Share

Chapter 2

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2021-06-25 18:49:40

Pak Rustam berulang kali melirik nyonya mudanya. Ia bingung melihat betapa berbedanya air muka sang nyonya muda saat kembali ke mobil. Terlebih lagi kepergian nyonya mudanya tidak lebih dari sepuluh menit. Tetapi ia hanya bisa menyimpan rasa penasarannya dalam hati saja. Ia toh hanya seorang supir. 

"Kita mau ke mana, Bu?" Tanya Pak Rustam sopan. Namun kalimatnya sama sekali tidak direspon oleh sang nyonya muda. Nyonya mudanya hanya memandang lurus ke depan dengan tatapan nyalang.

"Bagaimana, Bu?" Tanya Pak Rustam untuk ke dua kalinya.

"Hah? Bapak menanyakan apa tadi?" Guman Kanaya linglung. Bukan hal mudah menyembunyikan perasaan hati yang gundah gulana dengan tampilan seolah baik-baik saja.

"Saya tadi bertanya, kita mau ke mana, Bu? Mau langsung pulang ke rumah atau mengunjungi orang tua Bu Naya dulu barangkali?" Ujar Pak Rustam hati-hati. Mata tuanya menangkap kesedihan di kedua bola mata nyonya mudanya. Ia sengaja mengusulkan mengunjungi kedua orang tua sang nyonya muda, dengan harapan mungkin sang nyonya muda akan sedikit terhibur di sana. Seorang anak pasti membutuhkan kedua orang tuanya bisa sedang bermasalah.

"Tidak usah, Pak. Kita langsung pulang saja," jawab Kanaya singkat. 

"Baik, Bu." Pak Rustam tidak jadi memutar arah. Karena ternyata nyonya mudanya memilih untuk pulang saja. Dari kaca spion, Pak Rustam memindai kalau mobil tuan mudanya tengah membuntuti. Dugaan Pak Rustam tentang kedua majikan mudanya sedang berselisih paham makin menguat. Tetapi Pak Rustam memilih untuk diam saja. Sebagai orang luar ia tidak ingin memperkeruh suasana. 

"Cincin baruku ini bagus nggak, Nay?"

"Bagus banget, Din. Seleraku banget. Tumben kamu beli perhiasan dengan motif sederhana begini? Biasanya kan harus bling bling semeriwing."

"Hehehe. Dibeliin orang, Nay. Tapi kayaknya mulai dari sekarang aku akan belajar untuk menyukai apa yang kamu sukai deh. Hehehe. Oh ya Nay, ngomong-ngomong Mas Fari lebih suka kamu memakai lingerine seksi atau malah naked sekalian kalau kalian mau ehm ehm."

Sekarang Kanaya baru mengerti arti dari pertanyaan-pertanyaan Dina beberapa waktu lalu. Dina ternyata sudah cukup lama menjalin hubungan terlarang dengan suaminya. Bahkan sebelum ia resmi bercerai. Alasan bahwa Reyhan menceraikannya karena mandul sepertinya hanyalah isapan jempol belaka. Dirinya saja yang tidak peka akan gerak-gerik dan pertanyaan-pertanyaan menjebak Dina.

Setiba di gerbang rumah, Kanaya menarik napas panjang. Masalah baru telah menunggu di depan mata. Di garasi rumah, terparkir angkuh sebuah mobil mewah yang biasa ditumpangi oleh ibu mertuanya. Dan itu artinya saat ini ibu mertuanya berada di dalam rumah. Kanaya yakin sebentar lagi ia akan dinyinyiri tak henti-henti dari semenjak ia pulang hingga ibu mertuanya itu pulang. Bukan rahasia lagi kalau ibu mertuanya tidak menyukainya. Ibu mertuanya ini lebih menyukai Nabila, mantan pacar Ghifari. Bagi ibu mertuanya, di dirinya tidak ada satu hal pun yang bisa menyamai kesempurnaan Nabila. Nabila itu cantik, sopan, pintar dan yang terutama kaya. Kalimat itu selalu dijejalkan ibu mertuanya setiap kali mereka bertemu. Kanaya sampai hapal luar kepala apa saja kelebihan Nabila dibandingkan dirinya. 

"Kamu ini jadi istri kok ya tidak bisa menahan diri? Suami bekerja keras di kantor, kamu malah keluyuran tidak jelas. Istri macam apa kamu ini?" 

Benar 'kan tebakannya?

Mariam Albani, ibu mertuanya langsung berdiri dari sofa saat melihat kehadirannya. Di samping ibu mertuanya, Nabila Fatih tengah duduk dengan anggun. Nabila memang masih memiliki hubungan keluarga dengan mertuanya. Jadi tidak heran kalau Nabila akrab dengan ibu mertuanya.

