Share

Chapter 3

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2021-06-25 18:50:27

"Mas Fari, Naya." Melihat kehadiran mereka berdua Dina langsung berdiri dari sofa. Wajahnya terlihat kusut dengan air muka yang disedih-sedihkan. Ada satu hal ganjil yang Kanaya perhatikan. Dina sama sekali tidak berani memandang wajahnya. Ia sangat mengenal Dina. Kalau Dina bersikap seperti ini, itu artinya ia sedang merasa bersalah padanya. Dina pasti tengah merencanakan sesuatu yang akan menyakiti hatinya.

"Ada apa, Din? Mengapa kamu mencari saya sampai ke sini? Kamu ingat 'kan perjanjian kita?" Tukas Ghifari ketus. Kanaya tahu bahwa Ghifari mulai tidak nyaman melihat sikap Dina yang terlalu nekad.

"Maaf, Mas. Aku kemari karena ini," Dina membuka tas tangan dan menyerahkan sebuah amplop putih berlogo Rumah Sakit Ibu dan Anak ke tangan Suaminya.

Sekarang Kanaya mengerti apa maksud kedatangan Dina ke rumahnya. Sama persis sama seperti yang ingin ia lakukan di kantor Ghifari sekitar satu jam yang lalu. 

"Apa ini, Din?" Ghifari mengerutkan kening. Bingung disodori amplop dari rumah sakit begitu saja. 

Adegan inilah yang seharusnya ia perankan di kantor suaminya tadi. Lagi-lagi Dina selangkah lebih maju darinya. Dina telah memperhitungkan semuanya.

"Baca saja, Mas." Pinta Dina. Dalam diam Ghifari membaca kata demi kata dalam selembar kertas dari rumah sakit. Makin lama ekspresi wajahnya semakin tegang. Sedangkan Kanaya, ia hanya tersenyum kecil. Ia sudah menduga kalau Dina pasti akan membuat suatu gebrakan. Dan harus ia akui gebrakannya kali ini luar biasa berani. 

"Tidak mungkin! Mana mungkin kamu hamil. Kamu 'kan mandul, Din? Kamu pasti bohong?" Sergah Ghifari. 

"Aku tidak bohong, Mas. Aku memang hamil anak, Mas. Sebenarnya hasil lab ini sudah ada padaku dari dua hari yang lalu. Hanya saja aku bingung harus mengatakan apa pada Mas. Soalnya ini 'kan menyangkut soal Naya juga. Tapi setelah aku pikir-pikir, anak ini juga berhak tau soal siapa ayahnya. Anak ini kan tidak salah apa-apa, Mas?" Tangisan pilu Dina hanya dipandang datar saja oleh Kanaya. Terlepas Dina hamil atau tidak. Ayah bayinya itu Ghifari atau tidak, ia sudah kehilangan respek pada mereka berdua. Dilukai dengan begitu keji telah membuat jiwanya mati rasa. Ia tidak bisa lagi membedakan kebenaran dan kebohongan dari mulut mereka berdua.

"Ada apa ini sebenarnya, Fari? Bukannya dia ini temannya si Naya yang baru diceraikan suaminya karena mandul? Bagaimana mungkin sekarang dia bisa hamil anakmu?" Bu Mariam yang sedari tadi memperhatikan kekacauan ini mencoba menyimpulkan sesuatu. Benang merah mulai saling terkait satu persatu. Sikap Kanaya yang tiba-tiba dingin dan membangkang. Ghifari yang terus gelisah dan serba salah, sepertinya bermuara dari wanita yang setaunya adalah sahabat menantunya ini.

"Iya, Bu. Saya Dina ehm temannya Naya. Saya dan Mas Fari telah... telah cukup lama bersama. Dan kini saya telah mengandung anak Mas Fari, calon cucu, Ibu." Ujar Dina dengan suara terbata-bata. Bu Mariam terkesima. Ia tidak tau kalau putranya berani bermain api dengan sahabat istrinya sendiri. Sampai hamil lagi! Jujur keturunan Ghifari adalah hal yang paling ia inginkan saat ini. Tentu saja ia akan menerima dengan senang hati darah dagingnya sendiri. Cucu yang sangat ia idam-idamkan, kalau memang anak itu darah daging Ghifari. Tetapi ibunya? Tidak mungkin! Sampai mati pun ia tidak sudi bermenantukan wanita berhati iblis ini. Memelihara seorang penghianat itu tidak mudah. Ibarat kata ia memberi makan seekor ular berbisa di rumahnya.

