"Nay, gue mau ngabarin kalau Mas Haikal sedang on the way ke Sukawangi. Gue nelpon lo, supaya lo nggak kaget-kaget amat kalau pas nanti kepethuk."
Benar 'kan tebakannya?
"Kami udah ketemu kok, Fa." Kanaya menjawab apa adanya.
Bahkan udah berantem lagi.
"Hah! Udah ke temu? Terus gimana, Nay? Mas Haikal udah nggak marah lagi sama lo 'kan?"
Kanaya tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban bijak. Ia tidak ingin menjadi penyebab kedua kakak beradik itu saling bentrok.
"Ya gitu deh, Fa." Kanaya memberikan jawaban ambigu.
"Eh tapi gue heran, lo bilang 'kan Mas Haikal lagi ada project baru di Jakarta. Lah ini kok ujug-ujug udah nyampe ke sini aja?" tanya Kanaya penasaran. Pertanyaannya ditanggapi Safa dengan decakan lidah.
"Itu gara-gara ibu gue yang terus nyodor-nyodorin Mbak Astri pada Mas Haikal,"
"Eh tunggu-tunggu. Bukannya nggak lama setelah Mbak Astri membatalkan pernikahan dengan Mas Haikal, Mbak Astri langsung nikah dengan atasannya? Kok ini lo bilang ibu lo nyodor-nyodorin Mbak Astri?" Pertanyaannya kembali dijawab Safa dengan decakan lidah.
"Ck! Panjang ceritanya, Nay. Ntar bulan depan pas gue ke sana, gue ceritain deh semuanya. Yang pasti Mbak Astri sekarang udah resmi bercerai dengan suaminya. Gue tutup dulu ya, Nay. Mas Tirta udah ngedumel terus pengen minta jatah. Hihihi."
Kanaya memutar bola mata. Safa memang sesableng itu. Kata-katanya selalu keluar tanpa difilter. Setelah menutup ponsel, Kanaya segera membersihkan diri. Ia lapar dan ingin mencicipi makanan khas penduduk sekitar. Sewaktu melewati perkampungan ini sore tadi, ia melihat ada beberapa penduduk sekitar yang berjualan makanan tradisonal. Kampung ini sekarang lebih modern. Tidak seperti sepuluh tahun yang lalu. Di mana masyarakatnya hanya bermata pencaharian dengan bertani. Sekarang mereka juga sudah mulai mencoba berdagang.
Dua puluh menit kemudian ia telah bersiap-siap meninggalkan paviliun. Sebuah jaket hangat dan sepatu kets telah ia kenakan. Dengan jaket ini ia berharap tidak masuk angin karena semilir angin gunung. Kanaya membuka pintu bertepatan dengan Bik Surti yang datang membawa rantang empat susun di tangan.
"Lho Non Naya mau ke mana malam-malam begini?" tanya Bik Surti heran. Melihatnya memakai jaket dan sepatu, Bik Surti pasti bisa menebak tujuannya membuka pintu.
"Saya cuma mau jalan-jalan sebentar, Bik." Kanaya seraya melebarkan daun pintu.
"Duh, sebaiknya jangan, Non. Angin malam tidak baik untuk kesehatan. Mana Non Naya sedang isi lagi. Jalan-jalannya besok pagi aja ya, Non? Biar sekalian Bibik temani." Mau tidak mau Kanaya menurut juga. Apa yang dikatakan Bik Surti memang ada benarnya.
"Ayo masuk lagi, Non. Makan dulu ya? Ini Bibik bawakan macam-macam lauk. Semoga Non Naya suka ya?" Bik Surti meletakan rantang empat susun di meja makan. Membuka rantang satu persatu. Memamerkan macam-macam lauk yang menggoda selera. Ada rendang, sambal tempe orak arik, pepes ikan dan tumis brokoli. Perutnya seketika bergemuruh. Akhir-akhir ini selera makannya memang meningkat tajam. Mungkin karena dipengaruhi oleh hormon kehamilannya. Kanaya membuka jaket dan menyampirkannya di atas sofa. Sepatu kembali ia letakkan di belakang pintu. Lebih baik ia makan dulu. Ia memang sedang lapar-laparnya.
Kanaya menarik sebuah kursi makan. Mengambil sepiring nasi hangat dari rantang dan mengisi beberapa macam lauk di atas nasi hangatnya. Sejurus kemudian ia mulai makan dengan lahap. Bik Surti tersenyum. Ia senang melihat cara Kanaya makan.
"Terima kasih ya, Bik? Tapi lain kali Bibik tidak usah repot-repot mengantar makanan lagi. Saya jadi tidak enak pada Mas Haikal. Sudah menumpang, masa saya tiap hari minta makan juga? Lain kali tidak usah lagi ya, Bik?" pesan Kanaya. Ia tidak mau menjadi benalu di sini.