"Kamu dari mana saja, Nay? Tidak baik kalau suami bekerja keras di kantor, istri malah keluyuran." Cecar ibu mertuanya lagi. 

Diingatkan pada suami penghinatnya, darah Kanaya kembali mendidih. Kerja keras apa suaminya itu di kantor? Bayangan suaminya yang sedang bertukar saliva dengan Dina membuat Kanaya kian jengah. Ia muak terus dituduh ini itu padahal yang brengsek adalah suaminya. Selama ini ia sudah cukup mengalah dan menahan diri demi keberlangsungan rumah tangganya. Tapi kali ini ia sudah tidak mau diam. Sudah waktunya ia membalas. Toh ia memang sudah tidak berniat lagi untuk mempertahankan rumah tangga penuh amis perselingkuhan ini lagi. 

"Apa Ibu yakin kalau Mas Fari sedang bekerja keras di kantor?" Celetuk Kanaya datar. Belum sempat ibu mertuanya menjawab, terdengar suara mobil yang memasuki halaman rumah. Sejurus kemudian pintu pengemudi terbuka. Ghifari keluar dari mobil dengan tergesa-gesa. Suami pembohongnya ini mengikutinya ternyata.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Sudah tentu suamimu bekerja keras di kantor. Kok malah meragukan suamimu sendiri sih, Nay? Istri macam apa kamu?"

Istri yang telah diselingkuhi suaminya, Bu.

"Itu suamimu pulang. Tanyakan langsung padanya, apakah ia bekerja keras di kantor?" Ibu mertuanya memalingkan wajah ke arah pintu. Air muka ibu mertuanya tampak puas. Pasti ibu mertuanya mengira bahwa ia tertangkap basah karena keluyuran saat suaminya bekerja keras.

"Sudahlah, Bu. Jangan ribut-ribut. Ada apa Ibu tiba-tiba berkunjung ke sini?" Kanaya melirik suaminya ini telah masuk ke dalam rumah. Pandangan suaminya gelisah. Pasti ia takut kalau boroknya di kantor tadi ia bongkar di sini.

"Ibu kangen sama kamu, Fari. Habis akhir-akhir ini kamu jarang sekali sih menjenguk, Ibu. Makanya saat Nabila datang, sekalian saja Ibu ajak ke sini." Adu Bu Mariam pada putra semata wayangnya.

"Tapi yaitu, rupanya selama kamu bekerja, istrimu ini malah keluyuran entah ke mana."

Sesuai dengan dugaannya.

"Ya sudah. Sekarang kan kita sudah bertemu. Sudah hilang 'kan rindunya Ibu?" Bujuk Ghifari. 

"Ya belum dong, Ri. Kan baru juga sebentar ke temunya. Eh tapi kamu kok sudah pulang siang-siang begini?" Bu Mariam baru tersadar kalau putranya pulang tidak pada jam biasanya.

"Eh itu, Fari tadi kepingin makan siang di rumah, Bu. Terus Fari malah ketemu sama Naya di jalan. Naya tadi habis mengunjungi kedua orang tuanya, Bu. Bukan keluyuran. Tadi perginya juga sudah pamit kok pada Fari. Makanya kami bisa pulang barengan." Ujar Ghifari gugup. Ia serba salah salah saat ditatap tajam oleh Kanaya. Kebohongan ini terpaksa ia lakoni demi menutupi kebohongan sebelumnya.

"Oh begitu. Lho Nay, suamimu pulang karena mau makan siang di rumah. Kok kamunya masih leyeh-leyeh begini. Siapkan makanan untuk suamimu dong. Apa perlu Ibu dan Nabila yang menyiapkan?"

Pucuk dicinta ulam pun tiba.

"Kalau Ibu dan Nabila tidak keberatan silahkan saja, Bu. Kalau begitu Naya permisi ke kamar dulu." Sahut Nabila datar seraya beringsut dari sofa. Bu Mariam dan Nabila terdiam. Mereka sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan jawaban sesantai itu dari Kanaya. Biasanya Kanaya ini lemah lembut dan pengalah. Tidak sekalipun ia menyahuti kata-kata mereka, walau sepedas apapun mereka menyindirnya. Namun kali ini sikap Kanaya begitu berbeda. Ia seperti menyambut tantangan mereka. Apa yang membuat sikap Kanaya jadi berubah seperti ini?

"Kamu nantangin, Ibu, Nay? Kalau nanti Fari benar-benar meninggalkan kamu dan memilih kembali dengan Nabila, baru tau rasa kamu." Ancam Bu Mariam lagi.

"Kalau pun itu sampai terjadi, berarti jodoh Naya dan Mas Fari sudah habis, Bu." Sahut Kanaya datar. 

