Alina bisa melihat telinga Aksa yang sedikit memerah ketika Aksa memalingkan muka setelah mendengar pertanyaannya.“Kamu benar-benar cemburu?” tanya Alina. Sekarang Alina tidak tahan untuk tidak menggoda Aksa.Aksa tak merespon dan memilih tetap memandang ke depan.Alina memindahkan pandangannya pada telunjuk Aksa yang diketuk pada stir berkali-kali, membuat Alina semakin semangat untuk menggoda.“Kalau cemburu bilang saja, aku tidak apa-apa,” ucap Alina, duduk dengan benar sambil menatap ke depan, lalu dia mengulum bibir menahan diri karena ingin tertawa.Aksa tetap tidak merespon ucapan Alina, membuat wanita itu kembali bicara, “Cemburu boleh, tapi harusnya kamu jangan marah-marah begitu.”Aksa akhirnya menoleh ke Alina, lalu membalas, “Siapa yang cemburu? Jangan besar kepala!”Alina ikut menoleh karena akhirnya Aksa bereaksi.“Itu tadi, kalau bukan cemburu apa namanya? Masa orang marah tanpa alasan?”“Bukankah sudah kubilang? Kamu harus menjaga martabat suami. Sikapmu itu seolah me
Alina menatap datar seseorang yang sekarang ada di hadapannya.“Seharusnya aku yang mengatakan itu,” balas Alina dengan nada suara dingin.Wanita di hadapan Alina malah tersenyum miring mendengar balasan Alina. “Kenapa kamu tidak menghilang saja?” Tatapan wanita itu terasa begitu membenci Alina.“Menghilang? Kenapa aku yang harus menghilang? Bukankah seharusnya itu kamu? Kamu orang yang selingkuh dan dengan kejam tidur dengan kekasih temanmu sendiri, sekarang kamu minta aku menghilang? Kamu waras, Marsha?”Alina tentunya takkan mengalah atau takut dengan Marsha, teman kuliah yang tega berkhianat dengan Bima.Alina ingin pergi mengabaikan Marsha, tetapi wanita itu menghalangi troli Alina, membuat Alina mendengkus kasar.“Gara-gara kamu, Bima meninggalkanku! Alina, Alina, dan Alina terus yang dia sebut!” bentak Marsha.Alina menatap malas, lalu membalas, “Aku tidak peduli.”Alina berusaha pergi, tetapi Marsha tetap menghalangi.“Bisakah kamu pergi dari kehidupan Bima? Jangan berpikir kam
Saat sore hari.Alina turun ke lantai bawah untuk membuang sampah. Dia keluar lift yang terbuka di basement karena tempat pembuangan sampah khusus penghuni ada di dekat sana.Belum sampai tempat pembuangan sampah, langkah Alina dihadang oleh Bima. Alina memutar bola mata malas melihat pria itu.“Kamu mau membuang sampah?” tanya Bima berbasa-basi.Alina tak menggubris pertanyaan Bima. Dia memilih berjalan melewati Bima. Namun, ia tidak tahu Bima tetap mengikutinya dari belakang, hingga membuat Alina terkejut saat memutar badan setelah membuang sampah dan melihat Bima yang sudah ada di hadapannya.“Apa pekerjaanmu sekarang menjadi penguntit?” tanya Alina dengan nada kesal.Akan tetapi, tanpa menanti balasan Bima, Alina memilih kembali melangkah untuk meninggalkan pria itu. Namun, baru beberapa langkah, Bima kembali menghadang jalan Alina.“Mau apa, sih?” tanya Alina sambil menatap kesal.“Siapa pria yang bersamamu tempo hari?” tanya Bima. Dia tidak akan puas sebelum mendapatkan jawaban y