"Eh ladalah. Non Naya kok jadi sungkan begini? Tidak apa-apa kok, Non. Den Haikal nggak bakalan marah. Lha wong ini juga Den Haikal yang nyuruh. Daripada dibuang katanya. Eh mubazir maksudnya." Bik Surti buru-buru meralat kalimatnya. Kanaya tersenyum tipis. Ia lebih mempercayai kalimat pertama dibandingkan yang baru saja diralat oleh Bik Surti.
"Tolong bilang terima kasih sama Mas Haikal ya, Bik?" Kanaya meletakkan sendok. Tidak jadi menambah sepotong rendang lagi. Selera makannya telah menguap. Bik Surti menghela napas. Ia menyesali kalimatnya. Sebenarnya ia tidak bermaksud mematahkan selera Kanaya. Hanya saja ia keceplosan. Daripada terus terjadi kesalahpahaman di antara keduanya, Bik Surti memutuskan untuk menjelaskan asal muasal kata dibuang.
"Non, Den Haikal tidak bermaksud memberikan Non makanan sisa. Ini semua makanan baru. Baru diantar oleh dokter Rissa tepatnya.
"Dokter Rissa? Maksudnya?" Kanaya mengerutkan dahi. Ia merasa tidak familiar dengan nama yang disebutkan Bik Surti. Apalagi mendengar gelar dokternya.
"Dokter Rissa itu dokter Marissa. Dokter muda dari Jakarta yang ditugaskan praktek di kampung ini. Nah, sepertinya dokter itu suka dengan Den Haikal. Makanya dokter Rissa selalu mengantarkan makanan untuk Den Haikal, kalau Den Haikal kebetulan sedang ada di sini. Nah, Den Haikal itu tidak pernah mau makan makanan yang diberikan dokter Rissa. Biasanya makanan-makanan ini diberikan pada Bibik atau kadang dibuang begitu saja oleh Den Haikal. Makanya Den Haikal mengatakan dari pada dibuang. Itu lho maksud dari kata-kata Den Haikal tadi. Non Naya jangan kecil hati dengan kalimat keceplosan Bibik tadi ya, Non?"
Bujang lapuk seperti Mas Haikal ini banyak peminatnya juga rupanya.
"Iya, Bik. Nggak apa-apa. Bibik tenang saja." Kanaya berusaha menenangkan hati Bik Surti. Ia kasihan melihat perasaan bersalah yang membayangi kedua mata tuanya.
"Dokter Rissa itu bagaimana sih orangnya, Bik? Kok Mas Haikal sampai hati membuang-buang makanannya begitu?" Kanaya membungkus kekepoannya dengan kalimat yang memicu panjangnya gossip.
"Itulah, Non. Bibik juga nggak ngerti. Padahal dokter Rissa itu baik dan ramah sekali lho, Non. Tengah malam saja saat ada warga yang ingin melahirkan, dokter Rissa selalu siap membantu. Mana wajahnya begini lagi." Bik Surti menunjukkan jempolnya.
"Eh Bibik balik ke rumah utama dulu ya, Non? Takut sayur asem Bibik habis kuahnya karena kelamaan di kompor. Den Haikal lagi kepengen makan sayur asem dan ikan asin katanya. Makanya Bibik masakin. Non Naya lanjut makan aja yang banyak. Biar ibu dan bayinya sehat," Bik Surti buru-buru berlalu. Ia takut kalau sayur asemnya kering.
Sepeninggal Bik Surti, Kanaya membereskan peralatan makannya. Ia sudah terlanjur tidak berselera. Lebih baik ia berselancar di dunia maya saja. Siapa tau ia bisa mencoba resep-resep masakan baru atau sekedar melihat-lihat peluang bisnis selama kehamilannya. Kecanggihan teknologi sekarang ini ibarat dua sisi mata pisau. Bila digunakan untuk hal-hal positif, akan sangat banyak manfaatnya. Sebaliknya jika digunakan untuk hal-hal negatif, akan merusak penggunanya. Kanaya duduk setengah bersandar di sofa yang empuk. Mencoba mencari- cari konten yang bermanfaat demi membunuh kebosanan.
Saat sedang asyik-asyiknya membaca artikel-artikel, ponselnya bergetar. Kali ini pengacaranyalah yang menelepon. Jantung Kanaya berdetak kencang. Jangan-jangan proses perceraiannya dipersulit oleh Ghifari. Ghifari itu memang keras kepala.
"Ya, Pak Kholil. Bagaimana progres gugatan perceraian saya? Apakah sudah mulai berjalan?" Kanaya langsung memberondong pengacaranya begitu mendengar pengacaranya menjawab salamnya.
