Cerita ini berseries. -Cerita I : Merah Hitam Cinta (on going) -Cerita II : Asa Diujung Sajadah (sedang on going) -Cerita III: Bukan Perempuan Biasa (Segera dirilis) *masing-masing buku akan dirilis setelah cerita on going tamat. Berniat memberi surprise tentang kehamilannya pada suaminya, Kanaya Prameswari malah mendapat kejutan yang tak kalah mencengangkan. Dina Hadinata--sahabat baiknya, tengah bercumbu mesra dengan Ghifari Albani, suaminya, di kantor. Kanaya yang memang sangat intoleran terhadap penghiantan, meninggalkan Ghifari dengan janin berusia dua minggu di rahimnya. Bagaimana kehidupan baru Kanaya di perkebunan kopi milik keluarga Safa, sahabatnya selama pelariannya? Bagaimana pula sikap Haikal Baihaqi, kakak Safa yang tidak pernah ramah terhadapnya? Ikuti kisah Kanaya tentang pergulatan batin seorang perempuan yang trauma untuk mencintai dan dicintai lagi. Karena bagi Kanaya cinta saja tidak cukup.
View More"Jadi saya beneran hamil ini, Dok?" Kanaya Prameswari nyaris tidak mempercayai penglihatannya sendiri. Kedua tangannya bergetar saat membaca hasil urine dari laboratorium RSIA. Lima tahun penantiannya berakhir sudah. Selama lima tahun pernikahannya ini, Ghifari Albani, suaminya, sangat mengharapkan kehadiran seorang buah hati. Wajar saja, suaminya adalah seorang anak tunggal. Kehadiran generasi penerus pasti sudah pasti sangat dinanti-nantikan oleh seluruh keluarga besarnya. Dalam dua tahun terakhir ini suaminya sangat stress karena tekanan dari berbagai pihak. Baik itu dari keluarga besar Albani atau pun dari kedua orang tuanya. Mereka semua kerap menyindir-nyindir kehidupan rumah tangga mereka yang dianggap belum sempurna karena ketiadaan buah hati. Dengan kehamilannya ini pasti akan membuat suaminya bahagia luar biasa. Memikirkan hal itu rasa syukur tidak henti-henti diucapkan Kanaya pada yang Maha Kuasa.
"Benar, Bu. Saat ini kandungan Ibu telah berusia dua minggu. Selamat ya, Bu?" Dokter Rasyid Rasyidi ikut berbahagia melihat senyum yang terus terkembang di wajah pasien mudanya. Ia adalah dokter kandungan keluarga besar Albani. Jadi ia sangat memahami posisi Kanaya di dalam keluarga besar terpandang itu. Kedua mertua Kanaya juga kerap mengeluhkan soal menantu mereka yang tidak kunjung hamil. Padahal usia pernikahan anak menantunya telah memasuki tahun ke lima.
"Tapi harap diingat. Kandungan Ibu ini masih sangat muda. Rahim Ibu masih rentan terhadap segala bentuk guncangan. Selain itu, kondisi fisik dan psikis Ibu juga harus selalu terjaga. Ibu tidak boleh terlalu capek dan banyak pikiran ya, Bu?" Nasehat dokter Rasyid lagi. Kanaya mengangguk takzim.
"Tentu saja, dokter. Saya akan menjaga kandungan saya ini sebaik mungkin. Saya juga akan selalu mengingat pesan-pesan, dokter. Saya permisi dulu ya, dok? Terima kasih atas semuanya." Kanaya menyalami dokter Rasyid sebelum keluar dari ruangan praktek.
Kanaya melangkahkan kaki menuju parkiran dengan senyum yang terus terkembang. Di dekapnya surat hasil dari laboratorium rumah sakit di dada. Ia masih seperti tidak percaya kalau ia sekarang sedang mengandung anak Ghifari. Pak Rustam, sang supir pribadi, buru-buru membuka pintu mobil saat melihat kehadiran nyonya mudanya. Melihat senyum yang terus tersungging di bibir sang nyonya muda, maka tau lah ia akan hasil laboratorium yang sedari dua hari lalu dinanti-nantikan oleh nyonya mudanya. Pak Rustam tersenyum. Ia ikut berbahagia untuk kebahagiaan seluruh keluarga besar Albani.
