Malam dingin membeku. Binatang satu pun tidak ada yang keluar dari sarangnya. Keadaan sangat sunyi. Enam pendekar golongan putih berkelebat laksana hantu di antara pepohonan. Mereka mengejar waktu untuk tiba di istana Curug Enam menjelang dini hari. Wajah Ranggaslawi terlihat masam di sepanjang perjalanan, menambah sepet pemandangan. "Aku benar-benar merasa jadi makhluk paling sial di muka bumi," gerutunya. "Mereka tidur nyenyak di malam dingin, aku gentayangan kayak roh penasaran." "Penderitaan makin komplit dengan mukamu yang mirip mayat hidup," ejek Golok Santet. "Aku kuatir pelayan di istana Curug Enam bukan mengajak bercinta, tapi pasang dupa mengadakan acara ritual mengusir setan." "Janganlah membicarakan perempuan di malam dingin begini," tegur Gagak Jantan. "Otak kalian akan semakin kacau." Ia kebagian tugas menyerbu istana Curug Enam bersama mereka. Jendral Perang dan Fredy patroli di sepanjang kaki bukit, Cakra dan Mahameru menghabiskan malam di istana Curug Tujuh. Pen
Sepasang Burung Dara menyerang pendekar botuna disertai teriakan merobek udara. Gerakannya sangat cepat nyaris tak terlihat oleh mata. Tapi musuh yang dihadapi adalah tokoh sakti yang menguasai dunia perkelahian. Pertarungan berjalan seru dan sengit, jadi tontonan panas di malam dingin. Sementara itu Iblis Cinta dan Gagak Jantan membagikan makanan yang ada di warung kepada wisatawan ilegal yang berbaring kelaparan di bangunan darurat. "Kalian besok akan dipulangkan ke negeri kalian," kata Iblis Cinta. "Maka itu masuklah secara legal kalau ingin memperoleh pelayanan yang layak." "Kau tidak akan menangkap kami?" tanya wisatawan berperut buncit. "Rugi negara membiayai makanmu. Berapa bakul sehari?" Makanan di warung dalam sekejap ludes dibagikan. Pemilik warung sungguh tidak berperasaan, berjualan makanan di depan perut keroncongan, padahal apa salahnya dikasih gratis. "Brengsek!" geram pemuda berkumis tipis. "Kalian pikir aku membeli dagangan pakai daun?" "Berbagi itu indah," kat
"Mustahil melumpuhkan prajurit begitu banyak tanpa ada yang terluka." Iblis Cinta berhenti di tempat gelap. Ia melihat ada puluhan rumah pohon, tapi tak berpenghuni, mungkin mereka beroperasi ke perkampungan. "Tapi mustahil juga menunggu Ranggaslawi dan gengnya." Iblis Cinta jadi serba salah. Rabi Samate dan sembilan pengawal pasti sudah menunggu di dalam istana. Mereka pasti kesulitan jika masuk berdua, meski istana tidak dipasangi jebakan. Ia kira hanya istana Curug Satu yang menyimpan banyak harta dan menggunakan pertahanan berlapis. Ratu Nusa Kencana sebenarnya tidak rugi memberikan bonus besar kepada mereka. Harta rampasan perang berlipat-lipat jumlahnya. "Kita pancing mereka ke tempat gelap," kata Iblis Cinta. "Kita lumpuhkan satu per satu." "Kalau mereka tidak terpancing bagaimana?" tanya Gagak Jantan. "Kita culik satu-satu." "Aku lebih suka menculik. Dengan begitu mereka akan terpancing." Iblis Cinta dan Gagak Jantan mulai beraksi. Mereka menculik prajurit terdekat. G
Penjaga tidak ada di pintu gerbang istana. Pemandangan ini terlihat aneh mengingat keadaan sangat rawan. Iblis Cinta dan kawan-kawan memasuki halaman. Pendekar bayaran tidak ada yang keluar menghadang. Mereka tidak mungkin ketiduran. Mereka mestinya berjaga-jaga sebagai benteng pertama. Malam yang sangat dingin bukan alasan untuk bermalas-malasan. "Aku curiga ini jebakan," kata Gagak Jantan. "Situasi sangat sunyi." Iblis Cinta mengedarkan pandang ke sekitar istana sambil mengingatkan, "Semua waspada, jangan sampai lengah." Rabi Samate seperti membiarkan mereka masuk untuk disergap di dalam. "Dugaanku istana Curug Enam seperti istana Curug Satu," ujar Ranggaslawi. "Banyak senjata rahasia di setiap ruangan." "Maka itu pasang mata dan telinga baik-baik." Iblis Cinta membuka pintu utama dengan waspada, lalu memimpin sahabatnya melintasi koridor. Mata elangnya menghunjam ke sekeliling. Kamuflase lubang senjata rahasia tidak ditemukan di lantai dan dinding, semua terlihat permanen.