Akhir pekan. Di rumah keluarga besar Aksa, kedua orang tua Aksa sedang bersiap untuk pergi makan siang bersama Alina dan Aksa. “Kenapa Aksa harus menikah dengan orang miskin, yang akhirnya membuat kita harus ikut bersandiwara?” tanya Sasmita, ibu Aksa, memprotes keputusan anaknya yang sama sekali tidak ditentang oleh suaminya. Sasmita masih keheranan, Aksa tampan dan berkarisma, tetapi kenapa malah mau menikah dengan wanita biasa dari kalangan yang entah seperti apa keluarganya. Ini membuat Sasmita tidak bisa menerima pernikahan putranya. “Tidak masalah dari kalangan mana wanita yang dinikahi Aksa, yang terpenting dia mau menikah,” jawab Mirza, ayah Aksa. Dia tahu betul kalau putranya itu susah sekali untuk serius menjalin hubungan dengan wanita, meski banyak rekan kerja yang ingin menjodohkan Aksa dengan putri-putri mereka, tetapi Aksa terus menolak. Jadi, ketika ibunya ingin menjodohkan Aksa dengan wanita pilihan ibunya, Mirza sama sekali tidak keberatan. Justru Mirza se
Aksa dan Alina berada di mobil menuju restoran. Alina duduk diam mengamati jalanan yang mereka lewati, lalu tiba-tiba menoleh pada Aksa ketika ingat akan sesuatu.“Apa kamu yakin kita akan makan di restoran itu?” tanya Alina, “aku tidak mau kamu keluar uang banyak hanya untuk sekadar makan siang,” imbuh Alina terlihat cemas.Bukan Alina pelit, dia hanya berpikir tak perlu makan mewah di restoran mahal, tetapi yang terpenting kebersamaannya.Aksa mengerutkan alis mendengar ucapan Alina. Dia menoleh pada istrinya itu sebelum kembali fokus pada jalanan di hadapannya.“Nenek yang mau,” jawab Aksa singkat, “jadi kamu tidak usah banyak berpikir.”Alina ingin mengatakan sesuatu, tetapi urung dan memilih diam. Lagi pula, jika Aksa sudah berkata demikian, membantah juga percuma.Setelah perjalanan memakan waktu beberapa menit akhirnya mereka sampai di restoran.Saat sampai di sana, ternyata Nenek Agni dan kedua orang tua Aksa juga baru saja datang.Nenek Agni langsung berjalan cepat menghampiri
Nenek Agni mengamati Alina dan Dani yang sama-sama terdiam, tentu saja dia tahu kondisi keduanya. Nenek Agni melihat Alina yang sedikit menunduk hingga membuat Nenek Agni tak senang dengan pertanyaan Sasmita. Dia menoleh pada menantunya. “Kedua orang tua mereka sudah meninggal,” jawab Nenek Agni.Semua orang terkejut karena justru Nenek Agni yang menjawab pertanyaan Sasmita.“Meski begitu, mereka ini hebat. Bisa kuliah sampai lulus, lalu bekerja dengan baik walaupun tanpa orang tua. Bukankah mereka perlu diberi apresiasi? Di luar sana banyak yang putus asa karena tidak punya orang tua, tapi Alina dan Dani sangat hebat bisa menjalani hidup bersama dan saling menguatkan menghadapi kehidupan yang sulit. Bukankah begitu?”Nenek Agni menggenggam telapak tangan Alina lagi dan menatap Alina hangat, menguatkan Alina agar tidak merasa sedih mengingat orang tuanya.Alina mengangguk sambil memulas senyum. Dia terharu karena Nenek Agni membelanya. Dulu Nenek Agni pernah bertanya-tanya soal oran
Alina sangat terkejut ketika melihat Sasmita ada di depan toilet. Alina mencoba tersenyum tetapi dibalas dengan tatapan datar dari mertuanya itu. Alina mendadak cemas, dia takut kalau Sasmita mendengar apa yang dikatakan Karin. Dia tidak ingin ada masalah dengan keluarga Aksa, tetapi melihat Sasmita yang diam menatapnya sekarang ini, mungkinkah mertuanya tidak mendengar perdebatannya dengan Karin? Jika mendengar, sudah pasti Sasmita akan mengamuk karena dihina Karin, bukan? “Mama mau ke toilet? Saya ke ruangan dulu,” ucap Alina dengan senyum canggung karena sikap Sasmita sangat berbeda daripada saat di ruangan tadi. Alina memberi jalan agar Sasmita bisa masuk toilet, dia sendiri hendak bergegas kembali, tetapi langkahnya terhenti karena Sasmita menghadangnya. Alina menatap bingung pada Sasmita, tetapi tidak berani bertanya. “Sebaiknya kamu jaga sikap selama menjadi istri Aksa,” ucap Sasmita penuh penekanan untuk memperingatkan Alina, dia menatap datar pada menantunya itu. Kedua