"Begitu juga sebaliknya. Jika Nanya yang meninggalkan Mas Fari, artinya jodoh kami memang hanya sampai di sini. Permisi." Kanaya melangkahkan kaki meninggalkan ruang tamu. Ia sedang tidak mood bersilat lidah.

"Nanti kalau benar-benar kejadian, jangan nangis-nangis ya kamu, Nay? Sudah tidak bisa memberi keturunan, eh nantang-nantang lagi. Sudah mulai berani ya kamu sekarang, Nay?" Teriak ibu mertuanya kencang.

Kanaya menulikan telinga. Ia mempercepat langkah menuju kamar. Kali ini ia ingin bersikap egois. Ia capek terus menjadi keset. Dianggap tidak punya hati karena hanya diam saat disindir ataupun dikata-katai. Dulu ia selalu menahan diri karena mengingat Ghifari yang sangat mencintainya. Ia tidak ingin menciptakan konflik antara Ghifari dan ibunya, makanya ia terus mengalah sampai semengalah-mengalahnya. 

Setiap ia sedih, ia akan berlari pada Ghifari. Memeluk erat suaminya walau perasaannya bagai tersayat-sayat. Di mata mertua dan keluarga besarnya, ia tidak dianggap manusia. Latar belakang keluarganya yang sederhana selalu menjadi bahan olok-olok di keluarga ningrat mereka. Seperti inilah jika cinta beda strata.

Kanaya ingat sekali, seminggu setelah pernikahannya dengan Ghifari, ia diajak mengunjungi selamatan pernikahan perak salah seorang tantenya. Seluruh keluarga besar mereka berkumpul di sana. Pada kesempatan itu, salah seorang tante Ghifari bereksprimen membuat kue-kue kering. Setelah jadi, seluruh anggota keluarga diberi kesempatan untuk mencicipi kue keringnya kecuali dirinya. Saat salah seorang sepupu Ghifari menanyakan mengapa ia tidak diberi kesempatan untuk mencicipi, jawaban tantenya begitu menusuk dan melukai harga dirinya. Tantenya mengatakan kalau ia adalah orang susah yang tidak pernah makan enak. Takutnya saat mencicipi ia bukan hanya akan mengambil satu atau dua potong kue. Tapi setoples penuh. Seluruh keluarga besar suaminya tertawa termasuk ibu mertuanya dan Nabila. Kala itu ia merasa direndahkan sampai serendah-rendahnya manusia. Sepanjang acara ia hanya diam dan tidak berani mencicipi apapun yang terhidang di meja. Ia takut dikata-katai orang susah yang rakus. Alhasil sepanjang hari ia terus menahan lapar. 

Kejadian itu tidak pernah ia ceritakan hingga saat ini pada Ghifari. Ia tidak ingin Ghifari sampai bentrok dengan keluarga besarnya. Sudah lima tahun penuh, ia bersedia berdarah-darah menahan luka asal suaminya terus mencintainya. Terus berada di sisinya. Walau ia sengsara, tidak lah mengapa. Cinta tanpa pengorban mana ada. 

Dan kini saat dihadapkan pada kenyataan bahwa suaminya telah menghianatinya, tidak ada lagi asa yang tersisa. Ternyata suaminya tidak bisa memegang teguh janjinya untuk selalu mencintai dan saling setia. Jadi untuk apa lagi rumah tangga ini ia pertahankan bukan?

Kali ini, di usia kelima pernikahannya, Kanaya menyerah. Semuanya akan ia akhiri cukup sampai di sini saja.

Derit pintu kamar yang terbuka membuyarkan lamunan Kanaya. Ghifari masuk ke dalam kamar dengan raut wajah bersalah. Suaminya itu ikut duduk bersisian dengannya di atas ranjang.

"Naya, sekali lagi Mas minta maaf, ya? Tolong beri Mas kesempatan sekali lagi. Mas akan membuktikan kalau Mas tidak akan berselingkuh dengan Dina atau dengan perempuan manapun lagi. Kamu percaya pada Mas 'kan Nay?" Bujuk Ghifari lagi. Ia takut, sangat takut saat melihat sikap Kanaya di ruang tamu tadi. Kanaya seperti memberi aba-aba akan adanya perpisahan dengan menyinggung-nyinggung soal jodoh yang telah habis. Ia takut kalau Kanaya akan benar-benar mengeksekusi ancamannya. Ia sangat mengenal kepribadian istrinya. Jika ia telah memutuskan sesuatu, akan sangat sulit untuk merubah keputusannya. 

"Mas,"

"Iya, Nay."

"Mari kita bercerai."

"Apa? Cerai? Kamu ini bodoh sekali, Nay. Hanya karena seorang Dina, kamu keok dan memberikan lima tahun singgasanamu ini secara cuma-cuma padanya? Cara berpikir kamu ini kok pendek sekali!" Amukan Ghifari hanya dihadiahi cibiran tipis oleh Kanaya.

