"Kau tidak perlu merasa risih," kata Cakra. "Aku masih ada rasa hormat untuk melihatmu secara utuh. Bahkan aku seharusnya memanggilmu ibunda suri, tapi canggung lantaran kau kelihatan seumuran garwaku." Nyi Ratu Suri memeriksa suhu Cakra dengan menempelkan punggung tangan di dahinya. "Normal," kata Nyi Ratu Suri. "Nggak demam." "Aku ngomong lurus dikira mengigau," gerutu Cakra. "Kau kelihatan gemoy kalau ngomong lurus." Cakra senang Nyi Ratu Suri mulai suka bercanda. Kecantikannya jadi semakin tiada perumpamaan di muka bumi. "Kenapa kau memandangku seperti itu?" selidik Nyi Ratu Suri. "Udara dingin tidak membuatmu salah melihat kan? Aku dan garwamu ibarat sosis dipotong dua, tapi kau pasti hapal wangi tubuh garwamu." "Aku curiga kau sudah berbohong padaku," kata Cakra. "Ki Gendeng Sejagat bukan jatuh sakit karena dirudapaksa Konde Emas. Ia pernah bilang padaku bahwa roh merasakan seperti apa yang dirasakan makhluk di alam nyata, tapi tidak pernah terserang penyakit." Wajah Nyi
"Kelinci hutan sungguh lezat." Cakra menyantap daging iga dengan lahap. Ia belum pernah makan kelinci bakar, paling singkong atau ubi bakar. Banyak makanan enak belum pernah dinikmati di negeri manusia, harganya tidak terjangkau. Tapi Cakra tidak menyesal meninggalkan segala kemewahan demi keluhuran kasih sayang orang tua. "Besok Abimanyu datang membawa lima puluh ribu keping emas," kata Cakra. "Jendral Perang kebagian juga, masing-masing menerima dua ribu tujuh ratus keping emas, sisanya untuk puteri mahkota kerajaan Sihir." "Kau berikan semuanya tidak masalah," sahut Ranggaslawi. "Aku dan sahabat pendekar sudah cukup dengan hadiah yang diberikan baginda ratu." "Betul," ujar Pendekar Tak Bernama. "Aku malu memperoleh hadiah berlimpah seolah aku bukan terlahir di negeri ini." Cakra tahu rasa cinta mereka pada Nusa Kencana tak bisa diukur dengan materi, meski baginda ratu tidak pernah mengundang ke istana karena kebengalan mereka. "Aku menghargai alasan kalian, tapi uang itu hak
Acara ritual penyatuan berlangsung khidmat, semua pendekar golongan putih terlibat dalam prosesi. Selesai mengikat janji, Cakra dan Puteri Rinjani meminta keberkahan kepada Nyi Ratu Suri yang hadir bersama beberapa pembesar kerajaan Pasir Galih. Sebuah kemuliaan bagi mereka disambangi pejabat istana di masa lalu. Awalnya banyak yang terkecoh, mengira puteri mahkota Nusa Kencana datang tanpa diundang, tapi melihat pengiringnya satu pun tidak dikenal. "Selamat menjadi pemimpin bagi garwamu," kata Nyi Ratu Suri seraya cipika cipiki. "Belajarlah dari lingkungan terkecil sebelum menjadi pemimpin besar. Semua butuh proses, tidak ada yang instan." "Kecuali mie instan," senyum Cakra. "Acara ini jadi sangat meriah dengan kehadiran ibunda suri dan pejabat Pasir Galih, sebuah kehormatan tak ternilai bagi kami." "Terima kasih atas restunya, ibunda suri," ucap Puteri Rinjani berurai air mata. "Sungguh kebahagiaan tiada terkira dengan berkenannya ibunda suri dan pembesar istana di masa lalu me
"Sialan! Kamarnya pakai pagar mantera!" Ranggaslawe menendang dinding dengan jengkel. Papan dari kayu langka itu jebol, tapi tidak merusak dinding bagian dalam. "Pelit sekali mereka!" Di Kadipaten Barat mengintip secara massal sudah jadi budaya, tapi sunatan massal tidak ada. Kawin massal banyak, pesta seks. Tukar pasangan dan menyaksikan istri bercinta dengan pria lain bukan lagi hal tabu. Kaum bangsawan sangat mendukung budaya ini meski secara diam-diam. Standar moral adalah tong kosong berbunyi nyaring. "Mahameru bukan pejabat yang suka berbagi," gerutu Ranggaslawe. "Meski sekedar buat cuci mata." Pintu pesanggrahan terbuka, Mahameru muncul dari dalam, dan berkata, "Kalau mau cuci mata, di dapur banyak wastafel." Pintu ditutup kembali, terdengar bunyi gerakan anak kunci. "Brengsek," maki Ranggaslawi. "Pakai dikunci segala. Memangnya kita kepingin banget apa mengintip bujang lapuk bercinta?" "Kalau nggak kepingin banget, terus buat apa Golok Santet naik ke plafon?" teriak M