"Kita ke kantor Mas Fari dulu ya, Pak? Ada yang ingin saya sampaikan padanya," ujar Kanaya.
"Baik, Bu." Pak Rustam dengan sigap menjalankan kendaraan. Selama berkendara, Pak Rustam bersikap sangat hati-hati. Ia menghindari jalan yang rusak dan berkendara dengan kecepatan sedang. Sebisa mungkin ia menghindari guncangan. Ia tidak ingin kandungan nyonya mudanya terganggu.
Pak Rustam melirik kaca spion depan. Nyonya mudanya kembali membaca selembar surat dengan ekspresi gembira. Kebahagian terus terpancar di wajah lembutnya. Syukurlah, penantian panjang keluarga besar majikannya, berakhir bahagia. Dengan begitu segala pertikaian terkait masalah keturunan di masa lalu, tidak akan terulang lagi. Sebagai seorang pekerja, ia ikut lega.
Selama dalam perjalanan, Kanaya terus membayangkan bagaimana ekspresi suaminya saat membaca surat dari laboratorium rumah sakit ini. Pasti suami tercintanya itu tidak kuasa menahan rasa haru dan bahagia. Penantian siang malam selama lima tahun pernikahan mereka akhirnya berbuah bahagia. Membayangkan hal itu Kanaya semakin tidak sabar untuk memberitahukan kabar baik ini pada suaminya.
Empat puluh lima menit kemudian, mereka telah tiba di sebuah gedung perkantoran elit. Suaminya memang berkantor di sini. Dengan tidak sabar Kanaya keluar dari mobil dengan surat hasil dari laboratorium di tangan. Kalau menuruti kata hati, Kanaya ingin berlari secepat mungkin ke ruangan suaminya. Ia ingin suaminya membaca sendiri surat dari laboratorium rumah sakit ini.
Setiba di lobby kantor, Kanaya bergegas masuk ke dalam lift dan menekan angka 4. Ghifari memang berkantor di lantai empat. Saat pintu lift terbuka, Kanaya keluar dari lift dengan senyum yang kian lebar. Langkah kaki ia percepat karena ingin segera menemui suaminya. Saat tiba di depan pintu ruang kerja suaminya, langkahnya dihadang oleh Sanny, sekretaris suaminya.
"Bapak ada di dalam 'kan, San?" Tanya Kanaya pada sekretaris suaminya.
"A--ada, Bu." Sahut Sanny gugup. "Sebentar, saya akan memberitahu Bapak kalau Ibu ada di sini." Ujar Sanny kian gugup. Kanaya mengerutkan kening. Tumben Sanny gelisah seperti ini. Biasanya Sanny gembira-gembira saja saat ia mengunjungi suaminya.
"Tidak perlu, San. Saya ingin memberi kejutan pada, Bapak." Tukas Kanaya seraya memutar handle pintu.
"Ja--jangan dulu, Bu!" Seru Sanny ketakutan.
Begitu pintu ruang kerja suaminya terbuka, Kanayalah yang mendapat kejutan alih-alih suaminya. Di sana, di kursi direktur suaminya, Dina, sahabat baiknya sedang beradu mulut panas dengan suaminya. Akibat panasnya ciuman mereka berdua, mereka bahkan tidak sadar kalau pintu sudah terbuka, dan ada orang lain yang tengah menonton aksi mereka berdua.
"Astaghfirulahaladzim!" Kanaya berulang kali mengucapkan beristighfar. Ia nyaris tidak mempercayai penglihatannya sendiri. Dua orang yang paling ia sayangi dan ia percayai, sampai hati menghianati seperti ini. Langit seperti runtuh tepat di depan matanya. Jeritan pedihnya membuat dua kepala yang sebelumnya saling bertukar saliva itu menjauh dengan tiba-tiba. Wajah keduanya pucat pasi saat melihat kehadirannya. Namun ada sesuatu yang sempat Kanaya tangkap sebelum tautan bibir keduanya terlepas. Rasa puas di mata Dina! Kanaya berteman cukup lama dengan Dina. Ia sangat mengenali air muka sahabatnya ini.
