Tiba-tiba Aksa sudah ada di sampingnya dan menatap Alina dengan tatapan penuh cinta?!
“Kamu mengenalnya?” tanya Aksa lagi pada Alina sambil menatap dua wanita di hadapan mereka. Kakak Karin terkejut melihat Aksa. Meski berpenampilan sederhana, tapi Aksa terlihat gagah dan tampan. “Dia ....” Kakak Karin mendadak tergagap saat melihat Aksa. “Aku suami Alina. Kami ke sini untuk membeli cincin pernikahan kami, bukankah begitu, Sayang?” Aksa kembali menoleh pada Alina, remasan di pinggang Alina seolah menunjukkan jika Alina miliknya yang tak bisa diganggu. Alina mengerjap. Dia hampir kehilangan kendali saat ini. Sentuhan Aksa dan panggilan ‘sayang’ dari Aksa membuat jantungnya berdegup. Tepat saat itu pelayan toko juga datang dan meminta Aksa membubuhkan tandatangan pada kartu kreditnya untuk melanjutkan pembayaran. Di saat yang sama, kakak Karin melihat kartu kredit yang dipakai Aksa, senyum miring kembali menghias di salah satu sudut bibir wanita itu. Senyum mengejek karena tahu suami Alina bukan orang kaya sebab membayar cincin menggunakan kartu kredit. Wajahnya saja yang tampan, tetapi tidak kaya buat apa? “Kamu masih mau membeli yang lain?” tanya Aksa, masih dengan suara yang lembut pada Alina. “Tidak,” jawab Alina sambil menggelengkan kepala. Setelah pelayan memberikan kartu kredit dan cincin yang dibeli Alina, Aksa mengajak Alina pergi dari sana tanpa pamit pada kakak Karin. Aksa tetap menggandeng tangan Alina sampai membuat Alina tak berkutik dan pasrah. Namun, gandengan tangan mereka terlepas ketika mereka memasuki area parkir mobil. Aksa juga kembali berjalan cepat meninggalkan Alina yang terpaku di tempatnya karena berusaha meredam dadanya yang masih bergemuruh. Sadar Aksa sudah berjalan menjauh, Alina kembali berlari kecil mengejar Aksa. Di dalam mobil, tidak ada yang bersuara. Alina diam mengatur napas dan hatinya. “Siapa tadi?” tanya Aksa dengan suara berat yang dingin. “Hah?” Alina terkejut dan langsung menoleh pada Aksa. Dia melihat Aksa yang menatapnya dingin. “Oh, dia kakak ipar adikku. Dia memang--” Belum juga kalimatnya selesai diucapkan, ponsel Alina berdering hingga membuatnya buru-buru mengambil ponsel di tas tangannya dan melihat siapa yang menghubungi. “Dani.” Alina terkejut melihat Dani menghubunginya. Dia bergegas menjawab panggilan itu dan mengabaikan Aksa. “Halo, Dan.” Alina langsung bicara saat menyentuhkan benda pipih itu ke telinga. “Apa itu benar? Apa Kak Alina sudah menikah? Apa maksudnya itu? Kenapa aku tidak tahu?” Alina kembali terkejut mendengar banyak pertanyaan Dani. Dengan tenang Alina membalas, “Akan aku jelaskan, jadi tenang dulu, ya.” “Pulang! Temui aku di rumah!” perintah Dani dari seberang panggilan. Alina hanya mengiakan, lalu kembali menoleh pada Aksa dengan ekspresi wajah canggung. “Kamu keberatan tidak, kalau adikku ingin bertemu denganmu?” ** Sesampainya di rumah, ternyata Dani sudah ada di rumah bersama Karin. Dani mendapat informasi Alina sudah menikah dari kakak iparnya. Informasi itu jelas membuat Dani kesal karena Alina tidak memberitahunya sama sekali, bahkan tidak meminta izinnya seperti yang dikatakan Alina kemarin. Alina tahu sang adik marah, untuk meredam kemarahan adiknya, Alina memperkenalkan sambil menjelaskan, “Ini Aksa, kami memang sudah menikah karena kami memang siap menikah,” ucap Alina meski rasanya tidak masuk akal, tetapi Alina tidak punya alasan yang tepat lagi. Dani menatap curiga, mana