"Lantas perselingkuhan Mas dengan Dina itu, termasuk berpikir panjang atau pendek, Mas?" Melihat suaminya terdiam, Kanaya kembali melanjutkan kalimatnya.

"Tidak bisa menjawab 'kan, Mas? Mas... Mas... Mas pikir Dina akan diam begitu saja saat Mas tinggalkan? Kamu salah, Mas. Naya sangat mengenal kepribadian Dina. Kalau Mas pikir dengan tertangkap basahnya kalian berdua Dina akan mundur, Mas salah besar. Justru setelah Naya tahu, Dina akan semakin memperkuat cengkramannya pada Mas. Mas tunggu saja saatnya. Satu hal yang harus Mas ketahui, seorang pelakor itu, pertama-tama mungkin ia hanya akan meminta pengakuan. Dan setelah itu ia akan menuntut persamaan. Mas tunggu saja tanggal mainnya,"

"Akan Mas pastikan dia tidak akan menuntut macam-macam." Janji Ghifari. "Bagi Mas, kamu itu segalanya. Dina itu bukan apa-apa."

"Kalau bukan apa-apa, tidak mungkin Mas memberikan berlian semahal itu padanya?" 

"Kamu... Kamu tau dari mana soal berlian itu?" Wajah Ghifari yang sebentar memerah dan sebentar memucat itu membuat tekad Kanaya kian bulat untuk meminta cerai.

"Dari mulut Dina sendiri. Waktu itu Dina bilang bahwa cincin berlian bermodel solitaire sederhana itu adalah pemberian seseorang. Dan sekarang Naya tau, siapa seseorang yang ia maksud," Naya tersenyum miris. Lihatlah tebakan asal-asalannya ternyata benar. Itu baru satu clue. Clue-clue lainnya kalau ia kembangkan, pasti akan ketahuan semua. Hanya saja ia tidak ingin lagi menyelidikinya. Untuk apa juga bukan? Toh ia sudah tau jawabannya. Semakin ia menggali, yang ada hanyalah ia akan makin sakit hati.

"Dina juga bilang bahwa ia akan belajar untuk menyukai apa yang Naya sukai. Waktu itu Naya sempat bingung. Apa maksud ucapan Dina. Namun kini semuanya terang benderang seperti lampu mercusuar. Dina ingin menggantikan posisi Naya rupanya. Dan, atas persetujuan Mas juga," sambung Naya. Bodoh! Betapa bodohnya ia selama ini. Dikelabuhi sampai sedemikian rupa oleh dua orang yang paling ia percayai. 

"Jangan mempercayai apa pun yang dikatakan oleh Dina. Kamu tau sendiri 'kan kalau ia sanggup menghianati kamu?"

"Jadi Naya harus mempercayai siapa? Mempercayai Mas? Tapi Mas 'kan juga menghianati Naya? Oh mungkin maksud Mas, Naya tidak boleh mempercayai kalian berdua ya?" Kanaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Berpura-pura setuju dengan kalimat bersayapnya.

"Bukan begitu. Maksud Mas--"

"Mas Fari... Mas Fari..."

Ghifari menghentikan kalimatnya saat mendengar suara seorang wanita yang terus memanggil-manggil namanya. Mula-mula ia mengira itu adalah suara Nabila. Namun setelah ia mendengar dengan seksama, ternyata itu adalah suara Dina!

"Tuh, pelakornya sudah nyariin. Benar 'kan tebakan Naya? Dina tidak akan melepaskan Mas begitu saja. Sekarang sana temui selingkuhan Mas. Kenapa pucat, Mas? Sensasinya hilang karena sudah ketahuan ya?" Suaminya tidak menjawab. Namun air mukanya tampak geram. Pasti ia tidak menyangka kalau Dina ternyata senekad ini.

"Kamu tunggu di sini sebentar. Mas akan melihat apa maunya Dina," ucap Ghifari seraya bergegas keluar kamar. Kanaya yang merasa bahwa mungkin ini adalah amunisinya untuk meminta cerai, ikut keluar juga. Apa yang terjadi, terjadilah. 

Related chapters

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 3

    "Mas Fari, Naya." Melihat kehadiran mereka berdua Dina langsung berdiri dari sofa. Wajahnya terlihat kusut dengan air muka yang disedih-sedihkan. Ada satu hal ganjil yang Kanaya perhatikan. Dina sama sekali tidak berani memandang wajahnya. Ia sangat mengenal Dina. Kalau Dina bersikap seperti ini, itu artinya ia sedang merasa bersalah padanya. Dina pasti tengah merencanakan sesuatu yang akan menyakiti hatinya."Ada apa, Din? Mengapa kamu mencari saya sampai ke sini? Kamu ingat 'kan perjanjian kita?" Tukas Ghifari ketus. Kanaya tahu bahwa Ghifari mulai tidak nyaman melihat sikap Dina yang terlalu nekad."Maaf, Mas. Aku kemari karena ini," Dina membuka tas tangan dan menyerahkan sebuah amplop putih berlogo Rumah Sakit Ibu dan Anak ke tangan Suaminya.Sekarang Kanaya mengerti apa maksud kedatangan Dina ke rumahnya. Sama persis sama seperti yang ingin ia lakukan di kantor Ghifari sekitar satu jam yang lalu.