"Jangan percaya begitu saja, Bu. Bisa saja anak dalam kandunganya bukan anak Mas Fari. Dia ini 'kan baru diceraikan suaminya karena mandul. Masa tiba-tiba ia bisa hamil? Jangan mau dibodohi seorang pelakor, Bu?" Kali ini Nabila lah yang bersuara. Ia tidak tahan hanya diam saja melihat drama murahan di depan matanya. Ia sudah bertahun-tahun mengincar Ghifari. Masa ia dikalahkan sebegitu mudahnya oleh seorang janda kegatela* ini? Ia bukan Kanaya yang akan nggeh-nggeh saja setiap kali ditindas orang. Lihatlah si lemah itu. Jelas-jelas dihianati sahabat sendiri, tetapi ia hanya diam saja. Coba kalau ia yang menjadi Kanaya. Sudah habis perempuan itu digundulinya.

"Saya pelakor? Terus kamu apa? Bertahun-tahun terus mengintili suami orang? Kamu dan saya itu tidak ada bedanya!" Pembelaan diri Dina membuat Kanaya tersenyum miris. Lihatlah dua orang pelakor saling menuding. Muak dengan segala drama-drama murahan yang berlangsung di depan matanya, Kanaya memutuskan untuk kembali ke dalam kamar. Ia sedang tidak ingin menyaksikan pemandangan buruk. Terlebih lagi saat ini ia tengah mengandung. Dari pada membuang-buang tenaga, kebih baik ia mematangkan rencananya.

Ragu-ragu, Kanaya meraih ponsel. Mencari-cari nama Safa di nomor kontaknya. Setelah menghela napas panjang dua kali, ia pun menekan kontak nama Safa.

"Hallo, Fa. Gue bisa minta tolong, nggak?" Kanaya langsung saja mengatakan keinginannya begitu Safa menjawab panggilannya.

"Lo kenapa, Nay? Nggak biasa-biasanya lo ngomong kagak pake intro. Mana suara lo tegang amat lagi. Lo kenapa sih?"

Beginilah kalau berbicara dengan Safa. Sedikit saja ada perubahan dalam intonasi suaranya, ia akan langsung curiga. Safa terlalu mengenal dirinya. 

"Nggak apa-apa, Fa. Eh by the way, lo lagi di mana?"

"Sesuai dengan postingan gue yang baru sejam lalu lo love, gue ada di kebun kopi, Nay. Eh lo tadi mau minta tolong apa? Penisirin gue."

"Ehm, Gini. Kalo gue numpang tinggal di perkebunan kopi keluarga lo sampai gue lahiran, bisa nggak Fa? Gue nggak punya temen lain yang gue percaya lagi soalnya."

"Wait... wait... wait. Coba lo jelasin apa maksud kata-kata lo tadi secara garis besar aja, biar gue ngerti. Gue suka nggak ngotak kalo cuma dikode-kode."

"Oke. Gue hamil, sementara Mas Fari malah diduga menghamili Dina. Gue mau divorce tetapi gue nggak mau kalau Mas Fari tau gue sedang hamil anaknya. So, gue mau semedi di kebun kopi sana. Laporan selesai." Jeda sejenak. Sepertinya teman kecilnya itu kaget mendengar ceritanya.

"Satu pertanyaan lagi. Si Dina itu siapa?"

"Lo inget nggak, saat beberapa tahun lalu gue cerita kalo gue berteman akrab dengan seorang pasien yang di duga mandul? Yang sering ketemu sama gue setiap gue check up di rumah sakit? Nah, Dina ya si pasien brengsek itu." 

"Ok. Noted. Lo bisa ke sini secepatnya. Ntar setiba lo di sini, baru kita atur segala sesuatunya. Inget kabarin dulu kedua orang tua lo."

Satu masalah selesai. Tinggal satu masalah lagi, Haikal Baihaqi.

"Tapi Mas Haikal bagaimana? Dia nggak ngebolehin gue nginjek perkebunan lagi sejak... sejak... peristiwa itu?"

Teringat pada tingkah kelewatannya di masa lalu, membuat Kanaya resah. Haikal memang sangat membencinya sejak kejadian sepuluh tahun yang lalu itu.

"Gue masih punya saham 25% di perkebunan ini sebagai bagian dari keluarga Baihaqi. Udah, lo nggak usah khawatir. Secepetnya aja lo ke mari. Emang lo mau anak lo diambil mereka?"

"Ya nggak lah. Oke, Fa. Setelah gue nyelesaian permasalahan gue di sini, gue akan ke sana secepatnya. Doain gue kuat ngejalanin semua ini ya, Fa?" Setelah mendengar jawaban aaminn dari Safa, Kanaya memutus menutup panggilan telepon. Suara-suara orang yang berbicara dalam waktu yang bersamaan kian kencang di ruang tamu. Kanaya menajamkan pendengarannya. Ada satu suara lagi yang ikut berbicara. Yusuf Albani, bapak mertuanya. Seperti masalah ini semakin serius karena ayah mertuanya sampai turun tangan. 

Tidak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk perlahan. Bik Sumi, Asisten Rumah Tangganya berpesan bahwa ia ditunggu di ruang keluarga. Sidang akan segera dimulai rupanya.