Di salah satu perusahaan milik RDJ Group, anak cabang perusahaan Aksa. Marsha dipanggil bagian HRD. “Mulai hari ini, kamu diberhentikan dari perusahaan. Kontrak kerjamu tinggal enam bulan, jadi kami akan memberikan kompensasi atas pemecatan yang dilakukan.” Marsha sangat syok mendengar ucapan kepala HRD. “Pak, Anda bercanda, ‘kan? Bukankah seharusnya saya mendapat perpanjangan kontrak, tapi kenapa malah dipecat?” tanya Marsha tak percaya. Pak Adi, kepala HRD, menatap Marsha lalu menggelengkan kepala. “Tidak sama sekali,” jawab pria berbadan gempal itu. “Ini surat pemecatanmu.” Marsha membaca surat pemecatan itu, lalu menatap pada Pak Adi lagi. “Ini tidak masuk akal. Kenapa tiba-tiba saya dipecat, saya merasa tidak melakukan kesalahan apa pun,” ucap Marsha membela diri, dia yakin ini hanya sebuah kesalahan. “Aku hanya menjalankan keputusan atasan.” Pak Adi tidak mau banyak berkomentar. “Atasan mana? Saya tidak terima dipecat seperti ini?!” tanya Marsha geram dan mulai naik pita
Aksa pulang agak larut. Dia menaiki anak tangga dengan rasa lelah yang begitu kentara di wajah. Saat masuk kamar sambil melonggarkan dasi, Aksa terkejut melihat Arlo belum tidur.Putranya duduk di atas ranjang menunggu Aksa pulang sambil melipat kedua tangan di depan dada, Arlo memasang wajah masam.“Ini sudah malam, kenapa belum tidur?” tanya Aksa sambil menghampiri Arlo.“Papa bohong,” amuk Arlo lalu memanyunkan bibir.Aksa menghela napas panjang. Dia tahu putranya merajuk sehingga Aksa segera mengangkat tubuh Arlo lalu memangkunya.“Katanya mau pulang cepat, kok malam?” Arlo semakin bersidekap dan memanyunkan bibir.“Maaf, kerjaan papa sangat banyak jadi harus lembur,” jawab Aksa sambil memeluk erat Arlo. Dia mencium kepala putranya itu sebagai tanda sayangnya.Meski Arlo sering merajuk kalau Aksa pulang larut, tetapi hal ini malah tidak membuat Aksa kesal. Dia malah merasa kalau seperti sedang diposesifin oleh putra sendiri sebagai ganti istrinya.“Besok, Alo mau ikut kelja, Alo n
Waktu cepat berlalu, tanpa terasa semua terlewati begitu saja. Hidup memang harus tetap berjalan dan di sinilah mereka pada akhirnya harus menjalani hari dengan kurangnya kasih sayang.Aksa masih tertidur pulas karena semalam harus begadang mengecek beberapa berkas. Dia masih hanyut dalam mimpi indah ketika mendengar suara bising dari luar.“Tuan kecil, jangan lari-larian!”“Mandiin bibi saja, ya.”“Nggak mau!”Terdengar suara pintu ditutup keras, langkah kaki kecil itu terdengar mendekat, sampai akhirnya ada pergerakan di ranjang yang membuat Aksa mengerutkan kening.Arlo Radjasa, bocah berumur tiga tahun itu naik ke ranjang lalu duduk di atas perut sang papa setelah berhasil menghindari kejaran pelayan yang ingin memandikannya. Arlo duduk diam sambil menunggu ayahnya membuka mata.Aksa menghela napas berat. Dia membuka mata dan melihat sang putra sudah duduk di atas perutnya.“Kenapa belum mandi?” tanya Aksa.Arlo hanya menggeleng sambil memasang wajah cemberut.Aksa menghela napas
