"Duh lo nggak berubah ya, Nay? Muka lo tetep imut kayak sepuluh tahun lalu. Cemilan lo formalin ya?" Safa memeluknya hangat. Akhirnya ia sampai juga di kediaman keluarga Baihaqi. Rumah besar ini dulu kerap ia kunjungi setiap kali liburan sekolah. Keluarga Baihaqi memang selalu menghabiskan masa-masa liburan di perkebunan ini. Tinggal di ibukota yang ramai dan sumpek, membuat mereka menyimbangkan aktivitas dengan menghirup udara segar di perkebunan setiap liburan. Prinsip mereka bekerja sambil liburan murah. Dan Kanaya kecil tentu saja selalu diajak.
"Lo juga nggak berubah, Fa. Tetep cakep seperti dulu. Lo apa kabar, Fa? Duh gue seneng banget akhirnya kita bisa bertatap muka. Selama sepuluh tahun ini kita cuma chat dan sesekali teleponan doang." Kanaya balas memeluk Safa tak kalah erat. Semilir angin pedesaan dan hijaunya pemandangan alam, membuatnya seolah-olah kembali terlempar ke masa lalu. Masa ketika ia masih berseragam merah putih hingga putih abu-abu dan berteman akrab dengan Safa sekerluarga. Termasuk dengan Haikal juga. Jujur ia merindukan suasana perkebunan dan keramahan sahabat kecilnya ini. Aroma sahabatnya juga masih sama seperti dulu. Harum bunga-bungaan liar bercampur essence kopi yang eksotik. Rasanya baru kemarin ia meninggalkan tempat ini. Padahal waktu telah bergulir sepuluh tahun lamanya.
"Sekarang kita udah bisa bertatap muka, malah peluk-pelukan lagi. Ayo, sekarang lo ikut gue ke paviliun belakang. Gue udah nyiapin semua keperluan lo selama lo tinggal di sini." Safa mengisyaratkan agar Kanaya mengikutinya. Kanaya meraih koper. Mendorongnya perlahan mengikuti jalan setapak rumah besar keluarga Baihaqi. Sambil berjalan pikiran Kanaya hanya tertuju pada satu hal. Haikal! Bagaimana reaksi kakak Safa itu bila ia tau kalau dirinya akan tinggal di sini? Apakah Haikal akan marah? Lebih jauh lagi, jangan-jangan Haikal malah akan langsung mengusirnya. Kanaya gentar memikirkannya.
"Fa, ntar kalau Mas Haikal ngamuk bagaimana? Lo tau sendiri 'kan kalau kakak lo itu udah mewarning gue nggak boleh ke sini lagi." Kanaya mencengkram lengan Safa. Ia mendadak bimbang dengan keputusannya sendiri. Safa menghentikan langkah dan memutar bola mata. Membuat ekspresi wajah bosan karena harus bolak-balik menjelaskan hal yang sama.
"Seperti yang udah gue bilang kemarin. Gue masih punya saham 25% di sini, Nay. Jadi gue juga berhak atas perkebunan ini. Lagi pula, Mas Haikal itu nggak tiap hari ada di sini kok, Nay. Doi 'kan bolak balik Bogor Jakarta terus untuk mengurus pabrik penggilingan kopi yang baru di sana. So, lo tenang aja. Seandainya pun Mas Haikal ke sini, dia juga kagak bakalan tau kalo ada lo ada di paviliun. Mas Haikal itu sibuk banget orangnya, Nay. Ke sininya juga paling ngecek kebun kopi doang."
Safa mencoba menenangkan hati Kanaya. Ia tau kalau Kanaya sangat takut dengan kakaknya. Sepuluh tahun telah berlalu namun perselisihan mereka berdua belum terurai. Kakaknya terlalu dendam pada masa lalu dan Kanaya terlalu takut untuk mencoba meminta maaf. Mereka berdua stuck di masa lalu. Tapi apa mau dikata. Pemikiran masing-masing orang memang berbeda-beda. Mereka pasti mempunyai alasan tersendiri. Ia tidak mau ikut campur.
"Tapi kalo ntar ketahuan gimana, Fa? Paling banter gue diusir kali ya?" Kanaya menghembuskan napas pasrah. Pesimis terhadap pikirannya sendiri.
"Ah, lo kebiasaan deh, Nay. Lo yang nanya, lo juga yang jawab. Kalopun ketahuan, kagak akan kenapa-kenapa, Nay. Paling kakak gue ngoceh-ngoceh sebentar habis itu juga mingkem. Lo 'kan tau sendiri Mas Haikal orangnya irit banget kalo ngomong. Udah ah, nggak usah ngebahas masalah itu terus. Capek gue ngejelasinnya. Pokoknya gue jamin lo kagak bakalan diusir. Titik," tegas Safa.