"Mereka keracunan!" Iblis Cinta segera memeriksa korban terdekat. Denyut nadi masih ada meski sangat lemah. Ia menotok di beberapa titik. Pendekar atletis itu langsung muntah-muntah, kemudian terkulai pingsan. Sementara ketiga sahabatnya sibuk menolong yang lain. Puluhan pendekar berhasil diselamatkan, sisanya menemui ajal, termasuk rabi Samate. Iblis Cinta memeriksa jus jeruk yang ada di depan salah satu korban, tidak berbau, entah racun apa yang digunakan, barangkali racun arsenik. "Siapa gerangan yang telah berbuat sekeji ini?" sesal Ranggaslawi. "Mereka mungkin bersalah, tapi bukan begini hukumannya." "Kita datang terlambat," keluh Iblis Cinta. "Hanya sedikit yang dapat diselamatkan." "Pelakunya pasti makhluk biadab yang menyamar jadi pelayan," kata Gagak Jantan. "Ia membubuhkan racun pada jus jeruk. Tapi apa maksudnya meracuni mereka semua?" "Entahlah." Telik sandi tidak mungkin berbuat sekeji ini, pikir Iblis Cinta. Kesalahan fatal kalau berani melanggar kode etik. Kepal
"Seharusnya minta persetujuan dulu!" Dewi Anjani memandang ibunda ratu dengan berapi-api. Kemarahannya hampir meledak mendengar keputusan kontroversial itu. Memberi perintah langsung kepada Jendral Perang berarti mengambil alih komando peperangan. Padahal ia sudah menyerahkan wewenang penuh kepada C untuk mengambil keputusan taktis di medan laga. "Aku tahu ananda pasti tidak setuju," kata Ratu Purbasari. "Aku sudah menarik putera mahkota dari Bukit Penamburan kalau ananda tidak menghalangi." Dewi Anjani sama sekali tidak mengerti jalan pikiran ibundanya. Cakra telah berhasil menumpas pemberontak dalam waktu singkat, tapi hendak diganti dengan tokoh istana yang sudah terbukti gagal. Mereka datang ke Bukit Penamburan hanya mengantarkan nyawa, dan petaka itu akan terulang lagi. "Kadipaten Selatan sangat membutuhkan garwa ananda," dalih Ratu Purbasari. "Adipati sangat kewalahan mengatasi penyusup dari kerajaan Selatan." "Aku bingung dengan cara berpikir ibunda. Mengusir penjajah le
"Gusti pangeran tidak bersama rombongan." Abimanyu baru tiba di istana dan ia melapor pada puteri mahkota. Tapi ia tidak menyampaikan perihal janji suci mereka atas perintah Nyi Ratu Suri. Dewi Anjani terdiam di kursinya. Penolakan putera mahkota memimpin rombongan ke Curug Empat adalah protes keras terhadap keputusan ibunda ratu. Cakra bisa dicopot gelar kebangsawanannya karena tidak patuh pada perintah istana. Jika hal itu terjadi, maka ia tidak berhak tinggal di istana. "Jangan sampai ibunda ratu tahu," kata Dewi Anjani. "Ia pasti murka, dan kau tahu apa risiko dari kemurkaannya, pencopotan gelar pangeran." "Baik, gusti puteri." Kepala Dewi Anjani berdenyut pusing. Ia tahu Cakra kecewa karena ibunda ratu telah turut campur, tapi ia tak mengira reaksinya sekeras itu. Nasib putera mahkota di ujung tanduk. Tak ada yang mampu menyelamatkan selain kemurahan hati ibunda ratu. Hanya ada dua pilihan bagi Dewi Anjani; melepas gelar kebangsawanan dan hidup sebagai rakyat biasa bersama
Puteri Rinjani sangat berat melepas kepergian Cakra, namun tanggung jawab besar menantinya. "Aku minta kau pulang ke istana Sihir," kata Pendekar Lembah Cemara. "Bukit Penamburan bukan persinggahan yang aman buat puteri mahkota." "Aku ingin menunggumu di sini," sahut Puteri Rinjani. "Aku tak bisa jauh darimu." Cakra tersenyum kecut. "Itu kata Slank. Tidak apa jauh di mata tapi dekat di hati." "Itu empedu. Kau ingin memberikan kepahitan hidup bagiku?" "Itu kata Ernie Djohan." "Terus kata kanda tersayang apa?" "Segeralah pulang ke istana Sihir. Di bukit ini banyak tokoh sakti yang mengincar dirimu karena kini kau adalah garwaku." Puteri Rinjani sebenarnya ingin memadu kasih sampai titik di dahi hilang, pertanda kehamilan tiba. Ia sudah membuka pintu rahim setiap kali berhubungan intim, namun titik itu belum lenyap juga. Satu kehinaan bagi puteri mahkota kalau sampai majir, dan menjadi bencana. Siapa yang meneruskan dinasti kelak? Ia muak kepulangan dirinya disambut pertanyaan m