Aksa masih di rumah sakit menunggu bayinya. Saat dia masih menunggu di luar karena jam jenguk bayi sudah habis, seorang perawat datang menghampiri Aksa.“Sore, Pak.”Aksa mengangguk membalas sapaan perawat.“Dokter sudah memberikan informasi kalau besok bayi Anda sudah diperbolehkan pulang. Karena ibunya meninggal, mungkin Anda harus mencari ibu susu, tidak harus menyusui langsung, tapi Anda bisa meminta stok ASI berlebih dari si ibu menyusui untuk putra Anda demi kesehatannya,” ujar perawat menjelaskan.“Apa itu baik? Kita tidak tahu apakah ASI yang dihasilkan bagus,” ujar Aksa ragu.“Sebenarnya kami punya usulan. Wanita ini baru saja melahirkan bayi laki-laki juga, jadi sepertinya tidak masalah jika Anda memakai ASI wanita itu untuk bayi Anda. Soal gizinya, Anda boleh ikut memantau asupan gizi wanita itu agar yakin, tentu dengan kesepakatan bersama juga,” ujar perawat memberi usul.Aksa mengangguk-angguk paham, lalu bertanya, “Apa rumah sakit bisa membantu menjadi perantara?”“Tentu
Dani memasukkan semua barangnya ke bagasi mobil dibantu Rizki. “Apa semuanya sudah kamu bawa?” tanya Restu memastikan saat Rizki menutup bagasi mobil.“Sudah, Paman. Aku hanya membawa barang-barang pentingku, selebihnya biar diurus pihak kebersihan. Kunci apartemen juga sudah aku titipkan pada Bams,” jawab Dani.Restu menepuk-nepuk punggung Dani, lalu berkata, “Semua akan baik-baik saja setelah ini. Ingatlah namamu sekarang sebagai Daniel Januarta.”Dani mengangguk-angguk.“Ayo!” ajak Restu agar mereka segera masuk mobil.Dani masuk mobil bersama Restu. Dia tidak menyangka pada akhirnya akan meninggalkan kota tempatnya tumbuh dengan susah dan senang bersama sang kakak.“Semua sudah aku atur, kamu tidak perlu mencemaskan apa pun lagi,” ucap Restu saat melihat Dani hanya diam.Dani menoleh pada Restu, lalu mengangguk. “Terima kasih, meski Paman datang terlambat. Tapi aku bersyukur memiliki Paman.”“Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah terlambat tujuh belas tahun menemukan kalian
Hari itu langit tampak gelap dan terlihat begitu suram. Kabar meninggalnya Alina langsung diketahui banyak orang, sehingga beberapa rekan bisnis dan klien datang ke pemakaman untuk ikut berbela sungkawa. Jenazah itu langsung dimakamkan atas permintaan Dani, tanpa disemayamkan lebih dulu di rumah untuk menghindari perdebatan antara Aksa dan Dani.Aksa diam selama prosesi pemakaman berlangsung. Dia terus memandang pada liang-lahat yang menjadi pembaringan terakhir istrinya. Sampai detik ini, Aksa masih tidak percaya kalau istrinya sudah tiada, hatinya menolak itu.“Aku turut berduka cita,” ucap Restu menemui Aksa setelah prosesi pemakaman selesai. Dia menatap wajah pucat Aksa yang tidak kentara jika tak diperhatikan dengan seksama.Aksa mengangguk, tidak ada yang tahu bagaimana tatapan matanya sekarang karena tertutup kacamata hitam.“Bagaimana dengan bayimu?” tanya Restu.“Masih di rumah sakit karena masih mendapat perawatan intensif. Terima kasih Anda berkenan datang kemari,” jawab Ak
Dokter menatap simpati pada semua orang yang sudah menunggu kabar darinya. Dalam sekali helaan napas dokter itu berucap, “Kami sudah berusaha sebisa kami, tapi maaf Bu Alina tidak selamat karena kehilangan banyak darah.”Dani mundur saat mendengar penjelasan dokter.Aksa begitu syok, sampai mencengkram baju dokter yang baru saja memberikan informasi tentang Alina.“Jangan membohongi kami. Dia tidak mungkin meninggal!” Aksa tidak bisa menerima begitu saja.Dani geram dengan sikap Aksa. Dia menarik lengan Aksa sampai melepas cengkraman dari dokter, lalu dalam sekali ayunan dia memukul wajah Aksa.Aksa terhuyung karena mendapat pukulan cukup keras dari Dani.“Semua salahmu! Kakakku pergi karenamu!” amuk Dani.Bams langsung menengahi agar tidak terjadi perkelahian di sana.Nenek Agni pingsan saat mendengar Alina meninggal. Mirza sampai menopang tubuh sang mama lalu mencoba membaringkan ke kursi selasar di sana.Semua orang di sana benar-benar terkejut dan terpukul, termasuk Sasmita yang m