"Mudah-mudahan aja ya, Fa?" Kanaya mengamini walau ragu. "Eh tapi sekarang ini Mas Haikal lagi di Jakarta 'kan? Gue belum siap mental kalo kepethuk sama kakak lo sekarang," sergah Kanaya terus terang.
"Iya, Nay. Mas Haikal lagi nemuin client dari luar negri di Jakarta. Katanya sih mau kerjasama soal pengeksporan kopi robusta gitu. Biasanya kalau sedang lobby melobby begitu, Mas Haikal staynya bakalan agak lama di Jakarta. Udah ah, nggak usah ngebahas masa lalu terus. Bosen gue. Mending lo istirahat aja di paviliun. Lo pasti capek banget 'kan habis dari perjalanan jauh?" Safa meneruskan langkah menelurusi jalan setapak. Ia bosan mendengar ketakutan tidak berdasar Kanaya. Tidak lama kemudian mereka telah sampai di paviliun keluarga yang cantik dan asri.
Ragu-ragu Kanaya mengekori langkah Safa. Pavliun ini dulu kerap dikunjunginya. Dari luar penampakan paviliun cantik nan asri itu masih sama. Fasadnya menghadap ke arah timur dengan serambi kayu di bagian depannya. Namun semakin didekati tampak sudah ada beberapa perubahan di sana. Apalagi saat Safa membuka pintu paviliun. Perubahan yang paling mencolok adalah ruangan-ruangannya. Dulu hanya ada satu kamar yang luas dan satu ruang tamu minimalis. Kini kamar besar itu disekat menjadi dua bagian. Sementara ruang tamunya masih sama. Hanya ada sofa mungil letter L dan meja kaca bulat. Bagian dapur menjadi lebih terang karena penambahan jendela yang dulu tidak ada. Secara keseluruhan paviliun ini cantik dan asri. Dari dulu ia memang menyukai paviliun ini.
"Gimana, Nay? Cocok nggak paviliun ini jadi tempat tinggal sementara lo?" Safa membantu mendorong kopernya ke depan pintu yang terbuka. Semilir angin sore seketika membelai-belai tubuh lelahnya. Tinggal di desa atmospherenya memang beda. Rasanya hati menjadi damai dan tenang.
"Bukan cocok lagi, Fa. Tapi sangat sangat sangat cocok. Makasih banget ya, Fa? Gue nggak tau, kalo nggak ada lo gue harus sembunyi di mana lagi. Temen-temen gue di Jakarta 'kan semuanya kenal dengan Mas Fari. Gue pasti ketahuan kalau sembunyi di tempat mereka," imbuh Kanaya seraya menggenggam kedua tangan Safa. Ia mengucapkan terima kasih dengan sungguh-sungguh.
"Ahelah lo kayak sama siapa aja, Nay. Udah ah, lo jangan ngomong terima kasih-terima kasih mulu. Geli kuping gue ngedengernya. Pokoknya selama gue bisa bantu, pasti gue akan bantuin lo."
"Lho Non Naya ini ya? Waduh si Non makin cantik. Bibik sampai pangling tadi." Seorang wanita paruh baya tiba-tiba muncul dari jalan setapak. Bik Surti. Bik Surti adalah ART keluarga baihaqi. Suaminya, Mang Diman, adalah supir keluarga ini. Ternyata mereka berdua masih setia mengabdi di keluarga ini.
"Wah Bik Surti masih di sini ya? Iya, Bik. Ini Naya. Naya juga senang sekali bertemu kembali dengan Bibik." Kanaya memeluk Bik Surti gembira. Syukurlah setidaknya selama ini tinggal di sini ada Bik Surti yang menemani. Jadi ia tidak akan merasa terlalu kesepian.
"Masih kok, Non. Bibik sudah cocok kerja di sini. Oh ya, Non Safa sudah menceritakan soal Non Naya yang akan tinggal di paviliun ini sama Bibik. Jadi Non Naya tidak usah khawatir. Bibik akan membantu Non selama Non di sini. Bibik juga akan menjaga rahasia ini dari Mas Haikal. Non Naya tenang saja." Mendengar janji Bik Surti, Kanaya meringis. Lihatlah, Bik Surti saja tau soal perselisihannya dengan Haikal. Sepertinya tindakannya di masa lalu memang fenomenal.
"Udah ah, Bik. Jangan ngingetin Naya dengan masa lalu lagi," Safa segera mengganti topik pembicaraan.