Sebelum menuju ke ruang keluarga, Kanaya berpikir sejenak. Bagaimana pun ini adalah keputusan besar. Ia harus berpikir ulang sebelum mengambil sikap. Ia tidak mau kalau suatu hari nanti, keputusannya ini akan ia sesali. Hanya saja hati dan kepalanya saat ini sedang tidak bisa diajak bekerjasama. Emosinya kerap memuncak setiap kali mengingat adegan silat lidah Dina dan suaminya di kantor tadi. Pikiran-pikiran liarnya terus berseliweran karena kemarahan yang belum terlampiaskan. Makanya ia berniat untuk mendinginkan hati dan kepalanya terlebih dahulu. Bertanya jujur pada dirinya sendiri, apa sebenarnya yang ia inginkan dalam situasi ini? Apa yang sekiranya bisa membuatnya bahagia lagi setelah penghianatan menyakitkan ini? Apa yang masih bisa ia selamatkan dari situasi terburuk ini. Setelah memikirkan baik buruk keputusannya sekali lagi, Kanaya berdiri. Ia telah siap dengan satu keputusan final. Ia akan bercerai dengan Ghifari. Dengan langkah yang terasa lebih ringan Kanya keluar dari kamar menuju ke ruang keluarga. 

Situasi di ruang keluarga terasa tegang oleh keheningan. Masing-masing orang yang duduk di sana, seperti sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Kanaya melirik Dina sekilas. Mantan sahabatnya itu terlihat lesu dan bingung. Dari sekilas pandang ini saja, Kanaya sudah bisa menyimpulkan sesuatu. Bahwasannya rencana besar Dina itu tidak menemukan muaranya. Kanaya tersenyum tipis. Dina tidak tau sedang berhadapan dengan siapa. Mana mungkin kedua mertuanya bisa ia kelabuhi dengan sebegitu mudahnya. Dina ini terlalu banyak menonton sinetron.

Di ruang keluarga saat ini duduk kedua mertuanya, suaminya dan Dina. Keberadaan Nabila sudah tidak tampak lagi. Sepertinya bapak mertuanya tidak ingin ada telinga lain yang mendengar sidang ini. Bagaimana pun ini adalah aib keluarga. 

"Duduk, Nay." Ujar ayah mertuanya. Kanaya mengangguk sopan dan mendekati sofa. Ia memilih duduk di samping ibu mertuanya. Ia tidak sudi lagi duduk bersebelahan dengan Ghifari.

"Bapak, ibu, Ghifari dan Dina telah membuat satu keputusan. Dan Bapak harap kamu juga menyetujui keputusan kami ini," Kanaya hanya mengangguk kecil. Apapun keputusan keluarga besar ini toh tidak akan ada hubungannya dengan dirinya lagi. Ia akan segera keluar dari dari sangkar emas penuh tekanan keluarga Albani ini.

"Seperti yang kamu ketahui, Dina mengaku telah hamil anak Fari. Ayah tau, mereka berdua memang salah. Tapi anak dalam kandungan Dina tidak salah 'kan? Lagi pula jujur Ayah juga mengharapkan generasi penerus Albani." Yusuf menghentikan kata-katanya sejenak. Ia ingin melihat reaksi menantunya. Apakah menantunya ini marah, kecewa atau sedih. Namun sampai sejauh ini air muka menantunya ini biasa-biasa saja. Tidak ada kemarahan atau kesedihan yang terpancar di kedua bola mata menantunya. Tatapan menantunya dingin dan datar. Hal ini di luar ekspektasinya. Ia sempat mengira kalau menantunya ini akan histeris. Ternyata semua kekhawatirannya itu tidak perlu.

"Kami telah membuat keputusan bahwa setelah anak itu lahir, maka kamu dan Fari lah yang akan merawatnya. Di mata hukum dan masyarakat anak itu akan menjadi anak kandung kalian berdua. Artinya, anak itu akan kami terima dengan tangan terbuka, tapi ibunya tidak. Keluarga Albani tidak akan mungkin menerima seorang janda dengan riwayat cerai. Terlebih lagi akhlaknya tiada baik. Berselingkuh dengan suami orang, apalagi suami teman baiknya sendiri adalah seburuk-buruknya perempuan," wajah Dina kian busuk saja saat mendengar celaan bapak mertuanya. 

Jadi ini yang membuat wajah Dina lesu seperti prajurit yang kalah perang? Heh, Dina akhirnya menyadari kalau ia telah salah strategi.

"Fari pun buruk sebagai seorang laki-laki dan suami. Tetapi bagaimana pun ia adalah seorang Albani. Dia anak kandung Ayah."

Makanya salah pun tetap dibela 'kan, Yah? Coba kalau Naya yang salah. Jangan harap ada kata maaf. 