"Astaga, Naya. Ini... ini... tidak seperti yang kamu pikirkan, sayang. Mas bisa menjelaskan soal semua ini ini. Mas... Mas..."
Melihat suaminya kebingungan tidak tau harus mengatakan apa, Kanaya sudah tau apa yang sesungguhnya telah terjadi. Suami dan sahabatnya telah berselingkuh di belakangnya. Dina yang mengaku sebagai sahabatnya, baru sebulan bercerai dari Reyhan. Menurut Dina, Reyhan menceraikannya karena ia mandul. Selama kurang lebih sebulan ini, ia sibuk membesarkan hati Dina. Menghiburnya pagi, siang, malam agar sahabatnya ini tidak depresi. Ia bahkan menandai media sosial Dina dengan hashtag woman supporting woman. Kala itu mereka saling berpegangan tangan. Tertawa dan menangis bersama karena merasa sama-sama tidak bisa mempunyai keturunan. Namun siapa nyana kalau balasan yang Dina berikan malah woman hurting woman. Betapa kejamnya!
"Mas tidak perlu menjelaskan apapun. Naya bukan anak kecil, Mas. Jangan berbohong untuk menutupi kebohongan yang lainnya. Bersikap jantanlah, Mas." Desis Kanaya dengan suara di hidung.
"Aku... aku juga minta maaf, Na. Aku juga tidak tau sejak kapan rasa ini tumbuh. Hanya saja, aku tidak kuasa untuk melawan perasaan ini. Sekali lagi, aku minta maaf, Na." Akhirnya Dina bersuara juga.
"Oh, jadi permintaan maafmu ini hanya untuk mengakui ketidakberdayaanmu melawan perasaan terlarang terhadap suamiku?" Desis Kanaya geram. "Itu namanya bukan permintaan maaf, Din. Tapi pengakuan maaf. Kamu pasti lega sekali karena akhirnya perselingkuhan kalian kupergoki 'kan? Karena kamu sangat tau bahwa aku sangat intoleran terhadap perselingkuhan."
Kanaya tersenyum pahit. Kediaman Dina mengartikan satu hal. Bahwasannya semua dugaannya benar. Dina ingin menggantikan tempatnya. Menjadi pemilik hati suaminya satu-satunya. Karena Dina sudah memprediksi kalau ia pasti akan pergi. Dina memang benar soal ia pasti akan pergi. Hanya saja yang lainnya salah. Dina bodoh. Ia tidak belajar dari kesalahan-kesalahannya. Dia sendiri diceraikan Reyhan karena divonis mandul. Jadi bagaimana mungkin ia bisa menjadi pusat hidup Ghifari kalau ia tidak bisa memberikan keturunan? Toh permasalahan rumah tangga mereka sama. Sama-sama diharapkan bisa memberikan keturunan. Dina terjatuh di lubang yang sama dua kali.
"Naya pamit, Mas. Lanjutkan saja kemesraan kalian yang sempat terputus tadi. Santai saja. Toh tidak ada yang perlu kalian khawatirkan lagi," guman Kanaya seraya menjejalkan surat dari rumah sakit ke dalam tas tangannya. Mulai hari ini, kehadiran bayi di dalam rahimnya adalah miliknya sendiri. Ia tidak perlu membagi kabar bahagia ini kepada ayah bejat seperti suaminya.
"Tunggu dulu, Naya. Jangan pergi begitu saja. Mari, kita bertiga duduk bersama menyelesaikan kesalahpahaman ini," Ghifari menghela pergelangan tangannya. Wajah kalut penuh penyesalannya terlihat begitu nyata. Seperti ini tampang seorang penyelingkuh. Pias oleh seribu penyesalan apabila tertangkap basah. Type orang-orang yang tidak berpikir panjang.