    Last Updated : 2021-06-25
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 4

    Setelah hampir seminggu bersitegang dengan Ghifari, akhirnya suaminya itu bersedia juga bercerai. Harus Kanaya akui, keberhasilannya kali ini sebagian besar adalah berkat andil ibu mertuanya. Ya, ibu mertuanya tidak henti-hentinya mendukung keinginannya untuk bercerai. Padahal selama lima tahun menjadi menantunya, ibu mertuanya ini tidak pernah sekalipun mendukungnya dalam hal apapun. Ini ini adalah kali pertama mereka berdua bersepakat dalam satu hal. Sepakat untuk mengakhiri statusnya sebagai menantu keluarga Albani tentu saja. Dan Kanaya memang sudah siap lahir batin untuk melepas singgasananya.Kanaya sekarang bisa bernapas lega karena gugatan cerainya atas Ghifari akhirnya diproses juga. Minggu depan adalah sidang pertama gugatan cerainya. Proses perceraian mereka bisa berjalan cepat karena ia memang hanya menginginkan perpisahan saja. Ia sama sekali tidak memasukkan soal klausual harta gono gini sama sekali. Makanya ibu mertuanya bersedia mendukung.

    Last Updated : 2021-06-26
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 5

    "Duh lo nggak berubah ya, Nay? Muka lo tetep imut kayak sepuluh tahun lalu. Cemilan lo formalin ya?" Safa memeluknya hangat. Akhirnya ia sampai juga di kediaman keluarga Baihaqi. Rumah besar ini dulu kerap ia kunjungi setiap kali liburan sekolah. Keluarga Baihaqi memang selalu menghabiskan masa-masa liburan di perkebunan ini. Tinggal di ibukota yang ramai dan sumpek, membuat mereka menyimbangkan aktivitas dengan menghirup udara segar di perkebunan setiap liburan. Prinsip mereka bekerja sambil liburan murah. Dan Kanaya kecil tentu saja selalu diajak."Lo juga nggak berubah, Fa. Tetep cakep seperti dulu. Lo apa kabar, Fa? Duh gue seneng banget akhirnya kita bisa bertatap muka. Selama sepuluh tahun ini kita cuma chat dan sesekali teleponan doang." Kanaya balas memeluk Safa tak kalah erat. Semilir angin pedesaan dan hijaunya pemandangan alam, membuatnya seolah-olah kembali terlempar ke masa lalu. Masa ketika ia masih berseragam merah putih hingga puti

    Last Updated : 2021-06-26
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 6

    Sepeninggal Bik Surti, ponselnya bergetar. Saat melihat nama Safa di layar ponsel, Kanaya mengerti. Pasti Safa ingin mengabari soal kedatangan kakaknya yang di luar prediksi."Nay, gue mau ngabarin kalau Mas Haikal sedang on the way ke Sukawangi. Gue nelpon lo, supaya lo nggak kaget-kaget amat kalau pas nanti kepethuk." Benar 'kan tebakannya?"Kami udah ketemu kok, Fa." Kanaya menjawab apa adanya.Bahkan udah berantem lagi."Hah! Udah ke temu? Terus gimana, Nay? Mas Haikal udah nggak marah lagi sama lo 'kan?"Kanaya tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban bijak. Ia tidak ingin menjadi penyebab kedua kakak beradik itu saling bentrok."Ya gitu deh, Fa." Kanaya memberikan jawaban ambigu."Eh tapi gue heran, lo bilang 'kan Mas Haikal lagi ada project b

    Last Updated : 2021-06-26
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 7

    Sudah seminggu ini Kanaya tinggal di desa Sukawangi. Dan telah seminggu ini juga ia menjalani rutinitas yang menyenangkan hatinya. Berjalan pagi, ikut ke pasar bersama Mbok Surti, atau sekedar melukis di bawah Gunung Arca. Ya, melukis. Ia memang menuruni bakat melukis dari ayahnya. Sedari kecil ia telah aktif ikut mencorat-coret kanvas, setiap ayahnya melukis di studio kecil mereka. Ayahnya memang seorang pelukis profesional. Setelah dewasa pun, ia masih senang melukis jika mempunyai waktu luang. Kala itu ia masih bekerja sebagai sekretaris Ghifari. Setelah makin dekat dengan Ghifari secara pribadi, ia tidak pernah melukis lagi. Ghifari tidak menyukai seniman. Bagi Ghifari seniman itu selain nyentrik, juga pemalas dan masa depannya tidak jelas. Buktinya ayahnya tetap melarat walau lukisannya konon di koleksi oleh para pejabat. Ayahnya dan Ghifari tidak pernah sepakat dalam hal apapun. Da