"Tidak ada perceraian, Bu Naya."
Kanaya terdiam sejenak. Ia seperti tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Ada apa ini sebenarnya? Apakah Ghifari berulah lagi?
"Tidak ada perceraian bagaimana maksud Pak Kholil? Mas Fari menolak bercerai maksud Bapak?"
"Bukan. Tidak ada perceraian antara Bu Naya dan Pak Fari, karena memang tidak ada pernikahan resmi di antara kalian berdua."
"Hah? Tidak ada pernikahan resmi? Maksudnya?" Kanaya berdiri dari sofa. Ia kaget mendengar berita dari Pak Kholil. Ia dan Ghifari memang terlebih dahulu melakukan pernikahan secara agama karena tidak direstui oleh kedua orang tua Ghifari. Namun beberapa bulan kemudian Ghifari berhasil membujuk kedua orang tuanya agar merestui pernikahan mereka. Mereka kemudian menikah ulang dan mengadakan resepsi besar-besaran. Mereka bahkan mendapatkan buku nikah sebagai tanda telah sah sebagai suami istri secara hukum negara. Jadi bagaimana mungkin pernikahan mereka dianggap tidak resmi? Kanaya benar-benar bingung.
"Begini, menurut keluarga Albani, pernikahan Bu Naya dan Pak Fari adalah pernikahan secara siri. Yang artinya pernikahan di bawah tangan. Pernikahan seperti ini memang sah di mata agama. Tetapi tidak di mata hukum. Mengenai pernikahan ulang Ibu dan Pak Fari, itu hanyalah pernikahan palsu. Penghulunya juga palsu. Semua itu telah diatur oleh kedua mertua Bu Naya dan disepakati oleh Pak Fari. Menurut Pak Fari, ia terpaksa melakukan semua ini agar Bu Naya bahagia karena merasa diterima oleh keluarga besarnya. Sedangkan bagi kedua mertua Bu Naya, mereka akan menerima Bu Naya sebagai menantu, dengan syarat, tidak dinikahi secara resmi atau didaftarkan di catatan sipil. Sampai di sini apakah Bu Naya mengerti di mana posisi Ibu sekarang?"
Astaga, mereka semua sepakat membohonginya! Pantas saja keluarga Albani yang pada mulanya menentang habis-habisan hubungannya dengan Ghifari, mendadak setuju-setuju saja. Rupanya begini permainan mereka? Kejam sekali!
"Halo... halo... Bu Naya. Apakah Ibu masih mendengar saya?"
"Ma--masih, Pak. Masih." Kanaya tergagap. Tidak setitik debu pun ia mengira kalau Ghifari sanggup membohonginya sampai sejauh ini. Lima tahun. Ghifari sanggup menutupinya sampai lima tahun lamanya.
"Saya turut prihatin ya, Bu? Saya juga baru mengetahui kabar ini saat dikabari oleh panitera pengadilan. Buku nikah dan dokumen-dokumen lain seperti Kartu keluarga Ibu itu semua palsu, alias tembakan. Makanya kasus dibatalkan karena dianggap tidak valid. Negara tidak mengakui adanya pernikahan, jadi bagaimana mungkin ada gugatan perceraian bukan? Bahasa gampangnya, Ibu jadi tidak memiliki hak untuk menuntut harta gono gini terhadap Pak Fari. Saya turut prihatin ya, Bu?"
"Apakah... apakah... kedua orang tua saya tau soal... soal... pernikahan palsu ini?" tanya Kanaya pelan. Ia merasa malu sekali. Ternyata apa yang dikhawatirkan ayahnya kejadian juga. Ayahnya pada mulanya juga menentang hubungannya dengan Ghifari. Menurut ayahnya pernikahan tanpa restu kedua orang tua itu sulit. Karena menikah itu bukan hanya antara satu pria dengan satu wanita. Akan tetapi dengan dua keluarga juga. Menikah artinya mengawinkan dua keluarga dengan background yang berbeda. Kalau salah satu keluarga ada yang tidak setuju, mustahil rumah tangga mereka akan bahagia. Tetapi kala itu tetap bersikukuh ingin menikah dengan Ghifari hingga akhirnya ayahnya mengalah. Kini saat kenyataan pahit ini disodorkan di depannya, Kanaya malu. Ia seperti dipaksa menelan bulat-bulat kata-katanya sendiri.
"Pak Dibyo dan Ibu Dibyo telah saya beritahu,"
"Ba--bagaimana reaksi mereka?" Kanaya meremas ponsel kian kuat karena cemas. Ia tidak bisa membayangkan betapa sedih dan kecewanya kedua orang tuanya.