"Bertiga? Maaf Mas, Naya tidak ada hubungannya dengan masalah kalian berdua. Sewaktu kalian menjalin affairs kan Naya tidak diajak berembuk. Mengapa setelah ketahuan Naya dibawa-bawa?" Sahut Kanaya ketus. Tanpa banyak bicara lagi, Kanaya berjalan ke arah pintu. Urusannya di sini usai sudah.
"Jangan mengejar Naya, Mas. Naya tidak sudi menjadi tontonan ala sinetron azab Indosia*." Ancam Kanaya.
"Tunggu dulu, Na. Kamu tadi ke sini ada urusan apa? Biasanya kalau kamu ke kantor pasti ada hal penting yang ingin kamu sampaikan langsung pada, Mas." Ghifari masih berupaya menahan kepergiannya.
Diingatkan pada tujuan utamanya ke sini, air mata Kanaya mengalir bagai air bah. Sedari tadi, walau sakit hati, tidak setetes pun air matanya jatuh. Rasa marah dan kecewa lebih mendominasi dari pada sakit hati. Tapi saat diingatkan pada bayi yang saat ini menghuni rahimnya, perasaannya lah yang berbicara. Bukan hatinya saja yang sakit. Tapi seluruh jiwa raganya serasa luluh lantak! Kanaya teringat pada kegembiraan luar biasanya saat di rumah sakit dan di sepanjang perjalanan menuju kantor. Ternyata semua kebahagiannya hancur dalam hitungan detik saja. Alangkah ironisnya!
Astaghfirullahaladzim..
Astaghfirullahaladzim... Astaghfirullahaladzim...Kanaya tidak henti-hentinya mengucapkan istighfar dalam hati. Memohon kesabaran dari Yang Maha Kuasa agar lebih dikuatkan dalam menghadapi badai terbesar dalam rumah tangganya ini. Selama ini ia kuat dalam diam karena ada Ghifari yang menjadi tempat bersandarnya. Tidak masalah jika semua orang mengejeknya, menyindirkan bahkan mengolok-olok kemandulannya. Ia telan semuanya selama Ghifari tidak berada di kubu mereka. Namun kini, setelah ia tau bahwa Dina menusuknya dari belakang dan Ghifari menaburi garam di sepanjang lukanya, ia tidak kuat lagi. Kesabaran dan kekuatannya telah tiba di titik nadir. Raungan kesedihannya menggema di seluruh penjuru ruangan.
"Astaga, Naya. Maafkan Mas, Naya. Maaf... maaf... maaf, Naya. Mas tidak bermaksud menyakiti kamu sampai seperti ini," guman Ghifari kalut. Ia ingin mendekati Kanaya, tapi ia takut kalau tindakannya malah membuat istrinya semakin histeris. Saat ini, Kanaya bukan seperti dirinya yang biasanya. Selama tiga tahun berpacaran dan lima tahun menikah, Ghifari tidak pernah melihat Kanaya kehilangan kendali seperti ini. Kanaya ini lembut namun kuat. Kanaya tidak pernah mengadu atau pun berkeluh kesah walau diserang kanan kiri oleh keluarga besarnya. Kanaya selalu mengatakan kalau semua orang berhak menyuarakan pendapatnya. Selama ia tidak terluka dan berdarah-darah, ia ikhlas menerima semuanya. Kebesaran hati Kanaya menghangatkan dirinya. Kini, melihat Kanaya hancur seperti ini, penyesalannya tidak terucapkan. Ghifari tau, tidak akan mudah baginya untuk mendapatkan maaf dari Kanaya. Ia sangat mengenal sifat istrinya.
Ia hanya tidak menyangka kalau keisengannya menyambut undangan terang-terangan Dina akan berakibat sefatal ini. Ia laki-laki. Diberi makanan gratis tanpa embel-embel tanggung jawab membuatnya lupa diri. Pikirnya toh Dina memang mandul. Janda lagi. Jadi tidak akan ada drama-drama kehamilan dan minta dinikahi. Hubungan mereka adalah senang sama senang. Ia dan Dina sepakat untuk tidak membawa-bawa masalah hati dalam affairs mereka ini. Hubungan mereka murni soal nafsu birahi. Titik.