"Tetapi semua ini tergantung pada hasil test DNA setelah anak itu dilahirkan. Kalau anak itu terbukti memang darah daging Fari, maka apa yang ayah putuskan tadi akan segera kita realisasikan. Akan tetapi jika anak itu bukan anak Fari, maka Ayah akan menuntut Dina atas dasar pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan." Di akhir kalimat ayah mertuanya dengan sengaja menatap Dina. Dan kali ini Kanaya benar-benar melihat wajah Dina kian pias. Hanya ada dua hal yang terlintas dibenaknya. Entah Dina memang pura-pura hamil, atau ia memang hamil tapi bukan dari benih Ghifari. Makanya ia jadi ketakutan setengah mati.

"Setelah mendengar semua ini, apa pendapatmu, Naya? Apakah kamu juga setuju dengan keputusan kami?" Pertanyaan ayah mertuanya membuat Ghifari, Dina dan ibu mertuanya serentak memandangnya penasaran. Mereka semua pasti menunggu-nunggu jawabannya.

"Naya tidak ingin mencampuri hal yang bukan urusan Naya, Yah." Jawabnya singkat.

"Bukan urusan kamu? Maksudnya?" Ayah mertuanya mengerutkan kening. 

"Bukan urusan Naya karena Naya ingin bercerai dengan Mas Fari, Yah. Jadi apapun keputusan Ayah dan keluarga, tidak ada sangkut pautnya dengan Naya lagi." Lanjut Kanaya tegas. 

"Tidak bisa! Bukankah tadi sudah Mas katakan kalau Mas tidak mau bercerai. Kamu tuli, Nay?" Teriak Ghifari putus asa. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Kanaya. Seharusnya ia bahagia karena tidak diceraikan dan malah mendapat anugerah seorang anak. Ia memang salah. Tetapi toh ia sudah mencoba menyelesaikan permasalahan dengan sebaik-baiknya. Lagi pula semua pihak telah setuju dengan keputusannya ayahnya. Dan anehnya malah Kanaya yang menolak. Jalan pikiran istrinya ini memang susah ditebak.

"Keputusan Naya sudah bulat, Mas. Dengar baik-baik, Mas. Naya meminta cerai bukan karena kehamilan Dina. Tetapi karena perselingkuhan Mas. Masalah hamil atau tidak hamilnya Dina, itu masalah lain. Apakah Mas pikir setelah kejadian ini, perasaan Naya pada Mas akan tetap sama?" Kanaya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak, Mas. Di pikiran Naya saat ini, bukan hanya soal Dina, Mas. Tapi pada Dina-Dina lain yang ada di luar sana. Naya sudah tidak bisa lagi mempercayai Mas. Dan pernikahan tanpa kepercayaan itu omong kosong, Mas. Seperti rumah tanpa fondasi. Rapuh!" 

"Kamu sudah tidak mencintai Mas lagi, Nay?" Mata suaminya berkaca-kaca. Penyesalan tergambar jelas di raut wajahnya. 

"Jujur Naya tidak tau, Mas. Saat ini Naya sedang muak membicarakan soal cinta. Mas ingat tidak, tujuh tahun lalu Mas pernah berikrar bahwa Mas akan selalu mencintai dan setia pada Naya lebih lama dari selama-lamanya. Tapi sekarang apa yang terjadi, Mas? Mas malah menjadi orang yang paling menyakiti Naya lebih sakit dari sesakit-sakitnya. Sudahlah, Mas. Kita akhiri saja semua ini. Jangan bilang kalau Mas masih mencintai Naya, kalau Mas nyatanya sanggup menghianati Naya. Basi, Mas."

"Kenapa Nay, kenapa kamu keras kepala seperti ini? Tidak bisakah kamu memaafkan Mas kali ini? Kali ini saja, Nay?" pinta Ghifari mengiba-iba. Ia sama sekali tidak menduga kalau keisengannya akan berakibat sefatal ini.

"Sudahlah, Fari. Kalau si Naya sudah tidak mau, tidak usah dipaksa. Seperti kamu nggak laku saja. Jangan takut, masih banyak perempuan baik-baik yang antri mau menjadi istrimu di luar sana. Kamu tidak perlu terus memohon-mohon seperti ini." Dengus Mariam sewot. Ia kesal karena anak laki-lakinya sampai mengemis-ngemis begitu pada istri mandul tidak tau dirinya. 

"Ibu benar, Mas. Banyak sekali wanita yang antri ingin menjadi istri Mas di luar sana. Jangan 'kan yang di luar. Yang di dalam saja banyak kok, Mas. Dina dan Nabila misalnya. Benar 'kan, Bu?" sindir Kanaya kalem. Walau ibu mertuanya tidak membalas kata-katanya, tapi delikan matanya sudah mewakilkan. Ibu mertuanya senang karena punya peluang untuk mendapatkan menantu seperti yang ia inginkan. Keputusannya untuk bercerai dengan Ghifari memang sudah tepat bukan?