    Last Updated : 2021-06-26
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 8

    Kanaya sedang berkonsentrasi melukis saat ponselnya bergetar. Ah, pasti Safa yang memanggil. Nomor ponselnya yang baru ini memang hanya diketahui oleh lima orang. Kedua orang tuanya, Safa, Pak Kholil pengacaranya dan Bik Surti. Ibunya baru tadi pagi meneleponnya. Sedangkan Pak Kholil sudah jarang meneleponnya sejak kasus perceraiannya dibatalkan. Sementara Bik Surti lebih suka mendatanginya langsung dari pada menelepon. Buang-buang pulsa katanya. Jadi kemungkinannya hanya satu yaitu Safa. Kanaya menarik sehelai tissue basah untuk mengelap tangannya yang penuh dengan noda cat. Setelah itu barulah ia meraih ponsel di atas meja. Kening seketika berkerut saat melihat ada nomor yang tidak dikenal meneleponnya. Aneh! Siapa si penelepon ini? Karena penasaran Kanaya pun mencoba mengangkatnya."Hallo," Kanaya memberi salam dengan hati-hati."Kamu sekarang silahkan ke rumah utama. Kami semua menunggu kehadiranmu di sini."

    Last Updated : 2021-06-26
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 9

    Dengungan suara orang-orang yang berbicara dalam waktu secara bersamaan, membuat Kanaya berusaha membuka mata. Ia ingin mengatakan kalau ia baik-baik saja. Ia tidak mau membuat kehebohan di rumah orang. Hanya saja matanya tidak mau bekerjasama. Tetap lengket dan sulit sekali untuk dibuka."Kamu bertengkar dengan Naya, Kal? Kalau ada masalah, ya mbok dibicarakan baik-baik. Naya ini 'kan sedang mengandung. Bagaimana kalau cucu Ibu sampai kenapa-kenapa?"Berarti sampai sejauh ini, Haikal belum mengatakan hal yang sebenarnya pada keluarganya. Benar-benar keterlaluan! Tunggu sampai ia sedikit bertenaga. Akan ia bongkar semua omong kosong ini!"Bukan bertengkar kok, Bu. Hanya sedikit berselisih paham saja. Naya tidak ingin Haikal memberitahu Ibu soal kehamilannya, sedangkan Haikal bersikukuh . Makanya Naya jadi marah pada Haikal."Bohong! "Nak, sebenarnya Ibu

    Last Updated : 2021-07-19
  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 10

    Kanaya berkali-kali menarik napas panjang. Mempersiapkan batin sebelum memberanikan diri mengetuk pintu rumah. Akhirnya ia kembali ke sini. Ke rumah tempat ia lahir dan dibesarkan. Rumah sederhana namun sangat asri dengan pekarangan yang luas dan sejuk dipandang mata. Seorang pelukis seperti ayahnya memang menyukai suasana seperti di alam bebas. Oleh karena itu rumah mereka pun dibuat sangat sederhana dan menyatu pada alam. Baru saja berniat untuk mengetuk, pintu tiba-tiba saja terbuka. Kanaya dan ibunya yang sepertinya bermaksud untuk membuang sampah, sama-sama kaget."Astaghfirullahaladzim, Nay. Ibu sampai kaget. Kamu sudah lama sampai toh, Nak?" Gendis melebarkan daun pintu. Mempersilahkan putri semata wayangnya masuk ke dalam rumah."Baru saja kok, Bu. Belum juga lima menit. Ibu mau membuang sampah ya? Sini, biar Naya saja yang membuangnya." Kanaya mengambil alih plastik sampah dari tangan sang ibu. Berjalan keluar dan kembali

    Last Updated : 2021-07-19

Latest chapter

  • Merah Hitam Cinta #book1   Extra Part II

    Tiga bulan kemudian. Kanaya bernapas sesuai dengan intruksi dokter Kirana. Perutnya mulas luar biasa. Bayi-bayi yang selama sembilan bulan lebih menghuni rahimnya ini, seperti tidak sabar berebutan ingin keluar. Kanaya sampai berkeringat dingin karenanya. Rasanya baru kemarin ia melahirkan Juang, dan kini ia harus kembali melahirkan lagi. Sebenarnya Haikal menginginkannya melahirkan dengan operasi caesar. Karena menurut Haikal dan kedua mertuanya, lebih aman mengingat ia harus melahirkan dua orang bayi. Dikhawatirkan ia kehabisan tenaga atau letak bayinya sungsang dan lain sebagainya. Tetapi Kanaya bersikeras ingin melahirkan secara normal. Karena Juang juga ia lahirkan secara normal. Untungnya keinginannya itu didukung oleh dokter Kirana. Menurut dokter Kirana bayi kembar bisa dilahirkan secara normal apabila keadaannya memungkinkan. Misalnya pada saat akan dilahirkan keadaan b

