“Apa kamu paham?” tanya Aksa memastikan.
“Paham,” balas Alina masih menatap pria itu. Alina kembali diam. Dia tidak tahu harus bagaimana, semua yang terjadi hari ini terlalu mendadak untuknya. “Kamu butuh cincin pernikahan. Ikut denganku!” perintah Aksa kemudian menarik kesadaran Alina. Alina lalu melihat Aksa yang sudah melangkah menuju mobil yang terparkir di halaman KUA. “Kamu tidak perlu membelikanku cincin, aku akan pergi membelinya sendiri,” ujar Alina, mengejar langkah panjang Aksa. Di hadapan Alina, Aksa tiba-tiba berhenti lalu memutar tubuhnya menghadap Alina. “Pernikahan kita terjadi karena sama-sama membutuhkan. Kamu mau menikahiku saja sudah membuatku tenang. Tidak masalah jika kamu tak membelikanku cincin, aku bisa membelinya sendiri,” ucap Alina menjelaskan, merasa tak perlu menuntut apa pun dari Aksa. Alina tak ingin merepotkan Aksa lagi. Untuk beberapa saat Aksa hanya diam menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa Alina mengerti, apalagi tatapan pria itu kepadanya mampu membuat bulu kuduknya berdiri. Apa ucapannya tadi salah? Satu sudut alis Aksa terangkat. Setiap kata Alina tentang pernikahan itu, entah mengapa membuat Aksa semakin yakin jika Alina memiliki maksud lain. “Kamu sudah menjadi istriku, aku akan bertanggung jawab atas semua kebutuhanmu. Termasuk membelikan cincin pernikahan.” Aksa bicara dengan nada tegas seolah tak bisa disanggah. Alina terdiam sampai mengulum bibir mendengar ucapan Aksa. Melihat Aksa yang kembali berbalik dan melangkah, Alina pun menyusul Aksa. Alina memerhatikan mobil yang akan dinaiki Aksa. Setelah melihat penampilan pria itu yang sederhana, dan mobilnya juga hanya mobil sedan biasa, membuat Alina sedikit lega. Setidaknya kini Alina tahu, suami dadakannya ini mungkin sama dengan dirinya. “Tunggu apa lagi?” Di antara pintu mobil yang terbuka, Aksa berdiri dan menatap Alina dengan pandangan datar. “Masuk.” Alina patuh dan langsung masuk mobil Aksa. Dalam perjalanan, Aksa dan Alina hanya diam, hingga mobil mereka menuju sebuah pusat perbelanjaan. Pasangan baru itu juga masih diam hingga Aksa membawa Alina ke salah satu toko perhiasan cukup mewah di sana. Saat memasuki toko perhiasan, salah satu manajer toko terkejut dan hendak menunduk melihat Aksa datang, namun dengan cepat Aksa menggeleng pelan, membuat manajer toko itu mengerti dan beralih dari hadapan Aksa. Alina tidak melihat itu, karena perhatiannya ada pada toko perhiasan ini. Alina tahu toko perhiasan ini bukan toko perhiasan biasa. Akan tetapi, mengapa Aksa mengajaknya ke toko perhiasan mewah seperti ini? Memangnya Aksa memiliki banyak uang? “Apa kita bisa ke toko perhiasan yang ada di pasar saja?” tanya Alina pelan dan agak ragu. “Pilih cincin yang kamu suka,” perintah Aksa, tidak mengindahkan ucapan Alina. Alina benar-benar tidak ingin merepotkan Aksa, jadi sekali lagi ia berkata, “Aku akan membayarnya sendiri, kamu tidak perlu cemas,” balas Alina kekeh ingin membayar sendiri. Aksa menatap datar Alina, dan tanpa menjawab ucapan Alina, dia mengeluarkan kartu kreditnya, lalu memberikan pada pegawai toko. “Pakai ini, jadi pilih saja cincin yang kamu mau.” Setelah mengatakan itu Aksa pergi meninggalkan Alina di sana sendiri. Alina bingung mendengar perintah Aksa. Dia tidak enak hati, gaji Aksa pasti tidak banyak, meskipun pakai kartu kredit juga tetap harus membayar tagihan di belakang. “Mau beli yang mana pun, kalau beli di sini, dia pasti akan kesulitan membayar tagihannya nanti. Harusnya biarkan saja aku yang membeli cincin pernikahan,” gumam Alina lalu memandang cincin yang terpajang di sana, lalu meringis. “Tapi, tidak di toko ini