Related chapters

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 4

    Setelah hampir seminggu bersitegang dengan Ghifari, akhirnya suaminya itu bersedia juga bercerai. Harus Kanaya akui, keberhasilannya kali ini sebagian besar adalah berkat andil ibu mertuanya. Ya, ibu mertuanya tidak henti-hentinya mendukung keinginannya untuk bercerai. Padahal selama lima tahun menjadi menantunya, ibu mertuanya ini tidak pernah sekalipun mendukungnya dalam hal apapun. Ini ini adalah kali pertama mereka berdua bersepakat dalam satu hal. Sepakat untuk mengakhiri statusnya sebagai menantu keluarga Albani tentu saja. Dan Kanaya memang sudah siap lahir batin untuk melepas singgasananya.Kanaya sekarang bisa bernapas lega karena gugatan cerainya atas Ghifari akhirnya diproses juga. Minggu depan adalah sidang pertama gugatan cerainya. Proses perceraian mereka bisa berjalan cepat karena ia memang hanya menginginkan perpisahan saja. Ia sama sekali tidak memasukkan soal klausual harta gono gini sama sekali. Makanya ibu mertuanya bersedia mendukung.

    Last Updated : 2021-06-26
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 5

    "Duh lo nggak berubah ya, Nay? Muka lo tetep imut kayak sepuluh tahun lalu. Cemilan lo formalin ya?" Safa memeluknya hangat. Akhirnya ia sampai juga di kediaman keluarga Baihaqi. Rumah besar ini dulu kerap ia kunjungi setiap kali liburan sekolah. Keluarga Baihaqi memang selalu menghabiskan masa-masa liburan di perkebunan ini. Tinggal di ibukota yang ramai dan sumpek, membuat mereka menyimbangkan aktivitas dengan menghirup udara segar di perkebunan setiap liburan. Prinsip mereka bekerja sambil liburan murah. Dan Kanaya kecil tentu saja selalu diajak."Lo juga nggak berubah, Fa. Tetep cakep seperti dulu. Lo apa kabar, Fa? Duh gue seneng banget akhirnya kita bisa bertatap muka. Selama sepuluh tahun ini kita cuma chat dan sesekali teleponan doang." Kanaya balas memeluk Safa tak kalah erat. Semilir angin pedesaan dan hijaunya pemandangan alam, membuatnya seolah-olah kembali terlempar ke masa lalu. Masa ketika ia masih berseragam merah putih hingga puti

    Last Updated : 2021-06-26
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 6

    Sepeninggal Bik Surti, ponselnya bergetar. Saat melihat nama Safa di layar ponsel, Kanaya mengerti. Pasti Safa ingin mengabari soal kedatangan kakaknya yang di luar prediksi."Nay, gue mau ngabarin kalau Mas Haikal sedang on the way ke Sukawangi. Gue nelpon lo, supaya lo nggak kaget-kaget amat kalau pas nanti kepethuk." Benar 'kan tebakannya?"Kami udah ketemu kok, Fa." Kanaya menjawab apa adanya.Bahkan udah berantem lagi."Hah! Udah ke temu? Terus gimana, Nay? Mas Haikal udah nggak marah lagi sama lo 'kan?"Kanaya tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban bijak. Ia tidak ingin menjadi penyebab kedua kakak beradik itu saling bentrok."Ya gitu deh, Fa." Kanaya memberikan jawaban ambigu."Eh tapi gue heran, lo bilang 'kan Mas Haikal lagi ada project b

    Last Updated : 2021-06-26
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 7

    Sudah seminggu ini Kanaya tinggal di desa Sukawangi. Dan telah seminggu ini juga ia menjalani rutinitas yang menyenangkan hatinya. Berjalan pagi, ikut ke pasar bersama Mbok Surti, atau sekedar melukis di bawah Gunung Arca. Ya, melukis. Ia memang menuruni bakat melukis dari ayahnya. Sedari kecil ia telah aktif ikut mencorat-coret kanvas, setiap ayahnya melukis di studio kecil mereka. Ayahnya memang seorang pelukis profesional. Setelah dewasa pun, ia masih senang melukis jika mempunyai waktu luang. Kala itu ia masih bekerja sebagai sekretaris Ghifari. Setelah makin dekat dengan Ghifari secara pribadi, ia tidak pernah melukis lagi. Ghifari tidak menyukai seniman. Bagi Ghifari seniman itu selain nyentrik, juga pemalas dan masa depannya tidak jelas. Buktinya ayahnya tetap melarat walau lukisannya konon di koleksi oleh para pejabat. Ayahnya dan Ghifari tidak pernah sepakat dalam hal apapun. Da

    Last Updated : 2021-06-26
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 8