  • Merah Hitam Cinta #book1   Extra Part I

    Lima bulan kemudian. Kanaya merapikan pakaian Juang yang tengah berada dalam gendongan Ika. Anak seusia Juang memang sedang aktif-aktifnya menarik-narik sesuatu. Alhasil baik pakaian Juang sendiri, atau pun pakaian orang yang menggendongnya, harus siap diacak-acak sewaktu-waktu. Pokoknya setiap ada bentuk dan warna yang mencolok, pasti akan menarik perhatian Juang. "Kalau kamu capek terus menggendong Juang, sini gantian, Ka. Kamu makan saja dulu. Tuh, makanannya enak-enak 'kan?" ujar Kanaya pada Ika. Ika kasihan melihat Ika yang ngos-ngosan karena terus menggendong Juang."Ah jangan dong, Bu. Perut Ibu sudah sebesar itu. Kasihan adek-adek bayinya kalau Ibu harus menggendong Juang. Belum lagi nanti saya diomelin Bapak." Ika nyengir. ARTnya ini sangat memahami sifat Haikal. Kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh, dan ia meng

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 46(end)

    Kanaya beringsut dari kursi kafe sembari memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Berarti sekitar setengah jam lagi, Pak Yaman dan Bu Maryam, akan menemuinya di restaurant ini. Kemarin kedua mantan mertuanya itu meneleponnya. Bu Maryam berbicara dari hati ke hati dengannya hampir selama satu jam penuh. Bu Maryam mengatakan bahwa ia telah mengetahui jati diri Juang yang sebenarnya. Dan sebagai nenek dan kakek, mereka berdua memohon agar diperbolehkan untuk menjenguk Juang. Kedua mertuanya juga berjanji kalau mereka tidak akan berbuat macam-macam, seperti ingin merebut Juang darinya misalnya. Mereka berdua hanya ingin melihat rupa cucu kandung mereka, katanya. Dari cara berbicara Bu Maryam di telepon, Kanaya bisa menangkap satu hal. Bahwa kedua mantan mertuanya ini telah banyak berubah. Setelah tertangkapnya Ghifari dan beberapa perusahaannya dinyatakan pailit, sikap kedua mantan mertuanya ini pun ikut berubah."Apa

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 45

    "Cukup, Nay. Aku sudah kenyang."Marsya menolak suapan bubur ayam dari Kanaya. Sungguh ia tidak berselera makan sama sekali. Bayangan ia akan benar-benar kehilangan hak asuh kedua anaknya, menggentarkannya. Marsya sadar, dirinya memang gagal menjadi orang baik. Tetapi sebagai seorang ibu, ia tidak gagal. Ia berusaha mendidik Attar dan Azizah dengan baik. Mengajari ilmu pengetahuan, hingga adab dan kesopanan. Sejahat-jahatnya dirinya, sebagai seorang ibu, tetap saja ia menginginkan yang terbaik bagi kedua anaknya. Makanya Marsya sangat depresi membayangkan kalau dirinya bukan saja kehilangan hak asuh, tetapi akan dijauhkan dari anak-anak kandungnya sendiri. Demi apapun, ia tidak sanggup!"Sedikit lagi ya, Mbak? Dari tadi pagi Mbak belum makan apa-apa lho. Mbak bisa sakit yang lain nanti," bujuk Kanaya.

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 44

    Haikal berulang kali meremas jalinan tangannya di pangkuan. Saat ini ia tengah duduk gelisah di studio kecil ayah mertuanya. Ia bermaksud membawa Kanaya pulang ke rumah. Dan untuk itu tentu saja ia harus meminta izin pada ayah mertuanya. Haikal tau, tidak mudah mengajuk hati ayah mertuanya yang eksentrik ini. Bara Sudibyo, sang ayah mertua, sikapnya memang tidak bisa diprediksi. Buktinya sudah hampir satu jam ia duduk di studio ini, namun kehadirannya sama sekali tidak dianggap oleh ayah mertuanya.Sedari tadi, ayah mertuanya hanya sibuk melukis. Sesekali ayah mertuanya ini menelengkan kepala. Mengamati hasil lukisannya dari berbagai sisi. Di saat lain, ayah mertuanya akan menggerutu sendiri. Mungkin ayah mertuanya merasa hasil lukisannya kurang memuaskan hatinya. Kehadirannya sekian lama di sini hanya dianggap seperti kuas cat saja sepertinya."Mau ngapain kamu ke sini?" Bara melirik sekilas laki-laki muda di sampingnya. Selanjutnya ia ke