"Nah berhubung lo udah ada temennya, gue balik ke Jakarta ya, Nay? Laki gue udah bosen seminggu ini melukin guling terus. Hehehe. Bulan depan gue ke sini lagi kok karena udah musim panen. Gue jalan dulu ya, Nay? Takut kemaleman di jalan," pamit Safa. Kanaya mengangguk dan mengantar Safa sampai di pintu paviliun. Sepeninggal Safa dan Bik Surti, Kanaya mulai membereskan isi koper. Baru saja membuka resleting koper, ponsel di tas tangannya bergetar. Ibunya yang menelepon ternyata. Pasti ibunya ingin tau apakah ia sudah sampai dengan selamat di perkebunan ini.
"Ya, Bu. Kanaya baru saja sampai di Sukawangi. Ibu tidak usah khawatir. Naya baik-baik saja kok."
"Syukurlah. Ibu hanya mau bilang, si Fari tadi ke sini. Mau ketemu dengan kamu katanya. Dia heran karena ponselmu tidak aktif terus."
"Terus Ibu bilang apa?"
"Ibu belum sempat bilang apa-apa karena ayahmu keburu keluar dan mengusir Fari."
"Bagus, Bu. Untuk selanjutnya kalau Mas Fari datang, sebaiknya tidak usah Ibu temui lagi. Lagi pula semua urusan perceraian sudah Naya serahkan pada Pak Kholil. Naya ingin menenangkan diri dulu di sini. Makanya Naya sengaja mengganti nomor ponsel."
"Ya sudah. Ibu cuma mau bilang itu saja. Kamu istirahat ya, Nay? Kandunganmu masih muda. Harus dijaga baik-baik. Ibu tutup dulu teleponnya ya?"
Tebakannya benar bukan? Fari tidak akan pernah menyerah begitu saja. Setelah membuat kesalahan, ia masih bisa bersikap playing victim dan menyalahkan orang lain. Luar biasa.
"Kenapa kamu terus mereject telepon Mas, Nay? Kamu marah sama, Mas? Ok dimengerti. Tapi kamu tidak perlu bersikap kekanakan seperti ini terus dong, Nay? Manusia itu tempatnya salah dan dosa. Jadi wajar saja Mas sesekali berbuat kesalahan. Tuhan saja maha pemaaf masa kamu tidak sih, Nay?"
Penggalan kalimat kekanakan Ghifari semalam masih terngiang-ngiang di telinganya. Karena itulah ia memutuskan untuk mengganti nomor ponsel dan tidak akan mau berhubungan dengan Ghifari lagi. Terbiasa dimanja sedari orok, membuat Ghifari tidak bisa menerima penolakan. Kanaya juga menghapus semua media sosialnya. Pokoknya ia berusaha memutus semua akses agar Ghifari tidak bisa lagi menghubunginya. Mungkin karena itulah Ghifari nekad mencarinya ke rumah orang tuanya.
Setelah membereskan koper, Kanaya mulai merasa mengantuk. Sebaiknya ia tidur saja sebentar. Mungkin dengan begitu ia bisa melupakan kepelikan hidupnya walau sebentar.
Kanaya tidak tau sudah berapa lama ia tertidur. Namun ia terbangun saat mendengar seperti ada suara pintu yang terbuka. Siapa yang datang? Bik Surti atau jangan-jangan maling?
"Katanya kamu mau balik ke Jakarta? Tapi kok kamu masih di sini, Fa?"
Astaga, itu 'kan suara Haikal!
Kanaya ketakutan. Pasti Haikal mengira Safa belum pulang karena melihat mobil Safa di halaman. Safa memang meninggalkan mobilnya di sini. Safa meminjamkannya selama ia tinggal di sini katanya.
"Si Tirta ngoceh-ngoceh melulu karena kamu tidak pulang-pulang. Hati-hati, Fa. Nanti suamimu malah nyasar mencari selimut tetangga."
Kanaya meringis. Haikal ini kadang memang kocak juga. Jantung Kanaya serasa lepas saat mendengar suara handle pintu kamar yang diputar. Haikal pasti akan masuk ke kamar ini. Dengan cepat Kanaya menyambar selimut dan menutupi sekujur tubuhnya hingga ke kepala. Dan benar saja, suara keriut pintu yang terbuka menandakan bahwa Haikal sudah masuk ke dalam kamar.
"Kamu ini tidak ada sopan-sopannya. Mas sudah berbicara panjang lebar malah kamu anggurin. Fa, Safa. Kamu masih tidur?" Kanaya makin mengkeret saat mendengar langkah-langkah kaki yang kian mendekat.
Ya Tuhan, bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan?
"Sudah mahgrib ini, Fa. Masa kamu masih mau tidur." Kanaya menjerit kaget saat selimutnya disentak hingga terbuka oleh Haikal.