    Kanaya sedang berkonsentrasi melukis saat ponselnya bergetar. Ah, pasti Safa yang memanggil. Nomor ponselnya yang baru ini memang hanya diketahui oleh lima orang. Kedua orang tuanya, Safa, Pak Kholil pengacaranya dan Bik Surti. Ibunya baru tadi pagi meneleponnya. Sedangkan Pak Kholil sudah jarang meneleponnya sejak kasus perceraiannya dibatalkan. Sementara Bik Surti lebih suka mendatanginya langsung dari pada menelepon. Buang-buang pulsa katanya. Jadi kemungkinannya hanya satu yaitu Safa. Kanaya menarik sehelai tissue basah untuk mengelap tangannya yang penuh dengan noda cat. Setelah itu barulah ia meraih ponsel di atas meja. Kening seketika berkerut saat melihat ada nomor yang tidak dikenal meneleponnya. Aneh! Siapa si penelepon ini? Karena penasaran Kanaya pun mencoba mengangkatnya."Hallo," Kanaya memberi salam dengan hati-hati."Kamu sekarang silahkan ke rumah utama. Kami semua menunggu kehadiranmu di sini."

    Last Updated : 2021-06-26
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 9

    Dengungan suara orang-orang yang berbicara dalam waktu secara bersamaan, membuat Kanaya berusaha membuka mata. Ia ingin mengatakan kalau ia baik-baik saja. Ia tidak mau membuat kehebohan di rumah orang. Hanya saja matanya tidak mau bekerjasama. Tetap lengket dan sulit sekali untuk dibuka."Kamu bertengkar dengan Naya, Kal? Kalau ada masalah, ya mbok dibicarakan baik-baik. Naya ini 'kan sedang mengandung. Bagaimana kalau cucu Ibu sampai kenapa-kenapa?"Berarti sampai sejauh ini, Haikal belum mengatakan hal yang sebenarnya pada keluarganya. Benar-benar keterlaluan! Tunggu sampai ia sedikit bertenaga. Akan ia bongkar semua omong kosong ini!"Bukan bertengkar kok, Bu. Hanya sedikit berselisih paham saja. Naya tidak ingin Haikal memberitahu Ibu soal kehamilannya, sedangkan Haikal bersikukuh . Makanya Naya jadi marah pada Haikal."Bohong! "Nak, sebenarnya Ibu

    Last Updated : 2021-07-19
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 10

    Kanaya berkali-kali menarik napas panjang. Mempersiapkan batin sebelum memberanikan diri mengetuk pintu rumah. Akhirnya ia kembali ke sini. Ke rumah tempat ia lahir dan dibesarkan. Rumah sederhana namun sangat asri dengan pekarangan yang luas dan sejuk dipandang mata. Seorang pelukis seperti ayahnya memang menyukai suasana seperti di alam bebas. Oleh karena itu rumah mereka pun dibuat sangat sederhana dan menyatu pada alam. Baru saja berniat untuk mengetuk, pintu tiba-tiba saja terbuka. Kanaya dan ibunya yang sepertinya bermaksud untuk membuang sampah, sama-sama kaget."Astaghfirullahaladzim, Nay. Ibu sampai kaget. Kamu sudah lama sampai toh, Nak?" Gendis melebarkan daun pintu. Mempersilahkan putri semata wayangnya masuk ke dalam rumah."Baru saja kok, Bu. Belum juga lima menit. Ibu mau membuang sampah ya? Sini, biar Naya saja yang membuangnya." Kanaya mengambil alih plastik sampah dari tangan sang ibu. Berjalan keluar dan kembali

    Last Updated : 2021-07-19
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 11

    Kanaya mendekati meja lipat Venaya. Ia tau, gadis kecil itu pasti langsung down tatkala panitia perlombaan menetapkan tema lukisan. Ya, tema aku cinta ibu pasti membuat Venaya kebingungan. Ditinggalkan ibunya ke rahmatullah, begitu dilahirkan, gadis kecil itu pasti kehilangan ide karena tidak ada bayangan apapun di benaknya."Aya kenapa, sayang? Kok belum mulai menggambar? Lihat, teman-teman yang lain sudah mulai lho," pancing Kanaya halus. Wajah Venaya kian mendung. Bibirnya membentuk busur terbalik dengan ekspresi siap menangis sewaktu-waktu."Aya lupa dengan wajah mama Aya, Tante. 'Kan photo mama disimpan semua sama opa dan oma. Kata oma, papa suka sedih kalau melihat photo mama. Jadi sekarang Aya nggak bisa menggambar, Tante. Aya nggak punya ide," adu Venaya sedih.Benar 'kan tebakannya?"Kalau begitu, Aya gambar saja wajah Aya sendiri. Soalnya mama Aya itu 'kan mirip sekali