"Pertama-tama mereka kaget dan kecewa. Namun akhirnya mereka bisa menerima juga. Pak Dibyo mengatakan kita ambil sisi positifnya saja. Dengan dianggap tidak adanya pernikahan Bu Naya dan Pak Fari, itu artinya bayi yang ada dalam kandungan Bu Naya adalah milik Bu Naya sendiri. Dari sisi hukum, keluarga Albani tidak mempunyai hak apapun terhadap bayi Bu Naya. Selain itu, sekarang Bu Naya bebas. Secara agama Bu Naya memang telah diceraikan oleh Pak Fari. Dan secara negara, pernikahan Bu Naya juga dianggap gugur. Jadi sekarang Bu Naya bebas sebebas-bebasnya."
Mendengar penjelasan pengacaranya, Kanaya tidak tau ia harus bersikap bagaimana. Harus sedih atau bahagia? Dan sampai pembicaraannya dengan Pak Kholil berakhir pun, Kanaya masih sulit mendeskripsikan perasaannya. Ia hanya duduk diam dengan pikiran melayang-layang. Ia merasa begitu gamang karena permainan kehidupan. Namun saat ia membaca sebuah pesan singkat yang diketik ayahnya dengan kalimat yang indah, membuatnya kembali bersemangat. Ia membaca pesan singkat itu lamat-lamat dan meresapi setiap untaian katanya.
Nak, hidup tidak selalu sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Dalam perjalanannya, terkadang timbul perasaan luka, sedih atau pun bahagia. Setiap orang tidak akan luput dari perasaan-perasaan itu. Jadi, cobalah untuk menerima apapun apa yang sudah Tuhan takdirkan. Dekatkan diri pada Sang Pemilik Hidup ya, Nak? Karena dari sanalah kamu akan menemukan bahwa kekuatan bisa bersumber dari hati yang ikhlas. Satu hal yang ingin Ayah tekankan, apapun keputusanmu Ayah dan Ibu akan selalu mendoakan dan mendukungmu seperti dulu.
Air mata Kanaya menggenang. Orang tua tetaplah orang tua. Seberapa marah dan kecewanya mereka pada anak-anaknya, mereka jugalah orang pertama yang akan pasang badan jika anak-anak mereka terluka.
"Sebenarnya ayah bodoh karena merestui pernikahanmu dengan Fari, Nak. Tetapi kalau hal itu bisa membuatmu bahagia, Ayah rela melakukan hal bodoh yang lebih bodoh dari apa yang kamu dilakukan saat ini."
Teringat kembali pada kata-kata ayahnya sebelun ijab kabul pernikahan sirinya membuat Kanaya merindukan sosoknya. Kanaya beringsut dari sofa. Ia sudah tidak berselera lagi berselancar di dunia maya. Lebih baik ia berjalan-jalan di sekitar paviliun saja. Kanaya mengenakan kembali jaketnya yang tersampir di sofa. Membuka pintu dan bersiap menghirup udara segar pegunungan. Di atas pegunungan itulah bibit-bibit kopi robusta keluarga Baihaqi tumbuh subur. Saat akan menutup pintu, pandangan Kanaya membentur dua sosok tubuh yang tengah duduk bersisian di antara kerimbunan tanaman. Kepulan asap rokok tampak mengepul di sekitar dua sosok itu. Kanaya menduga sosok itu adalah Haikal. Karena Mang Diman, suami Bu Surti berperawakan kecil dan kurus. Hanya saja satu sosok lagi siapa? Kalau dilihat dari siluet tubuh, sepertinya sosok itu seorang perempuan. Kanaya menajamkan telinga. Mencoba mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh keduanya. Ia tau tidak sopan memang menguping pembicaraan orang. Hanya saja, ia penasaran.
"Bagaimana hasil masakan saya, Mas? Enak tidak? Sesuai tidak dengan selera, Mas?"
"Tidak tau."
"Lho kok tidak tau? Terus terang saja Mas. Kalau pun tidak sesuai dengan selera, Mas. Mas bilang saja terus terang. Biar besok-besok saya akan mencoba masak menu yang lain lagi."
"Saya tidak tau karena saya memang tidak pernah makan semua masakan kamu. Lain kali jangan mengirimi saya makanan apapun lagi."
Di tempat persembunyiannya Kanaya membatin. Ternyata masih sendirinya Haikal sampai diusia ke tiga puluh limanya ini, bukan karena salahnya. Apalagi karena trauma yang ia sebabkan. Sesungguhnya masalahnya itu ada pada mulut tidak berfilternya. Wanita mana yang tidak mundur teratur jika terus diketusi seperti ini bukan?