juga.” Alina melihat berat cincin dan bertanya berapa kisaran harga cincin itu. Mendengar kisaran harganya, membuat Alina sempat syok dan sampai pusing untuk memilih. “Anda mau yang mana?” tanya pelayan toko masih menunggu Alina memilih. Alina tersenyum canggung, lantas menjatuhkan pilihan pada cincin sederhana yang memiliki gramasi tidak terlalu berat. “Anda yakin mau yang ini?” tanya pelayan memastikan lagi, karena cincin yang dipilih Alina sangat sederhana. “Iya, ini lebih cocok buatku,” ucap Alina tersenyum setelah mencoba apakah ukuran cincin itu pas di jarinya. Pelayan mengangguk lalu meminta Alina menunggu karena pembelian cincin akan segera diproses. Dari luar, Aksa memantau Alina. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celananya. Dari tempatnya berdiri, Aksa bisa melihat Alina yang sedang memilih cincin. Aksa sengaja meninggalkan Alina untuk melihat apakah Alina akan memanfaatkan kartu kreditnya atau tidak. Namun, kedua alis Aksa terangkat samar ketika melihat cincin pilihan Alina sangat sederhana ketika Alina mencoba cincin itu di jari. Di dalam toko, Alina masih menunggu proses pembayaran selesai. Dia masih melihat-lihat cincin pernikahan di sana yang begitu indah. Senyum Alina terangkat tipis, meskipun dalam hati meringis. Karena ini pertama kali dalam hidupnya melihat cincin yang begitu indah, dan untuk beberapa tahun belakang ini tidak pernah terpikirkan sama sekali bahwa dia akan mengenakan cincin pernikahan di jari manisnya. “Wah, ngapain kamu berdiri di depan cincin pernikahan. Mau nikah?” Seorang wanita berumur lebih tua dari Alina menegur sambil memberikan tatapan sinis ke Alina. Alina terkejut mendengar suara itu, dia menoleh dan melihat kakak Karin berdiri di dekatnya dengan senyum mengejek. “Karin bilang kamu mau nikah, ya? Apa di sini karena buat nyiapin cincin pernikahannya? Kupikir Karin bercanda?” tanya kakak Karin dengan ekspresi wajah mengejek. Alina berusaha tenang agar tak terpancing emosi mendengar pertanyaan kakak Karin. Dia tahu kalau wanita itu tak pernah menyukainya, bahkan tak menganggapnya sama sekali. “Ya, begitulah. Kebetulan, aku memang sudah menikah,” balas Alina tetap tenang dengan tersenyum. Kakak Karin terkejut mendengar balasan Alina, lalu tersenyum miring mengejek. “Memangnya ada yang suka sama kamu? Kulihat selama ini kamu tidak pernah dekat dengan pria, bahkan sampai adikmu nikah juga, kamu masih sendiri? Kamu pasti bercanda kalau tiba-tiba kamu bilang sudah menikah. Lagian, perawan tua sepertimu siapa yang mau?” Kakak Karin tertawa kecil setelah menghina Alina. Dia bisa berkata seperti itu karena tahu kalau selama ini Alina sibuk bekerja dan tidak pernah dekat dengan pria mana pun. Alina menahan emosinya, mencoba mengatur napas agar tidak marah di sana. Akan tetapi, justru Alina terkesiap ketika sebuah tangan kekar merangkul pinggangnya, dan suara berat yang lembut terdengar di telinganya. “Ada apa, Sayang?”Tiba-tiba Aksa sudah ada di sampingnya dan menatap Alina dengan tatapan penuh cinta?! “Kamu mengenalnya?” tanya Aksa lagi pada Alina sambil menatap dua wanita di hadapan mereka. Kakak Karin terkejut melihat Aksa. Meski berpenampilan sederhana, tapi Aksa terlihat gagah dan tampan. “Dia ....” Kakak Karin mendadak tergagap saat melihat Aksa. “Aku suami Alina. Kami ke sini untuk membeli cincin pernikahan kami, bukankah begitu, Sayang?” Aksa kembali menoleh pada Alina, remasan di pinggang Alina seolah menunjukkan jika Alina miliknya yang tak bisa diganggu. Alina mengerjap. Dia hampir kehilangan kendali saat ini. Sentuhan Aksa dan panggilan ‘sayang’ dari Aksa membuat jantungnya berdegup. Tepat saat itu pelayan toko juga datang dan meminta Aksa membubuhkan tandatangan pada kartu kreditnya untuk melanjutkan pembayaran. Di saat yang sama, kakak Karin melihat kartu kredit yang dipakai Aksa, senyum miring kembali menghias di salah satu sudut bibir wanita itu. Senyum mengejek karena tahu s