Apa yang terjadi, terjadilah!
Kanaya terpaku di tempat tidur dengan mata yang terpejam rapat. Ia tidak berani membuka matanya. Ia tidak berani melihat ekapresi wajah Haikal tepatnya.
"Sepuluh tahun lalu kamu telah mendeklarasikan pada semua orang, kalau saya telah merenggut kegadisanmu. Dan sekarang, kamu memperlihatkan air muka menggairahkan dengan mata yang terpejam sebagai undangan tanpa kata. Baiklah, terlanjur basah, saya akan mandi saja sekalian." Kanaya kaget saat merasakan ranjang melesak karena tambahan beban lain. Sejurus kemudian ia merasa Haikal memeluknya erat disertai suara geraham yang gemeretak. Ternyata kemarahan Haikal belum luruh. Sepertinya Haikal berniat untuk membalas dendam padanya.
"Jangan, Mas. Saya--saya minta maaf atas kesalahan saya sepuluh tahun lalu. Saya minta maaf sekali lagi, Mas. Tolong, jangan sakiti saya." Kanaya membuka matanya dan dan mencoba mengurai pelukan Haikal.
"Maaf? Gampang sekali kamu meminta maaf setan kecil? Apakah kamu tau, setelah deklarasi fenomenalmu itu, Astri langsung membatalkan pernikahan kami. Ia menyebut saya pedophil menjijikan. Bukan itu saja, semua orang memandang saya sebagai laki-laki bejat yang harus dijauhi sejak hari itu. Kamu melenggang pergi begitu saja, menikah dan berbahagia sementara saya harus menanggung dosa seumur hidup yang tidak pernah saya lakukan. Dan sekarang kamu hanya mengucapkan sepotong kata maaf? Enak sekali kamu!" Kanaya tidak menjawab sesuku katapun karena ia sibuk berusaha mengurai pelukan Haikal. Namun semua usahanya sia-sia. Haikal malah kian memgeratkan pelukan hingga membuat napasnya sesak. Kini malah ditambah dengan panasnya napas Haikal yang menyapu-nyapu leher dan pipinya.
"Jangan, Mas. Tolong jangan begini. Saya--saya sedang hamil, Mas." Kalimatnya membuat Haikal menjauhkan diri dengan ekspresi jijik yang kentara.
"Astaga, dulu kamu menjebak saya dengan pengakuan sudah saya rusak. Dan kini kamu datang kembali dengan tuduhan sudah saya hamili? Manusia macam apa kamu ini, Kanaya? Saya punya salah apa padamu, sampai kamu dendam seperti ini pada saya?"
"Bukan seperti maksud saya, Mas. Saya hamil--"
"Keluar. Saya tidak mau mendengar penjelasan apa pun lagi. Saya sudah pernah memperingati kamu sepuluh tahun lalu bukan?"
"Astaga Den Haikal. Jangan begitu, Den. Mau ke mana Non Naya malam-malam begini? Di luar sudah gelap lho, Den. Lagi pulan Non Naya itu kan tamunya Non Safa. Den Haikal tidak mengusir Non Naya begitu saja."
Tanpa mereka sadari Bik Surti sudah berada di ambang pintu yang terbuka. Sepertinya Bik Surti menyusul untuk memberitahukannya kalau Haikal ada di rumah ini. Hanya saja Bik Surti telat. Haikal sudah terlebih dahulu memergokinya.
"Tidak apa-apa, Bik. Saya akan pergi malam ini juga." Kanaya turun dari ranjang dengan kaki gemetar. Ia berjalan ke arah lemari dengan dagu terangkat tinggi. Kalaupun ia harus tidur di tengah kebun, tidak apa-apa. Yang penting harga dirinya selamat.
"Sudah. Kamu tidak perlu ke mana-mana. Dikhawatirkan kamu akan kembali menyebar issue kalau setelah saya hamili, kamu saya usir pergi!" Haikal keluar dari kamar seraya membanting pintu.
"Sabar ya, Non. Den Haikal memang begitu orangnya. Jangan didengarkan ya, Non?" Bik Surti berusaha membesarkan hatinya. Kanaya menganggukkan kepala dengan perasaan kebas. Ternyata sampai di sini pun ketenangan tidak akan pernah didapatkannya.
