“Al.” Kaira menatap Alina yang mondar-mandir menggantung pakaian di rak display.“Apa?” tanya Alina tanpa menoleh pada Kaira yang sejak tadi memandangnya sibuk. “Kamu ini datang katanya buat nemenin aku, sekarang malah merengek? Minta apa, sih?”Alina akhirnya mengalihkan tatapannya pada Kaira yang duduk di belakang meja kasir.Kaira berdiri menghampiri Alina yang baru saja restock baju, lantas memeluk Alina dari belakang sambil bergelayut manja.“Ya, yang tadi aku bilang. Ayolah, Al. Masa kamu tega sama aku. Temenin, ya,” pinta Kaira membujuk. Dia menatap Alina dari samping sambil memasang wajah imut untuk merayu.“Terus kalau aku ikut, aku disuruh jadi obat nyamuk? Jangan mengada-ada.” Alina melepas kedua tangan Kaira yang melingkar di pinggangnya. Dia kemudian membalikkan badan dan menatap sahabatnya itu.Kaira diminta melakukan kencan buta oleh ayahnya, hal itu membuat Kaira malas dan bingung jika harus pergi sendiri. Karena itu Kaira mencoba mengajak Alina untuk menemaninya.Kaira
“Anda sudah mau pulang, Pak?” tanya Ilham saat melihat Aksa sedang merapikan meja kerja kemudian berjalan menuju ruangan kecil di dalam kantornya. Beberapa saat kemudian, Aksa keluar dengan pakaian yang berbeda daripada sebelumnya, kini Aksa mengenakan pakaian kerja biasa, celana hitam panjang dengan kemeja polos lengan panjang berwarna biru muda. Aksa menatap sekilas pada Ilham sambil mengenakan mantel tipis, lalu membalas, “Ya.” Ilham mengerutkan alis mendengar jawaban Aksa. Tidak biasanya atasannya itu pulang tepat waktu. Dia sampai melihat ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan, masih jam empat sore kurang lima menit. Rasanya begitu aneh melihat Aksa akan pulang tepat waktu. Biasanya atasannya akan pulang ke rumah ketika hari sudah sangat gelap, bahkan paling cepat Aksa pulang adalah ketika langit mulai gelap. Sebenarnya kebiasaan baru ini sudah terjadi beberapa hari setelah Aksa menikah, dan meskipun Ilham senang karena dia tak perlu lembur, tetapi tetap saja perubaha
“Kamu tidak bisa hati-hati?” tanya Aksa datar.Alina mengerjap untuk beberapa setelah mendengar suara Aksa.Tadi, Alina sangat terkejut karena hampir jatuh, lebih terkejut lagi saat menyadari begitu dekat dengan Aksa. Apalagi pria itu masih merengkuh pinggangnya dan kedua mata mereka saling tatap.Alina kikuk dan salah tingkah karena Aksa masih merengkuh pinggangnya, terlebih dia tak sengaja berpegangan pada lengan Aksa yang terasa keras berotot.“Ma-maaf.” Alina merasa sangat malu karena sudah ceroboh. Jantungnya mendadak berdegup cepat. Aneh. Ada sesuatu di hatinya.Alina cepat-cepat berdiri dengan benar lalu sedikit mundur setelah Aksa melepas pinggangnya. Dia bingung harus bagaimana setelah kejadian tak terduga itu terjadi.Di saat Alina salah tingkah, Aksa tampak tenang dan wajahnya tetap saja datar. Apa pria itu tidak terganggu, ya?“Ah, ya. Tadi ada orang mengirim kasur. Tapi, karena aku bingung mau diletakkan di mana, jadi aku minta untuk diletakkan dulu di ruang televisi,” u
Alina terbatuk karena hampir tersedak setelah mendengar ucapan Aksa barusan. Alina masih menatap Aksa yang tampak serius sambil memberikan segelas air pada Alina.Alina memiringkan tubuhnya untuk meminum segelas air yang disodorkan Aksa. Lalu, menaruh gelas kosong itu di meja dan tertawa kecil pada Aksa.“Jangan mengada-ada,” ucap Alina sambil mencoba menghentikan tawanya.Alina tertawa sebab merasa ucapan Aksa sangat lucu. Pria itu menggunakan kata ‘melenyapkan’ dalam kalimatnya, seolah-olah Aksa adalah orang yang sangat berkuasa.Melihat Alina tertawa, kedua sudut alis Aksa tertarik ke atas. Memangnya ada yang salah dengan ucapannya? Aksa serius dengan ucapannya, jika Alina mau, Aksa bisa dengan mudah melenyapkan mantan kekasih Alina itu.Apa Alina meremehkan Aksa? Kini, Aksa menyipitkan mata menatap Alina.“Kamu tidak usah melakukan apa-apa karena itu adalah urusanku,” ucap Alina kemudian, sambil tersenyum lalu kembali makan.Alina kembali menatap pada Aksa yang hanya diam, kemudia