Alina sangat terkejut mendengar ucapan Karin. Selama ini dia hanya mendengar ucapan itu secara tak sengaja ketika Karin berdebat dengan Dani, tetapi sekarang Karin bicara langsung padanya tanpa rasa canggung sama sekali.“Mau Kak Alina hamil duluan atau tidak. Aku tidak peduli, yang terpenting Kak Alina segera pindah saja. Kak Alina tahu, ‘kan? Biaya hidup semakin tinggi, gaji Dani hanya cukup buat kebutuhan sehari-hari dan keperluanku, adanya Kak Alina di sini hanya menjadi beban saja. Jatahku harus dipangkas karena Dani juga ingin memberi Kak Alina gajinya!” Karin bicara dengan nada ketus, tanpa menunjukkan rasa sopan juga pada Alina Karin berbicara sambil melipat kedua tangan di dada.Alina cukup terkejut mendengar Karin sekarang terang-terangan bicara seperti itu. Sejak awal, Alina merasa Karin bukan wanita yang baik bagi Dani, tetapi dulu dia setuju Dani menikahi Karin karena sang adik sangat mencintai wanita itu. Sekarang firasatnya terbukti, Karin memang tak pernah menyukainya
Aksa pergi setelah mengantar Alina ke apartemennya.Saat sudah mengemudi jauh dari apartemen, Aksa menghentikan mobil di bahu jalan di mana ada sebuah mobil mewah sudah terparkir di sana.Aksa keluar dari mobil, lalu berjalan ke mobil mewah itu.Pria berpakaian sopir langsung mengambil alih mobil yang tadi dipakai Aksa untuk membawa mobil itu pergi dari sana.“Siang, Pak.” Seorang pria memakai setelan formal membungkuk menyapa Aksa yang baru saja datang.“Pakaian Anda sudah ada di dalam mobil,” ucap pria itu saat Aksa berdiri di depannya.Aksa tak banyak bicara. Dia langsung masuk mobil yang sudah dibuka oleh sopirnya, lalu mengganti pakaian sederhananya dengan setelan jas mahal yang sudah tersedia di sana.Setelah Aksa selesai berganti pakaian. Asisten pribadi dan sopir masuk mobil, mereka lantas pergi menuju perusahaan.“Bagaimana pernikahan Anda?” tanya asisten Aksa yang ikut di mobil itu.Aksa hanya menatap sang asisten dari kaca spion tengah.Ilham langsung membungkam mulut melih
Alina bosan berada di apartemen. Ingin kembali ke butik tapi takut jika Nenek Agni tahu dan berpikiran yang tidak-tidak.Alina akhirnya menghubungi sahabatnya, sekaligus ingin memberitahu soal pernikahannya.“Hm … ada apa, Al?” tanya Kaira dari seberang panggilan.“Kamu sedang sibuk?” tanya Alina memastikan dulu sebelum bicara, takut sahabatnya itu sedang bertemu klien atau yang lainnya lalu terkejut.“Tidak, aku malah rasanya ingin kabur dari pekerjaan yang melelahkan ini,” jawab Kaira terdengar begitu malas dari seberang panggilan.Alina mendengar sahabatnya itu tertawa, lalu dia membalas, “Sudah enak jadi direktur umum, memangnya seberat apa pekerjaanmu, hm?”“Sudahlah, ada apa menghubungiku? Kamu mau mengajakku jalan-jalan?” tanya Kaira.“Bukan,” jawab Alina, “aku hanya ingin memberitahumu kalau aku baru saja menikah hari ini,” ucap Alina penuh kehati-hatian.Hening untuk beberapa waktu.“Halo, Kai?”“Kamu bilang apa tadi? Menikah?! APA MAKSUDNYA ITU?” Suara Kaira menggelegar dari