Sepeninggal Bik Surti, ponselnya bergetar. Saat melihat nama Safa di layar ponsel, Kanaya mengerti. Pasti Safa ingin mengabari soal kedatangan kakaknya yang di luar prediksi."Nay, gue mau ngabarin kalau Mas Haikal sedang on the way ke Sukawangi. Gue nelpon lo, supaya lo nggak kaget-kaget amat kalau pas nanti kepethuk." Benar 'kan tebakannya?"Kami udah ketemu kok, Fa." Kanaya menjawab apa adanya.Bahkan udah berantem lagi."Hah! Udah ke temu? Terus gimana, Nay? Mas Haikal udah nggak marah lagi sama lo 'kan?"Kanaya tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban bijak. Ia tidak ingin menjadi penyebab kedua kakak beradik itu saling bentrok."Ya gitu deh, Fa." Kanaya memberikan jawaban ambigu."Eh tapi gue heran, lo bilang 'kan Mas Haikal lagi ada project b
Sudah seminggu ini Kanaya tinggal di desa Sukawangi. Dan telah seminggu ini juga ia menjalani rutinitas yang menyenangkan hatinya. Berjalan pagi, ikut ke pasar bersama Mbok Surti, atau sekedar melukis di bawah Gunung Arca. Ya, melukis. Ia memang menuruni bakat melukis dari ayahnya. Sedari kecil ia telah aktif ikut mencorat-coret kanvas, setiap ayahnya melukis di studio kecil mereka. Ayahnya memang seorang pelukis profesional. Setelah dewasa pun, ia masih senang melukis jika mempunyai waktu luang. Kala itu ia masih bekerja sebagai sekretaris Ghifari. Setelah makin dekat dengan Ghifari secara pribadi, ia tidak pernah melukis lagi. Ghifari tidak menyukai seniman. Bagi Ghifari seniman itu selain nyentrik, juga pemalas dan masa depannya tidak jelas. Buktinya ayahnya tetap melarat walau lukisannya konon di koleksi oleh para pejabat. Ayahnya dan Ghifari tidak pernah sepakat dalam hal apapun. Da
Kanaya sedang berkonsentrasi melukis saat ponselnya bergetar. Ah, pasti Safa yang memanggil. Nomor ponselnya yang baru ini memang hanya diketahui oleh lima orang. Kedua orang tuanya, Safa, Pak Kholil pengacaranya dan Bik Surti. Ibunya baru tadi pagi meneleponnya. Sedangkan Pak Kholil sudah jarang meneleponnya sejak kasus perceraiannya dibatalkan. Sementara Bik Surti lebih suka mendatanginya langsung dari pada menelepon. Buang-buang pulsa katanya. Jadi kemungkinannya hanya satu yaitu Safa. Kanaya menarik sehelai tissue basah untuk mengelap tangannya yang penuh dengan noda cat. Setelah itu barulah ia meraih ponsel di atas meja. Kening seketika berkerut saat melihat ada nomor yang tidak dikenal meneleponnya. Aneh! Siapa si penelepon ini? Karena penasaran Kanaya pun mencoba mengangkatnya."Hallo," Kanaya memberi salam dengan hati-hati."Kamu sekarang silahkan ke rumah utama. Kami semua menunggu kehadiranmu di sini."
Dengungan suara orang-orang yang berbicara dalam waktu secara bersamaan, membuat Kanaya berusaha membuka mata. Ia ingin mengatakan kalau ia baik-baik saja. Ia tidak mau membuat kehebohan di rumah orang. Hanya saja matanya tidak mau bekerjasama. Tetap lengket dan sulit sekali untuk dibuka."Kamu bertengkar dengan Naya, Kal? Kalau ada masalah, ya mbok dibicarakan baik-baik. Naya ini 'kan sedang mengandung. Bagaimana kalau cucu Ibu sampai kenapa-kenapa?"Berarti sampai sejauh ini, Haikal belum mengatakan hal yang sebenarnya pada keluarganya. Benar-benar keterlaluan! Tunggu sampai ia sedikit bertenaga. Akan ia bongkar semua omong kosong ini!"Bukan bertengkar kok, Bu. Hanya sedikit berselisih paham saja. Naya tidak ingin Haikal memberitahu Ibu soal kehamilannya, sedangkan Haikal bersikukuh . Makanya Naya jadi marah pada Haikal."Bohong! "Nak, sebenarnya Ibu