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 43

    Dan di sinilah sekarang Kanaya berada. Di kamar mereka berdua, dengan Haikal yang terus saja berdiri di depan jendela. Sementara dirinya sendiri duduk di ujung ranjang. Sedari dirinya tiba beberapa menit lalu, Haikal terus memandang keluar jendela. Seolah jendela-jendela di kompleks perumahan ini, lebih menarik untuk ditatap daripada wajah istrinya sendiri.Dalam keadaan masih duduk, Kanaya menatap Haikal lurus-lurus. Hampir sebulan tidak bertemu, perubahan-perubahan di diri Haikal sangat signifikan. Kepalanya sudah tampak normal. Perban yang biasa menutupi luka bekas operasinya sudah tidak ada. Begitu juga dengan luka parut di pipinya. Jika dipandang sekilas, orang-orang tidak akan tau kalau Haikal itu baru saja menjalani operasi rekonstruksi kepala dan wajah. Haikal sudah kembali gagah dan tampan seperti sebelumnya. Kecuali bila didekati dan diperhatikan dengan seksama. Maka akan tampak bekas-bekas operasi halus di sana. Hasil kerja rumah sakit ter

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 42

    Rasa adem langsung menerpa kulit Kanaya, kala ia mendorong pintu kafe. Ramainya pengunjung membuat Kanaya celingukan mencari-cari meja yang kosong. Pada hari minggu seperti ini kafe memang sedang ramai-ramainya. Sebenarnya Kanaya malas sekali harus meninggalkan warung dan juga Juang untuk ke kafe ini. Tetapi demi menguak tabir kebenaran mengapa sikap Haikal berubah 180 derajat seperti ini, Kanaya memaksakan diri ke sini juga. Safa ingin bertemu dengannya secara empat mata katanya. Makanya Kanaya penasaran sekali. Kanaya menebak, pasti ini semua ada kaitannya dengan Haikal.Kanaya memindai seantero kafe. Mencari-cari meja yang masih kosong. Pengunjung kafe hari ini sangat ramai. Tidak heran memang, mengingat ini adalah hari minggu. Hari di mana orang-orang refreshing menikmati hari libur, atau sekedar family time dengan makan bersama. Kanaya menarik napas lega kala pandangannya membentur meja yang paling pojok. Meja itu memang relatif lebi

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 41

    Ghifari memandang video-video panas yang baru saja diedit Rafly dengan tatapan puas. Sungguh ia sama sekali tidak menyangka, kalau teknologi sekarang sudah secanggih ini. Video-video panasnya dengan Kanaya semasa masih menjadi sepasang suami istri dulu, telah berganti waktu dan tanggalnya. Ia memang suka merekam aksi-aksi panas mereka dulu tanpa sepengetahuan Kanaya. Dan ia sama sekali tidak menyangka kalau kebiasaannya itu kini akan sangat berguna dalam planning-planningnya. Ia akan merebut kembali Kanaya dari Haikal tentu saja."Oke, Pak Ghifari. Semua video-video ini sudah saya edit tanggal dan jamnya. Saya yakin, tidak ada satu orang pun yang bisa mendeteksi kebenarannya." Rafly, sang peretas juga ikut tersenyum puas. Hanya saja tingkat kepuasan dua orang laki-laki ini berbeda. Jika Ghifari puas karena ia akan mendapatkan kembali mantan istrinya, maka Rafly puas karena akan mendapatkan sejumlah besar dana. Win win solution.

  • Merah Hitam Cinta #book1   Chapter 40

    Kanaya memandangi rinai hujan di depan jendela. Sesekali ia mengusap kaca jendela nako yang basah. Bulir-bulir air yang berjatuhan mewakili hatinya saat ini. Jatuh ke titik nadir. Saat ini ia berada di rumah Jihan. Entah mengapa saat mengorder taksi online tadi, ia malah mengetik alamat Jihan, alih-alih orang tuanya. Mungkin ia merasa malu karena rumah tangganya kembali bermasalah. Makanya alam bawah sadarnya mencari perlindungan pada Jihan. Sebagai sesama wanita yang gagal dalam berumah tangga, setidaknya Jihan pasti sangat memahami keadaannya saat ini.Dugaan Kanaya tepat. Jihan sama sekali tidak heboh dan menginterogasinya saat melihat kedatangannya malam-malam. Istimewa dengan keadaan yang seadanya. Kanaya memang hanya sempat membawa dompet dan ponsel, selain baju yang melekat di badan. Itu pun karena dua benda tersebut kebetulan ada di saku celananya.Saat ia datang dalam rinai hujan, Jihan dengan luwes

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status