Alina melihat Aksa yang berjalan mendekat ke arahnya. Alina panik dan tanpa sadar berjalan mundur hingga terbentur dinding di belakangnya. Tatapan Aksa yang sayu tetapi dalam padanya membuat Alina menelan ludah susah payah dengan jantung yang tiba-tiba berdegup sangat cepat. “Ada apa? Mau apa kamu?” tanya Alina yang panik dan waspada karena Aksa terus maju. Aksa sudah sangat dekat dengan Alina, bahkan wajah mereka kini begitu dekat. Alina menahan napas sampai memejamkan mata saat Aksa menunduk ke wajahnya, hingga Aksa tiba-tiba menjatuhkan kening di pundak Alina. Alina sangat terkejut sampai langsung membuka mata, mengerjap untuk beberapa saat. Akan tetapi, kemudian memegangi tubuh Aksa yang limbung dan hampir jatuh. Dia melirik wajah Aksa, pria itu ternyata memejamkan mata. “Aksa.” Alina memanggil tetapi tidak ada respon. “Aksa, bangun dan pergi ke kamarmu,” ucap Alina mencoba membangunkan Aksa yang bersandar pada pundaknya. Tubuh seorang pria biasanya lebih berat dibanding t
Aksa pergi ke kantor setelah merasa lebih segar. Saat Ilham masuk untuk membacakan jadwal kegiatan Aksa hari itu, Ilham langsung terkena sembur. “Kenapa semalam kamu meninggalkanku di pesta?” tanya Aksa dengan tatapan kesal. Semalam, Aksa menghadiri pesta peluncuran salah satu produk terbaru dari brand milik kolega orang tua Aksa. Aksa yang memang memiliki toleransi alkohol rendah akhirnya mabuk meski minum sedikit. Aksa sudah berusaha untuk tak minum, akan tetapi karena sungkan dan takut dianggap tak sopan jika menolak saat diajak bersulang oleh kolega keluarganya, membuat Aksa akhirnya minum sedikit dan berakhir mabuk. Untungnya meski mabuk, Aksa masih bisa pulang ke apartemen diantar sopirnya. “Saya minta maaf, Pak. Saya pikir Anda benar-benar akan menahan diri untuk tidak minum,” ucap Ilham mencoba menjelaskan. Aksa menyandarkan kepala di sandaran kursi dan tetap memasang wajah datar mendengar alasan Ilham. “Semalam saya juga sudah izin untuk pulang lebih dulu dan Anda men
Nenek Agni menatap sebal karena ucapan Aksa, akan tetapi apa yang dikatakan Aksa ada benarnya.Nenek Agni menyerah setelah sebelumnya terlalu bersemangat jika menyangkut tentang Alina, sampai membuatnya lupa soal perjanjiannya dengan Aksa.Aksa adalah cucunya, tetapi kini posisinya adalah kepala keluarga Radjasa. Sebagai seorang nenek, Nenek Agni jelas dituakan, tetapi kalau Nenek Agni terlalu berlebihan, Aksa bisa juga menarik diri dan membatalkan pernikahan ini.“Baiklah, nenek tidak akan minta sesuatu yang bisa membongkar rahasia keluarga kita,” ucap Nenek Agni akhirnya pasrah.Aksa hanya mengangguk-angguk pelan sebagai isyarat jika keputusannya menolak keinginan Nenek Agni memang benar.“Tetapi, meski begitu kamu harus bersikap baik pada Alina dan jangan sampai kamu berani membuat Alina menderita,” ujar Nenek Agni memperingatkan.Aksa hanya menatap sang nenek tanpa berniat membalas ucapan Nenek Agni.“Bicara denganmu kadang seperti bicara dengan patung,” gerutu Nenek Agni karena A
Alina tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin di negara ini hanya satu keluarga yang memiliki nama Radjasa, dan yang datang ke pesta itu juga pasti bukanlah keluarga suaminya. Lagi pula nama bukan hak paten seseorang, bisa saja dipakai orang di kota ini juga dipakai orang yang berada kota berbeda. Pun Kaira hanya menyebut nama belakang dari keluarga Radjasa itu, bukan Aksa Radjasa. Lalu, jika dipikir kembali Nenek Agni dan Aksa juga tak terlihat seperti berasal dari keluarga konglomerat, bahkan penampilan mereka biasa saja. Sekarang Alina juga tinggal di apartemen sederhana bukan tempat yang mewah layaknya tempat orang-orang kaya tinggal. Jadi, pasti itu hanya kebetulan dan tak percaya jika Aksa adalah bagian keluarga Radjasa seperti yang dimaksud Kaira. “Kenapa kamu jadi melamun?” tanya Kaira saat melihat Alina hanya diam mengaduk makanan di piringnya, bahkan Alina terlihat menggeleng pelan tadi. Kaira tentu heran sampai menjentikkan jari di depan wajah Alin