobil menuju jalanan yang diarahkan Alina. Lalu saat sampai di tempat yang dimaksud Alina, Aksa hanya diam melihat warung tenda di pinggir jalan.“Ayo turun!” ajak Alina sambil melepas sabuk pengaman.Aksa turun dari mobil bersama Alina, lalu memperhatikan tempat makan itu.“Apa kamu yakin mau makan di sini? Apa tempat ini terjamin kebersihannya? Lihat saja, mencuci peralatan makan di ember bukan di air mengalir?” ta
Hari berikutnya. Karissa pergi ke rumah Aksa setelah beberapa hari ini sibuk dengan pekerjaannya. Dia sengaja datang ke rumah Aksa saat masih pagi karena siang nanti masih ada pemotretan.Karissa sudah sampai di depan gerbang, lalu ada satpam yang menghampirinya.“Mau ketemu Pak Aksa, Non?” tanya satpam yang sudah hafal dengan Karissa.“Iya,” jawab Karissa, “dia belum ke kantor, kan?” tanya Karissa balik.“Sebenarnya Tuan sudah lama tidak pulang ke rumah ini,” jawab satpam.Dahi Karissa berkerut halus mendengar jawaban satpam. Apa maksudnya tidak pulang?“Apa dia bilang tinggal di mana?” tanya Karissa lagi.Satpam menggeleng menjawab pertanyaan Karissa.Karissa berpikir jika Aksa mungkin tinggal bersama kedua orang tuanya. Dia akhirnya memutuskan pergi ke rumah orang tua Aksa.Saat sampai di rumah orang tua Aksa, Karissa bertemu dengan Sasmita yang sedang merawat tanaman yang ada di depan teras.“Karissa.” Sasmita tampak begitu senang melihat kedatangan Karissa. “Bibi.” Senyum Kariss
Saat sore hari. Aksa bersiap pulang lebih awal dari biasanya.Ilham masih ada di ruangan Aksa. Dia melihat atasannya itu baru saja mengganti baju, tetapi kali ini tidak tanya apakah Aksa mau pulang atau tidak karena takut salah bicara.Seharian ini Aksa sudah bersikap seperti biasa, jadi Ilham berusaha sebisa mungkin tidak membuat Aksa kesal lagi atau harinya terasa mencekam seperti kemarin.“Laporan tadi kirim ke alamat emailku, biar aku cek di rumah,” ucap Aksa sambil merapikan kemejanya.“Baik, Pak.” Ilham mengiakan tanpa berkomentar.Aksa memandang Ilham yang tumben tidak cerewet seperti biasa.“Kalau semua sudah dirapikan, kamu bisa pulang,” ucap Aksa lagi lalu pergi meninggalkan ruangan.Ilham lega, sangat bersyukur hari ini bisa dilewati dengan aman dan terkendali.Aksa pergi ke basement, lalu mengemudikan mobil meninggalkan perusahaan. Dia pulang melewati jalan tempat butik Alina berada, lalu melihat Alina yang juga kebetulan sedang mengunci pintu butik. Aksa menekan klakson a
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.
Jia dan Daniel saling pandang, sampai akhirnya Jia tersenyum lalu mengambil cangkir kopi untuk Daniel dan memberikan pada pria itu.“Minumlah,” ucap Jia.Daniel mengangguk. Dia menyesap kopi buatan Jia.Jia menatap pada Daniel yang sedang minum, hingga terbesit pertanyaan yang membuatnya penasaran.“Dan, kita sudah menjadi suami-istri, apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Jia.Daniel baru saja selesai minum. Dia menatap pada Jia, lalu meletakkan cangkir di meja.“Tanya saja,” jawab Daniel.“Jangan tersinggung, ya. Aku hanya mau tanya tanpa bermaksud apa-apa,” ujar Jia.Daniel mengangguk-angguk.“Apa penyebab kamu mandul?” tanya Jia dengan sangat hati-hati.Daniel terkejut mendengar pertanyaan Jia, tetapi dia sudah berjanji untuk menjawab.“Itu karena sperma yang dihasilkan tidak bagus, bahkan terlalu sedikit,” jawab Daniel dengan senyum getir di wajah.Jia melihat Daniel yang malu, mungkin karena jawaban itu sangat pribadi untuk Daniel. Namun, mereka sudah suami istri, sudah sewajar