Sudah seminggu ini Kanaya tinggal di desa Sukawangi. Dan telah seminggu ini juga ia menjalani rutinitas yang menyenangkan hatinya. Berjalan pagi, ikut ke pasar bersama Mbok Surti, atau sekedar melukis di bawah Gunung Arca. Ya, melukis. Ia memang menuruni bakat melukis dari ayahnya. Sedari kecil ia telah aktif ikut mencorat-coret kanvas, setiap ayahnya melukis di studio kecil mereka. Ayahnya memang seorang pelukis profesional. Setelah dewasa pun, ia masih senang melukis jika mempunyai waktu luang. Kala itu ia masih bekerja sebagai sekretaris Ghifari. Setelah makin dekat dengan Ghifari secara pribadi, ia tidak pernah melukis lagi. Ghifari tidak menyukai seniman. Bagi Ghifari seniman itu selain nyentrik, juga pemalas dan masa depannya tidak jelas. Buktinya ayahnya tetap melarat walau lukisannya konon di koleksi oleh para pejabat. Ayahnya dan Ghifari tidak pernah sepakat dalam hal apapun. Da
Kanaya sedang berkonsentrasi melukis saat ponselnya bergetar. Ah, pasti Safa yang memanggil. Nomor ponselnya yang baru ini memang hanya diketahui oleh lima orang. Kedua orang tuanya, Safa, Pak Kholil pengacaranya dan Bik Surti. Ibunya baru tadi pagi meneleponnya. Sedangkan Pak Kholil sudah jarang meneleponnya sejak kasus perceraiannya dibatalkan. Sementara Bik Surti lebih suka mendatanginya langsung dari pada menelepon. Buang-buang pulsa katanya. Jadi kemungkinannya hanya satu yaitu Safa. Kanaya menarik sehelai tissue basah untuk mengelap tangannya yang penuh dengan noda cat. Setelah itu barulah ia meraih ponsel di atas meja. Kening seketika berkerut saat melihat ada nomor yang tidak dikenal meneleponnya. Aneh! Siapa si penelepon ini? Karena penasaran Kanaya pun mencoba mengangkatnya."Hallo," Kanaya memberi salam dengan hati-hati."Kamu sekarang silahkan ke rumah utama. Kami semua menunggu kehadiranmu di sini."
Dengungan suara orang-orang yang berbicara dalam waktu secara bersamaan, membuat Kanaya berusaha membuka mata. Ia ingin mengatakan kalau ia baik-baik saja. Ia tidak mau membuat kehebohan di rumah orang. Hanya saja matanya tidak mau bekerjasama. Tetap lengket dan sulit sekali untuk dibuka."Kamu bertengkar dengan Naya, Kal? Kalau ada masalah, ya mbok dibicarakan baik-baik. Naya ini 'kan sedang mengandung. Bagaimana kalau cucu Ibu sampai kenapa-kenapa?"Berarti sampai sejauh ini, Haikal belum mengatakan hal yang sebenarnya pada keluarganya. Benar-benar keterlaluan! Tunggu sampai ia sedikit bertenaga. Akan ia bongkar semua omong kosong ini!"Bukan bertengkar kok, Bu. Hanya sedikit berselisih paham saja. Naya tidak ingin Haikal memberitahu Ibu soal kehamilannya, sedangkan Haikal bersikukuh . Makanya Naya jadi marah pada Haikal."Bohong! "Nak, sebenarnya Ibu
Kanaya berkali-kali menarik napas panjang. Mempersiapkan batin sebelum memberanikan diri mengetuk pintu rumah. Akhirnya ia kembali ke sini. Ke rumah tempat ia lahir dan dibesarkan. Rumah sederhana namun sangat asri dengan pekarangan yang luas dan sejuk dipandang mata. Seorang pelukis seperti ayahnya memang menyukai suasana seperti di alam bebas. Oleh karena itu rumah mereka pun dibuat sangat sederhana dan menyatu pada alam. Baru saja berniat untuk mengetuk, pintu tiba-tiba saja terbuka. Kanaya dan ibunya yang sepertinya bermaksud untuk membuang sampah, sama-sama kaget."Astaghfirullahaladzim, Nay. Ibu sampai kaget. Kamu sudah lama sampai toh, Nak?" Gendis melebarkan daun pintu. Mempersilahkan putri semata wayangnya masuk ke dalam rumah."Baru saja kok, Bu. Belum juga lima menit. Ibu mau membuang sampah ya? Sini, biar Naya saja yang membuangnya." Kanaya mengambil alih plastik sampah dari tangan sang ibu. Berjalan keluar dan kembali