    Last Updated : 2021-07-19

Latest chapter

  • Merah Hitam Cinta #book1   Extra Part II

    Tiga bulan kemudian. Kanaya bernapas sesuai dengan intruksi dokter Kirana. Perutnya mulas luar biasa. Bayi-bayi yang selama sembilan bulan lebih menghuni rahimnya ini, seperti tidak sabar berebutan ingin keluar. Kanaya sampai berkeringat dingin karenanya. Rasanya baru kemarin ia melahirkan Juang, dan kini ia harus kembali melahirkan lagi. Sebenarnya Haikal menginginkannya melahirkan dengan operasi caesar. Karena menurut Haikal dan kedua mertuanya, lebih aman mengingat ia harus melahirkan dua orang bayi. Dikhawatirkan ia kehabisan tenaga atau letak bayinya sungsang dan lain sebagainya. Tetapi Kanaya bersikeras ingin melahirkan secara normal. Karena Juang juga ia lahirkan secara normal. Untungnya keinginannya itu didukung oleh dokter Kirana. Menurut dokter Kirana bayi kembar bisa dilahirkan secara normal apabila keadaannya memungkinkan. Misalnya pada saat akan dilahirkan keadaan b

  • Merah Hitam Cinta #book1   Extra Part I

    Lima bulan kemudian. Kanaya merapikan pakaian Juang yang tengah berada dalam gendongan Ika. Anak seusia Juang memang sedang aktif-aktifnya menarik-narik sesuatu. Alhasil baik pakaian Juang sendiri, atau pun pakaian orang yang menggendongnya, harus siap diacak-acak sewaktu-waktu. Pokoknya setiap ada bentuk dan warna yang mencolok, pasti akan menarik perhatian Juang. "Kalau kamu capek terus menggendong Juang, sini gantian, Ka. Kamu makan saja dulu. Tuh, makanannya enak-enak 'kan?" ujar Kanaya pada Ika. Ika kasihan melihat Ika yang ngos-ngosan karena terus menggendong Juang."Ah jangan dong, Bu. Perut Ibu sudah sebesar itu. Kasihan adek-adek bayinya kalau Ibu harus menggendong Juang. Belum lagi nanti saya diomelin Bapak." Ika nyengir. ARTnya ini sangat memahami sifat Haikal. Kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh, dan ia meng

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 46(end)

    Kanaya beringsut dari kursi kafe sembari memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Berarti sekitar setengah jam lagi, Pak Yaman dan Bu Maryam, akan menemuinya di restaurant ini. Kemarin kedua mantan mertuanya itu meneleponnya. Bu Maryam berbicara dari hati ke hati dengannya hampir selama satu jam penuh. Bu Maryam mengatakan bahwa ia telah mengetahui jati diri Juang yang sebenarnya. Dan sebagai nenek dan kakek, mereka berdua memohon agar diperbolehkan untuk menjenguk Juang. Kedua mertuanya juga berjanji kalau mereka tidak akan berbuat macam-macam, seperti ingin merebut Juang darinya misalnya. Mereka berdua hanya ingin melihat rupa cucu kandung mereka, katanya. Dari cara berbicara Bu Maryam di telepon, Kanaya bisa menangkap satu hal. Bahwa kedua mantan mertuanya ini telah banyak berubah. Setelah tertangkapnya Ghifari dan beberapa perusahaannya dinyatakan pailit, sikap kedua mantan mertuanya ini pun ikut berubah."Apa

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 45

    "Cukup, Nay. Aku sudah kenyang."Marsya menolak suapan bubur ayam dari Kanaya. Sungguh ia tidak berselera makan sama sekali. Bayangan ia akan benar-benar kehilangan hak asuh kedua anaknya, menggentarkannya. Marsya sadar, dirinya memang gagal menjadi orang baik. Tetapi sebagai seorang ibu, ia tidak gagal. Ia berusaha mendidik Attar dan Azizah dengan baik. Mengajari ilmu pengetahuan, hingga adab dan kesopanan. Sejahat-jahatnya dirinya, sebagai seorang ibu, tetap saja ia menginginkan yang terbaik bagi kedua anaknya. Makanya Marsya sangat depresi membayangkan kalau dirinya bukan saja kehilangan hak asuh, tetapi akan dijauhkan dari anak-anak kandungnya sendiri. Demi apapun, ia tidak sanggup!"Sedikit lagi ya, Mbak? Dari tadi pagi Mbak belum makan apa-apa lho. Mbak bisa sakit yang lain nanti," bujuk Kanaya.

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 44

    Haikal berulang kali meremas jalinan tangannya di pangkuan. Saat ini ia tengah duduk gelisah di studio kecil ayah mertuanya. Ia bermaksud membawa Kanaya pulang ke rumah. Dan untuk itu tentu saja ia harus meminta izin pada ayah mertuanya. Haikal tau, tidak mudah mengajuk hati ayah mertuanya yang eksentrik ini. Bara Sudibyo, sang ayah mertua, sikapnya memang tidak bisa diprediksi. Buktinya sudah hampir satu jam ia duduk di studio ini, namun kehadirannya sama sekali tidak dianggap oleh ayah mertuanya.Sedari tadi, ayah mertuanya hanya sibuk melukis. Sesekali ayah mertuanya ini menelengkan kepala. Mengamati hasil lukisannya dari berbagai sisi. Di saat lain, ayah mertuanya akan menggerutu sendiri. Mungkin ayah mertuanya merasa hasil lukisannya kurang memuaskan hatinya. Kehadirannya sekian lama di sini hanya dianggap seperti kuas cat saja sepertinya."Mau ngapain kamu ke sini?" Bara melirik sekilas laki-laki muda di sampingnya. Selanjutnya ia ke