Acara pernikahan Jia dan Daniel diadakan sederhana bersama keluarga. “Mama, dedeknya kok belum bisa main baleng? Kan sudah besal ini?” tanya Arlo seraya menunjuk pada anak Kaira.Alina dan Kaira menoleh bersamaan mendengar suara aduan Arlo. Mereka memandang pada anak Kaira yang ada di stroller.“Dek Disya belum bisa kalau lari-lari, terus sekarang Dek Disya ngantuk. Tuh lagi minum susu,” ujar Kaira menjelaskan karena putrinya anteng seraya minum susu dari dot.“Ah, nggak asyik. Padahal Alo mau main sama dedek. Nanti kalau dedeknya Alo kelual, pokoknya halus main, nggak boleh bobok.” Setelah mengatakan itu, Arlo berlari menyusul Anya yang sedang bermain ayunan.Alina dan Kaira sampai terkejut bersamaan, dua wanita itu sampai menggeleng pelan dengan tingkah Arlo.“Lama-lama sifat anak itu seperti ayahnya. Kalau menginginkan sesuatu, harus didapat. Keras kepala dan susah sekali diaturnya,” ucap Kaira.“Nunggu punya pawang,” balas Alina.“Dih, sekecil itu. Kayaknya kamu harus ekstra saba
Saat malam hari. Arlo berada di kamar bersama Alina dan Aksa. Alina memang selalu berusaha menemani Arlo sebelum tidur, agar putranya tidak merasa kesepian atau terabaikan.“Ini dedeknya?” tanya Arlo saat melihat foto USG yang Alina berikan.“Iya,” jawab Alina.“Kok kecil sekali?” tanya Arlo seraya mengamati foto USG itu.Aksa dan Alina menahan senyum.“Iya, kan masih di dalam perut. Kalau nanti sudah keluar, dedeknya bisa besar kayak Arlo,” jawab Alina menjelaskan.Arlo mengangguk-angguk. Lalu tangan mungilnya menyentuh perut Alina.“Dedek cepat keluar, ya. Biar bisa main sama Alo.” Setelah mengatakan itu, Arlo mencium perut Alina.Alina dan Aksa saling pandang dengan seulas senyum di wajah. Mereka bersyukur karena Arlo menerima kehamilan itu dan tidak iri sama sekali.“Sekarang tidur, ya.” Alina menarik selimut. Dia dan Aksa mau berbaring di samping Arlo.“Alo mau bobok sendili,” ucap Arlo.Alina terkejut, tetapi menjelaskan, “Iya, nanti bobok sendiri. Sekarang biarkan mama dan Papa
Aksa mengantar Alina ke rumah sakit. Dia memang meluangkan waktu menemani Alina memeriksakan kandungan karena tak mau melewatkan momen melihat tumbuh kembang calon bayi mereka.“Janinnya tumbuh sangat baik. Berat dan ukurannya sangat pas dengan usianya, jenis kelaminnya--” Dokter ingin menyebutkan jenis kelamin janin Alina, tetapi langsung dicegah.“Jangan sebutkan, Dok. Biar menjadi kejutan,” potong Alina.“Padahal aku mau tahu, Al.” Aksa sudah semangat menunggu, tetapi Alina malah menolak.“Tidak usah, pokoknya biar kejutan,” kekeh Alina.Aksa melirik pada dokter yang tersenyum.“Baiklah, saya tidak akan menyebutkan jenis kelaminnya,” ujar dokter itu.Aksa menatap kecewa pada Alina, padahal dia sudah sangat antusias.Alina hanya menahan senyum melihat suaminya kecewa.“Ingat ya, Bu Alina. Makan apa pun yang Anda mau, tidak usah memantang apa pun, selama yang dimakan bagus untuk pertumbuhan janin. Mungkin makanan kemasan, beralkohol, dan fast food saja yang saya larang,” ujar dokter p
Aksa mengusap perut Alina yang lumayan besar. Seperti sudah menjadi rutinitasnya setiap malam harus menyentuh perut sang istri sebelum dia beristirahat.“Jam berapa ini? Kamu baru mau tidur?” Alina terbangun karena sentuhan Aksa.Alina sudah tidur lebih dulu karena Aksa berkata ingin menyelesaikan pekerjaan.“Tidurlah lagi, maaf kalau mengganggumu,” ucap Aksa lalu membetulkan selimut untuk menutupi tubuh Alina.Alina merangsek ke pelukan saat Aksa sudah berbaring. Dia memeluk suaminya meski sekarang terhalang perut yang agak besar.“Jangan terlalu capek bekerja, Aksa. Aku tidak mau punya suami dengan tampang tua, mata cekung karena kebanyakan begadang, padahal anak-anaknya masih kecil,” seloroh Alina seraya memejamkan mata.Aksa menahan tawa. Ada saja ucapan istrinya ini yang mampu membuat semua rasa lelah dan beban pikirannya hilang.“Tenang saja, aku akan perawatan melebihimu kalau sampai terlihat tua,” balas Aksa seraya memeluk Alina, tak lupa kecupan hangat juga didaratkan di keni