Kanaya mendekati meja lipat Venaya. Ia tau, gadis kecil itu pasti langsung down tatkala panitia perlombaan menetapkan tema lukisan. Ya, tema aku cinta ibu pasti membuat Venaya kebingungan. Ditinggalkan ibunya ke rahmatullah, begitu dilahirkan, gadis kecil itu pasti kehilangan ide karena tidak ada bayangan apapun di benaknya."Aya kenapa, sayang? Kok belum mulai menggambar? Lihat, teman-teman yang lain sudah mulai lho," pancing Kanaya halus. Wajah Venaya kian mendung. Bibirnya membentuk busur terbalik dengan ekspresi siap menangis sewaktu-waktu."Aya lupa dengan wajah mama Aya, Tante. 'Kan photo mama disimpan semua sama opa dan oma. Kata oma, papa suka sedih kalau melihat photo mama. Jadi sekarang Aya nggak bisa menggambar, Tante. Aya nggak punya ide," adu Venaya sedih.Benar 'kan tebakannya?"Kalau begitu, Aya gambar saja wajah Aya sendiri. Soalnya mama Aya itu 'kan mirip sekali
"Tidak Nay. Sudah cukup. Cukup Mas tau bahwa Mas telah salah menilaimu selama ini. Kamu tidak pantas Mas sesali sama sekali," desis Ghifari geram. Ia tiba-tiba memalingkan wajahnya pada Dina. "Maafkan Mas karena telah meragukan ucapmu selama ini, Dina. Sekarang Mas percaya bahwa Naya memang tidak pernah mencintai Mas. Ia bertahan hanya karena harta dan kedudukan, Mas. Perempuan seperti ini tidak akan pernah Mas pertahankan lagi. Semua hal yang berkaitan dengan dirinya, akan Mas hapus mulai dari hari ini!" rutuk Ghifari geram. Amarah dan rasa kecewa tergambar jelas di air muka keruhnya.Yang satu maling teriak maling. Yang satu lagi musuh dalam selimut. Mereka saling melengkapi satu sama lain. Pas!Kanaya memandang Dina dalam-dalam kala Ghifari mengatakan, bahwa dirinyalah yang menyatakan bahwa ia tidak pernah mencintai Ghifari. Wajah Dina berubah merah padam. Ular beludak itu segera memalingkan wajahnya. Dina tidak berani membalas
Waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari. Tetapi Kanaya masih belum bisa memejamkan mata. Sedari pukul sebelas tadi ia hanya membolak-balik tubuhnya di atas kasur dengan gelisah. Benaknya terus saja mengulang kejadian sore tadi."Bagaimana, Nay? Kamu bersedia menerima lamaran Ibu dan Bapak untuk Haikal? Kalian berdua telah melakukan kesalahan. Apakah kalian tidak ingin memperbaiki kesalahan itu? Kasihan anak kalian nantinya, Nay."Kanaya mendesah bingung. Ia benar-benar tidak tau harus menjawab apa. Bagai makan buah simalakama. Apapun keputusan yang akan diambilnya, sama-sama beresiko dan sama-sama salah. Jika ia menolak, bisa dipastikan keluarga Albani akan merongrongnya tentang siapa ayah anaknya. Ujung-ujungnya adalah test DNA. Dan apabila terbukti kalau anaknya adalah seorang Albani, mereka pasti akan mengupayakan segala cara untuk merebut hak asuhnya. Kemungkinan besar keinginan mereka akan terwujud, meng
"Bu, boleh tidak Naya menanyakan hal-hal yang sifatnya pribadi pada Ibu?" tanya Kanaya hati-hati. Bukan apa-apa, sebentar lagi ke dua orang tua Haikal akan datang. Mereka akan kembali menanyakan kesediaannya untuk dilamar. Dan sebelum ia memberi jawaban final pada kedua orang tua Haikal, ia ingin menanyakan sesuatu pada ibunya. Dalam hal ini, ia ingin berbicara dalam konteks sebagai sesama wanita. Bukan sebagai ibu dan anak.Mendengar pertanyaan tidak biasanya putrinya, Gendis menutup kembali buku yang tadinya ingin ia baca. Ia tau, putrinya sedang ingin berbicara dari ke hati."Tentu saja boleh, Nay. Kamu boleh menanyakan apapun pada Ibu. Apapun," ucap Gendis lembut. Menegaskan kesediaannya. Kanaya mendekati ibunya di sofa. Merebahkan kepala pada bahu sang ibu. Seperti kebiasaannya di masa lalu. Mencium aroma segar bedak dingin dan jamu yang menguar dari tubuh ibunya, Kanaya merasa kembali ke masa lalu. Masa di mana ia hanya menc