mungkin sang kakak langsung menikah padahal sebelumnya berkata jika pernikahan itu masih baru rencana. Namun, tiba-tiba sekarang Alina sudah memiliki suami, ini tak masuk akal untuknya. “Kalau begitu, Kakak sudah berapa bulan?” Berapa bulan? Apanya yang berapa bulan? Bola mata Alina membola ketika mengerti maksud pertanyaan Dani, sedang Aksa hanya menatap datar Dani dan istri Dani di hadapannya. “Apanya sudah berapa bulan?” tanya Alina memastikan. Dia panik jika yang dimaksud Dani lama hubungan antara dirinya dan Aksa, atau …. “Kandunganmu. Kak Alina menikah terburu-buru karena hamil duluan, ‘kan?” Alina melongo mendengar ucapan Dani, bagaimana bisa sang adik mengira dirinya hamil duluan? Aksa masih tetap dengan pandangan datarnya dan sikapnya yang diam. “Kakak tidak pernah memberitahuku jika memiliki kekasih, bahkan tiba-tiba menikah tanpa persetujuanku. Jika bukan karena hamil duluan lalu apa?” ungkap Dani menggebu, “Belum lagi, aku tidak tahu seperti apa pria yang Kakak nikahi,” Dani melirik Aksa. “Kenapa Kakak memutuskan masalah sebesar ini sendirian?!” Dani ingin menilai apakah pria itu layak untuk sang kakak atau tidak. “Aku tidak akan menyerahkan Kak Alina ke sembarang pria, meski kalian sudah menikah tapi aku tidak akan mengizinkan begitu saja Kak Alina keluar dari rumah ini.” Dani bicara dengan sangat tegas dan kini memandang Aksa. Alina tahu, Dani bersikap begini karena permintaan terakhir sang Mama sebelum meninggal. Sang Mama meminta agar Dani dan Alina harus saling menjaga satu sama lain, dan Dani sebagai seorang anak laki-laki harus melindungi sang Kakak dengan baik, membuat Dani berusaha bertanggung jawab meski usianya lebih kecil dari Alina. Alina gelagapan dan bingung mendengar ucapan Dani, tapi Alina semakin dibuat bingung ketika Aksa kembali menggenggam tangannya. Alina menoleh pada Aksa yang terlihat menatap Dani. “Aku ingin bicara berdua denganmu. Bisa keluar sebentar?” tanya Aksa. Alina menatap Aksa dengan ekspresi wajah panik. Takut dan cemas jika keduanya bertengkar karena masalah itu. Dani mengangguk menerima ajakan Aksa, lalu keduanya keluar dari rumah untuk bicara. Kini tinggal Alina dan Karin yang ada di ruang tamu. “Baguslah kalau Kak Alina sudah menikah, jadi bisa-bisa cepat pindah dari sini.”Alina sangat terkejut mendengar ucapan Karin. Selama ini dia hanya mendengar ucapan itu secara tak sengaja ketika Karin berdebat dengan Dani, tetapi sekarang Karin bicara langsung padanya tanpa rasa canggung sama sekali. “Mau Kak Alina hamil duluan atau tidak. Aku tidak peduli, yang terpenting Kak Alina segera pindah saja. Kak Alina tahu, ‘kan? Biaya hidup semakin tinggi, gaji Dani hanya cukup buat kebutuhan sehari-hari dan keperluanku, adanya Kak Alina di sini hanya menjadi beban saja. Jatahku harus dipangkas karena Dani juga ingin memberi Kak Alina gajinya!” Karin bicara dengan nada ketus, tanpa menunjukkan rasa sopan juga pada Alina Karin berbicara sambil melipat kedua tangan di dada. Alina cukup terkejut mendengar Karin sekarang terang-terangan bicara seperti itu. Sejak awal, Alina merasa Karin bukan wanita yang baik bagi Dani, tetapi dulu dia setuju Dani menikahi Karin karena sang adik sangat mencintai wanita itu. Sekarang firasatnya terbukti, Karin memang tak pernah menyukai