Kalau terhadap Kanaya, ia memang cinta. Makanya ia tetap mempertahankan rumah tangganya meskipun kedua orang tuanya menginginkan agar ia bercerai dari dari Kanaya. Mereka menganggap kalau istrinya ini mandul. Namun ia bertekad akan terus mempertahankan Kanaya mau Kanaya itu mandul atau pun tidak. Misalkan Kanaya benar-benar mandul pun, ia tidak akan pernah menceraikannya. Mungkin ia akan menikah lagi untuk memperoleh keturunan. Tapi ia akan tetap mempertahankan Kanaya.
Setelah berulang kali beristighfar, Kanaya berusaha menenangkan dirinya. Cukup sudah ia membuang-buang air mata untuk seseorang yang mulai hari ini bukan lagi siapa-siapanya. Kanaya membuka tas tangan. Mengeluarkan sapu tangan dan membersit hidung. Berusaha menghilangkan sisa-sisa kesedihannya. Kesadaran dirinya telah kembali.
"Masalah itu sudah tidak penting lagi sekarang. Apa yang tadi ingin Naya sampaikan, tidak akan pernah lagi Naya katakan. Naya pulang dulu, Mas. Dan kalau Mas memang punya hati, tolong biarkan Naya sendiri dulu. Nana butuh waktu untuk memikirkan semua ini." Guman Kanaya lirih. Tanpa menunggu jawaban Ghifari, Kanaya menegakkan kepala. Melangkah keluar ruangan dengan anggun. Ia tidak ingin seorang pun tau tentang badai yang memporakporandakan hatinya. Setibanya di parkiran Kanaya menengadahkan kepala. Cuaca di sore hari ini sungguh cerah. Sinar matahari sore terang benderang tanpa tertutup sepotong pun awan. Namun di hatinya, seperti sedang terjadi hujan badai yang meruntuhkan langit dan akan menimpa bumi. Masalahnya, Kanaya merasa hanya kepalanya saja yang tertimpa.
Tiga bulan kemudian. Kanaya bernapas sesuai dengan intruksi dokter Kirana. Perutnya mulas luar biasa. Bayi-bayi yang selama sembilan bulan lebih menghuni rahimnya ini, seperti tidak sabar berebutan ingin keluar. Kanaya sampai berkeringat dingin karenanya. Rasanya baru kemarin ia melahirkan Juang, dan kini ia harus kembali melahirkan lagi. Sebenarnya Haikal menginginkannya melahirkan dengan operasi caesar. Karena menurut Haikal dan kedua mertuanya, lebih aman mengingat ia harus melahirkan dua orang bayi. Dikhawatirkan ia kehabisan tenaga atau letak bayinya sungsang dan lain sebagainya. Tetapi Kanaya bersikeras ingin melahirkan secara normal. Karena Juang juga ia lahirkan secara normal. Untungnya keinginannya itu didukung oleh dokter Kirana. Menurut dokter Kirana bayi kembar bisa dilahirkan secara normal apabila keadaannya memungkinkan. Misalnya pada saat akan dilahirkan keadaan b
Lima bulan kemudian. Kanaya merapikan pakaian Juang yang tengah berada dalam gendongan Ika. Anak seusia Juang memang sedang aktif-aktifnya menarik-narik sesuatu. Alhasil baik pakaian Juang sendiri, atau pun pakaian orang yang menggendongnya, harus siap diacak-acak sewaktu-waktu. Pokoknya setiap ada bentuk dan warna yang mencolok, pasti akan menarik perhatian Juang. "Kalau kamu capek terus menggendong Juang, sini gantian, Ka. Kamu makan saja dulu. Tuh, makanannya enak-enak 'kan?" ujar Kanaya pada Ika. Ika kasihan melihat Ika yang ngos-ngosan karena terus menggendong Juang."Ah jangan dong, Bu. Perut Ibu sudah sebesar itu. Kasihan adek-adek bayinya kalau Ibu harus menggendong Juang. Belum lagi nanti saya diomelin Bapak." Ika nyengir. ARTnya ini sangat memahami sifat Haikal. Kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh, dan ia meng