Tiga bulan kemudian. Kanaya bernapas sesuai dengan intruksi dokter Kirana. Perutnya mulas luar biasa. Bayi-bayi yang selama sembilan bulan lebih menghuni rahimnya ini, seperti tidak sabar berebutan ingin keluar. Kanaya sampai berkeringat dingin karenanya. Rasanya baru kemarin ia melahirkan Juang, dan kini ia harus kembali melahirkan lagi. Sebenarnya Haikal menginginkannya melahirkan dengan operasi caesar. Karena menurut Haikal dan kedua mertuanya, lebih aman mengingat ia harus melahirkan dua orang bayi. Dikhawatirkan ia kehabisan tenaga atau letak bayinya sungsang dan lain sebagainya. Tetapi Kanaya bersikeras ingin melahirkan secara normal. Karena Juang juga ia lahirkan secara normal. Untungnya keinginannya itu didukung oleh dokter Kirana. Menurut dokter Kirana bayi kembar bisa dilahirkan secara normal apabila keadaannya memungkinkan. Misalnya pada saat akan dilahirkan keadaan b
Lima bulan kemudian. Kanaya merapikan pakaian Juang yang tengah berada dalam gendongan Ika. Anak seusia Juang memang sedang aktif-aktifnya menarik-narik sesuatu. Alhasil baik pakaian Juang sendiri, atau pun pakaian orang yang menggendongnya, harus siap diacak-acak sewaktu-waktu. Pokoknya setiap ada bentuk dan warna yang mencolok, pasti akan menarik perhatian Juang. "Kalau kamu capek terus menggendong Juang, sini gantian, Ka. Kamu makan saja dulu. Tuh, makanannya enak-enak 'kan?" ujar Kanaya pada Ika. Ika kasihan melihat Ika yang ngos-ngosan karena terus menggendong Juang."Ah jangan dong, Bu. Perut Ibu sudah sebesar itu. Kasihan adek-adek bayinya kalau Ibu harus menggendong Juang. Belum lagi nanti saya diomelin Bapak." Ika nyengir. ARTnya ini sangat memahami sifat Haikal. Kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh, dan ia meng
Kanaya beringsut dari kursi kafe sembari memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Berarti sekitar setengah jam lagi, Pak Yaman dan Bu Maryam, akan menemuinya di restaurant ini. Kemarin kedua mantan mertuanya itu meneleponnya. Bu Maryam berbicara dari hati ke hati dengannya hampir selama satu jam penuh. Bu Maryam mengatakan bahwa ia telah mengetahui jati diri Juang yang sebenarnya. Dan sebagai nenek dan kakek, mereka berdua memohon agar diperbolehkan untuk menjenguk Juang. Kedua mertuanya juga berjanji kalau mereka tidak akan berbuat macam-macam, seperti ingin merebut Juang darinya misalnya. Mereka berdua hanya ingin melihat rupa cucu kandung mereka, katanya. Dari cara berbicara Bu Maryam di telepon, Kanaya bisa menangkap satu hal. Bahwa kedua mantan mertuanya ini telah banyak berubah. Setelah tertangkapnya Ghifari dan beberapa perusahaannya dinyatakan pailit, sikap kedua mantan mertuanya ini pun ikut berubah."Apa
"Cukup, Nay. Aku sudah kenyang."Marsya menolak suapan bubur ayam dari Kanaya. Sungguh ia tidak berselera makan sama sekali. Bayangan ia akan benar-benar kehilangan hak asuh kedua anaknya, menggentarkannya. Marsya sadar, dirinya memang gagal menjadi orang baik. Tetapi sebagai seorang ibu, ia tidak gagal. Ia berusaha mendidik Attar dan Azizah dengan baik. Mengajari ilmu pengetahuan, hingga adab dan kesopanan. Sejahat-jahatnya dirinya, sebagai seorang ibu, tetap saja ia menginginkan yang terbaik bagi kedua anaknya. Makanya Marsya sangat depresi membayangkan kalau dirinya bukan saja kehilangan hak asuh, tetapi akan dijauhkan dari anak-anak kandungnya sendiri. Demi apapun, ia tidak sanggup!"Sedikit lagi ya, Mbak? Dari tadi pagi Mbak belum makan apa-apa lho. Mbak bisa sakit yang lain nanti," bujuk Kanaya.