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 43

    Dan di sinilah sekarang Kanaya berada. Di kamar mereka berdua, dengan Haikal yang terus saja berdiri di depan jendela. Sementara dirinya sendiri duduk di ujung ranjang. Sedari dirinya tiba beberapa menit lalu, Haikal terus memandang keluar jendela. Seolah jendela-jendela di kompleks perumahan ini, lebih menarik untuk ditatap daripada wajah istrinya sendiri.Dalam keadaan masih duduk, Kanaya menatap Haikal lurus-lurus. Hampir sebulan tidak bertemu, perubahan-perubahan di diri Haikal sangat signifikan. Kepalanya sudah tampak normal. Perban yang biasa menutupi luka bekas operasinya sudah tidak ada. Begitu juga dengan luka parut di pipinya. Jika dipandang sekilas, orang-orang tidak akan tau kalau Haikal itu baru saja menjalani operasi rekonstruksi kepala dan wajah. Haikal sudah kembali gagah dan tampan seperti sebelumnya. Kecuali bila didekati dan diperhatikan dengan seksama. Maka akan tampak bekas-bekas operasi halus di sana. Hasil kerja rumah sakit ter

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 42

    Rasa adem langsung menerpa kulit Kanaya, kala ia mendorong pintu kafe. Ramainya pengunjung membuat Kanaya celingukan mencari-cari meja yang kosong. Pada hari minggu seperti ini kafe memang sedang ramai-ramainya. Sebenarnya Kanaya malas sekali harus meninggalkan warung dan juga Juang untuk ke kafe ini. Tetapi demi menguak tabir kebenaran mengapa sikap Haikal berubah 180 derajat seperti ini, Kanaya memaksakan diri ke sini juga. Safa ingin bertemu dengannya secara empat mata katanya. Makanya Kanaya penasaran sekali. Kanaya menebak, pasti ini semua ada kaitannya dengan Haikal.Kanaya memindai seantero kafe. Mencari-cari meja yang masih kosong. Pengunjung kafe hari ini sangat ramai. Tidak heran memang, mengingat ini adalah hari minggu. Hari di mana orang-orang refreshing menikmati hari libur, atau sekedar family time dengan makan bersama. Kanaya menarik napas lega kala pandangannya membentur meja yang paling pojok. Meja itu memang relatif lebi

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 41

    Ghifari memandang video-video panas yang baru saja diedit Rafly dengan tatapan puas. Sungguh ia sama sekali tidak menyangka, kalau teknologi sekarang sudah secanggih ini. Video-video panasnya dengan Kanaya semasa masih menjadi sepasang suami istri dulu, telah berganti waktu dan tanggalnya. Ia memang suka merekam aksi-aksi panas mereka dulu tanpa sepengetahuan Kanaya. Dan ia sama sekali tidak menyangka kalau kebiasaannya itu kini akan sangat berguna dalam planning-planningnya. Ia akan merebut kembali Kanaya dari Haikal tentu saja."Oke, Pak Ghifari. Semua video-video ini sudah saya edit tanggal dan jamnya. Saya yakin, tidak ada satu orang pun yang bisa mendeteksi kebenarannya." Rafly, sang peretas juga ikut tersenyum puas. Hanya saja tingkat kepuasan dua orang laki-laki ini berbeda. Jika Ghifari puas karena ia akan mendapatkan kembali mantan istrinya, maka Rafly puas karena akan mendapatkan sejumlah besar dana. Win win solution.

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 40

    Kanaya memandangi rinai hujan di depan jendela. Sesekali ia mengusap kaca jendela nako yang basah. Bulir-bulir air yang berjatuhan mewakili hatinya saat ini. Jatuh ke titik nadir. Saat ini ia berada di rumah Jihan. Entah mengapa saat mengorder taksi online tadi, ia malah mengetik alamat Jihan, alih-alih orang tuanya. Mungkin ia merasa malu karena rumah tangganya kembali bermasalah. Makanya alam bawah sadarnya mencari perlindungan pada Jihan. Sebagai sesama wanita yang gagal dalam berumah tangga, setidaknya Jihan pasti sangat memahami keadaannya saat ini.Dugaan Kanaya tepat. Jihan sama sekali tidak heboh dan menginterogasinya saat melihat kedatangannya malam-malam. Istimewa dengan keadaan yang seadanya. Kanaya memang hanya sempat membawa dompet dan ponsel, selain baju yang melekat di badan. Itu pun karena dua benda tersebut kebetulan ada di saku celananya.Saat ia datang dalam rinai hujan, Jihan dengan luwes

DMCA.com Protection Status