Kanaya beringsut dari kursi kafe sembari memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Berarti sekitar setengah jam lagi, Pak Yaman dan Bu Maryam, akan menemuinya di restaurant ini. Kemarin kedua mantan mertuanya itu meneleponnya. Bu Maryam berbicara dari hati ke hati dengannya hampir selama satu jam penuh. Bu Maryam mengatakan bahwa ia telah mengetahui jati diri Juang yang sebenarnya. Dan sebagai nenek dan kakek, mereka berdua memohon agar diperbolehkan untuk menjenguk Juang. Kedua mertuanya juga berjanji kalau mereka tidak akan berbuat macam-macam, seperti ingin merebut Juang darinya misalnya. Mereka berdua hanya ingin melihat rupa cucu kandung mereka, katanya. Dari cara berbicara Bu Maryam di telepon, Kanaya bisa menangkap satu hal. Bahwa kedua mantan mertuanya ini telah banyak berubah. Setelah tertangkapnya Ghifari dan beberapa perusahaannya dinyatakan pailit, sikap kedua mantan mertuanya ini pun ikut berubah."Apa
"Cukup, Nay. Aku sudah kenyang."Marsya menolak suapan bubur ayam dari Kanaya. Sungguh ia tidak berselera makan sama sekali. Bayangan ia akan benar-benar kehilangan hak asuh kedua anaknya, menggentarkannya. Marsya sadar, dirinya memang gagal menjadi orang baik. Tetapi sebagai seorang ibu, ia tidak gagal. Ia berusaha mendidik Attar dan Azizah dengan baik. Mengajari ilmu pengetahuan, hingga adab dan kesopanan. Sejahat-jahatnya dirinya, sebagai seorang ibu, tetap saja ia menginginkan yang terbaik bagi kedua anaknya. Makanya Marsya sangat depresi membayangkan kalau dirinya bukan saja kehilangan hak asuh, tetapi akan dijauhkan dari anak-anak kandungnya sendiri. Demi apapun, ia tidak sanggup!"Sedikit lagi ya, Mbak? Dari tadi pagi Mbak belum makan apa-apa lho. Mbak bisa sakit yang lain nanti," bujuk Kanaya.
Haikal berulang kali meremas jalinan tangannya di pangkuan. Saat ini ia tengah duduk gelisah di studio kecil ayah mertuanya. Ia bermaksud membawa Kanaya pulang ke rumah. Dan untuk itu tentu saja ia harus meminta izin pada ayah mertuanya. Haikal tau, tidak mudah mengajuk hati ayah mertuanya yang eksentrik ini. Bara Sudibyo, sang ayah mertua, sikapnya memang tidak bisa diprediksi. Buktinya sudah hampir satu jam ia duduk di studio ini, namun kehadirannya sama sekali tidak dianggap oleh ayah mertuanya.Sedari tadi, ayah mertuanya hanya sibuk melukis. Sesekali ayah mertuanya ini menelengkan kepala. Mengamati hasil lukisannya dari berbagai sisi. Di saat lain, ayah mertuanya akan menggerutu sendiri. Mungkin ayah mertuanya merasa hasil lukisannya kurang memuaskan hatinya. Kehadirannya sekian lama di sini hanya dianggap seperti kuas cat saja sepertinya."Mau ngapain kamu ke sini?" Bara melirik sekilas laki-laki muda di sampingnya. Selanjutnya ia ke
Dan di sinilah sekarang Kanaya berada. Di kamar mereka berdua, dengan Haikal yang terus saja berdiri di depan jendela. Sementara dirinya sendiri duduk di ujung ranjang. Sedari dirinya tiba beberapa menit lalu, Haikal terus memandang keluar jendela. Seolah jendela-jendela di kompleks perumahan ini, lebih menarik untuk ditatap daripada wajah istrinya sendiri.Dalam keadaan masih duduk, Kanaya menatap Haikal lurus-lurus. Hampir sebulan tidak bertemu, perubahan-perubahan di diri Haikal sangat signifikan. Kepalanya sudah tampak normal. Perban yang biasa menutupi luka bekas operasinya sudah tidak ada. Begitu juga dengan luka parut di pipinya. Jika dipandang sekilas, orang-orang tidak akan tau kalau Haikal itu baru saja menjalani operasi rekonstruksi kepala dan wajah. Haikal sudah kembali gagah dan tampan seperti sebelumnya. Kecuali bila didekati dan diperhatikan dengan seksama. Maka akan tampak bekas-bekas operasi halus di sana. Hasil kerja rumah sakit ter