Haikal berulang kali meremas jalinan tangannya di pangkuan. Saat ini ia tengah duduk gelisah di studio kecil ayah mertuanya. Ia bermaksud membawa Kanaya pulang ke rumah. Dan untuk itu tentu saja ia harus meminta izin pada ayah mertuanya. Haikal tau, tidak mudah mengajuk hati ayah mertuanya yang eksentrik ini. Bara Sudibyo, sang ayah mertua, sikapnya memang tidak bisa diprediksi. Buktinya sudah hampir satu jam ia duduk di studio ini, namun kehadirannya sama sekali tidak dianggap oleh ayah mertuanya.Sedari tadi, ayah mertuanya hanya sibuk melukis. Sesekali ayah mertuanya ini menelengkan kepala. Mengamati hasil lukisannya dari berbagai sisi. Di saat lain, ayah mertuanya akan menggerutu sendiri. Mungkin ayah mertuanya merasa hasil lukisannya kurang memuaskan hatinya. Kehadirannya sekian lama di sini hanya dianggap seperti kuas cat saja sepertinya."Mau ngapain kamu ke sini?" Bara melirik sekilas laki-laki muda di sampingnya. Selanjutnya ia ke
Dan di sinilah sekarang Kanaya berada. Di kamar mereka berdua, dengan Haikal yang terus saja berdiri di depan jendela. Sementara dirinya sendiri duduk di ujung ranjang. Sedari dirinya tiba beberapa menit lalu, Haikal terus memandang keluar jendela. Seolah jendela-jendela di kompleks perumahan ini, lebih menarik untuk ditatap daripada wajah istrinya sendiri.Dalam keadaan masih duduk, Kanaya menatap Haikal lurus-lurus. Hampir sebulan tidak bertemu, perubahan-perubahan di diri Haikal sangat signifikan. Kepalanya sudah tampak normal. Perban yang biasa menutupi luka bekas operasinya sudah tidak ada. Begitu juga dengan luka parut di pipinya. Jika dipandang sekilas, orang-orang tidak akan tau kalau Haikal itu baru saja menjalani operasi rekonstruksi kepala dan wajah. Haikal sudah kembali gagah dan tampan seperti sebelumnya. Kecuali bila didekati dan diperhatikan dengan seksama. Maka akan tampak bekas-bekas operasi halus di sana. Hasil kerja rumah sakit ter
Rasa adem langsung menerpa kulit Kanaya, kala ia mendorong pintu kafe. Ramainya pengunjung membuat Kanaya celingukan mencari-cari meja yang kosong. Pada hari minggu seperti ini kafe memang sedang ramai-ramainya. Sebenarnya Kanaya malas sekali harus meninggalkan warung dan juga Juang untuk ke kafe ini. Tetapi demi menguak tabir kebenaran mengapa sikap Haikal berubah 180 derajat seperti ini, Kanaya memaksakan diri ke sini juga. Safa ingin bertemu dengannya secara empat mata katanya. Makanya Kanaya penasaran sekali. Kanaya menebak, pasti ini semua ada kaitannya dengan Haikal.Kanaya memindai seantero kafe. Mencari-cari meja yang masih kosong. Pengunjung kafe hari ini sangat ramai. Tidak heran memang, mengingat ini adalah hari minggu. Hari di mana orang-orang refreshing menikmati hari libur, atau sekedar family time dengan makan bersama. Kanaya menarik napas lega kala pandangannya membentur meja yang paling pojok. Meja itu memang relatif lebi
Ghifari memandang video-video panas yang baru saja diedit Rafly dengan tatapan puas. Sungguh ia sama sekali tidak menyangka, kalau teknologi sekarang sudah secanggih ini. Video-video panasnya dengan Kanaya semasa masih menjadi sepasang suami istri dulu, telah berganti waktu dan tanggalnya. Ia memang suka merekam aksi-aksi panas mereka dulu tanpa sepengetahuan Kanaya. Dan ia sama sekali tidak menyangka kalau kebiasaannya itu kini akan sangat berguna dalam planning-planningnya. Ia akan merebut kembali Kanaya dari Haikal tentu saja."Oke, Pak Ghifari. Semua video-video ini sudah saya edit tanggal dan jamnya. Saya yakin, tidak ada satu orang pun yang bisa mendeteksi kebenarannya." Rafly, sang peretas juga ikut tersenyum puas. Hanya saja tingkat kepuasan dua orang laki-laki ini berbeda. Jika Ghifari puas karena ia akan mendapatkan kembali mantan istrinya, maka Rafly puas karena akan mendapatkan sejumlah besar dana. Win win solution.
Kanaya memandangi rinai hujan di depan jendela. Sesekali ia mengusap kaca jendela nako yang basah. Bulir-bulir air yang berjatuhan mewakili hatinya saat ini. Jatuh ke titik nadir. Saat ini ia berada di rumah Jihan. Entah mengapa saat mengorder taksi online tadi, ia malah mengetik alamat Jihan, alih-alih orang tuanya. Mungkin ia merasa malu karena rumah tangganya kembali bermasalah. Makanya alam bawah sadarnya mencari perlindungan pada Jihan. Sebagai sesama wanita yang gagal dalam berumah tangga, setidaknya Jihan pasti sangat memahami keadaannya saat ini.Dugaan Kanaya tepat. Jihan sama sekali tidak heboh dan menginterogasinya saat melihat kedatangannya malam-malam. Istimewa dengan keadaan yang seadanya. Kanaya memang hanya sempat membawa dompet dan ponsel, selain baju yang melekat di badan. Itu pun karena dua benda tersebut kebetulan ada di saku celananya.Saat ia datang dalam rinai hujan, Jihan dengan luwes