Kanaya berkali-kali menarik napas panjang. Mempersiapkan batin sebelum memberanikan diri mengetuk pintu rumah. Akhirnya ia kembali ke sini. Ke rumah tempat ia lahir dan dibesarkan. Rumah sederhana namun sangat asri dengan pekarangan yang luas dan sejuk dipandang mata. Seorang pelukis seperti ayahnya memang menyukai suasana seperti di alam bebas. Oleh karena itu rumah mereka pun dibuat sangat sederhana dan menyatu pada alam. Baru saja berniat untuk mengetuk, pintu tiba-tiba saja terbuka. Kanaya dan ibunya yang sepertinya bermaksud untuk membuang sampah, sama-sama kaget."Astaghfirullahaladzim, Nay. Ibu sampai kaget. Kamu sudah lama sampai toh, Nak?" Gendis melebarkan daun pintu. Mempersilahkan putri semata wayangnya masuk ke dalam rumah."Baru saja kok, Bu. Belum juga lima menit. Ibu mau membuang sampah ya? Sini, biar Naya saja yang membuangnya." Kanaya mengambil alih plastik sampah dari tangan sang ibu. Berjalan keluar dan kembali
Kanaya mendekati meja lipat Venaya. Ia tau, gadis kecil itu pasti langsung down tatkala panitia perlombaan menetapkan tema lukisan. Ya, tema aku cinta ibu pasti membuat Venaya kebingungan. Ditinggalkan ibunya ke rahmatullah, begitu dilahirkan, gadis kecil itu pasti kehilangan ide karena tidak ada bayangan apapun di benaknya."Aya kenapa, sayang? Kok belum mulai menggambar? Lihat, teman-teman yang lain sudah mulai lho," pancing Kanaya halus. Wajah Venaya kian mendung. Bibirnya membentuk busur terbalik dengan ekspresi siap menangis sewaktu-waktu."Aya lupa dengan wajah mama Aya, Tante. 'Kan photo mama disimpan semua sama opa dan oma. Kata oma, papa suka sedih kalau melihat photo mama. Jadi sekarang Aya nggak bisa menggambar, Tante. Aya nggak punya ide," adu Venaya sedih.Benar 'kan tebakannya?"Kalau begitu, Aya gambar saja wajah Aya sendiri. Soalnya mama Aya itu 'kan mirip sekali
"Tidak Nay. Sudah cukup. Cukup Mas tau bahwa Mas telah salah menilaimu selama ini. Kamu tidak pantas Mas sesali sama sekali," desis Ghifari geram. Ia tiba-tiba memalingkan wajahnya pada Dina. "Maafkan Mas karena telah meragukan ucapmu selama ini, Dina. Sekarang Mas percaya bahwa Naya memang tidak pernah mencintai Mas. Ia bertahan hanya karena harta dan kedudukan, Mas. Perempuan seperti ini tidak akan pernah Mas pertahankan lagi. Semua hal yang berkaitan dengan dirinya, akan Mas hapus mulai dari hari ini!" rutuk Ghifari geram. Amarah dan rasa kecewa tergambar jelas di air muka keruhnya.Yang satu maling teriak maling. Yang satu lagi musuh dalam selimut. Mereka saling melengkapi satu sama lain. Pas!Kanaya memandang Dina dalam-dalam kala Ghifari mengatakan, bahwa dirinyalah yang menyatakan bahwa ia tidak pernah mencintai Ghifari. Wajah Dina berubah merah padam. Ular beludak itu segera memalingkan wajahnya. Dina tidak berani membalas
Waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari. Tetapi Kanaya masih belum bisa memejamkan mata. Sedari pukul sebelas tadi ia hanya membolak-balik tubuhnya di atas kasur dengan gelisah. Benaknya terus saja mengulang kejadian sore tadi."Bagaimana, Nay? Kamu bersedia menerima lamaran Ibu dan Bapak untuk Haikal? Kalian berdua telah melakukan kesalahan. Apakah kalian tidak ingin memperbaiki kesalahan itu? Kasihan anak kalian nantinya, Nay."Kanaya mendesah bingung. Ia benar-benar tidak tau harus menjawab apa. Bagai makan buah simalakama. Apapun keputusan yang akan diambilnya, sama-sama beresiko dan sama-sama salah. Jika ia menolak, bisa dipastikan keluarga Albani akan merongrongnya tentang siapa ayah anaknya. Ujung-ujungnya adalah test DNA. Dan apabila terbukti kalau anaknya adalah seorang Albani, mereka pasti akan mengupayakan segala cara untuk merebut hak asuhnya. Kemungkinan besar keinginan mereka akan terwujud, meng