Aksa pergi setelah mengantar Alina ke apartemennya.Saat sudah mengemudi jauh dari apartemen, Aksa menghentikan mobil di bahu jalan di mana ada sebuah mobil mewah sudah terparkir di sana.Aksa keluar dari mobil, lalu berjalan ke mobil mewah itu.Pria berpakaian sopir langsung mengambil alih mobil yang tadi dipakai Aksa untuk membawa mobil itu pergi dari sana.“Siang, Pak.” Seorang pria memakai setelan formal membungkuk menyapa Aksa yang baru saja datang.“Pakaian Anda sudah ada di dalam mobil,” ucap pria itu saat Aksa berdiri di depannya.Aksa tak banyak bicara. Dia langsung masuk mobil yang sudah dibuka oleh sopirnya, lalu mengganti pakaian sederhananya dengan setelan jas mahal yang sudah tersedia di sana.Setelah Aksa selesai berganti pakaian. Asisten pribadi dan sopir masuk mobil, mereka lantas pergi menuju perusahaan.“Bagaimana pernikahan Anda?” tanya asisten Aksa yang ikut di mobil itu.Aksa hanya menatap sang asisten dari kaca spion tengah.Ilham langsung membungkam mulut melih
Alina bosan berada di apartemen. Ingin kembali ke butik tapi takut jika Nenek Agni tahu dan berpikiran yang tidak-tidak.Alina akhirnya menghubungi sahabatnya, sekaligus ingin memberitahu soal pernikahannya.“Hm … ada apa, Al?” tanya Kaira dari seberang panggilan.“Kamu sedang sibuk?” tanya Alina memastikan dulu sebelum bicara, takut sahabatnya itu sedang bertemu klien atau yang lainnya lalu terkejut.“Tidak, aku malah rasanya ingin kabur dari pekerjaan yang melelahkan ini,” jawab Kaira terdengar begitu malas dari seberang panggilan.Alina mendengar sahabatnya itu tertawa, lalu dia membalas, “Sudah enak jadi direktur umum, memangnya seberat apa pekerjaanmu, hm?”“Sudahlah, ada apa menghubungiku? Kamu mau mengajakku jalan-jalan?” tanya Kaira.“Bukan,” jawab Alina, “aku hanya ingin memberitahumu kalau aku baru saja menikah hari ini,” ucap Alina penuh kehati-hatian.Hening untuk beberapa waktu.“Halo, Kai?”“Kamu bilang apa tadi? Menikah?! APA MAKSUDNYA ITU?” Suara Kaira menggelegar dari
Alina melihat Aksa yang berjalan mendekat ke arahnya. Alina panik dan tanpa sadar berjalan mundur hingga terbentur dinding di belakangnya. Tatapan Aksa yang sayu tetapi dalam padanya membuat Alina menelan ludah susah payah dengan jantung yang tiba-tiba berdegup sangat cepat. “Ada apa? Mau apa kamu?” tanya Alina yang panik dan waspada karena Aksa terus maju. Aksa sudah sangat dekat dengan Alina, bahkan wajah mereka kini begitu dekat. Alina menahan napas sampai memejamkan mata saat Aksa menunduk ke wajahnya, hingga Aksa tiba-tiba menjatuhkan kening di pundak Alina. Alina sangat terkejut sampai langsung membuka mata, mengerjap untuk beberapa saat. Akan tetapi, kemudian memegangi tubuh Aksa yang limbung dan hampir jatuh. Dia melirik wajah Aksa, pria itu ternyata memejamkan mata. “Aksa.” Alina memanggil tetapi tidak ada respon. “Aksa, bangun dan pergi ke kamarmu,” ucap Alina mencoba membangunkan Aksa yang bersandar pada pundaknya. Tubuh seorang pria biasanya lebih berat dibanding t
Aksa pergi ke kantor setelah merasa lebih segar. Saat Ilham masuk untuk membacakan jadwal kegiatan Aksa hari itu, Ilham langsung terkena sembur. “Kenapa semalam kamu meninggalkanku di pesta?” tanya Aksa dengan tatapan kesal. Semalam, Aksa menghadiri pesta peluncuran salah satu produk terbaru dari brand milik kolega orang tua Aksa. Aksa yang memang memiliki toleransi alkohol rendah akhirnya mabuk meski minum sedikit. Aksa sudah berusaha untuk tak minum, akan tetapi karena sungkan dan takut dianggap tak sopan jika menolak saat diajak bersulang oleh kolega keluarganya, membuat Aksa akhirnya minum sedikit dan berakhir mabuk. Untungnya meski mabuk, Aksa masih bisa pulang ke apartemen diantar sopirnya. “Saya minta maaf, Pak. Saya pikir Anda benar-benar akan menahan diri untuk tidak minum,” ucap Ilham mencoba menjelaskan. Aksa menyandarkan kepala di sandaran kursi dan tetap memasang wajah datar mendengar alasan Ilham. “Semalam saya juga sudah izin untuk pulang lebih dulu dan Anda men