Beberapa minggu waktu berjalan dengan cepat. Alina berada di studionya sedang mempersiapkan untuk fitting gaun Jia. Alina sudah memiliki studionya sendiri di tengah kota, dia juga mempekerjakan beberapa karyawan studio juga penjahit untuk membantunya.“Mama.” Arlo datang dan langsung berlari menghampiri Alina.Arlo baru saja pulang sekolah dijemput Jia sekalian.“Daniel belum datang?” tanya Jia.“Belum, dia bilang ada rapat dadakan, jadi mungkin akan terlambat datang,” jawab Alina.Jia mengangguk-angguk paham.“Mau mulai sekarang?” tanya Alina.Jia mengangguk. Dia ikut Alina masuk ke ruang fitting gaun, sedangkan anak-anak bermain di playground yang memang disiapkan di salah satu ruangan di studio itu.“Perutmu sudah kelihatan besar,” kata Jia.Alina melirik ke perutnya, lalu membalas, “Iya, sudah dua puluh minggu juga, kan.”Alina memberikan gaun yang dirancangnya tetapi belum selesai sempurna karena masih butuh pendapat Jia.Jia mengganti bajunya, lalu setelahnya dia berdiri di dep
Siang itu Mirza dan Sasmita datang ke kamar inap Nenek Agni setelah menemui dokter. Mereka berkumpul untuk membahas soal kondisi Nenek Agni.“Kami sudah berkonsultasi dengan dokter fisioterapi untuk pemulihan kondisi Mama agar lekas sembuh mengingat ada pergeseran tulang di punggung,” ujar Mirza.“Mama harus sembuh dan sehat seperti sedia kala,” timpal Sasmita.Nenek Agni menatap bergantian pada Aksa dan yang lain, lalu membalas, “Tentu saja aku harus sembuh. Aku masih mau melihat cicit keduaku.”Mirza dan Sasmita terkesiap, mereka secara spontan langsung menatap pada Alina.Alina tersenyum kecil, lalu berkata, “Aku sedang hamil, Ma, Pa.”Sasmita langsung menghampiri Alina, bahkan memeluk wanita itu dengan penuh rasa bahagia.“Selamat, ya. Mama sangat senang mendengarnya,” ucap Sasmita seraya mengusap punggung Alina.“Terima kasih, Ma. Doakan aku sehat sampai melahirkan,” balas Alina.“Tentu, tentu saja.” Sasmita melepas pelukan, senyum kabahagiaan tak bisa disembunyikan dari wajahnya
Aksa masih terjaga setelah meminta Alina untuk istirahat lebih dulu. Dia tidak bisa tenang sampai melihat Nenek Agni bangun. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Aksa melihat Nenek Agni mulai membuka mata.“Nek.” Aksa berdiri dari duduknya, lalu menunggu Nenek Agni membuka mata dengan sempurna.“Kamu di sini,” ucap Nenek Agni dengan suara lemah.Aksa menggenggam tangan Nenek Agni agar merasakan keberadaannya karena kelopak mata wanita tua itu belum terbuka sempurna.“Iya, aku di sini.”Nenek Agni mengembuskan napas panjang. Dia mencoba menatap pada Aksa, sampai akhirnya melihat wajah sang cucu.“Bagaimana bisa Nenek jatuh?” tanya Aksa mencoba mengajak bicara agar sang nenek bisa sadar sepenuhnya.Aksa melihat Nenek Agni meringis kesakitan saat akan bergerak, membuat Aksa mencegah agar Nenek Agni tidak menggerakkan tubuh lebih dulu.“Mau kupanggilkan dokter?” tanya Aksa.Nenek Agni menggeleng. Wanita tua itu akhirnya hanya terlentang karena punggungnya sakit.“Nenekmu ini sudah sanga