Rasa adem langsung menerpa kulit Kanaya, kala ia mendorong pintu kafe. Ramainya pengunjung membuat Kanaya celingukan mencari-cari meja yang kosong. Pada hari minggu seperti ini kafe memang sedang ramai-ramainya. Sebenarnya Kanaya malas sekali harus meninggalkan warung dan juga Juang untuk ke kafe ini. Tetapi demi menguak tabir kebenaran mengapa sikap Haikal berubah 180 derajat seperti ini, Kanaya memaksakan diri ke sini juga. Safa ingin bertemu dengannya secara empat mata katanya. Makanya Kanaya penasaran sekali. Kanaya menebak, pasti ini semua ada kaitannya dengan Haikal.Kanaya memindai seantero kafe. Mencari-cari meja yang masih kosong. Pengunjung kafe hari ini sangat ramai. Tidak heran memang, mengingat ini adalah hari minggu. Hari di mana orang-orang refreshing menikmati hari libur, atau sekedar family time dengan makan bersama. Kanaya menarik napas lega kala pandangannya membentur meja yang paling pojok. Meja itu memang relatif lebi
Ghifari memandang video-video panas yang baru saja diedit Rafly dengan tatapan puas. Sungguh ia sama sekali tidak menyangka, kalau teknologi sekarang sudah secanggih ini. Video-video panasnya dengan Kanaya semasa masih menjadi sepasang suami istri dulu, telah berganti waktu dan tanggalnya. Ia memang suka merekam aksi-aksi panas mereka dulu tanpa sepengetahuan Kanaya. Dan ia sama sekali tidak menyangka kalau kebiasaannya itu kini akan sangat berguna dalam planning-planningnya. Ia akan merebut kembali Kanaya dari Haikal tentu saja."Oke, Pak Ghifari. Semua video-video ini sudah saya edit tanggal dan jamnya. Saya yakin, tidak ada satu orang pun yang bisa mendeteksi kebenarannya." Rafly, sang peretas juga ikut tersenyum puas. Hanya saja tingkat kepuasan dua orang laki-laki ini berbeda. Jika Ghifari puas karena ia akan mendapatkan kembali mantan istrinya, maka Rafly puas karena akan mendapatkan sejumlah besar dana. Win win solution.
Kanaya memandangi rinai hujan di depan jendela. Sesekali ia mengusap kaca jendela nako yang basah. Bulir-bulir air yang berjatuhan mewakili hatinya saat ini. Jatuh ke titik nadir. Saat ini ia berada di rumah Jihan. Entah mengapa saat mengorder taksi online tadi, ia malah mengetik alamat Jihan, alih-alih orang tuanya. Mungkin ia merasa malu karena rumah tangganya kembali bermasalah. Makanya alam bawah sadarnya mencari perlindungan pada Jihan. Sebagai sesama wanita yang gagal dalam berumah tangga, setidaknya Jihan pasti sangat memahami keadaannya saat ini.Dugaan Kanaya tepat. Jihan sama sekali tidak heboh dan menginterogasinya saat melihat kedatangannya malam-malam. Istimewa dengan keadaan yang seadanya. Kanaya memang hanya sempat membawa dompet dan ponsel, selain baju yang melekat di badan. Itu pun karena dua benda tersebut kebetulan ada di saku celananya.Saat ia datang dalam rinai hujan, Jihan dengan luwes
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments