"Kenapa gusti ratu selalu terlambat mengambil keputusan?" Cakra tak henti menggerundel di sepanjang jalan setapak dan berliku itu. Ia sengaja melewati jalan sulit untuk menghindari pertemuan dengan antek-antek rabi Sakila. Satu nyawa prajurit pemberontak melayang di tiang gantungan jika ketahuan ada pendekar golongan putih mendekati istana Curug Lima. Cakra meningkatkan kewaspadaan saat instingnya merasakan ada makhluk roh mengikuti. Ia mengerahkan ilmu Tembus Pandang Paripurna dan Selubung Khayali untuk melihat ke sekitar. "Berada di mana makhluk itu?" gumam Cakra. "Ia tak bisa bersembunyi dariku meski hanya sebesar kutu." Tidak mungkin Tuan Agung. Ia berkunjung ke bukit ini setiap purnama ke tujuh. Apakah ada makhluk lain berkeliaran? Makhluk roh itu bergerak laksana kilat untuk menghindari pandangannya. Cakra berniat menggunakan ilmu Seberkas Sinar untuk mengejar, tapi kemudian diurungkan. "Buat apa aku cape-cape mengeluarkan ilmu roh? Ia sepertinya tidak bermaksud jahat, han
Perempuan seksi yang lagi asyik bermain dengan kuda poni jantan serentak bangkit dan merapikan pakaian saat pintu pesanggrahan ambruk ditendang dari luar. "Jahanam!" geram rabi Sakila. "Kau cari mampus mengganggu kesenanganku!" Cakra mendengus sinis. "Sayang sekali kencantikanmu disia-siakan. Banyak lelaki di luar sana mendambakan kenikmatan darimu." "Hakku untuk bercinta dengan makhluk apapun!" "Kau lupa lubang kenikmatan yang ada padamu bukan diciptakan untuk binatang. Hak macam apa yang kau punya sehingga berani mengangkangi takdir Raja Sekalian Alam?" "Tahu apa kau tentang hak?" "Justru itu aku bertanya padamu!" Di mata Cakra, rabi Sakila adalah makhluk salah kaprah. Ia belajar tentang hak pada guru yang salah. Bercinta adalah haknya, namun ia keliru menerapkan hak pada organ intimnya. Ia menganggap perbuatannya benar, padahal ia sudah sewenang-wenang mengeksploitasi organ intim sehingga terjadi penganiayaan pada diri sendiri. Menggunakan organ tubuh tidak sesuai dengan fu
Nyi Ratu Suri heran musuh seperti tidak habis-habisnya, mereka berhamburan dari dalam istana, padahal sudah puluhan pendekar berhasil dilumpuhkan dan hanya pendekar berenergi inti paripurna yang mampu membebaskan totokan itu. Beberapa dari mereka mencoba menolong namun gagal, padahal berilmu sangat tinggi. "Aku baru menemukan pelumpuhan model begini," keluh pendekar berponi. "Barangkali hanya guruku yang mampu menolong mereka." "Aku tidak mengira puteri mahkota berilmu setinggi itu," kata temannya. "Kemampuannya sulit ditandingi." Beberapa pendekar muntah darah karena nekat beradu tenaga dalam dengan menangkis pukulannya. Bahkan sebagian pendekar kelenger pingsan kena gebuk di bagian dada, sampai-sampai Nyi Ratu Suri merasa bersalah. "Please, forgive me!" teriaknya. "Kalian memaksaku berbuat kasar!" Kemudian ia melayang-layang di udara, melompat dari satu kepala ke kepala lain, menghindari senjata maut mereka. Para pendekar bayaran sulit menangkap perempuan seanggun bidadari it
Benar-benar kemarahan membabi buta! Nyi Ageng Permata telah menghapus babad kerajaan sehingga pendekar berponi tidak tahu siapa yang dihadapinya. Padahal sebenci apapun pada sejarah, generasi masa depan berhak tahu. Sungguh ironis pendekar berponi tidak mengenali siapa leluhurnya. Tapi dengan lantang ia mencatut leluhurnya, "Aku tidak mau leluhur murka karena terjadi pertumpahan darah di antara kita! Masalah kita sudah selesai! Kau sudah membebaskan prajurit tak berdosa!" Nyi Ratu Suri jungkir balik di udara keluar dari arena pertarungan, setelah delapan pengawal utama dilumpuhkan dan menyisakan pendekar berponi. "Kalau kau benar keturunan Ratu Pasir Galih, kenapa bersekutu dengan pemberontak?" Nyi Ratu Suri tidak berhasrat untuk memberi tahu siapa dirinya, biarlah pendekar berponi mengira ia adalah Dewi Anjani. "Aku butuh ruang untuk mengekspresikan kebebasanku! Tapak Mega menjanjikan itu!" "Kau keliru kalau menganggap Kadipaten Barat adalah rumahmu! Kalian sudah merusak tatan
"Semua ini hasil perbuatanmu?" Ranggaslawi berdiri di halaman istana, mengedarkan pandang melihat ratusan pendekar berilmu tinggi terdiam kaku. "Tumben kau serius menghadapi musuh, tidak ada pose doggy, missionary, atau spooning." "Mereka bukan hasil perbuatanku." Kemudian Cakra bertanya ke Jendral Perang, "Prajurit yang disekap di ruang bawah tanah sudah dibebaskan?" "Mereka lagi dievakuasi. Prajurit pemberontak terkapar kelaparan di ruang gelap dan sempit. Mereka sudah dua hari tidak diberi makan. Rabi Sakila sungguh kejam." "Kau bawa semua pendekar bayaran ke pusat rehabilitasi dan masukkan ke barak yang sama dengan tawanan sebelumnya. Untuk rabi Sakila dan pendekar berponi, tolong bawa ke istana terlarang." Istana terlarang adalah tahanan untuk para pejabat dan bangsawan yang melakukan tindak kejahatan moral. "Siapakah mereka sampai perlu mendapatkan perlakuan istimewa, gusti pangeran?" tanya Mahameru. "Cicit buyut Nyi Ratu Suri yang tersesat, dari garis Nyi Ageng Permata.