Tiga bulan kemudian. Kanaya bernapas sesuai dengan intruksi dokter Kirana. Perutnya mulas luar biasa. Bayi-bayi yang selama sembilan bulan lebih menghuni rahimnya ini, seperti tidak sabar berebutan ingin keluar. Kanaya sampai berkeringat dingin karenanya. Rasanya baru kemarin ia melahirkan Juang, dan kini ia harus kembali melahirkan lagi. Sebenarnya Haikal menginginkannya melahirkan dengan operasi caesar. Karena menurut Haikal dan kedua mertuanya, lebih aman mengingat ia harus melahirkan dua orang bayi. Dikhawatirkan ia kehabisan tenaga atau letak bayinya sungsang dan lain sebagainya. Tetapi Kanaya bersikeras ingin melahirkan secara normal. Karena Juang juga ia lahirkan secara normal. Untungnya keinginannya itu didukung oleh dokter Kirana. Menurut dokter Kirana bayi kembar bisa dilahirkan secara normal apabila keadaannya memungkinkan. Misalnya pada saat akan dilahirkan keadaan b
Lima bulan kemudian. Kanaya merapikan pakaian Juang yang tengah berada dalam gendongan Ika. Anak seusia Juang memang sedang aktif-aktifnya menarik-narik sesuatu. Alhasil baik pakaian Juang sendiri, atau pun pakaian orang yang menggendongnya, harus siap diacak-acak sewaktu-waktu. Pokoknya setiap ada bentuk dan warna yang mencolok, pasti akan menarik perhatian Juang. "Kalau kamu capek terus menggendong Juang, sini gantian, Ka. Kamu makan saja dulu. Tuh, makanannya enak-enak 'kan?" ujar Kanaya pada Ika. Ika kasihan melihat Ika yang ngos-ngosan karena terus menggendong Juang."Ah jangan dong, Bu. Perut Ibu sudah sebesar itu. Kasihan adek-adek bayinya kalau Ibu harus menggendong Juang. Belum lagi nanti saya diomelin Bapak." Ika nyengir. ARTnya ini sangat memahami sifat Haikal. Kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh, dan ia meng
Kanaya beringsut dari kursi kafe sembari memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Berarti sekitar setengah jam lagi, Pak Yaman dan Bu Maryam, akan menemuinya di restaurant ini. Kemarin kedua mantan mertuanya itu meneleponnya. Bu Maryam berbicara dari hati ke hati dengannya hampir selama satu jam penuh. Bu Maryam mengatakan bahwa ia telah mengetahui jati diri Juang yang sebenarnya. Dan sebagai nenek dan kakek, mereka berdua memohon agar diperbolehkan untuk menjenguk Juang. Kedua mertuanya juga berjanji kalau mereka tidak akan berbuat macam-macam, seperti ingin merebut Juang darinya misalnya. Mereka berdua hanya ingin melihat rupa cucu kandung mereka, katanya. Dari cara berbicara Bu Maryam di telepon, Kanaya bisa menangkap satu hal. Bahwa kedua mantan mertuanya ini telah banyak berubah. Setelah tertangkapnya Ghifari dan beberapa perusahaannya dinyatakan pailit, sikap kedua mantan mertuanya ini pun ikut berubah."Apa
"Cukup, Nay. Aku sudah kenyang."Marsya menolak suapan bubur ayam dari Kanaya. Sungguh ia tidak berselera makan sama sekali. Bayangan ia akan benar-benar kehilangan hak asuh kedua anaknya, menggentarkannya. Marsya sadar, dirinya memang gagal menjadi orang baik. Tetapi sebagai seorang ibu, ia tidak gagal. Ia berusaha mendidik Attar dan Azizah dengan baik. Mengajari ilmu pengetahuan, hingga adab dan kesopanan. Sejahat-jahatnya dirinya, sebagai seorang ibu, tetap saja ia menginginkan yang terbaik bagi kedua anaknya. Makanya Marsya sangat depresi membayangkan kalau dirinya bukan saja kehilangan hak asuh, tetapi akan dijauhkan dari anak-anak kandungnya sendiri. Demi apapun, ia tidak sanggup!"Sedikit lagi ya, Mbak? Dari tadi pagi Mbak belum makan apa-apa lho. Mbak bisa sakit yang lain nanti," bujuk Kanaya.