Malam dingin membeku. Binatang satu pun tidak ada yang keluar dari sarangnya. Keadaan sangat sunyi. Enam pendekar golongan putih berkelebat laksana hantu di antara pepohonan. Mereka mengejar waktu untuk tiba di istana Curug Enam menjelang dini hari. Wajah Ranggaslawi terlihat masam di sepanjang perjalanan, menambah sepet pemandangan. "Aku benar-benar merasa jadi makhluk paling sial di muka bumi," gerutunya. "Mereka tidur nyenyak di malam dingin, aku gentayangan kayak roh penasaran." "Penderitaan makin komplit dengan mukamu yang mirip mayat hidup," ejek Golok Santet. "Aku kuatir pelayan di istana Curug Enam bukan mengajak bercinta, tapi pasang dupa mengadakan acara ritual mengusir setan." "Janganlah membicarakan perempuan di malam dingin begini," tegur Gagak Jantan. "Otak kalian akan semakin kacau." Ia kebagian tugas menyerbu istana Curug Enam bersama mereka. Jendral Perang dan Fredy patroli di sepanjang kaki bukit, Cakra dan Mahameru menghabiskan malam di istana Curug Tujuh. Pen
Sepasang Burung Dara menyerang pendekar botuna disertai teriakan merobek udara. Gerakannya sangat cepat nyaris tak terlihat oleh mata. Tapi musuh yang dihadapi adalah tokoh sakti yang menguasai dunia perkelahian. Pertarungan berjalan seru dan sengit, jadi tontonan panas di malam dingin. Sementara itu Iblis Cinta dan Gagak Jantan membagikan makanan yang ada di warung kepada wisatawan ilegal yang berbaring kelaparan di bangunan darurat. "Kalian besok akan dipulangkan ke negeri kalian," kata Iblis Cinta. "Maka itu masuklah secara legal kalau ingin memperoleh pelayanan yang layak." "Kau tidak akan menangkap kami?" tanya wisatawan berperut buncit. "Rugi negara membiayai makanmu. Berapa bakul sehari?" Makanan di warung dalam sekejap ludes dibagikan. Pemilik warung sungguh tidak berperasaan, berjualan makanan di depan perut keroncongan, padahal apa salahnya dikasih gratis. "Brengsek!" geram pemuda berkumis tipis. "Kalian pikir aku membeli dagangan pakai daun?" "Berbagi itu indah," kat
"Mustahil melumpuhkan prajurit begitu banyak tanpa ada yang terluka." Iblis Cinta berhenti di tempat gelap. Ia melihat ada puluhan rumah pohon, tapi tak berpenghuni, mungkin mereka beroperasi ke perkampungan. "Tapi mustahil juga menunggu Ranggaslawi dan gengnya." Iblis Cinta jadi serba salah. Rabi Samate dan sembilan pengawal pasti sudah menunggu di dalam istana. Mereka pasti kesulitan jika masuk berdua, meski istana tidak dipasangi jebakan. Ia kira hanya istana Curug Satu yang menyimpan banyak harta dan menggunakan pertahanan berlapis. Ratu Nusa Kencana sebenarnya tidak rugi memberikan bonus besar kepada mereka. Harta rampasan perang berlipat-lipat jumlahnya. "Kita pancing mereka ke tempat gelap," kata Iblis Cinta. "Kita lumpuhkan satu per satu." "Kalau mereka tidak terpancing bagaimana?" tanya Gagak Jantan. "Kita culik satu-satu." "Aku lebih suka menculik. Dengan begitu mereka akan terpancing." Iblis Cinta dan Gagak Jantan mulai beraksi. Mereka menculik prajurit terdekat. G
Penjaga tidak ada di pintu gerbang istana. Pemandangan ini terlihat aneh mengingat keadaan sangat rawan. Iblis Cinta dan kawan-kawan memasuki halaman. Pendekar bayaran tidak ada yang keluar menghadang. Mereka tidak mungkin ketiduran. Mereka mestinya berjaga-jaga sebagai benteng pertama. Malam yang sangat dingin bukan alasan untuk bermalas-malasan. "Aku curiga ini jebakan," kata Gagak Jantan. "Situasi sangat sunyi." Iblis Cinta mengedarkan pandang ke sekitar istana sambil mengingatkan, "Semua waspada, jangan sampai lengah." Rabi Samate seperti membiarkan mereka masuk untuk disergap di dalam. "Dugaanku istana Curug Enam seperti istana Curug Satu," ujar Ranggaslawi. "Banyak senjata rahasia di setiap ruangan." "Maka itu pasang mata dan telinga baik-baik." Iblis Cinta membuka pintu utama dengan waspada, lalu memimpin sahabatnya melintasi koridor. Mata elangnya menghunjam ke sekeliling. Kamuflase lubang senjata rahasia tidak ditemukan di lantai dan dinding, semua terlihat permanen.