Aksa menunggu dengan cemas di depan ruang operasi. Dia terus menatap ke pintu ruang operasi karena pikirannya sangat tidak tenang dan takut jika terjadi sesuatu pada Alina.“Bu Alina pasti baik-baik saja, Pak.” Bams mencoba menenangkan karena wajah Aksa begitu pucat.Aksa tak membalas ucapan Bams. Pikirannya terasa begitu kosong karena kecemasan yang sedang melandanya.Nenek Agni, Sasmita, dan Mirza datang begitu mendapat kabar soal Alina. Nenek Agni terlihat sangat panik saat melihat Aksa berdiri di depan ruang operasi.“Bagaimana kondisi Alina?” tanya Nenek Agni.Nenek Agni melihat Aksa yang hanya diam. Dia akhirnya menoleh pada Bams.“Apa sudah ada kabar dari dokter?” tanya Mirza pada Bams.“Bu Alina mengalami kontraksi dan ada pembukaan meski kehamilannya baru tujuh bulan. Dia juga mengalami beberapa masalah kesehatan, sehingga dokter mengambil keputusan untuk dilakukan cesar demi keselamatan bayi dan ibunya,” ujar Bams yang menjelaskan.Nenek Agni sangat terkejut. Dia ingin memar
Hari itu. Aksa pergi ke kamar untuk bicara dengan Alina. Dia melihat Alina yang hanya duduk di atas ranjang dengan tatapan tertuju ke jendela.“Bagaimana kondisimu hari ini?” tanya Aksa mencoba mengajak Alina bicara setelah sekian lama mereka diam.Siang ini Alina sudah lebih tenang dari biasanya, sehingga Aksa memberanikan diri menemui dan berinteraksi dengan Alina.Namun, saat Aksa duduk di kursi yang berhadapan dengan Alina, tatapan istrinya begitu dingin padanya. “Apa kamu masih tidak mau mempertimbangkan hubungan kita? Setidaknya pikirkan anak kita,” ucap Aksa mencoba kembali membujuk.Alina tidak menjawab. Dia menatap lurus ke depan, memandang kosong pada sesuatu yang tak bisa dilihatnya, kebebasan.Aksa mengepalkan erat telapak tangan. Dia ingin memaksa Alina menerima karena bagaimanapun dia tidak akan melepaskan Alina. Namun, dia masih menyadari, kondisi Alina tidak memungkinkan untuk terus ditekan, membuat Aksa memilih pergi dari kamar itu.Setelah Aksa pergi, bulir kristal
Restu sedang berada di ruang rapat bersama Aksa untuk membahas bisnis. Restu tetap melakukan kerjasama karena bagaimanapun Aksa belum tahu siapa dirinya.Saat sedang mendengarkan penjelasan dari staff Aksa, Restu mendapat pesan dari dokter yang memerika Alina.[Saya sudah menyampaikan pesan Anda pada Bu Alina.][Dia juga menitip pesan untuk Anda, Bu Alina berkata jika dia akan menunggu sampai melahirkan, tapi setelahnya ingin bebas bahkan jika perlu jauh dari Pak Aksa agar suaminya kehilangan dia sebagai balasan atas semua yang didapatnya. Dia ingin pergi jauh dari kehidupan Pak Aksa.]Restu diam sejenak membaca pesan itu, lalu kembali menatap pada Aksa yang duduk di seberangnya. Sebagai seorang paman, tentunya dia ingin yang terbaik untuk Alina dan tidak ingin rumah tangga Alina hancur. Namun, jika Alina sudah bertekad kuat, Restu juga tidak bisa berbuat apa-apa.Meski begitu, Restu menunggu sampai Alina melahirkan dan melihat apakah Alina berubah pikiran atau tidak.**Di rumah Nene