Haikal berulang kali meremas jalinan tangannya di pangkuan. Saat ini ia tengah duduk gelisah di studio kecil ayah mertuanya. Ia bermaksud membawa Kanaya pulang ke rumah. Dan untuk itu tentu saja ia harus meminta izin pada ayah mertuanya. Haikal tau, tidak mudah mengajuk hati ayah mertuanya yang eksentrik ini. Bara Sudibyo, sang ayah mertua, sikapnya memang tidak bisa diprediksi. Buktinya sudah hampir satu jam ia duduk di studio ini, namun kehadirannya sama sekali tidak dianggap oleh ayah mertuanya.Sedari tadi, ayah mertuanya hanya sibuk melukis. Sesekali ayah mertuanya ini menelengkan kepala. Mengamati hasil lukisannya dari berbagai sisi. Di saat lain, ayah mertuanya akan menggerutu sendiri. Mungkin ayah mertuanya merasa hasil lukisannya kurang memuaskan hatinya. Kehadirannya sekian lama di sini hanya dianggap seperti kuas cat saja sepertinya."Mau ngapain kamu ke sini?" Bara melirik sekilas laki-laki muda di sampingnya. Selanjutnya ia ke
Dan di sinilah sekarang Kanaya berada. Di kamar mereka berdua, dengan Haikal yang terus saja berdiri di depan jendela. Sementara dirinya sendiri duduk di ujung ranjang. Sedari dirinya tiba beberapa menit lalu, Haikal terus memandang keluar jendela. Seolah jendela-jendela di kompleks perumahan ini, lebih menarik untuk ditatap daripada wajah istrinya sendiri.Dalam keadaan masih duduk, Kanaya menatap Haikal lurus-lurus. Hampir sebulan tidak bertemu, perubahan-perubahan di diri Haikal sangat signifikan. Kepalanya sudah tampak normal. Perban yang biasa menutupi luka bekas operasinya sudah tidak ada. Begitu juga dengan luka parut di pipinya. Jika dipandang sekilas, orang-orang tidak akan tau kalau Haikal itu baru saja menjalani operasi rekonstruksi kepala dan wajah. Haikal sudah kembali gagah dan tampan seperti sebelumnya. Kecuali bila didekati dan diperhatikan dengan seksama. Maka akan tampak bekas-bekas operasi halus di sana. Hasil kerja rumah sakit ter
Rasa adem langsung menerpa kulit Kanaya, kala ia mendorong pintu kafe. Ramainya pengunjung membuat Kanaya celingukan mencari-cari meja yang kosong. Pada hari minggu seperti ini kafe memang sedang ramai-ramainya. Sebenarnya Kanaya malas sekali harus meninggalkan warung dan juga Juang untuk ke kafe ini. Tetapi demi menguak tabir kebenaran mengapa sikap Haikal berubah 180 derajat seperti ini, Kanaya memaksakan diri ke sini juga. Safa ingin bertemu dengannya secara empat mata katanya. Makanya Kanaya penasaran sekali. Kanaya menebak, pasti ini semua ada kaitannya dengan Haikal.Kanaya memindai seantero kafe. Mencari-cari meja yang masih kosong. Pengunjung kafe hari ini sangat ramai. Tidak heran memang, mengingat ini adalah hari minggu. Hari di mana orang-orang refreshing menikmati hari libur, atau sekedar family time dengan makan bersama. Kanaya menarik napas lega kala pandangannya membentur meja yang paling pojok. Meja itu memang relatif lebi
Ghifari memandang video-video panas yang baru saja diedit Rafly dengan tatapan puas. Sungguh ia sama sekali tidak menyangka, kalau teknologi sekarang sudah secanggih ini. Video-video panasnya dengan Kanaya semasa masih menjadi sepasang suami istri dulu, telah berganti waktu dan tanggalnya. Ia memang suka merekam aksi-aksi panas mereka dulu tanpa sepengetahuan Kanaya. Dan ia sama sekali tidak menyangka kalau kebiasaannya itu kini akan sangat berguna dalam planning-planningnya. Ia akan merebut kembali Kanaya dari Haikal tentu saja."Oke, Pak Ghifari. Semua video-video ini sudah saya edit tanggal dan jamnya. Saya yakin, tidak ada satu orang pun yang bisa mendeteksi kebenarannya." Rafly, sang peretas juga ikut tersenyum puas. Hanya saja tingkat kepuasan dua orang laki-laki ini berbeda. Jika Ghifari puas karena ia akan mendapatkan kembali mantan istrinya, maka Rafly puas karena akan mendapatkan sejumlah besar dana. Win win solution.
Kanaya memandangi rinai hujan di depan jendela. Sesekali ia mengusap kaca jendela nako yang basah. Bulir-bulir air yang berjatuhan mewakili hatinya saat ini. Jatuh ke titik nadir. Saat ini ia berada di rumah Jihan. Entah mengapa saat mengorder taksi online tadi, ia malah mengetik alamat Jihan, alih-alih orang tuanya. Mungkin ia merasa malu karena rumah tangganya kembali bermasalah. Makanya alam bawah sadarnya mencari perlindungan pada Jihan. Sebagai sesama wanita yang gagal dalam berumah tangga, setidaknya Jihan pasti sangat memahami keadaannya saat ini.Dugaan Kanaya tepat. Jihan sama sekali tidak heboh dan menginterogasinya saat melihat kedatangannya malam-malam. Istimewa dengan keadaan yang seadanya. Kanaya memang hanya sempat membawa dompet dan ponsel, selain baju yang melekat di badan. Itu pun karena dua benda tersebut kebetulan ada di saku celananya.Saat ia datang dalam rinai hujan, Jihan dengan luwes