Nenek Agni menatap sebal karena ucapan Aksa, akan tetapi apa yang dikatakan Aksa ada benarnya.Nenek Agni menyerah setelah sebelumnya terlalu bersemangat jika menyangkut tentang Alina, sampai membuatnya lupa soal perjanjiannya dengan Aksa.Aksa adalah cucunya, tetapi kini posisinya adalah kepala keluarga Radjasa. Sebagai seorang nenek, Nenek Agni jelas dituakan, tetapi kalau Nenek Agni terlalu berlebihan, Aksa bisa juga menarik diri dan membatalkan pernikahan ini.“Baiklah, nenek tidak akan minta sesuatu yang bisa membongkar rahasia keluarga kita,” ucap Nenek Agni akhirnya pasrah.Aksa hanya mengangguk-angguk pelan sebagai isyarat jika keputusannya menolak keinginan Nenek Agni memang benar.“Tetapi, meski begitu kamu harus bersikap baik pada Alina dan jangan sampai kamu berani membuat Alina menderita,” ujar Nenek Agni memperingatkan.Aksa hanya menatap sang nenek tanpa berniat membalas ucapan Nenek Agni.“Bicara denganmu kadang seperti bicara dengan patung,” gerutu Nenek Agni karena A
Alina tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin di negara ini hanya satu keluarga yang memiliki nama Radjasa, dan yang datang ke pesta itu juga pasti bukanlah keluarga suaminya. Lagi pula nama bukan hak paten seseorang, bisa saja dipakai orang di kota ini juga dipakai orang yang berada kota berbeda. Pun Kaira hanya menyebut nama belakang dari keluarga Radjasa itu, bukan Aksa Radjasa. Lalu, jika dipikir kembali Nenek Agni dan Aksa juga tak terlihat seperti berasal dari keluarga konglomerat, bahkan penampilan mereka biasa saja. Sekarang Alina juga tinggal di apartemen sederhana bukan tempat yang mewah layaknya tempat orang-orang kaya tinggal. Jadi, pasti itu hanya kebetulan dan tak percaya jika Aksa adalah bagian keluarga Radjasa seperti yang dimaksud Kaira. “Kenapa kamu jadi melamun?” tanya Kaira saat melihat Alina hanya diam mengaduk makanan di piringnya, bahkan Alina terlihat menggeleng pelan tadi. Kaira tentu heran sampai menjentikkan jari di depan wajah Alin
Alina dan Bima pernah menjadi sepasang kekasih saat mereka duduk di bangku kuliah.Dulu, Alina sangat mencintai Bima. Ketika Alina tidak memiliki siapa-siapa di kota ini, Alina memiliki Bima yang sangat perhatian dan selalu ada untuknya.Bima ada di masa sulitnya belajar sambil menghidupi dan menyekolahkan sang adik, karena hidup mereka tak sepenuhnya ditanggung oleh keluarga dari sang ayah.Melihat Bima di hadapannya seperti ini, ingatan Alina kembali melayang pada masa itu.Sebenarnya saat itu, Kaira telah memperingatkan Alina, karena Kaira melihat Bima jalan berdua begitu mesra dengan salah satu teman kuliah Alina yang juga dekat dengannya, tetapi Alina tidak percaya dan berakhir mereka bertengkar. Alina bahkan menuduh Kaira memfitnah karena cemburu dengan hubungan asmaranya dan Bima.Setelah diperingatkan Kaira, Alina sempat menepis pikiran buruk atas kecurigaannya tentang hubungan Bima dan teman kuliahnya itu, meski beberapa kali dia pun melihat Bima memberikan perhatian yang ber
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.