"Kau yakin Nyi Ratu Suri tidak bersama kita?" Iblis Cinta berjalan di jalan setapak bekas aliran air. Mereka sengaja melewati jalan di antara pepohonan rimbun dan dipenuhi semak belukar. Mata-mata istana Curug Empat pasti melihat mereka jika lewat jalan biasa atau pucuk pohon. Mereka melangkah sebagaimana makhluk berjalan, namun jarak tempuh yang didapat sangat jauh. "Aku sudah menggabungkan ilmu nyata dan ilmu gaib untuk mendeteksi keberadaannya. Aku pikir ia marah karena merasa dikerjai menghadapi pendekar Curug Lima sendirian." "Kau benar-benar ksatria slebor. Leluhur permaisurimu dikerjai juga." "Aku melihat tidak ada perbedaan jika mereka duduk bersisian. Semoga mereka tidak tidur satu pembaringan." Hanya wangi tubuh berbeda, namun aromanya sama-sama menggugah selera. Semula ia mengira Dewi Anjani memakai pewangi dengan ekstrak bunga yang memancing gairah, namun setiap puteri mahkota ternyata memiliki wangi alamiah yang khas. "Ha ha ha!" Iblis Cinta tertawa. "Kau seharusn
Pendekar Lembah Cemara memandang bangunan istana dengan nanar. Amarah berkobar di dadanya. Ia belum pernah merasa sebenci ini pada sesosok rabi. Ada aturan tertulis di lembaran suci kerajaan. Siapapun dilarang membunuh rakyat tak berdosa. Jika dilanggar, maka ia akan kehilangan martabat dan menjadi musuh bersama, digantung di Alun-alun Kotaraja. Memenggal kepala rakyat yang dipaksa menjadi prajurit pemberontak adalah perbuatan keji dari makhluk beradab, dan termasuk katagori itu. Cakra tidak sudi takluk kepada ancaman. Hukum mesti ditegakkan. "Kau akan kujadikan peringatan bagi rabi lain," geram Cakra. "Kau sudah berani melenyapkan nyawa prajurit tak berdosa, maka hukumannya adalah mati dalam kehinaan." Tangan Cakra bergerak melingkar secara unik disertai tenaga dalam penuh, menimbulkan deru angin sangat dahsyat. Kemudian tangan kanan terbentang ke depan mengarah ke bangunan istana dengan telapak tangan terbuka, tangan kiri tergantung di depan dada. Ia mengeluarkan ajian Grebek Ny
"Sebenarnya apa keinginan garwa ananda?" Ratu Purbasari duduk di kursi bertahtakan mutiara dengan wajah bermuram durja. Ia sulit marah kepada mahapatih karena ia tiada kuasa melarang putera mahkota. "Aku memerintahkan untuk menarik mundur semua kekuatan, tetapi ia memerintahkan mengerahkan seluruh kekuatan. Bagaimana pertanggungjawaban ku kepada keluarga korban kalau para rabi menggantung semua prajurit tak berdosa?" Dewi Anjani mencoba memahami apa yang menjadi pertimbangan Cakra sehingga sering mengambil keputusan bertentangan. Sebenarnya ia ingin berkomunikasi langsung dengan suaminya, tapi terlarang menggunakan ilmu Sambung Kalbu dan Sambung Rasa sejak masa kehamilan. Jika berani melanggar, maka berdampak buruk pada perkembangan bayi di rahimnya. Ia harus menahan hasrat dengan bertafakur, dan mandi kembang setiap malam agung agar jabang bayi selamat dari malapetaka. "Garwa ananda menyebabkan aku sulit menyerahkan tahta sesegera mungkin kepada ananda, padahal aku sudah mesti l