Hari berikutnya, Alina dan Kaira sudah ada di Radja Mall untuk bertemu dengan teman kencan buta Kaira. “Kai, kamu yakin mau ngajak aku? Rasanya ini aneh,” ucap Alina lalu memandang sekeliling pada bangunan mall yang begitu besar itu. Alina baru ke tempat ini lagi setelah waktu itu membeli cincin pernikahan di salah satu toko perhiasan yang ada di mall ini. “Ish, kamu sudah janji. Kenapa sekarang ragu?” tanya Kaira cemberut karena ucapan Alina. Alina menoleh pada Kaira, lalu membalas, “Ya, karena ini kencan butamu yang disiapkan papamu. Masa iya aku ikut?” “Tapi kamu sudah janji mau nemenin. Pokoknya aku nggak mau dengar alasanmu. Soal Papa, biar aku yang urus kalau dia kesal karena kamu ikut.” Kaira meyakinkan Alina lalu merangkul lengan sahabatnya itu agar tidak kabur. Akhirnya Alina pasrah saja. Dia tetap ikut meski rasanya aneh karena takut mengganggu pertemuan Kaira dengan pria yang dijodohkan dengan Kaira. Alina dan Kaira tiba di fine dining tempat papa Kaira mengatur
“Kevin, kita berdua tidak cocok. Jadi, ini pertemuan pertama dan terakhir kita. Kita tidak perlu bertemu lagi.” Kaira mengatakannya langsung pada Kevin setelah kembali dari toilet. Kaira bahkan tak peduli Kevin akan sakit hati dengan ucapannya. Kaira sudah tidak ingin berlama-lama di sana, jadi setelah mengatakan hal itu Kaira menarik tangan Alina, membuat Alina sedikit kebingungan. “Kami pergi dulu.” Tetapi, Kaira tetap berpamitan pada Kevin. Alina ikut berdiri setelah mengambil tasnya, hingga ketika berjalan menuju arah pintu keluar, Alina terpaku dan menghentikan langkah kakinya. “Ada apa?” tanya Kaira heran. Kaira memandang arah pandang Alina, lalu dia melihat dua pria berjalan ke arah mereka dan menyadari salah satu dari dua pria itu hanya memandang lurus Alina. “Siapa mereka?” tanya Kaira setengah berbisik. “Yang berjalan di depan, itu suamiku,” jawab Alina sambil mendekatkan bibir ke telinga Kaira saat berbisik. Kaira menatap pria yang berjalan di depan dengan langkah te
Di dalam hati, Alina panik, tetapi ia tetap tenang. Alina menatap tangannya yang digenggam Aksa.Namun, langkah lebar Aksa membuat Alina agak kesulitan mengimbangi langkah Aksa. Alina bisa saja jatuh kalau salah langkah.“Aku bisa jalan mengikutimu, apa kamu harus menarikku seperti ini?” tanya Alina karena beberapa pengunjung mall sampai memandang ke arah mereka. Dia malu karena semua orang yang melihat tampak menatap aneh pada mereka.Akan tetapi, Aksa tak menggubris perkataan Alina. Dia masih terus menarik tangan istrinya itu.Akhirnya Aksa baru berhenti saat mereka sampai di parkiran. Dia melepas tangan Alina, lalu menatap dingin pada istrinya itu.“Masuk!” perintah Aksa.Sebelum masuk, Alina menoleh pada mobil yang ada di samping mereka. Alis Alina berkerut, itu bukan mobil Aksa. Mobil itu mewah dan jauh di atas mobil Aksa.“Masuk sini?” tanya Alina memastikan sambil menunjuk mobil itu. Aksa pasti salah mobil.Aksa hanya menatap datar, dia lalu menekan tombol di kunci mobil hingga
Alina bisa melihat telinga Aksa yang sedikit memerah ketika Aksa memalingkan muka setelah mendengar pertanyaannya.“Kamu benar-benar cemburu?” tanya Alina. Sekarang Alina tidak tahan untuk tidak menggoda Aksa.Aksa tak merespon dan memilih tetap memandang ke depan.Alina memindahkan pandangannya pada telunjuk Aksa yang diketuk pada stir berkali-kali, membuat Alina semakin semangat untuk menggoda.“Kalau cemburu bilang saja, aku tidak apa-apa,” ucap Alina, duduk dengan benar sambil menatap ke depan, lalu dia mengulum bibir menahan diri karena ingin tertawa.Aksa tetap tidak merespon ucapan Alina, membuat wanita itu kembali bicara, “Cemburu boleh, tapi harusnya kamu jangan marah-marah begitu.”Aksa akhirnya menoleh ke Alina, lalu membalas, “Siapa yang cemburu? Jangan besar kepala!”Alina ikut menoleh karena akhirnya Aksa bereaksi.“Itu tadi, kalau bukan cemburu apa namanya? Masa orang marah tanpa alasan?”“Bukankah sudah kubilang? Kamu harus menjaga martabat suami. Sikapmu itu seolah me